Halal dan Haramnya Musik
Siapa saja yang hidup di akhir zaman, seperti sekarang ini maka tidak lepas dari lantunan suara musik atau nyanyian.
Bahkan mungkin di antara kita yang dulunya adalah orang-orang yang sangat menyukai terhadap lantunan suara musik.
Bahkan mendengar lantunan tersebut juga sudah menjadi keseharianya atau tiap hari. Itulah yang juga terjadi pada sosok si fulan.
Hidupnya sebelumnya tidaklah bisa lepas dari gitar dan musik. Namun, seiring berjalannya waku hingga sekarang hidupnya berubah menjadi jauh berbeda.
Setelah Allah mengenalkannya dengan Al haq (penerang dari Al Qur’an dan As Sunnah), dia pun secara perlahan-lahan mulaih menjauhi berbagai nyanyian.
Alhamdulillah, dia pun mendapatkan ganti yang lebih baik yaitu dengan kalamullah (Al Qur’an) yang semakin membuat dirinya mencintai dan merindukan perjumpaan dengan Rabbnya.
Lalu, apa yang menyebabkan hatinya bisa berpaling kepada kalamullah dan meninggalkan nyanyian? Tentu saja, karena taufik Allah kemudian siraman ilmu.
Dengan ilmu syar’i yang dia dapati, hatinya mulai tergerak dan mulai sadarkan diri. Dengan mengetahui dalil Al Qur’an dan Hadits yang membicarakan bahaya lantunan yang melalaikan.
Hingga dia pun mulai meninggalkannya dengan perlahan-lahan. Juga dengan bimbingan perkataan para ulama, hinga dia semakin jelas dengan hukum keharamannya.
Alangkah baiknya jika kita melihat dalil-dalil yang dimaksudkan, beserta perkataan para ulama masa silam mengenai hukum nyanyian karena mungkin di antara kita ada yang masih suka dengannya.
Maka, dengan ditulisnya risalah ini, semoga Allah membuka hati kita dan memberi hidayah kepada kita seperti yang didapatkan oleh si fulan tadi.
Allahumma a’in wa yassir (Ya Allah, tolonglah dan mudahkanlah).
Dalil-Dalil dari As-Sunnah Mengenai Halal dan Haramnya Musik
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ََََُّูููููู ู ِْู ุฃُู َّุชِู ุฃََْููุงู ٌ َูุณْุชَุญَُِّููู ุงْูุญِุฑَ َูุงْูุญَุฑِูุฑَ َูุงْูุฎَู ْุฑَ َูุงْูู َุนَุงุฒَِู
“Sungguh akan ada sekelompok umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat-alat musik.” [HR. Bukhari secara mu’allaq dengan shighot jazm (ungkapan tegas) no. 5590. Pembahasan tentang keshahihan hadits ini dapat dilihat di kitab Tahriimu Ath-Tharb, 1/38-51]
Ibnu Hazm Al-Andalusi Al-Qurthubi rahimahullah menganggap bahwa hadits di atas terputus sanadnya (baca: hadits munqathi’) antara Imam Bukhari dan Shadaqah bin Khalid. [Al-Muhalla, 9/59]
Akan tetapi, pendapat Ibnu Hazm rahimahullah dalam hal ini adalah pendapat yang keliru, sebagaimana yang telah dibantah panjang lebar oleh Ibnul Qayyim rahimahullah dari enam sisi bantahan. [Tahdziib As-Sunan, 5/270-272]
Juga telah dibantah oleh para ulama hadits lainnya. Sebagian orang berpegang pada pendapat Ibnu Hazm rahimahullah dalam rangka menghalalkan musik.
Padahal telah valid tanpa keraguan tentang keshahihan hadits di atas. Dan umat ini pun terancam hukuman (adzab) ketika alat-alat musik ini telah membudaya di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana yang akan kami sebutkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hukuman tersebut.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Alat-alat musik seluruhnya adalah alat-alat yang melalaikan, tidak ada perselisihan di antara ahli bahasa tentang hal itu. Seandainya musik itu halal, tentu Rasulullah tidak akan mencela karena penghalalan tersebut. Bahkan, Rasulullah menggandengkan penghalalan alat musik dengan penghalalan khamr dan zina (sehingga hal ini menunjukkan celaan yang sangat tegas, pen.)” [Ighatsatul Lahfan, 1/260]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ุฅَِّู ุงََّููู ุญَุฑَّู َ ุนَََّูู ุฃَْู ุญُุฑِّู َ ุงْูุฎَู ْุฑُ َูุงْูู َْูุณِุฑُ َูุงُْูููุจَุฉُ. َูุงَู َُُّููู ู ُุณِْูุฑٍ ุญَุฑَุงู ٌ
“Sesungguhnya Allah mengharamkan kepadaku khamr, judi, dan gendang.” Rasulullah juga bersabda, ”Dan setiap yang memabukkan adalah haram.” [HR. Ahmad no. 2476 dan Abu Dawud no. 3696. Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Silsilah Ash-Shahihah no. 2425]
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ِูู َูุฐِِู ุงูุฃُู َّุฉِ ุฎَุณٌْู َูู َุณْุฎٌ ََููุฐٌْู ، ََููุงَู ุฑَุฌٌُู ู َِู ุงูู ُุณِْูู َِูู: َูุง ุฑَุณَُูู ุงَِّููู، َูู َุชَู ุฐَุงَู؟ َูุงَู: ุฅِุฐَุง ุธََูุฑَุชِ ุงََْููููุงุชُ َูุงูู َุนَุงุฒُِู َูุดُุฑِุจَุชِ ุงูุฎُู ُูุฑُ
“Umat ini akan mengalami bencana ditenggelamkan ke dalam bumi, pengubahan bentuk (dan rupa), dan dihukum dengan hujan batu.” Ada salah seorang yang bertanya, ”Kapan hal itu terjadi wahai Rasulullah?” Rasulullah menjawab, ”Ketika para penyanyi dan alat-alat musik telah memasyarakat, dan ketika berbagai jenis khamr dikonsumsi.” [ HR. Tirmidzi no. 2212. Dinilai hasan oleh Syaikh Albani dalam Shahih At-Targhib. At-Tarhib no. 2379]
Dalam riwayat Ibnu Majah, disebutkan dengan redaksi,
َُُูููู ِูู ุขุฎِุฑِ ุฃُู َّุชِู ุฎَุณٌْู، َูู َุณْุฎٌ، ََููุฐٌْู
“Akan terjadi di akhir umatku (adzab berupa) ditenggelamkan ke dalam bumi, pengubahan bentuk (dan rupa), dan dihukum dengan hujan batu.” [HR. Ibnu Majah no. 4050. Hadits ini dinilai shahih oleh Syaikh Al-Albani]
Maraknya musik dan menganggap halal musik meupakan di antara tanda kecil kiamat yang sudah banyak terjadi, baik pada zaman dahulu, lebih-lebih zaman sekarang ini. Musik tersebar di mana-mana dan juga banyaknya penyanyi laki-laki dan perempuan, sebagaimana yang telah diisyaratkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Lihat Asyraathus Saa’ah, hal. 121-122 karya Syaikh Yusuf bin ‘Abdullah bin Yusuf Al-Wabil]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata,“ Ketahuilah saudaraku sesama muslim, bahwa hadits-hadits yang berkaitan dengan nyanyian dan alat-alat musik jumlahnya banyak sekali hingga mencapai sepuluh menurut Ibnu Hazm dan Ibnul Qayyim. Keseluruhan kandungan isinya menunjukkan bahwa haramnya (nyanyian dan alat-alat musik) benar-benar shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
[Tahriimu Aalat Ath-Tharb, 1/36 (Maktabah Syamilah). Pembaca juga dapat melihat pembahasan tentang hadits-hadits tentang haramnya musik dalam kitab ini. Kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam edisi bahasa Indonesia dengan judul Siapa Bilang Musik Haram?, diterbitkan oleh Darul Haq Jakarta]
Perkataan dan Sikap para Shahabat radhiyallahu ‘anhum dan Generasi Sesudahnya
Perkataan-perkataan para shahabat dan generasi-generasi sesudahnya sangat banyak, semuanya menunjukkan dengan tegas kebencian mereka terhadap nyanyian dan musik.
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
ุงูุบูุงุก ููุจุช ุงูููุงู ูู ุงูููุจ
“Nyanyian itu menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam hati.” [Ighatsatul Lahfan, 1/248]
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pun mendakwahkan hal ini kepada orang lain, sehingga ada seorang penyanyi bernama Zaadzan yang akhirnya bertaubat setelah mendengar dakwah beliau. Inilah kisah taubatnya, sebagaimana yang diceritakan sendiri oleh Zaadzan.
Zaadzan berkata, “Saya adalah seorang pemuda yang bersuara merdu dan pandai memukul gendang. Ketika saya bersama teman-teman sedang meminum minuman keras, lewatlah Ibnu Mas’ud. Maka dia pun memasuki (tempat kami), kemudian dia memukul tempat (yang berisikan minuman keras) dan membuangnya. Dia juga memecahkan gendang kami. Lalu dia berkata, ‘Kalaulah yang terdengar dari suaramu yang bagus adalah Al-Qur’an, maka Engkau adalah Engkau … Engkau.’ Setelah itu Ibnu Mas’ud pun pergi.
Aku pun bertanya kepada temanku, ’Siapa orang itu?’ Mereka berkata, ’Dia adalah Abdullah bin Mas’ud, sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka dengan kejadian itu, (dimasukkan) ke dalam jiwaku perasaan taubat. Setelah itu aku berusaha mengejar Abdullah bin Mas’ud sambil menangis. Setelah mendapatinya, aku tarik baju Abdullah bin Mas’ud. Maka Ibnu Mas’ud pun menghadap ke arahku dan memelukku sambil menangis. Dia berkata, ‘Marhaban (selamat datang) orang yang dicintai Allah. Duduklah!’ Lalu Ibnu Mas’ud pun masuk dan menghidangkan kurma untukku.’” [Siyar A’laamin Nubalaa’, 4/281]
Pelajaran dari kisah di atas, bahwa kita mengetahui kejujuran ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan niatnya yang baik. Serta tujuannya yang benar dalam berdakwah kepada Zaadzan yang menyebabkannya mendapatkan petunjuk dan bertaubat kepada Allah Ta’ala.
‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
ุงูุฏู ุญุฑุงู ูุงูู ุนุงุฒู ุญุฑุงู ูุงูููุจุฉ ุญุฑุงู ูุงูู ุฒู ุงุฑ ุญุฑุงู
“Rebana itu haram, alat-alat musik itu haram, genderang itu haram, dan seruling adalah haram.” [Dinilai shahih oleh Syaikh Albani dalam Tahriimu Aalat Ath-Tharb, 1/92.]
Nafi’ rahimahullah berkata, “Aku pernah bersama Ibnu Umar melewati suatu jalan. Ketika mendengar bunyi seruling seorang penggembala, beliau segera menutup kedua telinganya dengan tangannya. Beliau pun berpaling mencari jalan yang lain. Beliau berkata, ‘Aku pernah melihat Rasulullah mendengar bunyi seruling penggembala (dan beliau melakukan perbuatan seperti yang aku lakukan sekarang), maka contohlah hal itu wahai Saudaraku!’” [Al-Amru bil Ittiba’ wa An-Nahyu ‘anil Ibtida’, 1/7.]
‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz rahimahullah pernah menulis surat kepada pendidik anak-anaknya. Beliau rahimahullah berkata, “Hendaklah yang mereka ketahui pertama kali dari pengajaranmu adalah rasa benci terhadap alat-alat musik. Karena hal itu berawal dari setan dan mendatangkan kebencian dari Ar-Rahman. Sungguh telah sampai kepadaku dari orang-orang terpercaya yang berilmu, bahwa menghadiri tempat musik dan mendengarkan nyanyian akan menumbuhkan sifat kemunafikan di dalam dada sebagaimana air menumbuhkan rerumputan.” [Ighatsatul Lahfan, 1/250.]
Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata,
ุงูุบูุงุก ุฑููุฉ ุงูุฒูู
“Nyanyian adalah pendorong perbuatan zina.” [Ighatsatul Lahfan, 1/245.]
Musik dan nyanyian adalah sesuatu yang tidak asing lagi dalam kehidupan seorang manusia. Orang yang cinta musik berdalih bahwa musik adalah seni yang dibutuhkan oleh jiwa, hiburan bagi jiwa. Namun, sebagai seorang muslim kita meyakini bahwa Islam adalah agama yang sempurna, tidak ada kekurangan sedikit pun. Tidak ada suatu kebaikan dan membawa manfaat kecuali akan dijelaskan dan dianjurkan oleh syariat Islam. Sehingga, apabila memang musik termasuk perkara yang baik dan bermanfaat, niscaya akan dianjurkan oleh Islam. Akan tetapi, yang kita dapati adalah larangan yang sangat tegas terhadap musik dan nyanyian. Untuk lebih jelasnya, inilah dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan perkataan para ulama yang menjelaskan tentang hukum musik.
Dalil-Dalil dari Al-Qur’an
Allah Ta’ala berfirman,
َูู َِู ุงَّููุงุณِ ู َْู َูุดْุชَุฑِู ََْููู ุงْูุญَุฏِูุซِ ُِููุถَِّู ุนَْู ุณَุจِِูู ุงَِّููู ุจِุบَْูุฑِ ุนِْูู ٍ ََููุชَّุฎِุฐََูุง ُูุฒًُูุง ุฃَُููุฆَِู َُููู ْ ุนَุฐَุงุจٌ ู ٌُِููู
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” (QS. Luqman : 6)
Allah Ta’ala berfirman,
َูุงِุฐَุง ุชُุชْٰูู ุนََِْููู ุงٰٰูุชَُูุง َّٰููู ู ُุณْุชَْูุจِุฑًุง َูุงَْู َّูู ْ َูุณْู َุนَْูุง َูุงََّู ِْููٓ ุงُุฐَُِْููู َْููุฑًุงۚ َูุจَุดِّุฑُْู ุจِุนَุฐَุงุจٍ ุงَِْููู ٍ
Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah padanya dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 7)
Tentang maksud dari firman Allah Ta’ala (yang artinya) “perkataan yang tidak berguna” dalam ayat di atas, Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
ุงْูุบَِูุงุกُ َูุงَِّููู ุงَّูุฐِู َูุง ุฅََِูู ุฅَِّูุง َُูู، ُูุฑَุฏِّุฏَُูุง ุซََูุงุซَ ู َุฑَّุงุชٍ
”Demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia semata, (yang dimaksud dengan ‘perkataan yang tidak berguna’) adalah nyanyian.”
Beliau mengulangi sumpahnya tersebut sampai tiga kali. Demikian pula yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ma’khul, Amr bin Syu’aib, dan Ali bin Badzimah. [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 6/330-331.]
Dalam ayat ini, setelah Allah Ta’ala menceritakan tentang hamba-hambaNya yang berbuat ihsan, memuji mereka dengan kebaikan, memberi kabar gembira kepada mereka dengan kemenangan [Yaitu dalam QS. Luqman [31]: 2-5]
Maka Allah Ta’ala kemudian menceritakan golongan hamba-Nya yang lain yang kondisinya berkebalikan dengan golongan pertama tersebut.
Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan.” Maksudnya, di antara manusia ada seseorang bernama An-Nadhr bin Harits Al-Kuldi, sekutu orang Quraisy.
Dia memiliki kebiasaan menyewa para penyanyi (biduan) wanita dan mengajak manusia untuk bersenang-senang dengannya. Tujuannya adalah untuk memalingkan mereka dari Islam.
Sehingga mereka tidak duduk bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak pula membaca Al-Qur’an, tanpa mengetahui akibat dari perbuatan mereka itu serta apa yang akan mereka peroleh berupa kehinaan, aib, dan adzab di neraka.
Sehingga di akhir ayat ini Allah Ta’ala mengatakan (yang artinya), ”mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”
Maksudnya, orang-orang yang suka bersenang-senang dengan nyanyian, baik yang dinyanyikan oleh penyanyi laki-laki maupun wanita atau dengan menggunakan alat-alat musik, mereka itu termasuk orang-orang yang menjadikan Islam dan syari’at-Nya sebagai bahan olok-olokan untuk menghalangi diri mereka dan orang-orang selain mereka dari jalan Allah.
Orang-orang yang memiliki sifat seperti itu, maka baginya adzab yang menghinakan pada hari kiamat. [Lihat Aisar At-Tafaasir, 4/153 karya Syaikh Abu Bakr bin Jabir Al-Jazairi]
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
َูุงَّูุฐَِูู َูุง َูุดَْูุฏَُูู ุงูุฒُّูุฑَ َูุฅِุฐَุง ู َุฑُّูุง ุจِุงَّููุบِْู ู َุฑُّูุง ِูุฑَุงู ًุง
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan perbuatan zur, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka lalui (begitu saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan : 72)
Yang dimasud dengan ‘perbuatan zur’ dalam ayat ini adalah kesyirikan, penyembahan terhadap berhala, dusta, kefasikan, dan kebatilan.
Muhammad bin Hanafiyyah rahimahullah (tabi’in) berkata,
ูู ุงููุบู ูุงูุบูุงุก
”Perbuatan zur adalah nyanyian.” [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzim, 6/130.]
Syaikh ‘Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullah berkata,
ุงูููู ูุงููุนู ุงูู ุญุฑู ، ููุฌุชูุจูู ุฌู ูุน ุงูู ุฌุงูุณ ุงูู ุดุชู ูุฉ ุนูู ุงูุฃููุงู ุงูู ุญุฑู ุฉ ุฃู ุงูุฃูุนุงู ุงูู ุญุฑู ุฉ، ูุงูุฎูุถ ูู ุขูุงุช ุงููู ูุงูุฌุฏุงู ุงูุจุงุทู ูุงูุบูุจุฉ ูุงููู ูู ุฉ ูุงูุณุจ ูุงููุฐู ูุงูุงุณุชูุฒุงุก ูุงูุบูุงุก ุงูู ุญุฑู ูุดุฑุจ ุงูุฎู ุฑ ููุฑุด ุงูุญุฑูุฑ، ูุงูุตูุฑ ููุญู ุฐูู، ูุฅุฐุง ูุงููุง ูุง ูุดูุฏูู ุงูุฒูุฑ ูู ู ุจุงุจ ุฃููู ูุฃุญุฑู ุฃู ูุง ูููููู ูููุนููู
”Zur adalah perkataan dan perbuatan yang haram. Maka jauhilah seluruh pertemuan yang mengandung perkataan dan perbuatan yang haram. Seperti berbicara panjang lebar tentang ayat-ayat Allah (padahal dia tidak memiliki ilmu tentang hal itu, pen.), perdebatan yang batil, ghibah, adu domba, mencaci maki, menuduh berzina, mengolok-olok (istihza’), nyanyian, minum khamr, alas tidur dari sutera, gambar (makhluk bernyawa, pen.), dan lain sebagainya. Jika mereka tidak menyaksikan perbuatan zur, maka lebih-lebih lagi mereka tentu tidak mengatakan dan melakukannya.” [Tafsir Taisir Karimir Rahman, hal. 587]
Allah Ta’ala berfirman,
ุฃََูู ِْู َูุฐَุง ุงْูุญَุฏِูุซِ ุชَุนْุฌَุจَُูู , َูุชَุถْุญََُููู َููุง ุชَุจَُْููู , َูุฃَْูุชُู ْ ุณَุงู ِุฏَُูู , َูุงุณْุฌُุฏُูุง َِِّููู َูุงุนْุจُุฏُูุง
“Maka, apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis? Sedang kamu saamiduun? Maka, bersujudlah kepada Allah dan sembahlah (Dia).” (QS. An Najm: 59-62)
Apa yang dimaksud ุณَุงู ِุฏَُูู /saamiduun/?
Menurut salah satu pendapat, makna saamiduun adalah bernyanyi dan ini berasal dari bahasa orang Yaman. Mereka biasa menyebut “ismud lanaa” dan maksudnya adalah: “Bernyanyilah untuk kami”. Pendapat ini diriwayatkan dari ‘Ikrimah dan Ibnu ‘Abbas.
‘Ikrimah mengatakan, “Mereka biasa mendengarkan Al Qur’an, namun mereka malah bernyanyi. Kemudian turunlah ayat ini (surat An Najm di atas).”
Jadi, dalam dua ayat ini teranglah bahwa mendengarkan “nyanyian” adalah suatu yang dicela dalam Al Qur’an.
Empat Ulama Madzhab Mencela Nyanyian
Imam Abu Hanifah. Beliau membenci nyanyian dan menganggap mendengarnya sebagai suatu perbuatan dosa.
Imam Malik bin Anas. Beliau berkata, “Barangsiapa membeli budak lalu ternyata budak tersebut adalah seorang bidu wanita (penyanyi), maka hendaklah dia kembalikan budak tadi karena terdapat ‘aib.”
Imam Asy Syafi’i. Beliau berkata, “Nyanyian adalah suatu hal yang sia-sia yang tidak kusukai karena nyanyian itu adalah seperti kebatilan. Siapa saja yang sudah kecanduan mendengarkan nyanyian, maka persaksiannya tertolak.”
Imam Ahmad bin Hambal. Beliau berkata, “Nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan dalam hati dan aku pun tidak menyukainya.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada satu pun dari empat ulama madzhab yang berselisih pendapat mengenai haramnya alat musik.”
Bila Engkau Sudah Tersibukkan dengan Nyanyian dan Nasyid
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan pelajaran yang sangat berharga. Beliau mengatakan,
“Seorang hamba jika sebagian waktunya telah tersibukkan dengan amalan yang tidak disyari’atkan, dia pasti akan kurang bersemangat dalam melakukan hal-hal yang disyari’atkan dan bermanfaat. Hal ini jauh berbeda dengan orang yang mencurahkan usahanya untuk melakukan hal yang disyari’atkan. Pasti orang ini akan semakin cinta dan semakin mendapatkan manfaat dengan melakukan amalan tersebut, agama dan islamnya pun akan semakin sempurna.”
Lalu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, ”Oleh karena itu, banyak sekali orang yang terbuai dengan nyanyian (atau syair-syair) yang tujuan semula adalah untuk menata hati. Maka, pasti karena maksudnya, dia akan semakin berkurang semangatnya dalam menyimak Al Qur’an. Bahkan sampai-sampai dia pun membenci untuk mendengarnya.”
Jadi, perkataan Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni (yang dijuluki Syaikhul Islam) memang betul-betul terjadi pada orang-orang yang sudah begitu gandrung dengan nyanyian, gitar dan bahkan dengan nyanyian “Islami” (yang disebut nasyid).
Tujuan mereka mungkin adalah untuk menata hati. Namun, sayang seribu sayang, jalan yang ditempuh adalah jalan yang keliru karena hati mestilah ditata dengan hal-hal yang masyru’ (disyariatkan) dan bukan dengan hal-hal yang tidak masyru’, yang membuat kita sibuk dan lalai dari kalam Robbul ‘alamin yaitu Al Qur’an.
Tentang nasyid yang dikenal di kalangan sufiyah dan bait-bait sya’ir, Syaikhul Islam mengatakan,
“Oleh karena itu, kita dapati pada orang-orang yang kesehariannya dan santapannya tidak bisa lepas dari nyanyian, mereka pasti tidak akan begitu merindukan lantunan suara Al Qur’an. Mereka pun tidak begitu senang ketika mendengarnya.
Mereka tidak akan merasakan kenikmatan tatkala mendengar Al Qur’an dibanding dengan mendengar bait-bait sya’ir (nasyid). Bahkan ketika mereka mendengar Al Qur’an, hatinya pun menjadi lalai, begitu pula dengan lisannya akan sering keliru.”
Adapun melatunkan bait-bait syair (alias nasyid) asalnya dibolehkan, namun tidak berlaku secara mutlak. Melatunkan bait syair (nasyid) yang dibolehkan apabila memenuhi beberapa syarat berikut:
Bukan lantunan yang mendayu-dayu sebagaimana yang diperagakan oleh para wanita. Nasyid tersebut tidak sampai melalaikan dari mendengar Al Qur’an.
Nasyid tersebut terlepas dari nada-nada yang dapat membuat orang yang mendengarnya menari dan berdansa.Tidak diiringi alat musik.
Maksud mendengarkannya bukan mendengarkan nyanyian dan nadanya, namun tujuannya adalah untuk mendengar nasyid (bait syair).
Diperbolehkan bagi wanita untuk memukul rebana pada acara-acara yang penuh kegembiraan dan masyru’ (disyariatkan) saja.
Maksud nasyid ini adalah untuk memberi dorongan semangat ketika keletihan atau ketika berjihad. Tidak sampai melalaikan dari yang wajib atau melarang dari kewajiban.
Dengan membaca, merenungi, dan mendengarkan lantunan Al-Qur’an hati kita akan hidup dan tertata karena inilah yang disyari’atkan.
Ingatlah bahwa Al Qur’an dan musik sama sekali tidak bisa bersatu dalam satu hati. Kita bisa memperhatikan perkataan murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, yaitu Ibnul Qayyim rahimahullah.
Beliau mengatakan, “Sungguh nyanyian dapat memalingkan hati seseorang dari memahami, merenungkan dan mengamalkan isi Al Qur’an. Ingatlah, Al Qur’an dan nyanyian selamanya tidaklah mungkin bersatu dalam satu hati karena keduanya itu saling bertolak belakang.
Al Quran melarang kita untuk mengikuti hawa nafsu, Al Qur’an memerintahkan kita untuk menjaga kehormatan diri dan menjauhi berbagai bentuk syahwat yang menggoda jiwa.
Al Qur’an memerintahkan untuk menjauhi sebab-sebab seseorang melenceng dari kebenaran dan melarang mengikuti langkah-langkah setan. Sedangkan nyanyian memerintahkan pada hal-hal yang kontra (berlawanan) dengan hal-hal tadi.”
Dari sini, pantaskah Al Qur’an ditinggalkan hanya karena terbuai dengan nyanyian? Ingatlah, jika seseorang meninggalkan musik dan nyanyian, pasti Allah akan memberi ganti dengan yang lebih baik.
ุฅََِّูู َْูู ุชَุฏَุนَ ุดَْูุฆุงً َِِّููู ุนَุฒَّ َูุฌََّู ุฅِูุงَّ ุจَุฏَََّูู ุงَُّููู ุจِِู ู َุง َُูู ุฎَْูุฑٌ ََูู ู ُِْูู
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.”[HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih]
Tatkala Allah memerintahkan pada sesuatu dan melarang dari sesuatu pasti ada maslahat dan manfaat di balik itu semua.
Sibukkanlah diri dengan mengkaji ilmu dan mentadaburri Al Quran, niscaya perlahan-lahan perkara yang tidak manfaat semacam nyanyian akan ditinggalkan.
Semoga Allah membuka hati dan memberi hidayah bagi setiap orang yang membaca risalah ini.
0 Response to "Halal dan Haramnya Musik"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak