Garis Hidup Maramis
A.A. maramis sadar betul betapa pentingnya memiliki mata uang sendiri bagi Republik Indonesia yang baru saja merdeka.
Bukan semata bahwa Belanda datang kembali untuk menjajah, termasuk dengan memperkenalkan “uang NICA”, tetapi juga mata uang sendiri merupakan simbol kedaulatan sebuah bangsa.
Maka, sebagai Menteri Keuangan, Maramis membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia. Pencetakan uang semula dilakukan di Jakarta.
Namun, karena alasan keamanan, dipindahkan ke daerah. Berdasarkan peninjauan ke beberapa daerah, Panitia menetapkan pencetakan uang dilaksanakan di Surabaya.
Pada awal November 1945, panitia telah mempersiapkan klise yang diperlukan. Maramis sudah membubuhkan tandatangannya pada bahan pencetak agar bisa segera dicetak dan diedarkan. Namun, rencana itu urung terlaksana karena meletus pertempuran di Surabaya.
Setahun tertunda, akhirnya Oeang Republik Indonesia (ORI) selesai dicetak dan diedarkan pada 30 Oktober 1946. Itulah cikal bakal uang rupiah yang kita gunakan sebagai alat pembayaran.
Hingga saat ini, tanggal 30 Oktober diperingati sebagai Hari Oeang Republik Indonesia. Namun, tidak banyak yang mengetahui siapa sosok di balik hari bersejarah itu: A.A. Maramis.
Nasionalis Minahasa
Nama lengkapnya Alexander Andries Maramis. Dia lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 20 Juni 1897 dari pasangan Andries Alexander Maramis dan Charlotte Ticoalu. Maramis masih keponakan Maria Walanda Maramis, pejuang emansipasi perempuan asal Minahasa.
Keluarga Maramis memiliki kedudukan istimewa di Minahasa. Orangtuanya pengusaha kopra yang kaya. Dengan status sosial yang mapan, Maramis berkesempatan mendapatkan pendidikan ala Belanda.
Sekolah dasar ditempuhnya di Europeesche Lagere School (ELS) di Manado. Kemudian melanjutkan sekolah menengah di Hogere Burgerschool (HBS) Batavia.
Lulus dari HBS, Maramis kuliah di Sekolah Tinggi Hukum di Leiden, Belanda. Selama di Leiden, dia terlibat dalam organisasi Perhimpunan Indonesia. Di sinilah patriotismenya mulai terbentuk.
Maramis lulus dan membawa pulang gelar Meester in de Rechten (MR) tahun 1924. Meski lulusan Belanda, Maramis tak mau bekerja sebagai pegawai pemerintah. Dia memilih menjadi pengacara, mula-mula di Semarang, Palembang, dan selanjutnya Jakarta.
Maramis juga larut dalam kegiatan politik. Dia aktif dalam organisasi pemuda, partai politik, perkauman Kawanua, sampai organisasi gerejani.
Sikap nonkooperatifnya terhadap Belanda masih kuat. Dia menolak menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat).
“Ia memang terkenal sebagai seorang yang berkepribadian kuat, pendiam, pintar, dan keras kepala,” tulis MPB Manus dkk dalam Tokoh-tokoh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia II.
Posisi Maramis kian penting semasa pendudukan Jepang. Dia menjadi anggota Poesat Tenaga Rakyat (Poetera), Chuo Sangi-in (Dewan Pertimbangan Pusat), hingga Dokuritu Zyunbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Selain mewakili kelompok minoritas, pengalamannya sebagai ahli hukum internasional tentu diperhitungkan dalam BPUPKI. “Ia ikut dalam Panitia Sembilan yang membuat pembukaan rancangan Undang-Undang Dasar Indonesia merdeka, dan merupakan satu-satunya anggota yang beragama Kristen,” tulis Manus dkk.
Bendahara negara
Setelah Indonesia merdeka, terbentuk Kabinet Presidensial. Dalam susunan kabinet, Maramis duduk sebagai menteri negara tanpa portofolio.
Namun, dalam surat keputusan pengangkatannya, dia juga diangkat sebagai Wakil Menteri Keuangan. Sementara Menteri Keuangan ialah Dr. Samsi Sastrawidagda.
Samsi hanya bekerja selama dua minggu lantaran sakit. Maka pada 25 September 1945, Maramis ditunjuk untuk menggantikannya. Dengan demikian, Maramis merupakan Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia secara de facto. Dia mengemban jabatan itu lagi pada Kabinet Amir Sjarifuddin I (1947) dan II (1947) serta Kabinet Hatta (1948).
Selain menyusun organisasi Kementerian Keuangan dan memprakarsai pencetakan ORI, Maramis bertugas mencari dana untuk membiayai angkatan perang melalui perdagangan ke luar negeri.
“Tujuannya ialah RI harus membentuk dana devisa di luar negeri guna membiayai pos-pos perwakilan RI di luar negeri, delegasi Indonesia yang berunding dengan pihak Belanda di Jakarta, dan membayar gaji para pegawai RI yang masih tinggal di Jakarta,” ungkap wartawan Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil: Petite Histoire Jilid 3.
Menyusul Agresi Militer Belanda II dan penangkapan para pemimpin Republik, terbentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Halaban, dekat Payakumbuh, Sumatra Barat, di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara. Maramis yang sedang berada di New Delhi, India, ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri merangkap Menteri Keuangan.
Perwakilan Indonesia di New Delhi berperan penting dalam mengembangkan hubungan diplomatik, diplomasi, dan membentuk opini dunia atas perjuangan Indonesia. Di New Delhi Maramis memimpin sebuah badan “Pemusatan Keuangan” sebagai saluran informasi dan bantuan keuangan untuk membantu berbagai keperluan urusan diplomatik Republik di luar negeri.
“Perwakilan Indonesia di New Delhi menjadi pusat jaringan terpenting dalam hubungan-hubungan luar negeri Republik pada masa itu,” tulis Mestika Zed dalam Somewhere in the Jungle: Pemerintah Darurat Republik Indonesia.
Pemerintah Belanda punya penilaian khusus sehubungan kegiatan Maramis di luar negeri itu. “Een daadkrachtige Minister van Buitenlandse Zaken en Financien in New Delhi (Seorang Menteri Luar Negeri dan Menteri Keuangan yang bertindak tegas di New Delhi). Itulah Mr. Maramis menurut penilaian pihak Belanda,” kata Rosihan.
Senjakala
Selepas pengakuan kedaulatan, Maramis bertugas sebagai duta besar di berbagai negara: Filipina, Jerman Barat, Uni Soviet, dan Finlandia.
“Setelah meletakkan jabatannya sebagai wakil Pemerintah RI di Uni Soviet dan Finlandia, ia bersama keluarganya menetap di Lugano, Swiss sampai tahun 1976,” tulis AS Lolombulan, A.M. Sondakh, dan H.J. Ulaen dalam Monumen Perjuangan di Provinsi Sulawesi Utara.
Pada 1974, Maramis tergabung sebagai salah satu anggota “Panitia Lima Kesatuan Tafsir Pancasila sebagai termaktub dalam UUD 1945” yang dipimpin Mohammad Hatta. Maramis sempat membubuhkan tanda tangan pada naskah perumusan kembali dasar negara pada 18 Maret 1975. Namun setelah itu Maramis yang kian sepuh jatuh sakit.
Atas bantuan pemerintah dan kolega dekatnya, Maramis pulang kembali ke tanah air pada pertengahan 1976. Setelah berada setahun di Indonesia, Maramis wafat pada 31 Juli 1977 dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Atas kiprah dan perjuangannya, Maramis dianugerahi sejumlah tanda kehormatan. Di antaranya Bintang Mahaputra Utama (1961), Bintang Gerilya (1963), dan Bintang Republik Indonesia Utama (1992). Lalu, pada 2019 Maramis mendapat gelar Pahlawan Nasional.
Sebagai Menteri Keuangan pertama, Maramis berjasa menerbitkan uang nasional. Bahkan, pada 2007, Museum Rekor Indonesia mencatatkan nama Maramis sebagai Menteri Keuangan dengan tanda tangan terbanyak pada uang kertas.
Antara tahun 1945 sampai 1947, tanda tangannya tertera pada lima belas uang kertas yang berbeda.
Kementerian Keuangan mengabadikan A.A. Maramis sebagai nama sebuah gedung besar yang monumental di kompleks Kementerian Keuangan di kawasan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Gedung itu, diresmikan tahun 1828, semula dirancang sebagai pendamping istana Gubernur Jenderal di Bogor.
Karena urung dilakukan, gedung itu dimanfaatkan sebagai kantor besar urusan keuangan negara. Ia juga menjadi tempat pertama Maramis sebagai Menteri Keuangan bekerja pada awal kemerdekaan. Gedung ini dinamai “Gedung A.A. Maramis I
0 Response to "Garis Hidup Maramis"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak