DEFINISI RUQYAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM SYARIAT
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan orang orang yang setia meniti jalan petunjuknya hingga hari kiamat.
Sebagai kaum muslimin, kita tidak ragu lagi bahwa Islam adalah agama yang paling sempurna dan relefan di setiap tempat dan zaman. Sehingga tidak ada satu hal ajaran-ajaran Islam.
Sampai akhirnya kita hidup di zaman yang sangat kompleks ini, kompleks dengan segala macam problematika.
Namun walau bagaimanapun, kita harus tetap yakin bahwa kita sebagai umat Islam akan tetap selamat jika kita tetap konsisten dan teguh di atas pedoman kita Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah (generasi pendahulu umat ini).
Antusias masyarakat Islam dewasa ini terhadap ruqyah sebagai alternatif pengobatan, merupakan satu hal yang patut untuk disyukuri, walhamdulillah.
Walaupun motif dan tujuan mereka dalam memilih ruqyah sebagai terapi pengobatan ini beraneka ragam. Namun paling tidak, hal itu telah memberikan satu sinyalemen akan kesadaran sebagian umat ini terhadap tuntunan agamanya.
Mungkin tidak sedikit di antara kita, yang tidak mengerti atau tidak menyadari, bahwa ruqyah adalah salah satu terapi pengobatan syar’i yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya, yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, sehingga ruqyah merupakan ibadah, dan kebenarannya telah dibuktikan oleh generasi pendahulu.
Amat disayangkan, ketika tidak banyak pihak yang terlibat dalam praktek ruqyah ini -baik pasien maupun praktisi ruqyahnya, kurang memperhatikan etika dan tuntunan syariat dalam meruqyah.
Sehingga mereka terjerumus dalam beberapa kesalahan fatal, atau bahkan kesyirikan. ‘Iyaadzan billah. Hal semacam ini, sudah semestinya menggugah kesadaran para ulama dan penuntut ilmu syar’i untuk menasehati dan meluruskan mereka.
Betapa banyak di antara kaum muslimin yang tertimpa musibah berupa penyakit karena ketidak mengertian mereka tentang ajaran agamanya.
Dengan menempuh berbagai cara demi memperoleh kesembuhan, tanpa memperhatikan dan mengindahkan kaidah-kaidah pokok agama Islam; apakah cara yang ia tempuh itu memang boleh ataukah terlarang?
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberikan beragam jalan bagi manusia untuk memperoleh kesembuhan, namun tidak semua jalan itu bisa dibenarkan untuk ditempuh dan mendapat legalitas syari’at.
Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita untuk menempuh jalan yang diridhai-Nya. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَهَدَيْنٰهُ النَّجْدَيْنِۙ
Artinya : Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan). (QS. Al Balad:10)
Berangkat dari titik inilah, kami dengan segala kekurangan yang ada- menyusun makalah yang berkenaan dengan ruqyah dan segala permasalahannya.
Dengan harapan, semoga tulisan yang sedikit ini, mampu memberikan kontribusi kepada umat Islam tentang pemahaman terhadap ruqyah secara benar, berikut praktek ruqyah yang benar sesuai tuntunan syariat.
Sehingga tujuan pengobatan dengan ruqyah dapat tercapai sekaligus terhindar dari kekeliruan, kesalahan dan tipu daya musuh abadi bagi anak manusia, yaitu Iblis dan bala tentaranya.
Harapannya semoga risalah ini mendapat balasan pahala kebaikan dari Sang Maha Kuasa, serta menjadi tambahan pada timbangan amal kebaikannya diakhirat kelak.
Dari sisi etomologi, ruqyah berarti permohonan perlindungan, atau ayat-ayat, dzikir-dzikir dan doa-doa yang dibacakan kepada orang yang sedang sakit.
Sedangkan menurut terminologi syariat, ruqyah berarti bacaan-bacaan untuk pengobatan yang syar’i (berdasarkan nash-nash yang pasti danshahih yang terdapat dalam Al Qur’an dan As Sunnah) sesuai dengan ketentuan-ketentuan serta tata cara yang telah disepakati oleh ulama.
Ruqyah dinamakan juga dengan ‘Azaa’im (bentuk plural dari ‘Aziimah, yang dikenal dalam bahasa Indonesia dengan azimat-azimat).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullahu menjelaskan:” Ruqyah dinamakan (juga) dengan ‘Azaa’im karena orang yang membacanya meyakininya, serta lahir pada dirinya kekuatan penolakan (terhadap penyakit/bahaya) ketika membacanya”
Hukum menggunakan ruqyah untuk mengobati penyakit adalah mubah (boleh). Bahkan syariat menganjurkannya.
Berdasarkan nash-nash tekstual dalam Al Qur’an dan As-Sunnah. Dan tidak diragukan lagi, bahwa pengobatan dengan Al Qur’an Al Karim dan dengan nash-nash ruqyah yang tsabit (tetap) dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah terapi pengobatan yang sangat sempurna dan bermanfaat.
Allah Subhanahu wa Ta’alaberfirman:
قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هُدًى وَّشِفَاۤءٌ ۗوَالَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ
Katakanlah,“Al-Qur'an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman.”(Q.S Fushilat:44)
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْاٰنِ مَا هُوَ شِفَاۤءٌ وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَۙ وَلَا يَزِيْدُ الظّٰلِمِيْنَ اِلَّا خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur'an (sesuatu) yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang yang beriman, sedangkan bagi orang yang zalim (Al-Qur'an itu) hanya akan menambah kerugian.”(Q.S Al Israa’ :82).
Kemudian firman allah Subhanahu wa ta'ala :
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman.”(QS. Yunus:57).
Al Qur’an merupakan obat yang sempurna dan penawar bagi seluruh penyakit hati dan jasad, serta penyakit-penyakit dunia dan akhirat.
Namun tidak semua orang mampu dan mempunyai kemampuan untuk melakukan penyembuhan dengan Al Qur’an.
Hanya orang yang dalam kehidupan sehari-hari istiqomah mengfungsikan Al-Quranul Karim yang diimaninya sebagai kitab petunjuk, maka membacanya, mentadabburinya, mengamalkannya, mendakwahkannya, dan memperjuangkan tegaknya hukum Al quran serta pengobatan penyembuhan dilakukan secara baik sesuai dengan As-Sunnah.
Didasari dengan kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang pasti, serta terpenuhi syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakit pun yang mampu melawannya selama-lamanya.
Jika pengobatan penyembuhan dilakukan secara baik terhadap penyakit, didasari dengan kepercayaan dan keimanan, penerimaan yang penuh, keyakinan yang pasti, serta terpenuhi syarat-syaratnya, maka tidak ada satu penyakit pun yang mampu melawannya selama-lamanya.
Bagaimana mungkin penyakit-penyakit itu akan menentang dan melawan firman-firman Rabb Pemelihara langit dan bumi, yang jika firman-firman itu turun ke atas gunung, maka ia akan memporak-porandakan gunung tersebut! Atau jika turun ke bumi, niscaya ia akan menghancurkannya!.
Oleh karena itu, tidak ada satu penyakit hati dan juga penyakit fisik pun melainkan di dalam Al Qur’an terdapat jalan penyembuhannya, penyebabnya, serta pencegah terhadapnya bagi orangorang yang dikaruniai pemahaman oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadap kitabNya.
AllahSubhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan penyakit-penyakit hati dan jasad, juga disertai penyebutan penyembuhan penyakit hati dan fisik.
Penyakit hati terdiri dari dua macam, yaitu: penyakit syubuhat (kesamaran) atau ragu, dan penyakit syahwat atau hawa nafsu.
Allah yang Maha Suci telah menyebutkan beberapa penyakit hati secara terperinci disertai dengan beberapa sebab, sekaligus cara menyembuhkan penyakit-penyakit tersebut.
AllahSubhanahu wa Ta’ala berfirman:
اَوَلَمْ يَكْفِهِمْ اَنَّآ اَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتٰبَ يُتْلٰى عَلَيْهِمْ ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَرَحْمَةً وَّذِكْرٰى لِقَوْمٍ يُّؤْمِنُوْنَ ࣖ
“Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasannya Kami telah menurunkan kepadamu Alkitab (al-Qur’an) sedang dia dibacakan kepada mereka Sesungguhnya di dalam (al-Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al ‘Ankabut:51).
Al Imam Ibnul Qayyim -rahimahullah-berkata: ”Barangsiapa yang tidak dapat disembuhkan oleh Al Qur’an, berarti Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan kesembuhan padanya. Dan barangsiapa yang tidak dicukupkan oleh Al Qur’an, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberikan kecukupan padanya”
Dan dalil-dalil dalam tatanan sunnah juga tidak sedikit yang menandaskan perintah kepada umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk mengobati penyakit dengan metode ruqyah ini.
Diantaranya hadits dari ‘Aisyah -radhiallahu ‘anha-, ia berkata :
أَمَرَنِيْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ أَسْتَرْقِيَ مِنَ الْعَیْنِ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memerintahkanku untuk meruqyah dari ‘ain (pengaruh mata jahat)”
Juga hadits dari Jabir bin Abdillah -radhiallahu ‘anhu, ia berkata:
لَدَغَتْ رَجُلاً مِنَّا عَقْرَبٌ وَنَحْنُ جُلُوسٌ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرْقِى قَالَ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ أَنْ يَنْفَعَ أَخَاهُ فَلْيَفْعَلْ
”Seeokor kalajengking pernah menyegat salah seorang diantara kami, saat itu kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Kemudian seorang laki-laki berkata: ”Wahai Rasulullah, apakah aku (boleh) meruqyahnya?”Lantas Beliau pun bersabda:“Siapa saja diantara kalian mampu memberikan manfaat kepada saudaranya, maka lakukanlah”(H. R Muslim)
Serta hadits dari ‘Auf bin Malik Al Asyja’i radhiallahu ‘anhu-, ia berkata:
كُنَّا نَرْقِى فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَرَى فِى ذَلِكَ فَقَالَ اعْرِضُوا عَلَىَّ رُقَاكُمْ لاَ بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ تَكُنْ شِرْكًا
”Kami dahulu menggunakan ruqyah pada masa jahiliyah, lalu kami tanyakan hal tersebut kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, ”Wahai Rasulullah, bagaimana menurut pendapatmu tentangruqyah itu?” Beliau menjawab: ”Bacakanlah kepadaku ruqyah-ruqyah kalian, tidak mengapa menggunakan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan” (H.R Muslim)
Al Hafizh Ibnu Hajar rahumahullahu menjelaskan: ”Para ulama telah berijma’ (bersepakat) akan bolehnya menggunakan ruqyah (dalam pengobatan) dengan terpenuhinya tiga syarat:
1. Ruqyah tersebut dengan menggunakan Kalamullah (ayat-ayat Al Qur’an), atau nama-nama dan sifat Allah Subhanahu wata'ala.
2. Ruqyah tersebut harus diucapkan dengan bahasa Arab atau (boleh dengan ) bahasa selain Arab yang dibaca dengan jelas dan difahami maknanya.
3. Harus diyakini, bahwa yang memberikan pengaruh dan kesembuhan bukanlah ruqyah dengan sendirinya, tetapi yang memberi pengaruh adalah (izin dan) kekuasan Allah Ta'ala.
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu menerangkan: ”Tentang ruqyah, hadits-hadits shahih telah menunjukkan bahwa selama ia berisi ayat-ayat Al Qur’an dan doa-doa yang dibolehkan syariat, maka hal itu tidak mengapa, jika ruqyah tersebut dibaca.
Namun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat, tidak boleh meruqyah atau berdoa dengan selain bahasa Arab.
Diucapkan dengan bahasa yang jelas dan diketahui maknanya, serta orang yang diruqyah tidak bergantung pada ruqyah tersebut, bahkan ia harus meyakini bahwa ruqyah hanya salah satu sebab (diperolehnya kesembuhan).
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sendiri meruqyah para sahabat dan mengajarkan ruqyah kepada mereka. Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَرْقِى بِهَذِهِ الرُّقْيَةِ أَذْهِبِ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ بِيَدِكَ الشِّفَاءُ لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ أَنْتَ
“Bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam meruqyah dengan bacaan ini:
أَذْهِبِ الْبَاسَ رَبَّ النَّاسِ بِيَدِكَ الشِّفَاءُ لاَ كَاشِفَ لَهُ إِلاَّ أَنْتَ
“Adzhibil ba’sa Robban Naasi, bi yadikasy syifaau, laa kaasyifa lahu illaa Anta”
Hilangkanlah penyakit ini wahai Rabb di tangan-Mu kesembuhan, tidak ada yang dapat menyembuhkannya kecuali Engkau.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Adapun meminta ruqyah maka terbagi dua:
1. Meminta ruqyah untuk diri sendiri, hukumnya terbagi tiga:
Pertama: Meminta ruqyah yang mengandung syirik, maka hukumnya juga syirik dari beberapa sisi:
- 1) Karena meridhoi kesyirikan adalah kesyirikan,
- 2) Menggunakan jasa dukun dan mempercayai ucapannya tentang perkara ghaib,
- 3)Tidak jarang, pasien diperintahkan untuk melakukan syirik, seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih untuk selain Allah, mendekatkan diri kepada selain Allah dengan sesajen, dan lain-lain.
Kedua: Meminta ruqyah yang mengandung bid’ah dan maksiat, maka hukumnya haram.
Ketiga: Meminta ruqyah yang sesuai syari’at, hukumnya makruh, karena Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda tentang 70.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan azab,
هُمُ الَّذِينَ لاَ يَسْتَرْقُونَ، وَلاَ يَتَطَيَّرُونَ، وَلاَ يَكْتَوُونَ، وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Mereka adalah orang-orang yang tidak meminta ruqyah, tidak merasa takut sial, tidak melakukan pengobatan al-kayy (besi panas), dan senantiasa bertawakkal kepada Rabb mereka.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma]
Asy-Syaikh Abdur Rahman bin Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata,
والفرق بين الراقي والمسترقي: أن المسترقي سائل مستعط ملتفت إلى غير الله بقلبه، والراقي محسن
“Dan perbedaan antara orang yang meruqyah dan yang meminta ruqyah, bahwasannya orang yang meminta ruqyah adalah orang yang memohon, meminta suatu pemberian seraya menoleh kepada selain Allah ta’ala dengan hatinya, sedang orang yang meruqyah adalah orang yang berbuat baik (kepada yang diruqyah).” (Fathul Majid, hal. 67)
Asy-Syaikh Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Mereka tidak meminta ruqyah kepada siapa pun, karena:
- 1) Kuatnya penyandaran diri mereka kepada Allah ta’ala.
- 2) Mulianya jiwa mereka dari merendahkan diri kepada selain Allah ‘azza wa jalla.
- 3) Karena dalam perbuatan itu ada bentuk ketergantungan kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala.” [Al-Qoulul Mufid, 1/103]
2. Meminta ruqyah untuk orang lain, hukumnya terbagi dua:
Pertama: Meminta ruqyah yang terlarang untuk orang lain bukan untuk diri sendiri, yaitu ruqyah yang mengandung syirik, bid’ah atau maksiat, maka hukumnya juga terlarang sesuai perincian di atas.
Kedua: Meminta ruqyah yang sesuai syari’at untuk orang lain bukan untuk diri sendiri, insya Allah ta’ala termasuk tolong menolong dalam kebaikan, selama orang yang meminta tersebut tidak bergantung kepada orang yang meruqyah, dan tetap bertawakkal kepada Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam pernah memerintahkan untuk memintakan ruqyah bagi seorang anak kecil yang tertimpa penyakin ‘ain, beliau bersabda,
اسْتَرْقُوا لَهَا، فَإِنَّ بِهَا النَّظْرَةَ
“Mintakanlah ruqyah untuknya, karena sesungguhnya ia tertimpa penyakit ‘ain.” (HR. Al-Bukhari dari Ummu Salamah radhiyallahu’anha)
• Ringkasan Fatwa-fatwa Ulama yang Menyingkap Kejahilah Para "Peruqyah":
1. Ruqyah syar’iyyah termasuk perkara tauqifiyyah, tidak ditentukan cara-caranya dan ketentuan-ketentuannya kecuali dengan dalil, bukan hasil uji coba para peruqyah. Disebutkan dalam fatwa Al-Lajnah Ad-Daimah,
الرقية الشرعية توقيفية لا يجوز الزيادة فيها على الوجه المشروع
“Ruqyah syar’iyyah (yang sesuai syari’at) adalah tauqifiyyah (ditetapkan dengan dalil), tidak boleh menambah-nambah di dalamnya, melebihi bentuk yang disyari’atkan.” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/100 no. 18569)
2. Penentuan jenis, jumlah atau waktu bacaan surat-surat atau doa dan dzikir tertentu secara khusus harus berdasarkan dalil, tidak boleh menentukan jenis tertentu, jumlah tertentu atau waktu tertentu tanpa dalil, apalagi meyakini khasiat tertentu dari penentuan tersebut (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/209 no. 2)
Contoh yang tidak ada dalilnya:
• Penentuan amalan teknik membuka penyamaran jin
• Penentuan amalan teknik menarik jin secara paksa
• Teknik membantu pasien melihat wujud asli jin yang sebenarnya, ini jelas batil bertentangan dengan firman Allah ta'ala,
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْآتِهِمَا ۗ إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْ ۗ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاءَ لِلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ
"Wahai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapakmu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia (iblis/setan) dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman." (Al-A’raf : 27)
• Dan sungguh masih sangat banyak contoh penyimpangan yang dilakukan oleh orang-orang yang menyebut diri mereka "peruqyah", "praktisi ruqyah", yang kadang suka mengadakan pelatihan-pelatihan ruqyah, membuka klinik-klinik ruqyah, menyibukkan diri dengan aktivitas ruqyah dan lupa menuntut ilmu syar'i kecuali sedikit waktu saja.
3. Seluruh ayat Al-Qur’an dapat digunakan untuk meruqyah, namun lebih ditekankan beberapa surat yang terdapat padanya dalil khusus tentang keutamaannnya dalam meruqyah, diantaranya surat Al-Fatihah, ayat Al-Kursiy, Al-Ikhlas, Al-Falaq, An-Naas dan doa-doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam (lihat Fatawa Nur ‘alad Darb Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 1/326)
4. Meniup di air disertai sedikit ludah setelah membaca Al-Qur’an ketika meruqyah dibolehkan, telah dilakukan sebagian Salaf dan bermanfaat dengan izin Allah. Bukanlah karena mencari berkah dengan tiupan tersebut tapi dengan Al-Qur’an yang dibaca sebelumnya. Adapun mencari berkah dengan tiupan itu saja tanpa dibacakan Al-Qur’an maka termasuk kesyirikan, karena Allah ta’ala tidak menjadikan bekas siapa pun mengandung keberkahan kecuali Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam (lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibnil ‘Utsaimin rahimahullah, 1/108)
5. Ruqyah jarak jauh dengan perantara pengeras suara atau telepon tidak dibenarkan, hendaklah meruqyah secara langsung (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/92 no. 6)
6. Ruqyah dengan kaset atau rekaman tidak dibenarkan karena ruqyah membutuhkan niat, keyakinan dan meniup kepada si sakit (lihat fatwa Asy-Syaikh Al-Albani dalam Silsilatul Huda wan Nur no. 616 Fatwa no. 7 dan Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/93 no.
7. Ruqyah massal dalam jumlah banyak sehingga tidak memungkinkan bagi orang yang meruqyah untuk membaca di depan orang yang diruqyah maka tidak dibenarkan (Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan dalam Video Siaran Tanya Jawab tanggal 20/8/1435 H dan Asy-Syaikh Shalih As-Suhaymi hafizhahumallah yang kami dengar di majelis beliau di Masjid Nabawi)
8. Adapun meruqyah dua atau tiga orang yang memungkinkan untuk membaca dan meniup langsung di hadapan mereka maka tidak apa-apa (lihat Fatwa Asy-Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam Fatawa Nur ‘alad Darb, 1/325)
9. Boleh berbicara dengan jin yang mengganggu si sakit untuk menasihatinya dan mengingatkannya akan bahaya menyakiti seorang muslim, dilakukan sesuai kebutuhan, tidak boleh berlebihan dalam berbicara kepadanya (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/101-102 no. 16653)
10. Tidak boleh meminta bantuan jin atau menggunakannya dalam meruqyah, hukumnya haram dan termasuk sarana yang mengantarkan kepada syirik (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/102 no. 2)
11. Boleh meruqyah orang kafir selain kafir harbi selama tidak mengandung penyelisihan terhadap syari’at (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/103 no. 2)
12. Tidak boleh menerima ruqyah orang kafir dan berobat kepada mereka, kecuali dalam pengobatan kedokteran yang mubah seperti mengobati luka dan yang semisalnya (lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, 1/104 no. 16388)
13. Tidak apa-apa mengambil upah dari meruqyah (lihat Majmu’ Fatawa Asy-Syaikh Ibni Baz rahimahullah, 19/339)
14. Membuka klinik ruqyah tidak dibenarkan karena tidak ada contoh dari Salaf dan demi menutup pintu-pintu fitnah sikap ghuluw manusia terhadap para peruqyah (lihat Fatwa Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah dalam Kitab Durus fi Syarhi Nawaaqidil Islam, hal. 157)
15. Menjadikan ruqyah sebagai profesi hukumnya haram karena tidak ada contoh dari Salaf dan akan membuka pintu-pintu fitnah para dukun yang berprofesi tersebut (dengar Fatwa Asy-Syaikh Shalih As-Suhaymi hafizhahullah dalam ceramah terekam berjudul Ittikhadzur Ruqyah Mihnatan lil Kasbi Muharramun, wa Bayaanul Mahaadziir fii Dzaalik)
0 Response to "DEFINISI RUQYAH DAN KEDUDUKANNYA DALAM SYARIAT"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak