KEINDAHAN BAHASA AL-QUR’AN
Bahasa Arab adalah bahasa yang masih terjaga ekstensinya sampai sekarang.Terjaganya bahasa Arab tidak lain karena kitab suci al-Qur’an turun denganmenggunakan bahasa Arab, sehingga bahasa tersebut terus dipelajari guna untukmempelajari, memahami dan menafsirkan al-Qur’an sebagai kitab suci umatIslam.
Sebelum al-Qur’an diturunkan, bangsa Arab sudah terkenal dengan bahasadan sastranya. Hal tersebut terbukti dengan bahasa yang mereka gunakan dankarya sastra yang mereka ciptakan.
Keindahan bahasa dan sastra menurut mereka adalah simbol keagungan yang mereka anggap tidak ada yang menyainginya.
Orang akan dihargai, dianggap jenius jika ia bisa menciptakan puisi dan karyasastra lainnya. Berbeda ketika al-Qur’an turun dengan bahasa yang indah, yang tidak terkalahkan oleh karya sastra manapun.
Bahasa dan karya sastra orang Arab seakan lumpuh karena terkalahkan oleh bahasa al-Qur’an. Sehingga banyak orang Arab yang meniru gaya bahasa al-Qur’an dalam karangan sastra mereka.
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan denganmenggunakan bahasa Arab. Bahasa Arab al-Qur’an bukanlah bahasa Arab biasa, akan tetapi bahasa Arab dengan keindahannya yang luar biasa sehingga tidak ada yang menandinginya.
Sangatlah wajar jika bahasa al-Qur’an tidak ada yang menandinginya, sebab ia bukanlah karya manusia, akan tetapi kalam Tuhan yangmaha agung.
Di sini, al-Qur’an sangat mempengaruhi bahasa dan sastra Arab. Setelah al-Qur’an turun, para sastrawan berlomba-lomba membuat karya yang bisa mengalahkan al-Qur’an, tetapi usaha itu tiada hasil.
Al-Qur’an tetap menjadi kalam agung yang tidak bisa ditandingi. Dan sebagian orang Arab yang lain ada yang berhenti berkarya karna malu dengan keindahan bahasa al-Qur’an dan fokus terhadap agama Islam.
Sejarah mencatat, perkembangan bahasa dan sastra Arab banyak dipengaruhi oleh al-Qur’an. Keindahan bahasa Arab tidak hanya mempengaruhi bangsa Arab dari bahasanya saja, akan tetapi di seluruh aspek kehidupan.
Karena isi al-Qur’an memuat seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Tidak ada seorangpun yang bisa meniru dan menandingi keindahan bahasa al-Qur’an beserta kandungannya. Dalam hal ini Allah telah menantang bagi siapapun yang dapatmeniru membuat al-Qur’an.
Seorang penyair yang masyhur dan lihai dalammembuat sya’ir-sya’ir, Musailamah al-Kadzdzab juga tidak bisa meniru al-Qur’an.
Ia mencoba membuat sebuah surah seperti al-Qori’ah dengan tema al-Difa’. Pada saat itu Musailamah tidak mendapat pujian dari orang Arab, akan tetapi mendapat cibiran dan ejekan, bahkan menjadi bahan tertawaan orang-orang yang melihatnya.
Karena apa yang dilakukannya adalah perbuatan bodoh dan menampakkan kelemahannya di hadapan para orang Arab.
Masalah penggolongan al-Qur’an sebagai karya sastra terbesar di dunia masih dalam perdebatan. Munculnya wacana tersebut karena adanya bukti konkret keindahan bahasa al-Qur’an.
Pendapat yang menganggap al-Qur’an bukan karyasastra adalah merujuk pada pengertian sastra, bahwa karya sastra merupakan hasil cipta dan karsa manusia.
Isi karya sastra adalah adalah hasil pengetahuan danpengalaman pengarangnya yang tertuang dalam karya sastranya.
Sedangkan al-Qur’an adalah kalam ilahi yang diturunkan sebagai petunjuk hidup manusia didunia, bukan ciptaan manusia.
Mereka yang berpendapat bahwa al-Qur’an adalahsastra yaitu mereka yang tenggelam dalam indahnya kalam ilahi.
Keistimewaan Bahasa Al-Qur’an
Al-Qur’an diturunkan oleh Allah Subhanahu wata'ala ketika bangsa Arab berada dipuncak yang sangat tinggi dalam bidang bahasa dan sastranya, bahasa yang indah dengan berbagai norma yang ada, membuat bangsa Arab sangat membangga-banggakan bahasa dan karya sastra mereka.
Kemukjizatan al-Qur’an memang tidak lain adalah untuk menundukkan kesombongan bangsa Arab atas bahasa yang mereka miliki, seakan- akan tidak ada bahasa dan karya sastra yang melebihi karya mereka dari sisi keindahannya.
Oleh karena itu, al-Qur’an turun sebagai mukjizat dengan bahasa yang sangat istimewah mengalahkan keistimewahan bahasa dan sastra Arab pada masa itu.
Al-Qur’an Sebagai Karya Sastra Agung
Banyak kaum muslimin yang dengan tekun mempelajari kitab suci al-Qur’an sebagai karya sastra, dan mengungkapkan rahasia keindahannya dan kemukjizatannya.
Kemukjizatan estetis al-Qur’an yang oleh kaum muslimindipandang sebagai bukti keilahianNya. Agar al-Qur’an diterima dan dimuliakansebagai wahyu Tuhan, maka orang-orang yang dituju al-Qur’an haruslah beradapada tingkat perkembangan sastra yang dapat memahami bahwa al-Qur’anbukanlah karya manusia.
Fenomena tantangan al-Qur’an terhadap siapa saja yangmau menandingi keindahan sastranya, mengharuskan bangsa Arab yangmenantangnya, orang yang menghakimi dan yang menjadi wasit kontes ini harusmemiliki kemampuan mengenali keunggulan sastra dari al-Qur’an.
Tanpa fenomena historis ini, al-Qur’an tidak dapat menunjukkan kekuatannya yang menghancurkan, menakutkan, mempesonakan, mengharukan, dan menggerakkan.
Dan tanpa kemampuan ini, bangsa Arab tidak akan mengakuinya sebagai wahyuTuhan yang maha Agung.
Keindahan al-Qur’an mencerai-beraikan semua norma keunggulan sastrayang pernah dikenal bangsa Arab. Setiap ayat al-Qur’an memenuhi semua normakeindahan sastra yang mereka kenal, bahkan mengunggulinya.
Oleh karena itu, al-Qur’an mampu memperdaya lawan-lawannya begitu dipresentasikan. Bacaannya sangat mempesona dan mengangkat mereka ke puncak tertinggi kenikmatansastra.
Itulah mengapa bangsa Arab menganggap al-Qur’an sebagai mukjizat,sehingga mereka mengakui asal-usul kelahirannya, dan tunduk kepada perintahnya.
Bangsa Arab sangat menikmati keindahan ayat demi ayat dalam al-Qur’an,mereka seakan hanyut dengan keindahan sastranya.
Sehingga, merekapun malu membuat karya sastra seperti yang selama ini mereka bangga-banggakan. Dan kini karya yang mereka buat terpengaruh dengan al-Qur’an, baik itu dari segi makna, lafadh, susunan dan gaya bahasa.
Macam-macam Sastra pada Masa Permulaan Islam
1. Puisi
Puisi pada masa permulaan Islam mempunyai tujuan yang berbedadengan masa jahiliyah, jika pada masa jahiliyah tema-tema puisi berkisartentang tasybih/ghazal, hammasah/fakhr, madh,rosta’, hijaa’, I’tidhar, wasf, dan ḥikmah, maka tema-tema puisi pada masa permulaan Islam adalah sebagaiberikut:
a. Menyebarkan akidah Islam serta penetapan hukum-hukumnya, dananjuran bagi kaum muslimin untuk mengikutinya terutama padazaman Nabi dan khulafa al-rasyidin.
b. Dorongan untuk berperang dan mendapatkan persaksian di sisi Allah karena menegakkan kalimatullah, yaitu pada masa krisis dalam perangdalam menaklukkan kota-kota di sekitar jazirah Arab.
c. Al-Hija’, yaitu mula-mula untuk membela agama Islam, menyerangorang-orang Arab musyrik dimana caci maki tersebut tidak melanggarbatas-batas keperwiraan dan telah mendapat izin Nabi.
d. Madh (pujian). Pada prinsipnya dasar agama Islam sedikit sekaliadanya puji-pujian. Tetapi setelah khulafa al-rasyidin mulaidikembangkan, pujian adalah suatu hal yang penting sebagai tiang Negara dan untuk memperkokoh kedudukan khalifah.
2. Natsr (prosa)
Priode awal Islam merupakan kelanjutan dari priode jahiliyah. Adatiga jenis prosa yang berkembang pada masa ini, yaitu: khutbah, kitabah, danmatsal.
Pada masa ini kedudukan puisi mulai tergeser oleh prosa, terutamakhutbah. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu:
- Semangat menyebarkan syi’ar Islam
- Pengaruh al-Qur’an dan al-Hadits terhadap kefasihan sastra Arab
- Berkembangnya diskusi antar masyarakat dalam berbagai pembahasanbaik sosial politik, pendidikan dan sebagainya
- Penjelasan kebijakan politik dan hukum khalifah
Pada masa ini orang Arab sudah mulai mengenal tulisan karena transaksi bisnis mereka membutuhkan pencatatan.
Tulisan yang dipergunakanoleh bangsa arab pada permulaan Islam adalah al-Ambari dan al-Hiri, kemudian dilanjutkan dengan al-Hijazi.
Ada dua bentuk penulisan pada masaini, yaitu: penulisan surat-surat (administrasi) dan penulisan catatan dankarangan-karangan.
Selain khitobah dan kitabah, ada bentuk prosa yang juga berkembangpada masa itu yaitu matsal (peribahasa).
Isi dari peribahasa adalah tentangakhlak, tingkah laku, kehidupan dan kematian, manusia, agama, aturankehidupan, hubungan sosial, politik dan lain sebagainya
3. Gaya Bahasa al-Qur’an
Gaya bahasa al-Qur’an adalah variasi yang digunakan oleh al-Qur’an dalam mengungkapkan dan menyampaikan maksud yang dikehendakinya.
Al-Qur’an merupakan surat Allah kepada hamba-hamba-Nya. Sebagai surat, tentusaja berisikan berita gembira, peringatan, petunjuk, perintah-perintah danlarangan-larangan.
Bahasa al-Qur’an tidak hanya memperhatikan gagasan yang disampaikan, akan tetapi juga memperhatikan manusia dan dunianya.
Al-Qur’an mempunyai gaya bahasa tersendiri dalam menyampaikan isi/maksud yang dikehendakinya, yang disesuaikan dengan kondisi psikologi, alam, sosial danpolitik bangsa Arab.
Dalam hal ini penulis hanya menyampaikan beberapa gayabahasa dalam konteks ‘ilm al-Balaghah, yang lebih tepatnya fokus pada ‘ilm al-bayan.
Dan diantara gaya bahasa tersebut adalah gaya bahasa tashbih, isti’arah,majaz, dan kinayah. Gaya bahasa tersebut merupakan elemen-elemen pembangun keindahan dan kesempurnaan ekspresi atau ungkapan.
Dalam kaitannya dengan al-Qur’an, beberapa elemen tersebut merupakan perangkat untuk menetapkan kesempurnaan bahasa serta sastra al-Qur’an.
4. Tashbih
Menurut bahasa kata tashbih berasal dari bahasa Arab yang artinya menyerupakan/penyerupaan. Sedangkan menurut terminologi adalah menyerupakan dua perkara atau lebih yang memiliki kesamaan sifat.
Dalam tashbih ada empat unsure utama, yaitu: mushabbah(sesuatu yang diperbandingkan), mushabbah bih (objek perbandingan atauyang dibandingi), adat al-tashbih (perangkat perbandingan), dan wajh al-shibh (alasan perbandingan).
Mushabbah dan mushabbah bih, keduanya adalah sesuatu yang berarti,seperti dalam perbandingan antara bunga dengan pipi, rambut legam engan malam, dan wajah ceria dengan malam hari atau bisa juga keduanya abstrak seperti perbandingan antara ilmu pengetahuan dengan kehidupan, atau bisa jadi keduanya merupakan campuran antara yang berarti atau riil dengan abstrak seperti perbandingan antara mati dengan binatang buas yang bepergian.
Sedangkan momen perbandingan adalah sesuatu yang bersamaan, di mana keduanya bisa bertemu, baik dalam keadaan nyata ataupun hanya dalam fantasi.
Dalam menjelaskan maksud/isi ayat-ayat al-Qur’an, Allah seringkali menggunakan perumpamaan. Hal ini dilakukan agar pesan yang disampaikan lebih mengenah dan mudah difahami.
Contoh tashbih dalam al-Qur’an, misalnya, surat an-Nur ayat 39:
وَالَّذِيْنَ كَفَرُوْٓا اَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍۢ بِقِيْعَةٍ يَّحْسَبُهُ الظَّمْاٰنُ مَاۤءًۗ حَتّٰٓى اِذَا جَاۤءَهٗ لَمْ يَجِدْهُ شَيْـًٔا وَّوَجَدَ اللّٰهَ عِنْدَهٗ فَوَفّٰىهُ حِسَابَهٗ ۗ وَاللّٰهُ سَرِيْعُ الْحِسَابِ ۙ
“Dan orang-orang yang kafir, amal perbuatan mereka seperti fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi apabila (air) itu didatangi tidak ada apa pun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah baginya. Lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan (amal-amal) dengan sempurna dan Allah sangat cepat perhitungan-Nya.”
Kondisi geografi tanah Arab sangat panas dan sulit untuk mendapatkanair, oleh karena itu maka Allah mempersamakan amalan orang-orang kafir seperti sarâbin bi qith’atin, yaitu fatamorgana di tanah datar.
Kemudian orang-orang yang haus menyangka itu adalah air, dan jika didatangi, maka tidak didapatinya. Gambaran ini membuat mereka untuk berfikir lebih mendalam, bahwa amalan-amalan yang mereka kerjakan di hadapan allah selama ini tidak mendapat balasan sedikitpun dariNya.
Mempersamakanamalan orang-orang kafir dengan fatamorgana karena di tempat mereka hidup sangat sulit untuk mendapatkan air, dan itu menjadi sumber kehidupan masyarakat Arab secara keseluruhan.
Seperti itulah Allah menggambarkan amalan orang-orang kafir, lalu nampak dalam surat al-Baqarah ayat 25 Allahmemberi kabar gembira bagi orang yang beriman dan berbuat kebaikan.
وَبَشِّرِ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَهُمْ جَنّٰتٍ تَجْرِيْ مِنْ تَحْتِهَا الْاَنْهٰرُ ۗ كُلَّمَا رُزِقُوْا مِنْهَا مِنْ ثَمَرَةٍ رِّزْقًا ۙ قَالُوْا هٰذَا الَّذِيْ رُزِقْنَا مِنْ قَبْلُ وَاُتُوْا بِهٖ مُتَشَابِهًا ۗوَلَهُمْ فِيْهَآ اَزْوَاجٌ مُّطَهَّرَةٌ وَّهُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ
“Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan, bahwa untuk mereka (disediakan) surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Setiap kali mereka diberi rezeki buah-buahan dari surga, mereka berkata, “Inilah rezeki yang diberikan kepada kami dahulu.” Mereka telah diberi (buah-buahan) yang serupa. Dan di sana mereka (memperoleh) pasangan-pasangan yang suci. Mereka kekal di dalamnya.”
Sebuah gambaran dalam bentuk fisikal yang sangat memikat hati masyarakat Arab, jika mereka beriman dan berbuat kebaikan maka balasannya adalah surga, yang di dalamnya terdapat air, buah-buahan, dan disiapkan istri-istri.
Kondisi alam yang panas dan tasdusnya tanah padang pasir membuat mereka sangat kesulitan untuk mendapatkan air, dan bahan makanan. Peperangan yang terjadi di antara mereka banyak terjadi karena hal tersebutdan juga karena kecintaannya terhadap wanita.
Kebutuhan mereka terhadap air dan buah-buahan, serta kebutuhan biologis berupa isteri-isteri merupakan fenomena yang menimpa masyarakat Arab.
Untuk menggugah hati mereka, agar mau beriman dan percaya kepada ajaran Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassallam, maka al-Qur’an perlu menyampaikan pesannya dalam bahasa tashbih, yaitu surga diperumpamakan anhâr (sungai), di dalam surga diberi thamarah (buah-buahan) dan disiapkan azwâj muṭaharah (isteri-isteri yang suci).
5. Isti’ârah
Mengkaji isti’ârah dalam diskursus keislaman secara umum harus dimulai dengan definisi mengenainya, karena isti’ârah adalah ungkapan yang seringkali berlaku di setiap bahasa.
Para sarjana bahasa mendifinisikan isti’ârah secara tradisional sebagai gambaran-gambaran retoris yang paling penting.
Menurut pandangan ahli klasik, isti’ârah mengacu pada perbandingan yang disederhanakan atau penggantian sesuatu yang sejatinya dengan ungkapan lain yang tidak sejatinya berdasarkan kriteria persamaan atau kemiripan.
Secara bahasa isti’ârah berarti meminjam/peminjaman, sedangkanmenurut terminologi adalah peminjaman kata untuk dipakai di kata lain karena ada beberapa faktor. Ibn Qutaibah berkata:
Orang Arab punya kelaziman untuk “meminjam kata” danmenempatkannya untuk kata yang lain tatkala ditemukan sebab ataupun alasan-alasan yang memungkinkannya.
Perhatikan firman Allah surat Ibrâhīm ayat 1:
الۤرٰ ۚكِتٰبٌ اَنۡزَلۡنٰهُ اِلَيۡكَ لِـتُخۡرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمٰتِ اِلَى النُّوۡرِ ۙ بِاِذۡنِ رَبِّهِمۡ اِلٰى صِرَاطِ الۡعَزِيۡزِ الۡحَمِيۡدِۙ
“alif, lam raa. (ini adalah) kitab yang kami turunkan kepadamusupaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepadacahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu)menuju jalan Tuhan yang maha perkasa lagi maha terpuji.”
Dalam firman Allah di atas ada beberapa kata yang dipinjam, yaitu:
2. al-nūr (cahaya),
3. al-ṣirât (jalan).
Kata al-ẓulumât dipinjam dari kata al-kufr (kekufuran), asalnya kekufuran disamakan dengan suasana gelap karena sama-sama tidak ada cahaya/petunjuk.
Kemudian kataal-kufr dibuang dan maksudnya disamakan dengan kata al-ẓulumât. Kata al-nūr dipinjam dari kata al-īmân (keimanan), asalnya kata keimanan diserupakan dengan cahaya karena sama-sama menerangi kehidupan.
Kemudian kata al-īmân dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata al-nūr. Sedang kata al-ṣirât dipinjam dari kata al-islâm (keislaman), asalnya jalan diserupakan dengan Islam karena sama-sama memberikan cara dan aturan hidup.
Kemudian kata al-Islâm dibuang dan maksudnya dipinjamkan kepada kata al-ṣirât. Jadi, dalam memahami ayat tersebut hendaknya kata al-ẓulumât dipahami sebagai kekufuran, kata al-nūr dipahami dengan keimanan,dan kata al-ṣirât dipahami dengan keislaman.
Sebab, Allah menurunkan al-Qur’an kepada manusia bukan karena supaya mereka keluar dari suasana gelap menuju cahaya untuk memperoleh jalan, akan tetapi al-Qur’an sebagai pedoman hidup, ia diturunkan agar manusia keluar dari kekufuran menuju ke imanan dengan aturan yang telah ditetapkan oleh shari’at Islam.
6. Majâz
Dalam pandangan ulama’ balaghah konsep majâz sesungguhnya tidakada perbedaan yang krusial dengan isti’ârah.
Karena pada hakikatnya isti’ârah adalah bagian dari majâz. Perbedaan diantara keduanya terletak pada relasi antara makna dasar dengan makna yang lain.
Jika terdapat kesesuai anantara makna dasar dengan makna yang lain disebut isti’ârah, dan sebaliknya, jika tidak ada kesesuaian maka disebut majâz.
Penggunaan majâz dalam keilmuan keislaman sangat jarang, majâz hanya banyak ditemukan dalam tiga disiplin keislaman: teologi, ilmu sastra, dan tafsir kitab suci.
Konsep majâz yang dipakai dalam kajian bahasa Arab modern telah lazim digunakan oleh para sarjana klasik sebagai lawan dari istilah ḥaqīqah.
Penggunaan ini lazim berlaku, baik dalam teori sastra maupun dalam wilayah teolohi dan ilmu hukum. Arti penting dari konsep majâz, dalam kaitannya dengan tema pintu gerbang penafsiran susastra al-Qur’an, terletak pada posisikonsep tersebut yang merupakan elemen utama interpretasi susastra.
Perhatikan firman Allah surat al-Isra’ ayat 45:
وَاِذَا قَرَأْتَ الْقُرْاٰنَ جَعَلْنَا بَيْنَكَ وَبَيْنَ الَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ بِالْاٰخِرَةِ حِجَابًا مَّسْتُوْرًاۙ
“Dan apabila kamu membaca al-Qur’an niscaya kami adakan antara kamu dan orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat, suatu dinding yang tertutup.”
Bentuk majâz pada ayat di atas adalah ḥijâban mastūrâ (dinding yang tertutup). Menurut mayoritas ahli tafsir maksudnya adalah dinding yang menutup, karena kata mastūrâ bermakna menjadi sasaran, bukan sebagai pelaku. Jadi, arti yang tepat untuk kata mastūrâ adalah sâtirâ (yang menutup).
Di sini, relasinya adalah tidak ada kesesuaian antara makna dasar (mastūrâ/yang ditutup) dengan makna lain (sâtirâ/yang menutup).
Penggunaan frase ḥijâban mastūrâ pada ayat tersebut menunjukkan bahwa al-Qur’an yang dibacakan Nabi kepada orang-orang musyrik Makkah yang gunanya adalah sebagai petunjuk, tidak membuat mereka mendapatkan petunjuk.
Karena di antara Nabi dan orang-orang musyrik ada hijab/penutupyang dibuat Allah, sehingga ada penghalang di antara mereka.
Oleh karena itu, apapun yang disabdakan Nabi tidak akan masuk ke hati mereka dan tidak bisamerubah keyakinan mereka.
Kinâyah Elemen penting lainnya dalam perbincangan tafsir susastra al-Qur’anadalah kinâyâh. Hanya saja, perlu diketahui bahwa penggunaan kinâyâh dalam al-Qur’an lebih sedikit dibandingkan dengan elemen yang lain, seperti tashbih dan lain sebagainya.
Fungsi dari penggunaan kinâyâh adalah sebagaipenyempurna keindahan ungkapan. Penggunaan kinâyâh/penghalusan bahasa seringkali menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan mufassir, karena penghalusan bahasa berimplikasi menjadi sebuah bahasa yang multiinterpretatif.
Perhatikan firman Allah surar al-Nisa’ ayat 43:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكَارٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ وَلَا جُنُبًا اِلَّا عَابِرِيْ سَبِيْلٍ حَتّٰى تَغْتَسِلُوْا ۗوَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا
“Wahai orang yang beriman! Janganlah kamu mendekati salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan, dan jangan pula (kamu hampiri masjid ketika kamu) dalam keadaan junub kecuali sekedar melewati jalan saja, sebelum kamu mandi (mandi junub). Adapun jika kamu sakit atau sedang dalam perjalanan atau sehabis buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Sungguh, Allah Maha Pemaaf, Maha Pengampun.”
Secara bahasa, kata lâmastum berarti saling menyentuh, akan tetapi menurut jumhur ulama maksud dari kata tersebut adalah berhubungan badan (jâma’tum), meskipun ada sebagian mufassir yang berpendapat lain, yaitu menyentuh.
Karena faktor cuaca yang tidak bersahabat dan suasana kehidupan yang gersang, maka harapan yang menyelimuti kehidupan mereka terkontaminasi oleh khayalan-khayalan kotor yang mengakibatkan timbulnyaal-shahwah al-ḥayawâniyah (nafsu binatang).
Munculnya nafsu binatang ini bersamaan dengan gaya hidup berpindah-pindah yang harus mereka jalani sangat berpengaruh terhadap karakter mereka, yaitu terbentuknya sikap mendua terhadap wanita.
Sering kali mereka menaruh rasa cinta kepada wanita lain, dan bahkan mereka menyukai hidup berpoligami.
Kecintaan merekater hadap wanita sering kali diungkapkan dalam bait-bait syi’ir atau yang dikenal dengan tema ghozal.
Karena hal itulah, maka al-Qur’an membicarakan tentang wanita dan hal-hal yang terkait dengannya selalu menggunakan pemilihan kata yang lebih sopan, halus, dan etis.
Berbeda dengan para penyair Arab, yang biasa membicarakan wanita dengan kata-kata yang vulgar dan tidak etis dalam karangan syi’ir mereka.
Secara psikologi, jika bahasa yang digunakan itu vulgar atau sesuai dengan konteksnya maka akan memancing munculnya sifat-sifat di atas yang sudah menjadi katakter hidup mereka.
Oleh karena itu, untuk memendam sifat-sifat tersebut al-Qur’an menggunakan gaya bahasa kinâyah dalam penyampainannya.
Pengaruh Al-Qur’an Terhadap Bahasa dan Sastra Arab Jika seorang pimpinan Negara memilih bahasa tertentu dari sekian banyak bahasa yang ada sebagai bahasa nasional, maka sudah dapat dipastikan bahwa bahasa tersebut memiliki keistimewaan dibandingkan bahasa-bahasa yang lainnya.
Begitu pula bahasa Arab yang dipilih oleh Allah sebagai bahasa firman-Nya (al-Qur’an), hal ini tidaklah sembarang dan tanpa hikmah.
Sebelum datangnya Islam, bangsa Arab menaruh perhatian yang sangat besar terhadap bahasa mereka (bahasa Arab), dari sisi keindahan susunan dan bunyi, kedalaman makna, dan kefashihan penyampaian.
Jadi bahasa Arab sudah cukup spesial dimasa itu. Kemudian turunlah al-Qur’an dengan bahasa Arab, maka semakin bertambah spesial bahasa Arab.
Al-Qur’an datang dengan dengan mukjizat pada lafadhnya, maknanya, uslub penyampaiannya, dan segala hal yang terkandung didalamnya.
Dan semua bentuk keindahan al-Qur’an memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap bahasa dan sastra Arab, diantaranya adalah;
1. Al-Qur’an memperindah dan menghias lafadh bahasa Arab. Sejak al-Qur’an turun dengan bahasa yang indah, bahasa Arab terpengaruh denganbahasa al-Qur’an baik dari segi penggunaan lafadh-lafadhnya, susunan, gaya bahasa, isi, kedalaman makna, kefashihan penyampaian dan lain sebagainya.
Seperti pada puisi al-Nabighah al-Ja’diy:
لا لله دمحلاهلاملظ هسفنف اهلُقي مل نمجِلُملايفو راهنلا يفاملظلا جّرفي اراهن ليلّلا
Pada sya’ir di atas terdapat ungkapan: Alhamdulillah, laa syarikalahu, nafsuhu dholama dan al-muliju al-lail fi al-nahar semuanya adalah ungkapan-ungkapan yang diambil dari al-Qur’an.
2. Muncul makna-makna baru dalam lafadh bahasa Arab untuk mencocokkandan memahamkan syari’at Islam, misalnya: sholat, zakat, mukmin, kaafir, dan lainnya. Yang mana lafadh-lafadh tersebut difahami bukan seperti kitafahami sekarang.
3. Menjaga bahasa Arab dari kemusnahan dan menjamin keabadian bahasaArab. Sebagaiman firman Allah:
اِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَاِنَّا لَهٗ لَحٰفِظُوْنَ
“Sesungguhnya kami yang menurunkan al-dzikr dan kami pulayang menjaganya (Q.S al-Hijr: 9)”
Secara tidak langsung dengan terjaganya al-Qur’an menyebabkan terjaganya bahasa Arab pula, bahasa Arab fuṣhah yang ada sekarang masih sama dengan bahasa Arab ketika al-Qur’an diturunkan.
Tidak sepertibahasa kitab-kitab terdahulu yang tidak bisa difahami pada zaman sekarang, karena bahasa pada zaman itu tidak terpakai dan hampir punah. Hal ini pula yang menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah kitab suci yangterjaga keaslihannya.
4. Tersebarnya bahasa Arab ke penjuru dunia. Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam, setiap dijumpai Islam di Negara itu pasti mereka mengenalbahasa Arab.
Selain itu, setiap peribadatan yang orang muslim lakukanseperti sholat, mereka mengerjakannya dengan bahasa Arab, karena setiapbacaan dalam sholat menggunakan bahasa Arab, sehingga lidah muslimtidah kaku lagi mengucapkan itu.
5. Bahasa al-Qur’an mempersatukan lahjah Arab dalam lahjah Quraisy.Yaitu kabilahnya Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassallam, yang masyhur akan kefasihan dan keindahan bahasanya.
6. Dari al-Qur’an berkembang ilmu-ilmu keagamaan, seperti: ilmu tafsir,hadits, fiqh dan lain sebagainya. Ilmu bahasa, seperti: Naḥwu dan shorof.
Karakteristik Sastra Islam
Sastra Islam memiliki karakteristik yang tidak sama dengan aliran-aliransastra lainnya, hal tersebut karena dasar Islam itu sendiri yang bersifat ketuhanan dan sekaligus kemanusiaan. Berikut ini beberapa karakteristik pokok sastra Islam: Aqidah dan Akhlak
Aqidah dan akhlak adalah karakteristik utama sastra Islam yangmenjadi dasar dari semua tema genre sastra Islam.
Jadi, para sastrawan muslim wajib menjaga prinsip aqidah dan akhlak ini dalam proses penciptaan karya-karya sastra mereka.
Komitmen sastra Islam adalah pada penggunaan bahasa yang baik dan indah yang berisi seruan pada kebaikan dan larangan untuk berbuat kejahatan.
Oleh karena itu, tidaklah tepat jika ada sastrawan Muslim yang keluar dari jalan kebenaran karena akan melukai, menyakiti, menyesatkan kehidupan masyarakat sehingga merekamenjadi orang-orang yang suka membangkang yang pada akhirnya menjadi kufur.
Dalam keadaan seperti inilah sastrawan Muslim harus mampu meluruskan kehidupan masyarakat agar hidup konsisten dengan agama Islam yang dipeluknya dan mensucikan, membersikan, dan memberi jalan petunjuk pada kebenaran. Menjauhkan Diri dari Gelombang Keraguan yang Menerpa Umat Islam
Sastra Islam harus bisa menawarkan kepada pembaca Muslimuntuk berkomitmen pada keyakinan Islam.
Sastra Islam harus mengingatkan para pembacanya bahwa Islam itu adalah sesuatu yang diamalkan, bukan hanya diucapkan dengan lisan.
Para pembaca karyasastra Islam juga harus menyadari bahwa sastra bukanlah tujuan, tetapi hanyalah alat untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam.
Menjadikan Al-Qur’an sebagai Sumber Inspirasi Sastra Islam memiliki pandangan dasar yang dijadikan acuan dalam berkarya, yaitu al-Qur’an.
Jika ada sastrawan Muslim yang mengajak pembacanya agar tidak berkomitmen dengan Islam, maka dia termasuk orang yang sesat.
0 Response to "KEINDAHAN BAHASA AL-QUR’AN"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak