Lahirnya Uang Putih
Semasa periode mempertahankan kemerdekaan, orang yang memegang ORI bisa ditangkap oleh tentara Belanda.
Pada perayaan 75 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 2020, Bank Indonesia mengeluarkan uang baru edisi khusus pecahan Rp75.000. Desain uang ini elegan dan sarat makna. Bagian muka bergambar wajah Sukarno dan Mohammad Hatta. Bagian belakang berupa gambar wajah orang Indonesia dari beragam suku dan daerah.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang Rupiah mengamanatkan bahwa rupiah tak hanya alat pembayaran. Ia juga harus ditempatkan sebagai simbol kedaulatan.
Bangsa Indonesia patut berbangga pula mempunyai mata uang sendiri sebagai pemersatu bangsa. Ini tak lepas dari sejarah rupiah ketika masih bernama Oeang Republik Indonesia (ORI). Uang itu mulai beredar pada 30 Oktober 1946.
Cerita ORI bermula dari banyaknya mata uang di Indonesia saat awal kemerdekaan. Ada empat mata uang tiga dikeluarkan Jepang dan satu mata uang peninggalan pemerintah Hindia Belanda.
Peredaran empat mata uang itu merugikan Indonesia. “Menyebabkan situasi moneter menjadi sangat ruwet dan membingungkan,” catat Oey Beng To, mantan Gubernur Bank Indonesia, dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958).
Menyikapi situasi ini, Sjafruddin Prawiranegara, anggota Badan Pengurus Komite Nasional Indonesia Pusat, sejenis badan legislatif sementara RI, mengusulkan jalan keluar.
Dalam sebuah pertemuan dengan Hatta pada Oktober 1945, Sjafruddin membawa usulan dari pemuda Bandung yang dia lupa namanya. “Supaya mengeluarkan uang Republik Indonesia sendiri sebagai pengganti uang Jepang yang masih berlaku pada waktu itu,” kata Sjafruddin dalam Bung Hatta Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perjuangan Bangsa.
Hatta sebelumnya sempat mendengar usulan ini. “Namun karena keterbatasan sarana, dana, dan langkanya tenaga ahli dalam bidang itu, maka tuntutan seperti itu terpaksa untuk sementara waktu diabaikan,” ungkap Mohamad Iskandar dalam “Oeang Republik dalam Kancah Revolusi”, termuat di Jurnal Sejarah Volume 6 No 1, Agustus 2004.
Sjafruddin terus meyakinkan Hatta bahwa Indonesia perlu mengeluarkan uang baru sebagai salah satu atribut negara merdeka dan berdaulat. “Pada akhirnya beliau dapat diyakinkan,” lanjut Sjafruddin. Pemerintah berkeputusan bulat mencetak uang sendiri.
Uang Pemerintah
Menteri Keuangan A.A. Maramis menindaklanjuti keputusan itu. Dia bergerak cepat. Sebab, tentara Sekutu telah datang ke Indonesia pada akhir September 1945.
Segala kemungkinan bisa terjadi. Tentara Sekutu bisa saja mengambil-alih keadaan. Maka dia menginstruksikan tim Sarikat Buruh Percetakan G. Kolff Jakarta bergerak ke beberapa tempat di Jakarta, Malang, Solo, dan Yogyakarta untuk mencari percetakan.
Di Jakarta ada percetakan G. Kolff yang berpengalaman dalam urusan mencetak uang sejak zaman Hindia Belanda. Ada pula percetakan De Unie.
Sementara Di Malang berdiri perusahaan Nederlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF).
Tapi semua percetakan itu kesulitan memperoleh alat-alat untuk mencetak uang seperti kertas, tinta, pelat seng, mesin aduk, dan bahan kimia.
Tim bentukan Maramis juga menghadapi tantangan yang tak kalah sulit. Pertempuran antara pejuang Republik dan Sekutu meletus di beberapa daerah.
Jalan-jalan ditutup dan dikuasai tentara Sekutu. Untuk menerobos blokade itu, sejumlah buruh percetakan menyelundupkan alat-alat pencetak uang.
“Berkat bantuan sukarela dari para karyawan beberapa perusahaan asing di Jakarta yang belum dikuasai oleh tentara Sekutu, bahan dan alat itu diperoleh,” catat Oey Beng To.
Maramis kemudian membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia pada 7 November 1945. Ketuanya T.R.B.
Sabarudin, saat itu menjabat pula sebagai direktur Bank Rakyat Indonesia. Anggotanya terdiri atas pegawai Departemen Keuangan, Bank Rakyat Indonesia, dan Serikat Buruh Percetakan G. Kolff.
Kerja Panitia cukup baik. Mereka mencetak ratusan rim lembaran 100 rupiah dari pukul 07.00-22.00.
Litografinya dibuat di Percetakan De Unie. Abdulsalam dan Soerono tercatat sebagai pelukis pertama ORI.
Tapi uang itu belum sempat diberi nomor seri. Situasi keamanan di Jakarta memburuk. Pemerintahan pun harus pindah ke Yogyakarta pada 14 Januari 1946. Pekerjaan mencetak uang berhenti sementara.
Kerja pencetakan uang diambilalih oleh percetakan NIMEF di Malang dan percetakan swasta lain di Solo, Yogyakarta, dan Ponorogo. Tempattempat ini relatif aman karena berada di bawah kekuasaan Republik.
Selama masa pencetakan ORI, pemerintah Indonesia berupaya menjaga laju inflasi dengan mulai menarik mata uang Hindia Belanda dan Jepang dari wilayah RI.
“Untuk memperkuat tujuan itu, pemerintah RI menerbitkan Undang-Undang No 10 Tahun 1946,” catat Iskandar. Salah satu isinya tentang larangan membawa uang senilai 1.000 gulden dari satu karesidenan ke karesidenan lain tanpa izin.
Sebaliknya, tentara NICA ingin menjegal segala macam upaya penerbitan ORI. Mereka mengawasi distribusi alat dan bahan untuk mencetak uang.
Mereka bahkan menyerang Republik dengan mengeluarkan uang NICA pada 6 Maret 1946. Kursnya tiga persen dari uang Jepang. Orang menyebutnya “uang merah” karena warna dominannya.
Tindakan itu membuat marah pemerintah Indonesia. Selain menimbulkan inflasi, peredaran uang NICA melanggar kedaulatan.
“Perdana Menteri Sutan Sjahrir menyebutnya sebagai pelanggaran hak kedaulatan RI dan mengingkari perjanjian untuk tidak mengeluarkan mata uang baru selama situasi belum stabil,” tulis tim Departemen Keuangan Republik Indonesia (Depkeu RI) dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah.
Daerah pemberlakuan uang NICA antara lain Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Namun uang NICA tak laku. Petani dan pedagang enggan memakainya. Mereka hanya mau menerima uang Jepang sesuai seruan pemerintah Indonesia. Akibatnya peredaran uang NICA terdesak.
“Keterbatasan dan ketidakwibawaan uang NICA itu berakibat merosotnya kurs. Dari tiga persen menjadi empat bahkan lima persen,” ungkap tim Depkeu RI.
Ketika uang NICA merosot, pemerintah Indonesia mulai mengedarkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) secara resmi pada 30 Oktober 1946. Beredarnya ORI ditopang oleh UU No. 7 Tahun 1946 dan UU No. 10 Tahun 1946.
Isinya antara lain menjelaskan nilai ORI, bentuk fisik, dan menegaskan bahwa ORI dikeluarkan oleh pemerintah sebagai alat bayar yang sah. “Dengan demikian ORI merupakan uang pemerintah, bukan uang bank,” ungkap Oey Beng To.
Malam sebelum ORI beredar, Hatta berpidato. “Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita.
Uang Republik keluar dengan membawa perubahan nasib rakyat, istimewa pegawai negeri yang sekian lama menderita karena inflasi uang Jepang.”
Rakyat menyambut baik peredaran ORI. Mereka menyebutnya “uang putih”. Rosihan Anwar, jurnalis senior, mencatat pengalamannya pada awal peredaran ORI di Jakarta.
“Seorang tukang becak yang memilih pembayaran 20 sen uang kita daripada pembayaran dengan uang NICA,” tulis Rosihan dalam Kisah-Kisah Menjelang Clash ke-I.
ORI jatuh
Kurs ORI terhadap uang NICA fluktuatif. Saat awal beredar, 1 ORI berbanding 2 uang NICA. Sangat kuat.
Tapi lama-lama merosot hingga 1:5. Bahkan saat agresi militer ke-2 pada 19-20 Desember 1948, nilai ORI tenggelam. Butuh 500 ORI untuk menebus 1 florin uang NICA.
Kemerosotan ORI berkaitan dengan kian sempitnya wilayah Republik, tekanan tentara NICA terhadap pemakai ORI, dan inflasi.
Perjanjian Renville memaksa pemerintah RI menarik mundur pasukannya di berbagai wilayah, kecuali Sumatra, Jawa Tengah, dan Yogyakarta.
Sebab, daerah di luar ketiga itu berada di bawah kekuasaan Belanda. Ini berdampak pada ORI. NICA melarang peredaran ORI di daerah kekuasaaan Belanda.
NICA seringkali mengintimidasi warga di perbatasan yang menyimpan ORI. Karena perlakuan ini, warga ketakutan. Mereka memilih menyimpan uang NICA.
Tapi di sisi lain, pejuang proRepublik juga kadang mengintimidasi warga yang menyimpan uang NICA. Akibatnya warga terjebak di antara dua pilihan.
Selain itu, NICA memalsukan ORI untuk membuat nilai ORI jatuh akibat inflasi. Uang palsu ini beredar di beberapa wilayah Republik.
Arsip Djawatan Kepolisian Negara tertanggal 25 Maret 1948 misalnya menyebut penemuan uang palsu di Banyumas dari para pedagang tembakau.
Kepolisian meyakini para pedagang tak mengetahui mereka bertransaksi dengan uang palsu. “Orang-orang pedagang tembakau mungkin tidak mempunyai sengaja jahat dan onbewust (tak sadar) menerima uang-uang palsu itu,” tulis arsip No. Pol. 60/Pam/A.R.
Kepolisian melaporkan kasus ini kepada Kementerian Keuangan. Jawaban dari Menteri Keuangan, “Jang Mulia Menteri Keuangan menyatakan bahwa pembikinan uang palsu dilakukan mungkin oleh pihaknya Belanda,” catat arsip tersebut.
Cetak lebih banyak Selama periode ini, pemerintah Indonesia tak hanya menghadapi berbagai persoalan keuangan, tapi bagaimana membiayai pembangunan dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Pemerintah tak punya cukup dana. Maka pemerintah mengambil keputusan deficit-financing atau membiayainya dengan mencetak ORI lebih banyak lagi. Risikonya inflasi akan meninggi. Keputusan itu terpaksa diambil.
Sebab pemerintah tak mungkin menarik pajak dan mengandalkan bantuan atau pinjaman luar negeri. Dana pendukung kemerdekaan juga makin menipis.
“Maka pengeluaran ORI sebagai cara untuk memecahkan masalah pembiayaan tersebut adalah paling baik,” terang Oey Beng To.
Beng To menyebut kebijakan ini mirip dengan kebijakan koloni-koloni Inggris di Amerika Serikat ketika awal kemerdekaannya pada tahun 1776.
Mereka mencetak uang sendiri (continental money/greenbacks) untuk melawan Inggris. Tapi Beng To melihat kemerosotan ORI tak separah continental money.
Seturut penandatangan Konferensi Meja Bundar dan perubahan bentuk negara Indonesia menjadi federal, ORI berhenti beredar pada Maret 1950. Ia diganti uang baru.
Tapi peredarannya selama 3 tahun 5 bulan menjadi titik mula kesadaran tentang fungsi uang sebagai alat perjuangan kedaulatan dan pembiayaan negara
0 Response to "Lahirnya Uang Putih"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak