SEJARAH BAHASA INDONESIA
Asal Mula Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Dari sudut pandang linguistik,
bahasa Indonesia adalah sebuah variasi dari bahasa Melayu.
Dalam hal ini dasar
yang dipakai adalah bahasa Melayu Riau, tetapi telah mengalami perkembangan
akibat penggunaanya sebagai bahasa kerja dan proses pembakuan pada awal abad
ke-20.
Sampai saat ini, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang hidup dan terus
berkembang dengan pengayaan kosakata baru, baik melalui penciptaan maupun
melalui penyerapan dari bahasa daerah dan bahasa asing.
Pada zaman Kerajaan Sriwijaya (abad ke-7 Masehi), bahasa Melayu
(bahasa Melayu Kuno) dipakai sebagai bahasa kenegaraan.
Hal itu dapat
diketahui, dari empat prasasti berusia berdekatan yang ditemukan di Sumatra
bagian selatan peninggalan kerajaan tersebut.
Prasati tersebut di antaranya adalah
dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M
(Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur
berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M
(Jambi).
Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Pada
saat itu, bahasa Melayu yang digunakan bercampur kata-kata bahasa Sanskerta.
Sebagai penguasa perdagangan, di Kepulauan Nusantara, para pedagangnya
membuat orang-orang yang berniaga terpaksa menggunakan bahasa Melayu
walaupun dengan cara kurang sempurna.
Hal itu melahirkan berbagai varian lokal
dan temporal pada bahasa Melayu yang secara umum dinamakan bahasa Melayu
Pasar oleh para peneliti.
Penemuan prasasti berbahasa Melayu Kuno di Jawa Tengah (berangka
tahun abad ke-9) dan prasasti di dekat Bogor (Prasasti Bogor) dari abad ke-10
menunjukkan penyebaran penggunaan bahasa itu di Pulau Jawa.
Penemuan
keping tembaga Laguna di dekat Manila, Pulau Luzon, berangka tahun 900
Masehi juga menunjukkan keterkaitan wilayah tersebut dengan Sriwijaya.
Pada abad ke-15 berkembang bentuk yang dianggap sebagai bentuk resmi
bahasa Melayu karena dipakai oleh Kesultanan Malaka, yang kelak disebut sebagai bahasa Melayu Tinggi. Penggunaanya terbatas di kalangan keluarga
kerajaan di sekitar Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Malaya.
Kemudian, Malaka
merupakan tempat bertemunya para nelayan dari berbagai negara dan mereka
membuat sebuah kota serta mengembangkan bahasa mereka sendiri dengan
mengambil kata-kata yang terbaik dari bahasa di sekitar daerah tersebut.
Kota
Malaka yang posisinya sangat menguntungkan (strategis) menjadi bandar utama
di kawasan Asia Tenggara. Bahasa Melayu menjadi bahasa yang paling sopan dan
paling tepat di kawasa timur jauh.
Ejaan resmi bahasa Melayu pertama kali
disusun oleh Ch. A. van Ophuijsen yang dibantu oleh Moehammad Taib Soetan
Ibrahim dan Nawawi Soetan Ma’moer yang dimuat dalam kitab Logat Melayu
pada tahun 1801.
Proses Pengesahan Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Persatuan
Pada zaman penjajahan Belanda pada awal abad-20, Pemerintah Kolonial
Hindia Belanda melihat pegawai pribumi memiliki kemampuan memahami
bahasa Belanda yang sangat rendah.
Hal itu yang menyebabkan pemerintah
kolonial Belanda ingin menggunakan bahasa Melayu untuk mempermudah
komunikasi, yakni dengan patokan bahasa Melayu Tinggi yang sudah mempunyai
kitab-kitab rujukan.
Sarjana Belanda mulai membuat standarisasi bahasa, mereka mulai
menyebarkan bahasa Melayu yang mengadopsi ejaan Van Ophusijen dari Kitab
Logat Melayu.
Penyebaran bahasa Melayu secara lebih luas lagi dengan
dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) pada tahun
1908.
Pada 1917 namanya diganti menjadi Balai Poestaka. Badan penerbit ini
menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku
penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang membantu
penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
Pada 16 Juni 1927, saat sidang Volksraad (Rapat Dewan Rakyat), Jahja
Datoek Kajo pertama kalinya menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Di sinilah bahasa Indonesia mulai berkembang.
Pada 28 Oktober 1928,
Muhammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dalam
pidatonya pada Kongres Nasional kedua.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui
sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda
Muhammad Yamin berkata, "Jika mengacu pada masa depan bahasabahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang
bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan, yaitu bahasa Jawa dan Melayu.
Namun, dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi
bahasa pergaulan atau bahasa persatuan."
Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan
dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Tiga tahun kemudian, Sutan Takdir Alisyahbana menyusun “Tata bahasa Baru
Bahasa Indonesia”.
Pada tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa
Indonesia I di Solo. Kongres tersebut menghasilkan bahwa usaha pembinaan dan
pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan
dan budayawan Indonesia saat itu.
Pada 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan, ditandatanganilah
Undang-Undang Dasar 1945. Pada Bab XV, Pasal 36, ditetapkan secara sah
bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa negara.
Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia sampai saat ini
Ejaan merupakan keseluruhan aturan atau tata cara untuk menulis suatu
bahasa, baik yang menyangkut lambang bunyi, penulisan kata, penulisan kalimat,
maupun penggunaan tanda baca.
Ejaan bahasa Indonesia mengalami beberapa kali
perubahan. Perubahan-perubahan yang terjadi mempunyai tujuan untuk
penyempurnaan.
Setelah diresmikannya bahasa Melayu oleh van Ohuijsen, yang
kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia hingga ditetapkan sebagai
bahasa persatuan, muncul ejaan-ejaan baru, yakni sebagai berikut.
Ejaan Republik
Ejaan Republik merupakan basil penyederhanaan Ejaan van Ophuysen.
Ejaan Republik mulai berlaku pada 19 Maret 1947. Pada waktu itu yang menjabat
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah Mr.
Suwandi, maka ejaan tersebut dikenal pula atau dinamakan juga Ejaan Suwandi.
Ejaan Repulik merupakan suatu uSaha perwujudan dari Kongres Bahasa
Indonesia di Surakarta, Jawa Tengah, tahun 1938 yang menghasilkan suatu
keputusan penyusunan kamus istilah.
Beberapa perbedaan yang tampak dalam Ejaan Republik dengan Ejaan van
Ophusyen dapat diperhatikan dalam uraian di bawah ini.
a. Gabungan huruf oe dalam ejaan van Ophusyen digantikan dengan u dalam
Ejaan Republik.
b. Bunyi hamzah (‘) dalam Ejaan van Ophusyen diganti dengan k dalam Ejaan
Republik.
c. Kata ulang boleh ditandai dengan angka dua dalam Ejaan Republik.
d. Huruf e taling dan e pepet dalam Ejaan Republik tidak dibedakan.
e. Tanda trema (‘) dalam Ejaan van Ophusyen dihilangkan dalam Ejaan
Republik.
Agar perbedaan kedua ejaan itu menjadi lebih jelas, di bawah ini diberikan
beberapa contoh :
Ejaan van Ophusyen ke Ejaan Republik
- oemoer menjadi umur
- koeboer menjadi kubur
- ma’loem menjadi maklum
Ejaan Pembaharuan
Ejaan Pemabaharuan merupakan suatu ejaan yang direncanakan untuk
memperbaharui Ejaan Republik.
Penyusunan ejaan ini dilakukan oleh Panitia
Pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia.
Konsep Ejaan Pembaharuan yang telah berhasil disusun itu dikenal dengan
sebuah nama yang diambil dari dua nama tokoh yang pernah mengetuai panitia
ejaan itu, Dalam hal ini Profesor Prijono dan E. Katoppo.
Pada tahun 1957 panitia itu berhasil merumuskan patokan- patokan ejaan
baru. Akan tetapi, hasil kerja panitia tersebut tidak pernah diumumkan secara
resmi sehingga ejaan itu pun belum pernah diberlakukan.
Salah satu hal yang menarik dalam konsep Ejaan Pembaharuan ialah
disederhanakannya huruf-huruf yang berupa gabungan konsonan dengan huruf
tunggal. Hal itu, antara lain tampak dalam contoh di bawah ini:
a. Gabungan konsonan dj diubah menjadi j
b. Gabungan konsonan tj diubah menjadi ts
c. Gabungan konsonan ng diubah menjadi ล
d. Gabungan konsonan nj diubah menjadi ล
e. Gabungan konsonan sj diubah menjadi ลก
f. Kecuali itu, gabungan vokal ai, au, dan oi, atau yang lazim disebut diftong
ditulis berdasarkan pelafalannya yaitu menjadi ay, aw, dan oy.
Misalnya:
EYD ke Ejaan Pembaharuan
- santai menjadi santay
- gulai menjadi gulay
- harimau menjadi harimaw
- kalau menjadi kalaw
- amboi menjadi amboy
Ejaan Melindo
Ejaan Melindo (Melayu- Indonesia) merupakan hasil perumusan ejaan
Melayu dan Indonesia pada tahun 1959.
Perumusan Ejaan Melindo ini diavvali
dengan diselenggarakannya Kongres Bahasa Indonesia yang kedua pada tahun
1945, di Medan, Sumatera Utara.
Bentuk rumusan Ejaan Melindo merupakan
bentuk penyempurnaan dari ejaan sebelumnya. Namun, Ejaan Melindo ini belum
sempat dipergunakan karena pada masa-masa itu terjadi konfrontasi antara negara
kita Republik Indonesia dengan pihak Malaysia.
Hal yang berbeda adalah bahwa di dalam Ejaan Melindo gabungan
konsonan tj, seperti pada kata tjinta, diganti dengan c menjadi cinta, juga
gabungan konsonan nj seperti njonja, diganti dengan huruf Nc, yang sama sekali
masih baru.
Dalam Ejaan Pembaharuan kedua gabungan konsonan itu diganti
dengan ts dan n.
Ejaan Baru (Ejaan LBK)
Ejaan Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari usaha yang telah
dirintis oleh panitia Ejaan Malindo.
Para pelaksananya pun di samping terdiri atas
panitia Ejaan LBK, dan juga panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil
merumuskan suatu konsep ejaan yang kemudian diberi nama Ejaan Baru.
Panitia
itu bekerja atas Dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, No.
062/67, 19 September 1967.
Perubahan yang terdapat pada Ejaan Baru atau Ejaan LBK, yakni sebagai
berikut:
a. Gabungan konsonan dj diubah menjadi j.
Misalnya :
EYD Ejaan Baru
remaja remadja
jalan djalan
perjaka perdjaka
b. Gabungan konsonan tj diubah menjadi j
Misalnya:
EYD Ejaan Baru
cakap tjakap
baca batja
cipta tjipta
c. Gabungan konsonan nj diubah menjadi ny
Misalnya:
EYD Ejaan Baru
sunyi sunji
nyala njala
bunyi bunji
d. Gabungan konsonan sj diubah menjadi sy
Misalnya:
EYD Ejaan Baru
syarat sjarat
isyarat isjarat
syukur sjukur
e. Gabungan konsonan ch diubah menjadi kh
Misalnya:
EYD ke Ejaan Baru
- takhta menjadi tachta
- makhluk menjadi machIuk
- ikhlas menjadi ichlas
Ejaan yang Disempurnakan
Pada waktu pidato kenegaraan untuk memperingati Hari Ulang Tahun
Kemerdakan Republik Indonesia XXVII, 17 Agustus 1972 diresmikanlah
pemakaikan ejaan baru untuk bahasa Indonesia oleh Presiden Republik Indonesia.
Dengan Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972, ejaan tersebut dikenal dengan
nama Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD).
Ejaan itu
merupakan hasil yang dicapai oleh kerja panitia ejaan bahasa Indonesia yang telah
dibentuk pada tahun 1966.
Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan ini
merupakan penyederhanaan serta penyempurnaan Ejaan Suwandi atau Ejaan
Republik yang dipakai sejak Maret 1947.
Beberapa kebijakan baru yang ditetapkan di dalam EYD, yakni seperti di
bawah ini:
a. Perubahan Huruf
Ejaan Lama ke EYD
- djika menjadi jika
- tjakap menjadi cakap
- njata menjadi nyata
- sjarat menjadi syarat
- achir menjadi akhir
- supaja menjadi supaya
b. Huruf f, v, dan z yang merupakan unsur serapan dari bahasa asing diresmikan
pemakaiannya.
Misalnya:
- khilaf
- fisik
- valuta
- universitas
- zakat
- khazanah
c. Huruf q dan x yang lazim digunakan dalam bidang ilmu pengetahuan tetap
digunakan, misalnya pada kata Furqan, dan xenon.
d. Penulisan di- sebagai awalan dibedakan dengan di- yang merupakan kata
depan.
Sebagai awalan, di- ditulis sering kali dengan unsur yang menyertainya, sedangkan di- sebagai kata depan ditulis terpisah dari kata yang
mengikutinya.
Contoh:
Awalan Kata Depan
dicuci di kantor
dibelikan di sekolah
dicium di samping
dilatar belakangi di tanah
e. Kata ulang ditulis penuh dengan mengulang unsur-unsurnya.
Angka dua tidak
digunakan sebagai penanda perulangan:
Misalnya:
- anak-anak, bukan anak2
- bermain-main, bukan bennain2
- bersalam-salaman, bukan bersalam2an
Secara umum, hal-hal yang diatur dalam EYD adalah sebagai berikut:
1. Penulisan huruf, termasuk huruf kapital dan huruf miring.
2. Penulisan kata.
3. Penulisan tanda baca.
4. Penulisan singkatan dan akronim.
5. Penulisan angka dan lambang bilangan.
6. Penulisan unsur serapan.
Ejaan Bahasa Indonesia (EBI)
Zaman terus berubah, teknologi terus berkembang, dan bahasa pun terns
menyesuaikan perubahan.
Masyarakat yang kritis terns mendesak Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk segera merevisi pedoman EYD
sehingga muncul PU EBI sebagai bentuk jawaban atas kritikan yang diterima.
Selanjutnya EYD berubah menjadi EBI (Ejaan Bahasa Indonesia)
sebagai pedoman umum sejak akhir 2015 silam.
Perubahan yang dilakukan oleh
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia ini, berlandaskan
Peraturan Menteri dan Kebudayaan Rl Nomor 50 Tahun 2015.
Dalam hal ini, EBI dibentuk atas dasar EYD sebelumnya, hanya saja pada
EBI terdapat penambahan - penambahan aturan dalam penulisan.
Perbedaan Ejaan
Bahasa Indonesia dengan Ejaan yang disempurnakan dapat terlihat adalah
sebagai berikut:
1. Penambahan huruf vokal diftong.
Pada EYD, huruf diftong hanya tiga yaitu ai,
au, dan oi, sedangkan pada EBI, huruf diftong ditambah satu, yaitu ei
(misalnya pada kata geiser dan survei).
2. Penggunaan huruf kapital.
Pada EYD tidak diatur bahwa huruf kapital
digunakan untuk menulis unsur julukan, sedangkan dalam EBI, unsur julukan
diatur dan ditulis dengan awal huruf kapital.
3. Penggunaan huruf tebal.
Dalam EYD, fungsi huruf tebal ada tiga, yaitu
menuliskan judul buku, bab, dan semacamnya, mengkhususkan huruf, serta
menulis lema atau sublema dalam kamus. Dalam EBI, fungsi ketiga dihapus.
Ada pertemuan rutin yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali oleh
pemerintah dan para pakar bahasa dan sastra Indonesia untuk membahas
perkembangan bahasa Indonesia. Pertemuan rutin ini dinamakan kongres bahasa
Indonesia.
Kongres-kongres ini begitu pentingnya bagi sejarah kemajuan bahasa
Indonesia pada umumnya. Oleh karena dengan adanya kongres bahasa Indonesia,
bahasa Indonesia menjadi lebih kompleks kosakatanya, menjadi lebih mantap
dalam membakukan kata atau dalam penyerapan bahasa asing.
Hal itu terjadi dan
dibahas dalam kongres bahasa Indonesia. Berikut ini kongres bahasa Indonesia
yang sudah dilaksanakan.
1. Kongres Bahasa Indonesia I
(Pertama)
Kongres bahasa Indonesia yang pertama dilaksanakan di Kota Solo, Jawa
Tengah, yakni pada tanggal 25 - 28 Juni tahun 1938.
Kongres pertama ini
menghasilkan simpulan yang intinya usaha pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendikiawan dan budayawan
Indonesia pada waktu itu.
Kemudian, pada 18 Agustus 1945rditandatangani Undang - Undang Dasar
1945, pada Pasal 36 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Diresmikannya penggunaan Ejaan Republik sebagai pengganti Ejaan van
Ophuijsen yang berlaku sebelumnya, peresmian ini terjadi pada tanggal 19 Maret
1947.
2. Kongres Bahasa Indonesia II
Kongres bahasa Indonesia yang kedua dilaksanakan di Kota Medan, Sumatra
Utara, pada 28 Oktober - 1 November 1954.
Kongres bahasa Indonesia ini
merupakan sebuah perwujudan tekad yang kuat dari bangsa Indonesia untuk terus
dan terus menyempurnakan bahasa Indonesia yang dijadikan kebanggaan bagi
bangsa Indonesia.
Presiden H.M. Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai Presiden Republik
Indonesia pada 16 Agustus 1972, meresmikan penggunaan Ejaan yang
Disempurnakan (EYD) melalui sarana pidato kenegaraan pada sidang DPR yang
dikokohkan dengan adanya Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972.
Mentri
Pendidikan dan Kebudayaan pada 31 Agustus 1972, menetapkan Pedoman Umum
Bahasa Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan
Nusantara).
3. Kongres Bahasa Indonesia III
Kongres bahasa Indonesia ketiga dilaksanakan di ibu kota Jakarta, pada 28
Oktober - 2 November 1978.
Simpulan pada kongres bahasa yang ketiga ini
adalah memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 yang memperlihatkan
kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928
dan berusaha terns untuk memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
4. Kongres Bahasa Indonesia IV
Kongres bahasa Indonesia keempat diselenggarakan di Jakarta, dari 21 - 26
November 1983.
Bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda yang ke-55 disebutkan
dalam keputusannya bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia
harus lebih ditingkatkan sehfngga amanat yang tercantum di dalam GBHN, yang
mevvajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa
Indonesia yang baik dan benar tercapai semaksimal mungkin.
5. Kongres Bahasa Indonesia V
Kongres bahasa Indonesia yang kelima dilaksanakan di Jakarta, pada 28
Oktober - 3 November 1988. Kongres bahasa yang kelima ini dihadiri oleh tujuh
ratusan pakar bahasa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Hadir juga tamu
undangan yakni perwakilan dari negara Malaysia, Brunei Darusalam, Singapura,
Belanda, Jerman, dan Australia
Pada kongres ini dipersembahkan pula sebuah karya besar dari pusat pembinaan dan pengembangan Bahasa kepada pecinta bahasa di bumi Nusantara,
yakni sebuah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia.
6. Kongres Bahasa Indonesia VI
Kongres bahasa Indonesia yang keenam dilaksanakan di Jakarta, yakni pada
28 Oktober - 2 November 1993 sebanyak 770 peserta dari Indonesia hadir dalam
konggres bahasa keenam ini.
Dalam hal ini tidak ketinggalan 53 peserta dari
berbagai negara juga ikut sebagai tamu, yakni negara Brunai Darusalam,
Australia, Jepang, Rusia, Hongkong, India, Jerman, Singapura, Amerika Serikat,
dan Korea Selatan.
Simpulan dari kongres ini adalah pengusulan Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa Indonesia ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga
Bahasa Indonesia, di samping mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa
Indonesia.
7. Kongres Bahasa Indonesia VII
Kongres bahasa Indonesia ketujuh dilaksanakan di Hotel Indonesia, Jakarta,
yakni pada 26 - 30 Oktober 1998. Simpulan dari kongres bahasa yang ke tujuh ini
ialah mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa Indonesia.
8. Kongres Bahasa Indonesia VIII
Kongres bahasa Indonesia kedelapan diselenggarakan di Jakarta, yakni pada
14 - 17 Oktober 2003.
Pada kongres bahasa kali ini para pakar dan pemerhati
bahasa Indonesia menyimpulkan bahwa berdasarkan Kongres Sumpah Pemuda
pada 28 Oktober 1928.
Menyatakan bahwa para pemuda memiliki satu
bahasa, yakni bahasa Indonesia, bulan Oktober dijadikan bulan bahasa.
Agenda
pada bulan bahasa adalah berlangsungnya seminar bahasa Indonesia di berbagai
lembaga yang memperhatikan bahasa Indonesia.
9. Kongres Bahasa Indonesia IX
Kongres bahasa Indonesia kesembilan dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28
Oktober - 1 November 2008.
Kongres ini juga memperingati 100 tahun
kebangkitan nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, dan 60 tahun berdirinya Pusat
Bahasa.
Dalam hal ini dicanangkannya tahun 2008 sebagai tahun bahasa, maka
sepanjang tahun 2008 diadakan kegiatan kebahasaan dan kesastraan.
Sebagai puncaknya dari seluruh kegiatan kebahasaan dan kesastraan serta 80 tahun
Sumpah Pemuda, diadakan kongres bahasa Indonesia ke IX.
Kongres ini membahas lima hal utama, yakni bahasa Indonesia, bahasa
daerah, penggunaan bahasa asing, pengajaran bahasa dan sastra, serta bahasa
media massa.
Kongres bahasa ini berskala internasional yang menghadirkan
pembicara-pembicara dari dalam dan luar negeri.
Pakar bahasa dan sastra yang
selama ini telah melakukan penelitian dan mengembangkan bahasa Indonesia di
luar negeri diberi kesempatan untuk memaparkan pandangannya dalam Kongres
Bahasa Indonesia IX ini.
10. Kongres Bahasa Indonesia X
Kongres bahasa Indonesia yang kesepuluh dilaksanakan di Jakarta, yakni pada
28 Oktober - 31 Oktober 2013.
Simpulan dari kongres bahasa yang kesepuluh ini
ialah Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), merekomendasikan hal -
hal yang perlu dilakukan pemerintah.
Rekomendasi tersebut berdasarkan laporan
Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa serta paparan enam
makalah pleno tunggal, di antaranya enam belas makalah sidang pleno panel,
seratus empat makalah sidang kelompok yang tergabung dalam delapan topik
diskusf panel, dan diskusi yang berkembang selama persidangan.
Demikian pembahasan tentang sejarah bahasa Indonesia. Semoga dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita. Terima kasih atas kujungannya.
0 Response to "SEJARAH BAHASA INDONESIA"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak