ORIDA Berbeda-Beda Tetap Satu Juang
Daerah menerbitkan uang lokal dengan beragam bentuk dan ciri. Tujuannya sama: menegakkan kedaulatan.
Sejak resmi diterbitkan dan diedarkan pada 30 Oktober 1946, Oeang RepubIik Indonesia (ORI) mengalami tak sedikit hambatan.
Netherlands Indies Civil Administration (NICA) berupaya mempersempit peredaran ORI atau “uang putih”.
Mereka menutup jalan perbatasan dan merazia setiap pembawa “uang putih” di banyak wilayah Jawa dan Sumatra.
Peredaran “uang putih” pun mampat. Pemenuhan gaji pegawai dan anggaran perjuangan terganggu. Tapi rakyat Republik tak hilang akal.
“Mereka bekerja keras menerbitkan Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) sebagai alat tukar sementara,” kata Suwito Harsono, kolektor ORIDA, pakar numismatik, dan penulis buku ORIDA: Oeang Republik Indonesia Daerah 1947-1949.
Michell Suharli, kolektor ORIDA lainnya dan co-author buku ORIDA, menambahkan bahwa ORIDA berkedudukan sebagai salah satu alat perjuangan rakyat.
“Para pejuang negeri berjuang dengan senjata dan ORIDA menyertai perjuangan itu sebagai alat tukar rakyat yang menolak menggunakan uang terbitan penjajah,” kata Michell.
ORIDA terbit dan beredar sepanjang 1947-1950 di wilayah Sumatra dan Jawa. Legalitasnya terjamin oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19/1947, 26 Oktober 1947.
PP tersebut memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menerbitkan mata uang atau alat pembayaran sementara yang sah. Pemerintah pusat juga menjamin seluruh penerbitan tersebut dan mata uang daerah yang diterbitkan dapat ditukarkan dengan ORI.
Namun sebelum peraturan itu keluar, ORIDA di Pematang Siantar, Sumatra Utara, lebih dulu beredar pada April 1947.
Yang Pertama
Tengku Mohammad Hasan, Gubernur Sumatra, mengusulkan kepada Menteri Keuangan agar mengizinkannya mengeluarkan uang bikinan sendiri secara terbatas.
“Merespons permintaan ini, Sjafruddin memberikan usul agar Sumatramencetak promesse ‘surat janji’. Namun, Hasan memiliki pandangan lain.
Menurutnya uang kertas akan jauh lebih efektif daripada promesse,” catat Suwito dan Michel dalam ORIDA.
Setelah berdiskusi panjang lebar, Sjafruddin memuluskan permintaan Hasan. Dengan berlandaskan Maklumat Gubernur Sumatra Tengku Mohammad Hasan No. 92/K.O, 8 April 1947, ORIDA pertama di Indonesia itu pun dicetak dan diedarkan.
ORIDA di Sumatra dikenal dengan Oeang Republik Indonesia Sumatra (ORIPS). Nilainya setara dengan 1 ORI di Jawa. Ada empat pecahan ORIPS di Pematang Siantar: Rp1, Rp5, Rp10, dan Rp100. “Masing-masing nilai uang memiliki warna yang berbeda, ada yang berwarna biru dan hijau,” ungkap Darsono dkk. dalam Berjuang dengan Uang.
ORIPS memiliki tanda pengaman dan nomor seri untuk menjamin keasliannya. Ketika itu pemalsuan uang telah marak. Biasanya dilakukan NICA untuk menggoyang fondasi moneter Republik. Desain ORIPS sederhana, hanya menggambarkan Sukarno, gunung, aktivitas sawah, dan nilai uang dengan satu warna (monochrome).
Saat itu belum ada ketentuan khusus mengenai desain uang. Akibatnya corak, ukuran, jenis huruf, bentuk angka, jarak antara huruf dan angka, dan aspek visual lainnya bisa berbeda.
Yang pasti, setiap uang harus memiliki tanda pengaman, nomor seri, dan tanda tangan tokoh setempat sebagai bukti legalitas. Tanda tangan tokoh itu jugalah yang membedakan ORIDA dari ORI. “Yang tak paham, bingung membedakan ORI dan ORIDA,” kata Suwito.
40 Tempat
Pencetakan ORIPS semula di Pematang Siantar, lalu pindah ke Bukittinggi pada 1948. Ini sesuai dengan perintah Sukarno agar Panglima Divisi IX di Bukittinggi mencetak ORIPS.
“Untuk memerintahkan kepada Panglima Divisi IX supaya percetakan Divisi IX menerima dan mengerjakan mencetak uang buat Sumatra atas perintah Kommisariat Pemerintah Pusat,” perintah Sukarno dalam Arsip Kementerian Pertahanan No 528, 5 Juli 1948.
Berpindahnya pencetakan ORIPS membawa perubahan pada sisi desain. Beredar di Bukittinggi, ORIPS menampilkan gambar tokoh atau ikon budaya setempat seperti Tuanku Imam Bonjol dan rumah gadang. Misalnya dalam pecahan Rp10.
Arif Budiman dalam "Uang Kertas Minangkabau: Sebuah Kajian Seni Rupa dan Makna", menyebut sosok Imam Bonjol digambar dengan teknik garis dan asir. “Sehingga sosok tersebut kelihatan jelas, kasatmata dengan sosok aslinya,” catat Arif.
Dalam uang tersebut, wajah Imam Bonjol tampak marah, sinis, dengan sorot mata tajam. Gambaran ini melambangkan kemarahan terhadap tindakan Belanda menjajah kembali Indonesia. Arif menganalisis tampilnya Imam Bonjol dalam bentuk uang sebagai material informasi dan alat provokasi masyarakat.
Lazimnya, ORIDA menampilkan identitas khas suatu daerah tempat uang itu terbit dan beredar. Namun, dalam sejumlah ORIDA pengaruh Jawa masih muncul dalam bentuk ilustrasi candi Borobudur pada 5 rupiah ORIPS emisi Bukittinggi, figur wayang perempuan pada pecahan 5 rupiah emisi Riau 1947.
Peredaran ORIPS emisi Bukittinggi tak bisa menyeluruh ke Sumatra. Tentara NICA menguasai sejumlah wilayah sehingga pemerintah daerah lain yang pro-Republik menerbitkan uangnya sendiri pula.
Selain mata uang, di beberapa daerah di Sumatra beredar kupon sebagai alat pembayaran yang sah. Kupon tersebut beredar di Aceh, Riau, Palembang, dan daerah lainnya.
Sementara pemerintah Asahan pada Agustus 1947 menerbitkan alat pembayaran berupa bon yang dapat ditukarkan dengan uang.
Bon di Asahan memiliki nilai beragam, antara 10 sen sampai 100.000 ORIPS. Sisi depannya dimuati beragam gambar, bergantung pada nilai bonnya. Kebanyakan berupa bunga, pemandangan alam, dan cap bupati.
Warnanya antara lain hitam, merah, hijau, dan biru. Bon terdapat pula di Barus, Membang Moeda, Laboehan Bilik, Rantau Prapat, Lima Poeloeh, dan Dolok Nanggar. Yang menarik, bon di Lima Poeloeh menggunakan aksara Tiongkok.
“Realitas ini menunjukkan bagaimana masyarakat pribumi dan Cina bekerja sama dalam berjuang menegakkan kedaulatan Republik Indonesia melalui URIDA,” ungkap Darsono dkk.
Menurut penelusuran Suwito dan Michell, ORIPS di Sumatra beredar di lebih dari 40 tempat. Jenis dan bentuk ORIPS-nya pun berbeda-beda. Dari uang, kupon, bon, surat, hingga mandat. Hal serupa juga tersua di Jawa.
Gotong royong
ORIDA di Jawa kali pertama terbit di Banten pada 11 Agustus 1948. Uang ini beredar atas persetujuan K.H. Achmat Chatib, Residen Banten. Wilayah peredarannya meliputi Tangerang, Jasinga, dan Lampung Selatan.
Pencetakan ORIDA Banten penuh perjuangan. Semua bahan dan alat pencetaknya diselundupkan dari luar Banten. Ini bisa terwujud melalui kerja gotong royong antara rakyat dan pemimpin Banten. Sri Margana dkk dalam Keindonesiaan dalam Uang:
Sejarah Uang Kertas Indonesia 1945-1953 menyebut bahan klise uang ini dibuat dari sawo kecik di percetakan milik Abdurrojak.
ORIDA Banten terbit setelah tentara Belanda menguasai sebagian besar perbatasan di Jawa Barat dan memblokade pesisir Banten sehingga Banten terisolasi.
“Belanda berharap dengan memblokade lewat ekonomi dapat menimbulkan keadaan sosial yang buruk dan kekurangan bahan impor,” sebut Lasmiyati dalam “Sejarah Uang Republik Indonesia Banten (URIDAB) 1945-1949” di jurnal Patanjala Vol 4, No 3, 2012.
ORIDA Banten terdiri atas pecahan Rp1, Rp5, Rp10, dan Rp25. Uang bernilai Rp1 dibuat dari bahan kertas berwarna dasar coklat muda. Gambar depannya berupa nilai uang, cangkul, palu, dan tulisan “DARURAT TANDA PEMBAJARAN JANG SAH”. Tanda tangan Achmad Chatib tertera dalam aksara arab.
Di belakangnya termuat ketentuan hukuman pidana bagi pemalsu uang. Yang menarik, pada pecahan Rp5, gambar ikon lokal disertakan seperti kubah Masjid Agung Banten, senjata debus, dan keris. Di sudut kanannya termaktub tanda tangan residen Banten dan empat unggas.
Di Surakarta terbit surat tanda penerimaan uang. Masing-masing surat itu berbeda ukuran. Keterangan dalam buku Suwito dan Michell menunjukkan bahwa semakin besar nilai uangnya, semakin besar pula ukurannya. Misalnya
surat tanda penerimaan uang emisi Surakarta 1 November 1948 dengan nominal Rp1, ukurannya hanya 58 mm x 93 mm. Sedangkan untuk emisi yang sama dengan nominal Rp5, berukuran 75 mm x 114 mm.
Corak lokal tampak pada surat tanda penerimaan uang emisi Surakarta 1 November 1949. Ada ilustrasi kepala Kala pada bagian bawah surat.
Sementara pada nominal Rp25 untuk emisi tanggal yang sama, muncul ilustrasi bangunan candi pada bagian bawahnya. Selain itu, pada nominal Rp10 tersua ilustrasi banteng menanduk harimau.
Menurut Sri Margana, ilustrasi banteng dan kerbau kerap muncul dalam ORIDA di Jawa. “Kerbau demikian pula dengan banteng, merupakan simbol utama yang digunakan untuk mempersonifikasikan rakyat, melawan harimau yang melambangkan penjajah Belanda,” terang Sri Margana.
Sementara itu, dalam ORIDA berbentuk bon, figur panakawan Petruk muncul bersama burung garuda. Ini terlihat pada nominal Rp2,5 emisi 17 Agustus 1948. Figur wayang dan garuda telah digunakan dalam uang kertas terbitan zaman kolonial dan Jepang. Tapi dalam ORIDA, pemaknaan garuda menemukan pemaknaan baru. Sebab garuda menjadi lambang negara Indonesia.
Hambatan
Keberadaan ORIDA jelas menambah repot Belanda. Mereka berusaha membendung peredaran ORIDA. Di Banten, misalnya, beberapa hari setelah agresi militer II, Belanda merampas ORIDA Banten pecahan Rp100. Selain itu, Belanda merampas seluruh klise pembuatan uang. Sejak itu, Belanda memblokir peredarannya.
ORIDA Banten mulai menghilang dari pasaran pada Februari 1949. Akibatnya orang-orang di pasar harus membarter untuk memperoleh barang kebutuhan. Mereka tak mau bertransaksi menggunakan uang NICA.
Keadaan serupa terjadi di banyak wilayah Jawa. Pemerintah daerah berhasil menerbitkan berbagai bentuk ORIDA seperti uang, bon, kupon, surat, dan mandat. Tapi peredarannya tetap menemui banyak hambatan. Kekuatan militer Belanda ikut mempengaruhi cepat-lambatnya peredaran ORIDA di Jawa.
Yang pasti, ORIDA di Jawa memperoleh tempat di masyarakat. Perang tak hanya dilakukan lewat senjata dan diplomasi, melainkan juga menggunakan uang. Inilah peran dan makna ORIDA yang sering dilupakan orang.
Menurut Suwito, masih banyak aspek ORIDA yang belum terungkap di luar desain dan pemaknaannya. “Siapa yang mendesain, siapa yang memberi perintah membuat uang tersebut, percetakannya di mana, data-data dokumen tentang uang tersebut harus dicari. Agar kita tak menduga-duga,” kata Suwito. Ini karena ORIDA sulit diperoleh pada masa sekarang.“Sebagian besar ORIDA itu adalah sangat langka. Jangan lagi meriset. Mendapatkannya saja sulit,” kata Suwito.
0 Response to "ORIDA Berbeda-Beda Tetap Satu Juang"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak