Dari Kopi Sampai ORI
Di masa perang, bukan hal mudah bagi pemerintah Republik Indonesia yang baru merdeka untuk membuat mata uang sendiri. Kesukaran muncul mulai dari sulitnya mencari bahan baku hingga mencari percetakan. Upaya mencetak uang di Surabaya gagal. Begitu juga di Jakarta.
Nederlandsch-Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken atau disingkat NIMEF, sebuah pabrik percetakan di Kendalpayak, Malang, Jawa Timur, menjadi penyelamat.
Lokasinya jauh dari medan-medan pertempuran yang sedang berkobar di berbagai kota. Wilayah ini juga dikuasai Republik.
Menurut Fendy E. W. Parengkuan dalam biografi A.A. Maramis, S.H., pabrik NIMEF sempat menjadi tempat pembuatan bahan peledak semasa pendudukan Jepang.
“Dengan berkuasanya pemerintah RI maka Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis mengubah nama pabrik menjadi PKPN (Pabrik Kaleng dan Percetakan Negara) Kendalpayak Malang,” tulis Fendy.
Setelah NIMEF ditunjuk untuk mencetak uang, Panitia Penyelenggara Percetakan Uang Kertas Republik Indonesa segera mencari bahan-bahan.
Kebutuhan kertas dibantu oleh Serikat Buruh Kertas Padalarang. Mesin pembuat kertas berhasil dibawa dari pabrik Padalarang sebelum dikuasai tentara Belanda.
Sementara itu, bahan-bahan kimia didatangkan dari Jakarta dan dari laboratorium pabrik-pabrik gula di Jawa Timur.
Dengan bahan yang tersedia dan mesin-mesin percetakan NIMEF, uang Republik pun berhasil diproduksi.
Pabrik NIMEF di Malang, juga yang berada di Solo dan Yogyakarta, yang berhasil mencetak uang kemudian dijaga ketat.
Untuk mengedarkannya, uang dimasukkan ke dalam besek, lalu dimasukkan lagi ke karung goni dan diangkut dengan kereta api ke seluruh Jawa.
Maka, 30 Oktober 1946, sebagai tanggal emisi pertama ORI, kemudian ditetapkan sebagai Hari Oeang.
NIMEF punya andil penting dalam lahirnya mata uang rupiah. Namun, siapa sangka NIMEF berawal dari rumah sangrai kopi yang tumbuh menjadi salah satu pabrik paling besar di Hindia Belanda dan paling canggih pada masanya.
Produksi kemasan
Cerita bermula pada 1901. Dua orang Belanda, L Schol dan H. Janssen van Raay, mendirikan rumah sangrai kopi Eerste Nederland Indie Koffiebranderij (ENIK) di Malang.
Dengan menyewa sebuah rumah kontrakan, mereka memulai bisnis kopi kecil-kecilan. Perseroan terbatas ENIK ini hendak memasarkan kopi panggang dan kopi bubuk.
Produknya hanya diedarkan di pasar-pasar. Perusahaan ini baru benar-benar beroperasi pada tahun 1902. Namun, bisnis kopi ini ternyata berkembang pesat dalam waktu singkat.
Modal perusahaan yang awalnya 26.900 gulden meningkat hampir dua kali lipat menjadi 50.000 gulden pada 1904. Pada tahun itu juga, perusahaan
membeli tanah di Kendalpayak, sebuah desa di Malang. Mesin cetak dan mesin potong kemudian dibeli untuk memproduksi kemasan kertas yang sebelumnya dipasok dari Eropa.
Dari sinilah, perusahaan mulai merambah ke produksi kemasan kertas. Pada 1908, NIMEF kembali melebarkan sayap. Dari kemasan kertas, mereka mulai memproduksi kemasan kaleng.
“Akhirnya… karena segala sesuatu sudah sedia, maka karena indahnya, orang lain pun suka pula memakai yang demikian, lalu perusahaan itu tidak saja membikin dalam pabriknya untuk dipakai sendiri, tapi juga untuk orang lain,” tulis wartawan kenamaan Parada Harahap dalam Indonesia Sekarang.
Pada 1939-1940, Parada Harahap keliling Jawa dan mengunjungi beberapa pabrik besar, termasuk NIMEF.
Pesanan berdatangan dari berbagai perusahaan. Menurut Algemeen handelsblad voor NederlandschIndië, 1 Agustus 1927, hampir semua kebutuhan kemasan industri di Jawa bergantung pada perusahaan ini.
Meski demikian, saat itu bahan mentah masih bergantung pada Amerika Serikat dan Jepang.
“Lambat laun timbul kekurangan tempat, sehingga pada tahun 1911 dibuatlah bangunan pabrik baru,” tulis Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië.
Dari bisnis sampingan, produksi kemasan kemudian dipisah dari produksi kopi. Perusahaan khusus kemasan lalu didirikan pada tahun 1918 dan diberi nama Nederlandsch-Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken atau disingkat NIMEF.
Besar dan canggih
Masih di 1918, Direktur NIMEF melawat ke Eropa untuk melihat perusahaan-perusahaan sejenis. Mesin-mesin dari Eropa kemudian didatangkan. Areal pabrik diperluas dan sekitar 400 orang Indonesia dipekerjakan. Mereka tinggal di satu kampung di sekitar pabrik.
Gedung pabrik yang baru ini mulai beroperasi awal 1920. “Modal saham yang disetor sudah mencapai NLG 700.000,” tulis De Indische Courant, 6 September 1934.
Perusahaan ini memproduksi berbagai macam kantong kemasan dari karton untuk kebutuhan toko-toko. Selain itu, mereka juga memproduksi beragam kotak karton, mulai dari kotak amplop hingga kotak obat.
“Juga kotak-kotak tempat sabun mewah biasanya terlihat dikemas, dan kotak-kotak yang lebih bagus, yang digunakan di toko perhiasan besar untuk memajang benda-benda berharga, dibuat di sini,” tulis Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië.
Tak hanya itu, beragam kebutuhan seperti buku kantor, kartu nama, hingga tiket untuk trem, kereta api dan bioskop pun dicetak di sini. Segala produk yang memungkinkan dicetak pada karton akan diproduksi NIMEF.
Perkembangan pabrik begitu pesat. Mesin cetak perunggu serta dua mesin pengepres kecepatan tinggi yang digerakkan secara elektrik kemudian juga dimiliki NIMEF.
Bahkan NIMEF mengembangkan eskpedisi langsung dari gudang pabrik yang terhubung dengan jalur trem uap Malang. Hal ini memungkinkan bongkar-muat yang lebih efisien.
“Perusahaan ini didukung oleh mesin gas dan juga oleh listrik. Sangat menarik untuk bisa melihat-lihat di sini,” tulis Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië.
Dari tahun ke tahun, omzet NIMEF terus meningkat. Pada 1932, ketika pabrik rokok Faroka dibuka, NIMEF mendapat kontrak untuk memproduksi semua kemasan dan keperluan percetakan lainnya. Mesin dari Eropa kembali dipesan secara khusus untuk kontrak ini.
Pada saat yang sama, NIMEF mengembangkan kemasan timah seperti pelat iklan, kaleng cat, hingga kaleng teh dan minyak. Sementara itu, bagian percetakan karton NIMEF telah menjadi yang terbesar di Hindia Belanda.
Selanjutnya, pada 1933, NIMEF mulai melirik Jawa Barat untuk memperluas jangkauan pasar. “Secara bertahap bisnis mengambil skala besar dan untuk lebih bersaing dengan pabrik pengemasan yang ada di Jawa Barat, pabrik kedua didirikan di Bandung pada tahun 1933 di bawah kepemimpinan H. H. Proper,” tulis Soerabaijasch Handelsblad, 17 Juni 1935.
Tahun-tahun berikutnya, NIMEF semakin di depan, baik dari segi teknologi maupun cakupan pasar. Agensi NIMEF kemudian dibuka di Batavia (Jakarta). Mereka juga memiliki toko sendiri bernama Toko NIMEF.
Menurut Parada Harahap, NIMEF memiliki tidak kurang 1.101 pegawai Indonesia dan 40 orang Eropa. Pabrik ini juga memiliki klinik, rumah-rumah pondok, lapangan sepak bola, dan selalu membantu para pekerjanya yang ingin memiliki rumah dan pekarangan.
Sebab, kata Parada Harahap, “NIMEF berpendapat seboleh-boleh kaum buruhnya itu hendaklah merasa betah di sana, turun-menurun sampai kepada anak-cucunya.”
Cagar budaya
Setelah Indonesia merdeka, pabrik NIMEF di Kendalpayak, Malang, dipakai pemerintah Indonesia untuk mencetak ORI. Kiranya dua tahun sejak akhir 1945 NIMEF terus memproduksi ORI.
Namun, perannya harus berhenti pada 1947 ketika Belanda melancarkan Agresi Militer I. NIMEF ditinggalkan. “Pabrik tersebut terpaksa dibumihanguskan tahun 1947 untuk mencegah jatuhnya ke tangan Belanda yang telah memulaikan agresinya 21 Juli 1947.
Semua uang yang telah tercetak bersama barang-barang berharga lainnya dibawa mengungsi ke Yogyakarta di bawah pengawalan yang ketat,” tulis Fendy Di lahan bekas pabrik NIMEF di Malang kini berdiri kantor Bank Rakyat Indonesia (BRI).
Sementara bangunan eks Toko NIMEF di Jalan Agung Salim sudah ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh Pemerintah Kota Malang
0 Response to "Dari Kopi Sampai ORI"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak