Uang Invasi Jepang
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada Maret 1942, segala tatanan pemerintahan Belanda pun dilucuti. Di sektor perekonomian, secara bertahap Jepang membangun sistem keuangan, membubarkan bank-bank Belanda, hingga mencetak uang.
Pada awalnya Jepang tak mencetak uang sendiri. Mata uang lama dari pemerintahan sebelumnya masih berlaku, yakni gulden (“rupiah Belanda”) dan uang militer (gunpyo) dikenal juga dengan istilah uang invasi. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 yang dikeluarkan Jepang pada 7 Maret 1942.
Yang dimaksud uang militer adalah uang yang telah dipersiapkan Jepang untuk daerah-daerah pendudukan: gulden untuk Hindia Belanda, straits dollar untuk Semenanjung Malaya dan Kalimantan Utara, rupee untuk Burma, peso untuk Filipina, dan pound untuk Australia (Australia Trust Territories).
Gulden Jepang kemudian juga dikenal sebagai “rupiah Jepang”. Keesokan harinya, terbit UU Nomor 2 yang menetapkan tiga mata macam uang kertas yang sah, yaitu f10,- (sepuluh rupiah), f 5,- (lima rupiah), dan f 1,- (satu rupiah) serta uang kecil (logam) meliputi 50 sen, 10 sen, 5 sen, dan 1 sen.
Mata uang lain yang beredar di luar ketujuh macam uang tersebut, dianggap tidak sah dan dilarang peredarannya.
Selama itu, Jepang menegaskan mengenai larangan-larangan yang akan mengacaukan sistem perekonomian seperti mengganggu peredaran uang militer dan uang rupiah, menerima uang lain yang tidak sah, memalsu, mengubah atau membuang uang sah, mengacaukan persamaan harga uang dan menyimpan atau menyembunyikan uang pecahan satu rupiah ke bawah melebihi seratus rupiah.
Bank sirkulasi
Untuk mencegah kekacauan di bidang ekonomi, Jepang menghentikan sementara waktu seluruh bank di wilayah kekuasaan Jepang. Segala urusan mengenai uang harus mendapat izin dari pemerintah Jepang.
“Maka sekalian kuasa dari bank-bank harus menghadap selekas-lekasnya ke kantor pemerintah Balatentara untuk menerima keterangan dan menunggu perintahnya buat mengerjakan lagi,” tulis Pasal 9 UndangUndang Nomor 2 Tentang Keuangan, 8 Maret 1942.
Sementara sebagai bank sentral, Jepang mendirikan Nanpo Kaihatsu Ginko yang mulai beroperasi pada Juli 1942. “Dengan memimpin dan menjaga segala keperluan uang antara kantorkantor bank serta dengan mengawasawasi segala urusan keuangan,” tulis Kan Po (Berita Pemerintah) No. 14 Tahoen ke II Boelan 3-2603.
Menurut Erwien Kusuma dalamDari De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia, untuk menggantikan peran De Javasche Bank, pemerintah Jepang menetapkan Nanpo Kaihatsu Ginko sebagai bank sirkulasi. Semua bank berada di bawah pengawasan Nanpo Kaihatsu Ginko.
“Selain itu, tugas utama dari Nanpo Kaihatsu Ginko adalah juga sebagai likuidator yang terdiri dari orang-orang Jepang yang dibantu oleh beberapa anggota staf dan tenaga tata usaha dari bank-bank bersangkutan,” tulis Erwien.
Lalu, pada 3 Oktober 1942, Jepang juga membuka Syomin Ginko atau Bank Rakyat sebagai pengganti Algemeene Volkscredietbank. Bank inilah yang di kemudian hari menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI).
“Pembukaan bank tersebut, yang mempunyai cabang-cabang pada 68 tempat di seluruh Pulau Jawa, sudah tentu akan memperbaiki jalannya perekonomian dan peredaran uang, serta meringankan beban penghidupan rakyat,” tulis Pengumuman Ginseikaku seperti disiarkan Kan Po (Berita Pemerintah) No.4 Tahoen ke I Boelan 10-2602.
Nasib bank-bank yang dihentikan sementara menjadi jelas pada Oktober 1942. Melalui UU Nomor 44 Osamu Seirei Nomor 13 Panglima Besar Balatentera Dai Nippon secara resmi membubarkan sembilan bank.
Lima bank merupakan bank Belanda yang meliputi De Javasche Bank, Nederlandsche Handel-Maatschappij N.V., Nederlandsch-Indische Handelsbank N.V., NederlandschIndische Escompo Maatschappij N.V dan Batavia Bank N.V.
Empat bank lainnya merupakan bank swasta yakni The Hongkong and Shanghai Banking Corporation Ltd, The Chartered Bank of India, Australia, and China Ltd., Bank of China, dan Oversea Chinese Banking Corporation Ltd.
Kesembilan bank tersebut, meski telah dibubarkan, masih harus menyelesaikan urusan utangpiutang. Sebagai gantinya, Maklumat Gunseikan Nomor 1 dikeluarkan pada 15 Maret 1943.
Isinya memberikan izin operasi bank-bank Jepang seperti Yokohama Syookin Ginko, Taiwan Ginko, Kanan Ginko, dan Mitsui Ginko. Bankbank tersebut diperkenankan mengurusi wesel.
Cetak uang
Berdasarkan konvensi Den Haag tahun 1899 dan 1907, pihak yang menduduki suatu negara lain dilarang mengeluarkan uang sendiri. Jepang ikut meratifikasi tapi mengabaikan isi konvensi. Ini bermula dari beragam persoalan yang timbul di tengah masyarakat.
Banyak uang yang beredar rusak. Uang kertas cobak-cabik sementara uang logamnya rompeng. Hal ini memunculkan aktivitas jual-beli uang.
Untuk mengatasinya, pemerintah Jepang membuka penukaran uang rusak dengan uang baru di kantor-kantor keuangan.
Namun, hal ini justru menimbulkan kesalahpahaman. Penduduk mengira mata uang lama sudah tak berlaku dan diganti dengan mata uang baru.
Pemerintah harus dua kali kerja mengurusi penukaran uang rusak ini.
Pemerintah Jepang akhirnya menerbitkan uang kertas baru dengan pecahan f 10,- (sepuluh rupiah) yang berlaku sejak 15 Oktober 1944. Uang ini berwarna dasar kuning dengan gambar Gatotkaca di satu sisi serta gambar stupa Borobudur dan patung Buddha di sisi sebaliknya.
Pada akhir 1944, Jepang kembali menerbitkan uang kertas baru. Pecahan kali ini adalah f 5,- (lima rupiah) dan f 1,- (satu rupiah). Pecahan lima rupiah berwarna dasar hijau muda dengan gambar rumah Gadang di satu sisi dan gambar perempuan Minang di sisi sebaliknya.
Sementara pecahan satu rupiah berwarna dasar hijau tua dengan gambar petani di satu sisi dan pohon beringin dengan warna merah hitam (sepia) di sebaliknya. Dua uang kertas ini berlaku sejak 1 Januari 1945.
Lalu, pada Februari 1945, Jepang mengeluarkan lagi uang baru bernilai f 0,50 (lima puluh sen) yang mulai berlaku 20 Februari 1945. Uang sen ini kali ini bukan kertas melainkan logam. Warna dasarnya kuning-atal dengan gambar naga di satu sisi dan dihiasi ornament di sisi baliknya.
Tak lama setelah itu, Jepang mengeluarkan lagi uang kertas. Kali ini nominalnya cukup besar, f 100,- (seratus rupiah), yang kemudian menjadi pecahan paling tinggi.
Uang kertas ini berwarna dasar hijau muda, dilengkapi gambar Dewa Wisnu menunggang Garuda dan terdapat pula patung singa. Bagian sebaliknya berwarna dasar hijau abu-abu dengan gambar wayang pada bagian tengahnya.
Menurut Tim Penulis LP3ES dalam Bank Indonesia Dalam Kilasan Sejarah Bangsa, hingga akhir pendudukan Jepang, jumlah uang militer yang beredar diperkirakan mencapai lebih dari empat milyar rupiah.
“Dari jumlah tersebut lebih kurang Rp 2,4 milyar beredar di Jawa, sedangkan di Sumatrasekitar Rp 1,6 milyar. Di Kalimantan dan Sulawesi juga beredar sejumlah uang invasi, hanya saja tidak diketahui jumlahnya,” tulis Tim Penulis LP3ES.
Uang Jepang masih dianggap sebagai uang sah pada awal kemerdekaan Indonesia bersama uang De Javasche Bank keluaran 1925- 1941, dan uang pemerintah Hindia Belanda terbitan 1940-1941. Riwayat uang Jepang tamat karena pengaruh uang NICA (Netherlands-Indies Civil Administration) dan pemerintah Indonesia menerbitkan ORI (Oeang Republik Indonesia) sejak Oktober 1946.
Kasus-kasus Penyelundupan
Pada 1 Oktober 1946, melalui UU Nomor 17 Tahun 1946 Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) secara resmi digunakan sebagai alat pembayaran yang sah. Penukaran uang Jepang ke ORI juga kemudian dilakukan di bank-bank republik. Namun, di daerah-daerah ternyata uang Jepang masih digunakan dan kala itu tak jarang pula terjadi kasus-kasus penyelundupan.
Kasus yang cukup besar terjadi di Sebalang, Lampung. Cerita bermula dari permintaan Komandan Front Selatan Mayor Sukardi Hamdani kepada seorang Letnan II bernama Muhammad Musa untuk mencarikan pelor senjata api dan uang Jepang pada Oktober 1947.
Muhammad Musa kemudian meminta bantuan seorang Tionghoa bernama Lo Kai Su. Disepakati bahwa 50 persen selundupan untuk Lo Kai Su. Maka berangkatlah ia dengan beberapa orang Tionghoa ke Jakarta.
Menurut arsip Kantor Besar Kepolisian Karesidenan Lampung, kapal itu baru kembali ke Sebalang pada 10 Januari 1948. Dari sebuah perahu yang menepi di pantai Sebalang, uang Jepang diangkut dengan gerobak oleh dua orang Tionghoa. Gerobak bermuatan 17 karung uang Jepang itu dibawa menuju bekas rumah administrateur Sebalang.
“Uang itu sudah disimpan dalam gudang beras Sebalang. Perahu yang meneruskan perjalanannya, ke Telokbetong dengan membawa sebagian uang,” terang Laporan Kepolisian Karesidenan Lampung, tertanggal 21 Januari 1948.
Aksi ini ternyata telah dipersiapkan dengan matang. Sejak Oktober 1947, Mayor Sukardi telah memerintahkan diadakannya latihan militer untuk pekerja kebun di Sebalang. Latihan ini ternyata dimaksudkan untuk mengamankan kedatangan uang selundupan dari Jakarta.
Laporan Kepolisian Karesidenan Lampung tertanggal 29 Januari 1948 menyebut Mayor Sukardi bahkan memasang saluran telepon baru di rumah kepala kampung Tarahan. Telepon dipasang untuk memperlancar komunikasi terkait penyelundupan ini. Jikalau uang Jepang datang, Mayor Sukardi bisa langsung mendapat kabar.
Aksi ini diketahui oleh pihak kepolisian pada 13 Januari 1948. Dari penyelidikan, ditemukan uang Jepang 4,5 juta rupiah di tangan Mayor Sukardi. Sementara dari seorang Tionghoa bernama A Jok ditemukan uang Jepang sejumlah 1,7 juta rupiah.
Penyelundupan lainnya terjadi di Wonosobo pada Juni 1948. Kali ini, penyelundupan melibatkan seorang pengusaha tembakau bernama Tio Kang Pwee. Uang Jepang diselundupkan dalam gerobak bermuatan tembakau menuju Yogyakarta.
Dalam laporan Kepolisian Karesidenan Kedu, kiranya tujuh gerobak bermuatan 200 besek tembakau diangkut ke Yogyakarta. Di antara besek-besek tersebut ditemukan satu peti blek berwarna merah berisi uang Jepang sejumlah 181.585 rupiah.
Modus ini diketahui pada 16 Juni 1948 ketika gerobak sampai di Yogyakarta. Sementara Tio Kang Pwe tengah berada di Semarang, seorang pekerja yang bertanggung jawab terhadap pengangkutan tembakau itu tak tahu-menahu mengenai uang Jepang tersebut.
0 Response to "Uang Invasi Jepang"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak