Pengertian Idiolek, Dialek, Sosiolek, dan Fungsiolek
Pengertian idiolek menurut Kridalaksana (1980: 13) adalah keseluruhan ujaran seorang pembicara pada suatu saat yang dipergunakan untuk berinteraksi dengan orang lain, sedangkan menurut Chaer (1994: 55) idiolek adalah variasi bahasa yang bersifat perseorangan.
Menurut konsep idiolek setiap orang mempunyai variasi bahasanya masing-masing yaitu berkenaan dengan warna suara, pilihan kata, gaya bahasa, dan susunan kalimat yang paling dominan adalah warna suara,
Sehingga jika kita cukup akrab dengan seseorang hanya dengan mendengar suaranya bicara tanpa melihat orangnya kita dapat mengenali orangnya.
Suwito (1982: 21) setiap penutur mempunyai sifat-sifat khas yang tidak dimiliki oleh penutur yang lain. Sifat ini disebabkan oleh faktor fisik dan faktor psikhis.
Sifat khas yang disebabkan oleh faktor fisik misalnya perbedaan bentuk atau kualitas alat-alat penuturnya, seperti mulut, bibir, gigi, lidah, dan sebagainya.
Sedangkan sifat khas yang disebabkan oleh faktor psikhis biasanya disebabkan oleh perbedaan watak, intelegensi dan sikap mental lainnya.
Dialek
Menurut Poedjosoedarmo (1978: 7) dialek adalah variasi sebuah bahasa yang adanya ditentukan oleh sebuah latar belakang asal si penutur.
Nababan (1886: 4) menjelaskan bahwa idiolek-idiolek yang menunjukan lebih banyak persamaan dengan idiolek-idiolek yang lain dapat digolongkan dengan satu kumpulan kategori yang disebut dialek.
Besarnya persamaan ini disebabkan oleh letak geografis yang berdekatan dan memungkinkan komunikasi antara penutur- penutur idiolek itu.
Menurut Poedjosoedarmo (1979: 23) Jenis dialek dibedakan menjadi tiga macam yaitu dialek geografis, dialek sosial, dan dialek usia.
Dialek geografis
Dialek geografis yaitu tempat asal daerah si penutur seperti dalam bahasa Jawa misalnya terdapat dialek Jogja, Solo, Bagelen, dan Banyumasan.
Contohnya:
Pada daerah Banyumas menggunakan dialek bahasa ngapak.
X: ”rika arep maring ngendi mbok? ( “kamu mau kemana ?” )
Y: “inyong arep maring kampus”. ( “aku mau ke kampus”.)
Pada contoh bahasa ngapak diatas rika yaitu kamu, mbok penegasan pertanyaan, inyong yaitu aku, maring yaitu mau ke-. Dialek-dialek itu merupakan bahasa khas daerah Banyumasan.
Sedangkan, pada daerah Jogjakarta mengunakan dialek bandek
X: “kowe arep nandi cah?” ( “ kamu mau kemana ?”)
Y: “aku arep nang kampus”. ( “aku mau ke kampus”)
Jadi bahasa ngapak dan bandek berbeda, namun tidak semua bahasanya berbeda hanya pada bahasa tertentu saja seperti contoh diatas.
Dialek Sosial
Dialek sosial adalah latar belakang tingkat sosial dari mana seseorang penutur berasal. Dialek ini dibedakan menjadi dialek sosial tingkat tinggi, menengah, dan merendah.
Bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi pada masing-masing tingkatan berbeda, bahasa yang digunakan tingkat sosial tinggi biasanya menggunakan bahasa yang halus (krama alus), “Panjenengan menika rawuh pukul pinten mbakyu? (kamu datang jam berapa mbak?).
Tingkatan menengah menggunkan bahasa “krama”, “sampeyan tindak mriki jam pinten mbakyu?”(kamu datang kesini jam berapa mbak?).
Tingkatan merendah mengunaan bahasa “ngoko”, “kowe mrene iki jam pira mbakyu?”(kamu kesini jam berapa mbak?.
Bahasa yang digunakan pada masing-masing terlihat berbeda karena tingkatan sosialnya. Bahasa tingkatan atas berbeda dengan tingkatan menengah ataupun tingkatan merendah.
Dialek Usia
Dialek usia adalah varian bahasa yang ditandai oleh latar belakang umur penuturnya. Dengan demikian dapat dibedakan menjadi tiga macam dialek usia, yaitu dialek anak, dialek (kaum) muda, dialek (kaum) tua. Sebagai ciri penanda dialek usia yang paling menonjol adalah pemilihan kata-kata atau kosakata.
Contohnya:
Anak: “Bu, adek pengen pipis” (Bu, adek mau pipis)
Kata “pipis” sering digunakan oleh anak-anak jika akan kencing, sedangkan ketika sudah dewasa dia tidak akan menggunakan kata “pipis” tetapi menggantinya dengan kata “mau ke belakang” atau “mau ke WC”.
Begitu juga dengan (kaum) tua tidak akan menggunakan kata “pipis” apabila akan kencing . Kata pipis sudah menjadi kata yang khas digunakan oleh anak-anak.
Sosiolek
Sosiolek adalah idiolek-idiolek yang menunujukan persamaan dengan idiolek-idiolek lain yang disebabkan oleh kedekatan sosial, yaitu penutur-penutur idiolek tersebut termasuk dalam suatu golongan masyarakat yang sama (Nababan,1984: 4).
Di dalam masyarakat terdapat berbagai golongan yang dapat dilihat dari golongan sosialnya, maka idiolek-idiolek tersebut dapat terlihat.
Sosiolek juga disebut dengan dialek sosial yaitu variasi bahasa yang berkenaan dengan status, golongan, dan kelas sosial para penuturnya (Chaer, 1995: 84).
Variasi ini menyangkut semua masalah pribadi para penuturnya seperti usia, pendidikan, pekerjaan, keadaan sosial ekonomi, dan kelas sosial para penuturnya.
Variasi ini cenderung menyangkut masalah pribadi penuturnya seperti faktor usia, pendidikan, seks, pekerjaan, tingkat kebangsawanan, dan keadaan ekonomi.
Melalui perbedaan-perbedaan golongan tersebut dapat terlihat variasi bahasa yang digunakan pada para penutur.
Berdasarkan usia kita bisa melihat perbedaan variasi bahasa yang digunakan oleh kanak-kanak, para remaja, orang dewasa, dan orang yang tergolong lansia.
Contohnya pada anak-anak sering menggunakan kata pipis apabila akan buang air kecil namun para remaja, orang dewasa, dan orang tergolong lansia tidak akan menggunakan kata pipis lagi untuk ijin buang air kecil, namun akan menggunakan kata “ijin ke belakang”.
Orang yang sudah remaja sampai tergolong lansia cenderung lebih menggunakan kata yang lebih sopan untuk ijin buang air kecil.
Bedasarkan pendidikan kita juga bisa melihat adanya variasi sosial, para penutur yang memperoleh pendidikan tinggi akan berbeda variasi bahasanya dengan mereka yang hanya berpendidikan menengah, rendah, atau yang tidak berpendidikan sama sekali.
Perbedaan ini yang paling jelas adalah dalam bidang penggunaan kosakata. Di Jakarta ada dua harian Kompas dan harian Pos Kota, dua harian yang populer di Jakarta.
Namun, harian Kompas lebih banyak dibaca oleh para golongan pelajar, sedangkan harian Pos Kota lebih banyak dibaca oeh golongan buruh dan golongan kurang terpelajar.
Disini terlihat bahwa minat kualitas media yang dibaca orang berpendidikan tinggi dan orang yang berpendidikan rendah terlihat berbeda.
Maka kualitas pembicaraannya juga akan berbeda, sehingga variasi bahasa yang digunakan juga akan berbeda.
Berdasarkan jenis kelamin variasi bahasa juga akan terlihat. Terlihat pada percakapan oleh sekelompok mahasiswi atau ibu-ibu yang lebih senang membicarakan orang lain.
Dibandingkan dengan percakapan yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa atau bapak-bapak yang lebih sering membicarakan hal yang digemarinya seperti membicarakan mesin, onderdil motor atau mobil, dan membicarakan pekerjaanya.
Perbedaan tersebut tampak bahwa variasi bahasa yang digunakan oleh kaum wanita berbeda dengan kaum pria. Berdasarkan pekerjaan juga dapat menyebabkan adanya variasi bahasa yang digunakan.
Pembicaraan yang dibincangkan oleh pekerja yang bekerja di suatu perusahaan, guru, dokter atau bekerja yang lebih bergengsi akan berbeda dengan orang yang bekerja hanya sebagai buruh, pedagang kecil, pengemudi kendaraan umum.
Perbedaan bahasa mereka terutama karena lingkungan tugas meraka terutama tampak pada bidang kosakata yang mereka gunakan.
Orang yang bekerja sebagai buruh, pengemudi kendaraan umum, pedagang kecil bahasa yang digunakan dalam percakapannya akan cenderung lebih kasar dan kurang sopan.
Hal ini karena faktor lingkungan mereka yang sehari-harinya berada dilingkungan umum yang bergaul dengan orang disekelilingnya yang cenderung menggunakan bahasa yang kurang sopan atau kasar.
Berbeda dengan para pekerja pengusaha, guru, dokter penggunaan bahasa dalam percakapannya akan lebih hati-hati dalam berbicara dengan lawan bicaranya.
Bahasa yang digunakan juga akan lebih sopan dan berpendidikan karena lingkungan sekitarnya adalah orang-orang yang berpendidikan tinggi.
Didalam masyarakat yang masih mengenal tingkat-tingkat kebangsawanan dapat dilihat variasi bahasa yang berkenaan dengan tingkat-tingkat kebangsawanan itu. Bahasa Jawa, bahasa Bali, dan bahasa Sunda mengenal variasi kebangsawanan.
Dalam bahasa Jawa dikenal dengan istilah undha usuk, yaitu untuk berbicara dengan orang yang lebih tua harus menggunakan bahasa krama inggil atau krama alus, dengan orang yang sebaya atau lebih muda menggunakan bahasa ngoko.
Seperti kata sampeyan (ngoko) dalam bahasa krama alus atau krama inggil panjenengan atau jenengan dalam bahasa Indonesia yang mempunyai arti kamu.
Masyarakat Jawa mengenal adanya klas-klas sosial yang dapat menyebabkan adanya variasi bahasa.
Menurut Clifford Greetz (dalam Suwito, 1982: 22) ada tiga kelompok sosial yaitu
2. Bukan priyayi tetapi berpendidikan dan bertempat tinggal di kota, dan
3. Petani dan orang kota yang tidak berpendidikan.
Perbedaan variasi juga disebabkan oleh perbedaan status sosial dalam masyarakat. Masyarakat Jawa masih menggunakan status sosial sebagai ukuran dalam berkomunikasi dengan orang lain yang dikenal dengan undha-usuk.
Menurut Suwito (1982: 22) undha-usuk adalah variasi bahasa yang pemakaiannya berdasarkan tingkat-tingkat klas atau status sosial.
Sebagai wujud konkritnya pihak yang berstatus sosial lebih rendah akan menggunakan tingkat bahasa yang lebih tinggi (krama) kepada orang yang berstatus sosial yang lebih tinggi, seperti menggunakan kata panjenengen untuk menyebutkan kamu.
Sedangkan sebaliknya orang yang berstatus sosial lebih tinggi akan menggunakan tingkat bahasa yang rendah (ngoko) bila berbicara dengan orang yang status sosialnya lebih rendah, seperti menggunakan kata kowe untuk menyebutkan kamu.
Orang yang mempunyai status sosial rendah lebih menghormati dengan orang yang mempunyai status sosial yang tinggi.
Adanya undha-usuk dalam masyarakat Jawa tersebut menyebabkan orang akan berfikir dahulu ketika ia akan berbicara.
Ia harus menyadari dahulu posisi status sosialnya terhadap lawan bicaranya, mungkin lebih tinggi status sosialnya tetapi lebih muda umurnya, atau mungkin lebih tua umurnya, atau mungkin lebih muda hierarki pekerabatanya (kapernahan) (Suwito, 1982: 22-23).
Dengan demikian masalah ketepatan pemilihan variasi yang digunakan disesuaikan dengan status klas sosialnya.
Orang Jawa akan bebicara menggunakan bahasa “Krama” dengan orang yang lebih tua umurnya, karena lebih menghormati.
Orang Jawa akan berbicara menggunakan bahasa “ngoko” dengan orang yang lebih muda.
Fungsiolek
Fungsiolek yaitu ragam bahasa yang sistemnya tergantung situasi dan keadaan berbicara yaitu peristiwa berbicara, penutur-penutur bahasa, tempat berbicara, masalah yang dibicarakan, tujuan berbicara, media berbahasa (tulisan atau lisan), dan sebagainya (Nababan, 1984: 4-5).
Variasi bahasa bidang ini ciri yang paling tampak yaitu dalam penggunaan kosakatanya. Setiap bidang kegiatan ini biasanya mempunyai sejumlah kosakata khusus atau tertentu yang tidak digunakan dalam bidang lain.
Martin Joos (dalam Chaer,1995: 92-94) membagi fungsiolek dalam bahasa inggris berdasarkan tingkat formal atas lima tingkat. Tingkatan ini sering disebut style atau gaya bahasa.
Kelima tingkatan itu yaitu frozen, formal, consultative, casual, dan intimate. Dalam bahasa Indonesia berturut turut berarti ragam beku, resmi, usaha, santai, dan akrab.
1. Ragam Beku
Ragam beku adalah ragam bahasa yang paling resmi yang dipergunakan dalam situasi-situasi yang khidmat dan upacara-upacara resmi.
Ragam beku ini juga terdapat dalam dokumen-dokumen bersejarah seperti undang-undang dasar dan dokumen lainnya.
Disebut ragam beku karena pola dan kaidahnya sudah ditetapkan secara mantap, tidak dapat diubah. Berikut ini ciri-ciri ragam beku.
- Struktur gramatikalnya tidak dapat diubah
- Susunan kalimatnya biasanya panjang-panjang, bersifat kaku, dan kata- katanya lengkap
- Kosa kata yang biasa digunakan : bahwa, maka, dan sesungguhnya
Sebagai contoh ragam beku dapat kita lihat dalam alenia 1 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945:
“Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak setiap bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kamanusiaan dan peri keadilan”.
Ragam beku juga dapat ditemukan dalam ungkapan tradisional berbahasa Jawa seperti paribasa, bebasan dan saloka.
Ketiganya memiliki bentuk dan makna yang tetap dan tidak dapat diubah-ubah. Salah satu contoh dalam paribasan :emban cindhe emban siladan yang maknanya pilih sih atau pilih kasih.
2. Ragam Resmi
Ragam resmi adalah ragam baasa yang digunakan dalam pidato-pidato resmi seperti pidato kenegaraan, rapat dinas atau rapat resmi pimpinan suatu badan.
Bentuk tertulis, ragam ini dapat ditemukan dalam surat menyurat dinas, khotbah, buku-buku pelajaran, dan sebagainya.
Pola dan kaidah ragam resmi sudah ditentukan secara mantap sebagai suatu standar. Ragam resmi ini pada dasarnya sama dengan ragam baku atau standar yang digunakan dalam situasi resmi.
Contoh pada pembukaan pidato.
“Assalamualaikum, bapak/ibu staf Dinas Pendidikan ingkang kinurmatan. Sumangga kita sedaya kunjukaken puja lan puji syukur dhumateng Allah Subhanahu wata'ala ingkang maringi rahmat saha hidayahipun saengga kita sedaya saget kempal wonten acara rapat siang menika tanpa alangan menapa kemawon.”
3. Ragam usaha
Ragam usaha adalah ragam bahasa yang sesuai dengan pembicaraan- pembicaraan biasa di sekolah, perusahaan, dan rapat-rapat usaha yang berorientasi kepada hasil atau produksi, dengan kata lain ragam bahasa ini berada pada tingkat yang paling operasional.
Wujud ragam usaha ini berbeda di antara ragam formal dan ragam informal atau ragam resmi. Contoh ragam usaha pada sekolah yang sedang memperkenalkan resep makanan yang baru:
“Wonten pepanggihan siang menika kita kelompok ekstrakurikuler saking boga badhe ngaturi pirsa menawi kelompok kita menika gadhah resep enggal inggih menika cake pohong. Supados para kanca sami mangertos raosipun sumangga dipun aturi dhahar cake pohong ingkang sampun cumawis menika”.
4. Ragam Santai
Ragam santai adalah ragam bahasa yang santai antar teman dalam berbincang-bincang, rekreasi, berolah raga, dan sebagainya. Berikut ini adalah ciri-ciri ragam santai.
- Kosa kata banyak memakai unsur leksikal dialek dan unsur bahasa daerah.
- Banyak memakai bentuk alegro.
- Memakai kata ganti tidak resmi.
- Sering kali tidak memakai struktur morfologi dan sintaksis yang normatif.
Menurut Poedjosoedarmo (1978: 12) dalam ragam santai mempunyai kelainan-kelainan tertentu bila dibandingkan dengan bahasa yang dipakai dalam suasana resmi atau formal.
Kelainan itu seperti pemakaian kalimat yang tidak lengkap atau berbenuk kalimat inversi. Bahasa yang digunakan dalam berbicara dengan lawan bicaranya juga sangat santai karena keakraban antara penutur dan lawan bicaranya.
Contohnya :
X: “ Din kowe rep nandi ya?” (Din kamu mau kemana ya?)
Y: “aku arep nang pasar, arep tuku sandal. Njo tak jak nek gelem” (aku mau ke pasar, mau beli sandal. Ayo tak ajak kalau mau)
Dalam percakapan diatas terlihat bahwa bahasa yang digunakan dalam percakapan tersebut menggunakan ragam santai, terlihat pada pemakaian kata tak jak’aku ajak’ kosakata yang digunakan tidak lengkap seharusnya tak ajak’aku ajak’.
Ragam bahasa yang digunakan di atas menggunakan ragam bahasa santai atau casual.
5. Ragam Akrab
Ragam akrab adalah ragam bahasa antar anggota yang akrab dalam keluarga atau teman-teman yang tidak perlu berbahasa secara lengkap dengan artikulasi yang terang, tetapi cukup dengan ucapan-ucapan yang pendek.
Hal ini disebabkan oleh adanya saling pengertian dan pengetahuan satu sama lain. Dalam tingkat inilah banyak dipergunakan bentuk-bentuk dan istilah-istilah (kata-kata) khas bagi keluarga atau sekelompok teman akrab.
Contohnya percakapan antar anak dengan ibu yang meminta ibunya untuk mengambilkan makanan hanya dengan ucapan
“Bu maem”, dengan kalimat pendek tersebut ibu sudah memahami maksud dari anaknya yaitu meminta untuk mengambilkan makanan.
Terima kasih untuk ulasannya. Sangat membantu :)
BalasHapus