Pengertian Moralitas dan Legalitas
Menurut Immanuel Kant, filsafat Yunani dibagi menjadi tiga bagian, yaitu fisika, etika, dan logika.
Logika bersifat apriori, maksudnya tidak membutuhkan pengalaman empiris. Logika sibuk dengan pemahaman dan rasio itu sendiri, dengan hukum-hukum pemikiran universal.
Fisika, di samping memiliki unsur apriori juga memiliki unsur empiris atau aposteoriori, sebab sibuk dengan hukum-hukum alam yang berlaku bagi alam sebagai objek pengalaman.
Demikian pula halnya dengan etika, di samping memiliki unsur apriori, juga memiliki unsur empiris, sebab sibuk dengan hukum-hukum tindakan manusia yang dapat diketahui dari pengalaman.
Tindakan manusia dapat kita tangkap melalui indera kita, akan tetapi prinsip-prinsip yang mendasari tindakan itu tidak dapat kita tangkap dengan indera kita.
Menurut Kant, filsafat moral atau etika yang murni justru yang bersifat apriori itu. Etika apriori ini disebut metafisika kesusilaan.
Pemahaman tentang moralitas yang didistingsikan dengan legalitas ditemukan dalam filsafat moral Kant.
Menurut pendapatnya, moralitas adalah kesesuaian sikap dan perbuatan dengan norma atau hukum batiniah, yakni apa yang oleh Kant dipandang sebagai “kewajiban”.
Sedangkan legalitas adalah kesesuaian sikap dan tindakan dengan hukum atau norma lahiriah belaka. Kesesuaian ini ini belum bernilai moral, sebab tidak didasari dorongan batin.
Moralitas akan tercapai jika dalam menaati hukum lahiriah bukan karena takut pada akibat hukum lahiriah itu, melainkan karena menyadari bahwa taat pada hukum itu merupakan kewajiban.
Dengan demikian, nilai moral baru akan ditemukan di dalam moralitas. Dorongan batin itu tidak dapat ditangkap dengan indera, sehingga orang tidak mungkin akan menilai memberi penilaian moral secara mutlak.
Kant dengan tegas mengatakan, hanya Tuhan yang mengetahui bahwa dorongan batin seseorang bernilai moral.
Menurut Kant, moralitas masih dibedakan menjadi dua, yaitu moralitas heteronom dan moralitas otonom.
Dalam moralitas heteronom, suatu kewajiban ditaati, tapi bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak orang itu sendiri, misalnya karena adanya imbalan tertentu atau karena takut pada ancaman orang lain.
Sedangkan dalam moralitas otonom, kesadaran manusia akan kewajibannya yang harus ditaati sebagai sesuatu yang ia kehendaki, karena diyakini sebagai hal yang baik.
Dalam hal ini, seseorang yang mematuhi hukum lahiriah adalah bukan karena takut pada sanksi, akan tetapi sebagai kewajiban sendiri, karena mengandung nilai kebaikan.
Prinsip moral semacam ini disebutnya sebagai otonomi moral, yang merupakan prinsip tertinggi moralitas. Jika dihubungkan dengan teori perkembangan penalaran moral-nya
Kohlberg, kesesuaian sikap dan tindakan semacam ini sudah memasuki tahapan perkembangan yang ke-6 atau tahapan tertinggi, yakni orientasi prinsip etika universal.
Pada bagian lain, Kant mengemukakan adanya dua macam prinsip yang mendasari tindakan manusia, yaitu maksim (maxime) dan kaidah obyektif.
Maksim adalah prinsip yang berlaku secara subjektif, yang dasarnya adalah pandangan subjektif dan menjadikannya sebagai dasar bertindak.
Meskipun memiliki budi, akan tetapi manusia sebagai subjek adalah makhluk yang tidak sempurna, yang juga memiliki nafsu, emosi, selera dan lain-lain.
Oleh karena itu manusia memerlukan prinsip lain yang memberinya pedoman dan menjamin adanya “tertib hukum” di dalam dirinya sendiri, yaitu yang disebut kaidah objektif tadi.
Kaidah ini tidak dicampuri pertimbangan untung atau rugi, menyenangkan atau menyusahkan.
Dalam kaidah objektif tersebut terkandung suatu perintah atau imperatif yang wajib dilaksanakan, yang disebut imperatif kategoris.
Imperatif kategoris adalah perintah mutlak, berlaku umum, serta tidak berhubungan dengan suatu tujuan yang ingin dicapai atau tanpa syarat apapun.
Imperatif kategoris ini memberikan perintah-perintah yang harus dilaksanakan sebagai suatu kewajiban. Menurut Kant, kewajiban merupakan landasan yang paling utama dari tindakan moral.
Suatu perbuatan akan mempunyai nilai moral apabila hanya dilakukan demi kewajiban itu sendiri. Di samping imperatif kategoris, juga dikenal apa yang disebutnya imperatif hipotetis, yaitu perintah bersyarat, yang dilakukan karena dipenuhinya syarat-syarat untuk mencapai tujuan tertentu sebagaimana yang telah dikemukakan.
Pandangan Kant tentang moralitas yang didasari kewajiban tersebut tampaknya tidak berbeda dengan moralitas Islam (akhlak), yang berkaitan dengan “niat”.
Di sini berlaku suatu prinsip/ajaran bahwa nilai suatu perbuatan itu sangat tergantung pada niatnya. Jika niatnya baik, maka perbuatan itu bernilai kebaikan.
Perbuatan yang dimaksudkan di sini sudah tentu perbuatan yang baik, bukan perbuatan yang buruk. Dengan demikain niat yang baik tidak berlaku untuk perbuatan yang jelek.
Misalnya perbuatan mencuri yang didasari niat untuk memperoleh uang guna disumbangkan bagi orang-orang yang sangat memerlukan.
Prinsip/ajaran tersebut lebih ditujukan pada suatu perbuatan yang tampaknya baik, akan tetapi didasari oleh niat yang tidak baik.
Misalnya, seseorang yang membagikan sejumlah bantuan kepada orang-orang miskin, dengan niat agar memperoleh pujian dari masyarakat.
Niat yang baik itu tidak lain adalah ikhlas, yakni perbuatan yang sematamata ditujukan untuk memperoleh keridhaan (perkenan) Tuhan.
Sementara itu dalam “etika” Jawa juga dikenal adanya ajaran sepi ing pamrih, yang maksudnya adalah niat yang bebas dari motif-motif kepentingan pribadi dalam melaksanakan sesuatu bagi kepentingan orang lain atau kepentingan umum.
0 Response to "Pengertian Moralitas dan Legalitas"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak