Kedudukan Ruh pada Manusia
Proses penciptaan manusia, seperti dinyatakan dalam al-Quran, dilakukan melalui dua tahap, yaitu penyempurnaan fisik dan peniupan atau penghembusan ruh ilahi ke dalam dirinya.
Pada tahap penciptaan yang bersifat fisik, proses penciptaan tersebut dilakukan dengan melalui dua model, yaitu penciptaan yang berasal dari tanah dan penciptaan yang dilakukan melalui fase-fase tertentu di dalam rahim seorang perempuan.
Model yang pertama diperlakukan kepada Nabi Adam as.,sedangkan model yang kedua berlaku untuk umat manusia secara keseluruhan. Proses penciptaan tersebut dapat dilihat dalam kutipan dua ayat di bawah ini
وَالۡجَـآنَّ خَلَقۡنٰهُ مِنۡ قَبۡلُ مِنۡ نَّارِ السَّمُوۡمِ . وَاِذۡ قَالَ رَبُّكَ لِلۡمَلٰۤٮِٕكَةِ اِنِّىۡ خَالـِقٌۢ بَشَرًا مِّنۡ صَلۡصَالٍ مِّنۡ حَمَاٍ مَّسۡنُوۡنٍ .فَاِذَا سَوَّيۡتُهٗ وَنَفَخۡتُ فِيۡهِ مِنۡ رُّوۡحِىۡ فَقَعُوۡا لَهٗ سٰجِدِيۡنَ
Artinya: "Dan kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk; maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS al-Hijr (15): 27-29).
وَلَقَدۡ خَلَقۡنَا الۡاِنۡسَانَ مِنۡ سُلٰلَةٍ مِّنۡ طِيۡنٍ .ثُمَّ جَعَلۡنٰهُ نُطۡفَةً فِىۡ قَرَارٍ مَّكِيۡنٍ .ثُمَّ خَلَقۡنَا النُّطۡفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقۡنَا الۡعَلَقَةَ مُضۡغَةً فَخَلَقۡنَا الۡمُضۡغَةَ عِظٰمًا فَكَسَوۡنَا الۡعِظٰمَ لَحۡمًا ثُمَّ اَنۡشَاۡنٰهُ خَلۡقًا اٰخَرَ ؕ فَتَبٰـرَكَ اللّٰهُ اَحۡسَنُ الۡخٰلِقِيۡنَ
Artinya: "Dan sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta yang paling baik" (QS al-Mu'minun (23):12-14).
Ayat al-Quran yang terdapat dalam surat al-Hijar ayat 27-29 di atas, secara tegas membedakan asal kejadian manusia (Adam dan juga keturunannya) dan asal kejadian jin.
Perbedaan itu bukan saja pada unsur tanah dan api, tetapi yang lebih penting adalah bahwa pada unsur kejadian manusia ada ruh ciptaan Allah subhanahu wa ta'ala Unsur ruh ini tidak ditemukan pada iblis maupun jin.
Unsur ruh itulah yang mengantar manusia lebih mampu mengenal Allah subhanahu wa ta'ala, beriman, berbudi luhur serta berperasaan halus.
Selanjutnya, seperti dijelaskan dalam al-Quran surat al-Mu'minun (23):12-14) di atas, bahwa proses reproduksi manusia disebutkan secara bertahap dari fase ke fase.
Proses pembentukan (taswiyah) manusia yang terjadi di dalam rahim seorang perempuan, terjadi melalui suatu proses transformasi dari fase ke fase.
Proses tersebut diawali dari fase sulalah min thin (saripati dari tanah), kemudian nuthfah (pertemuan sperma dan ovum), kemudian'alaqah (berdempetnya zyghote ke dinding rahim), kemudian mudghah dan 'idzamm (segumpal daging dan tulang), dan akhirnya sampailah pada titik kesempurnaanya, yaitu susunan fisiknya yang harmonis.
Dilihat dari proses ini, pembentukan manusia tersebut murni bersifat "materi". Di sinilah peran "perantara" yang telah dimainkan oleh para pasangan suami-isteri dalam proses penciptaan manusia.
Setelah melewati fase-fase tersebut, di saat embrio janin sudah siap, maka ditiupkan ruh ilahi ke dalam dirinya. Kemudian dijadikanlah ia oleh Allah makhluk yang berbeda dari yang lain, yaitu dengan jalan menghembuskan ruh ilahi kepadanya.
Memperhatikan proses penciptaan dan kejadian manusia di atas, secara substansial menunjukkan adanya dimensi fisik atau jasmani di satu pihak, dan dimensi ruhani atau spiritual di pihak lain.
Unsur fisik, darah, dan daging, dipandang oleh para ulama tasawuf sebagai unsur yang telah menyebabkan dorongan manusia melakukan aktivitas untuk mempertahankan hidup jasmani dan keturunannya, seperti makan, minum, dan hubungan seksual.
Sedangkan unsur ruh telah menyebabkan manusia berhubungan dengan penciptanya. Karena seperti diketahui bahwa unsur ruh tersebut berasal dan bersumber langsung dari Allah subhanahu wa ta'ala atau dalam istilah alQuran 'min ruhi'.
Melalui unsur ruh yang ada dalam dirinya, mengantarkan manusia untuk menundukkan kebutuhan-kebutuhan jasmaninya sesuai dengan tuntunan ilahi.
Al-ruh al-ilahi adalah daya tarik yang mengangkat manusia ke tingkat kesempurnaan, ahsani taqwim. Apabila manusia melepaskan dari daya tarik tersebut, ia akan jatuh meluncur ke tempat sebelum daya tarik tadi berperan dan ketika itu terjadilah kejatuhan manusia.
Manusia mencapai tingkat yang setinggi-tingginya (ahsan taqwim) apabila terjadi perpaduan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, antara kebutuhan fisik dan jiwa.
Tetapi, apabila manusia hanya memperhatikan dan melayani kebutuhan-kebutuhan jasmaninya saja, maka ia akan kembali atau dikembalikan kepada proses awal kejadiannya, sebelum ruh ilahi menyentuh fisiknya, yaitu kembali ke asfala safilin.
Dalam al-Quran, kata al-ruh digunakan sebanyak 22 kali. Penggunaan kata ini diungkapkan dalam berbagai bentuk, seperti ruh, ruha, ruhan, ruhihi, dan ruhii (misalnya dalam al-Quran al-Nisa (4): 171; al-Hijr (15): 29; al-Isra (17): 85; Maryam (19): 17; al-Syura (42): 52; Shad (38): 72).
Isyarat yang menyangkut unsur immaterial manusia antara lain berkaitan dengan keberadaan al-ruh ini. Adapun beberapa ayat dalam al-Quran yang berkaitan langsung dengan proses kejadian atau penciptaan manusia antara lain:
يَا أَهْلَ الْكِتَابِ لَا تَغْلُوا فِي دِينِكُمْ وَلَا تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ ۚ إِنَّمَا الْمَسِيحُ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ رَسُولُ اللَّهِ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَىٰ مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ ۖ فَآمِنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ۖ وَلَا تَقُولُوا ثَلَاثَةٌ ۚ انْتَهُوا خَيْرًا لَكُمْ ۚ إِنَّمَا اللَّهُ إِلَٰهٌ وَاحِدٌ ۖ سُبْحَانَهُ أَنْ يَكُونَ لَهُ وَلَدٌ ۘ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ ۗ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَكِيلًا
Artinya: "Wahai ahli kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah kamu mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar. Sesungguhnya Al Masih, Isa putera Maryam itu, adalah utusan Allah dan (yang diciptakan dengan) kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam, dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya. Maka berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya dan janganlah kamu mengatakan: "(Tuhan itu) tiga", berhentilah (dari ucapan itu). (Itu) lebih baik bagimu. Sesungguhnya Allah Tuhan yang Maha Esa, Maha Suci Allah dari mempunyai anak, segala yang di langit dan di bumi adalah kepunyaan-Nya. Cukuplah Allah menjadi Pemelihara" (QS An-Nisa (4): 171).
وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ (٢٧) وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ(٢٨)فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ(٢٩)
Artinya: "Dan kami telah menciptakan jin sebelum (Adam) dari api yang sangat panas. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk; maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS alHijr (15): 27-29).
الَّذِي أَحْسَنَ كُلَّ شَيْءٍ خَلَقَهُ وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ (7) ثُمَّ جَعَلَ نَسْلَهُ مِنْ سُلالَةٍ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ (8) ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ قَلِيلا مَا تَشْكُرُونَ (9)
Artinya: "Yang membuat segala sesuatu yang dia ciptakan sebaik-baiknya dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Nya dan dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur (QS al-Sajdah (32): 7-9).
وَ الَّتِیۡۤ اَحۡصَنَتۡ فَرۡجَہَا فَنَفَخۡنَا فِیۡہَا مِنۡ رُّوۡحِنَا وَ جَعَلۡنٰہَا وَ ابۡنَہَاۤ اٰیَۃً لِّلۡعٰلَمِیۡنَ
Artinya: "Dan (ingatlah kisah) Maryam yang telah memelihara kehormatannya, lalu kami tiupkan ke dalam (tubuh)nya ruh dari kami dan kami jadikan dia dan anaknya tanda (kekuasaan Allah) yang besar bagi semesta alam" (QS al-Anbiya (21): 91).
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ(٧١)فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ (٧٢) فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ (٧٣) إِلَّا إِبْلِيسَ اسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (٧٤)
Artinya: "(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah". Maka apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)Ku; maka hendaklah kamu tersungkur dengan bersujud kepadanya". Lalu seluruh malaikat-malaikat itu bersujud semuanya, kecuali Iblis; dia menyombongkan diri dan adalah dia termasuk orang-orang yang kafir (QS Shad (38): 71-74).
وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيهِ مِنْ رُوحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِينَ
Artinya: "Dan (Ingatlah) Maryam binti Imran yang memelihara kehormatannya, maka kami tiupkan ke dalam rahimnya sebagian dari ruh (ciptaan) kami, dan dia membenarkan kalimat Rabbnya dan Kitab-KitabNya, dan dia adalah termasuk orang-orang yang taat" (QS al-Tahrim (66): 12).
Dari beberapa ayat yang dikutip di atas penggunaan kata ruh antara lain berbunyi: min ruhiy, min ruhihi, min ruhina, ruhun minhu.
Dalam hal ini, para ulama berbeda pendapat dan mengalami kesulitan untuk menyingkap dan menetapkan makna yang terkandung dalam kata ruh ini, apalagi berbicara tentang substansinya.
Allah hanya mengisyaratkan bahwa ruh itu adalah urusannya, dan bahwa manusia tidak diberi ilmu kecuali sedikit saja.
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الرُّوحِ ۖ قُلِ الرُّوحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا
Artinya: "Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit" (QS al-Isra (17): 85).
Menurut Quraish Shihab, dalam menafsirkan ayat 85 dari al-Quran surat alIsra tentang ruh, banyak ulama yang memahaminya dalam arti 'potensi' pada diri makhluk yang menjadikannya dapat hidup.
Al-Ghazali misalnya, menurutnya, ruh adalah daya yang mendatangkan kehidupan, disebut juga dengan 'daya kebinatangan' atau 'ruh binatang'. Ruh, laksana cahaya, ia telah mendatangkan daya kehidupan terhadap seluruh organ atau anggota tubuh.
Sementara itu, Ibn Qayyim berpendapat, bahwa ruh adalah daya yang berbentuk cahaya yang bergerak dari dunia maknawi menuju badan yang bersifat materi. Ruh lah yang telah memberikan kehidupan pada jasmani sehingga dapat diraba dan dirasakan.
Allamah Thabathaba'i selanjutnya menemukakan pendapatnya tentang ayat di atas dengan menyatakan bahwa dari segi kebahasaan makna ruh adalah sumber hidup yang dengannya hewan (manusia dan binatang) merasa dan memiliki gerak yang dikehendakinya.
Kata ini juga dipakai untuk menunjuk hal-hal yang berdampak baik lagi diinginkan. Namun demikian, dari serangkaian ayat-ayat al-Quran yang memuat kata ruh di atas, tidak ditemukan pada ayat-ayat itu yang bermakna sebagai 'sumber hidup'.
Beralasan dengan makna kata ruh yang berlainan sesuai konteksnya, Thabathaba'i berkesimpulan bahwa ruh yang ditanyakan dalam al-Quran surat al-Isra ayat 85 di atas, adalah berkaitan dengan hakekat ruh itu sendiri. Jawaban atas pertanyaan itu itu adalah bahwa 'ruh itu urusan Tuhan' dan ilmu yang dimiliki manusia berkaitan dengan hakekat ruh tidak memadai.
Ruh memiliki wilayah dalam wujud ini, mempunyai kekhususan dan ciri-ciri serta dampak di alam raya ini yang sungguh indah dan mengagumkan, tetapi ada tirai yang menghalangi manusia untuk mengetahuinya, demikian menurut Thabathaba'i.
Meskipun ada keterbatasan keilmuan yang dianugerahkan Allah kepada manusia, terutama pada saat ayat ini turun, menurut Quraish Shihab tidak berarti bahwa manusia tidak boleh melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk menyingkap makna ruh ini.
Hal ini dapat dilakukan karena dewasa ini telah tersedia bagi para ilmuwan sarana dan prasarana yang akan dapat mengantarkan manusia untuk mencari jawaban atas pertanyaan tentang ruh tersebut.
Akan tetapi apa yang kemudian dilakukan manusia untuk mengetahui hakekat ruh ini dalam pengertian umum saja atau sampai hakikat yang detail?
Sampai saat ini hakekat dari ruh ini masih menjadi misteri dan yang diperoleh para ilmuwan baru sampai pada hal-hal yang sifatnya umum saja.
Ruh Allah ini, seperti dinyatakan dalam ayat-ayat di atas, masuk ke dalam diri manusia melalui suatu proses yang di dalam al-Quran digunakan istilah alnafakh.
Secara bahasa nafakh berarti tiupan atau hembusan, jadi Allah meniupkan atau menghembuskan ruh-Nya kepada manusia.
Pengertian bahasa seperti itu tidak tepat serta tidak sesuai, sebab tidak mungkin bagi Allah melakukan aktifitas 'tiupan' ataupun 'hembusan'.
Menurut Al-Gazali al-nafakh di sini tidak dapat diartikan secara harfiah, sebab itu mustahil bagi Allah. Al-nafakh di sini dapat dilihat dari dua sisi.
Dilihat dari sisi Allah, al-nafakh adalah kemurahan Allah (al-jud al-ilahi) yang memberikan wujud kepada sesuatu yang menerimanya. Al-jud ini mengalir dengan sendirinya (fayyad fi al-nafsihi) atas segala hakekat yang diadakan-Nya.
Dengan demikian, penciptaan ini bersifat emanasi, yakni ruh mengalir dari Zat Allah melalui al-jud al-ilahi kepada manuasia tanpa suatu perubahan pada diri Allah.
Pernyataan Tuhan “kemudian Kuhembuskan (nafakhtu) kepadanya dari ruhKu” apakah di sini berarti nyawa?. Menurut Quraish Shihab, seperti telah dikemukakan di atas, ada ulama yang mengartikan ruh ini dengan nyawa, meskipun ada juga yang tidak sependapat dengan arti tersebut.
Ulama yang tidak sependapat beralasan karena seperti yang tertera dalam surat al-Mu‟minun ayat 12-14 di atas dinyatakan bahwa dengan ditiupkan ruh maka menjadilah makhluk ini khalqan akhar.
Qurais Shihab mengartikan kata khalqan akhar dengan 'mahluk unik atau istimewa' yang berbeda dari makhluk lain. Padahal „nyawa‟ (nafs) itu dimiliki juga oleh makhluk-makhluk lain selain manusia. Kalau demikian „nyawa‟ (nafs) bukanlah merupakan suatu unsur yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang unik.
Istilah khalqan akhar mengisyaratkan bahwa manusia berbeda dengan makhluk lainnya, seperti hewan, karena di dalam diri manusia ada unsur ruh.
Memperhatikan proses kejadian manusia dalam surat al-Mu‟minun ayat 12-14 tentang tahap dan fase-fase menunjukkan bahwa sejak terjadinya pembuahan, maka kehidupan manusia sudah dimulai. Karena ia telah hidup, maka sejak saat itu pula ia telah memiliki nafs.
Dengan demikian pernyataan Kuhembuskan kepadanya dari ruh-Ku’ menegaskan perbedaan antara ruh dan nafs.
Memperhatikan konteks surat al-Mu‟minun ayat 12-14 di atas, dapat dipahami bahwa secara potensial nafs sudah ada sejak masa kandungan dimulai, tetapi baru dapat aktual setelah manusia dilahirkan.
Ruh dengan demikian merupakan dimensi atau aspek nafs yang diciptakan Allah melalui proses nafakh yang khusus untuk manusia.
Berbeda dengan nafs, sebab nafs telah ada sejak nuthfah dalam proses konsepsi, sedangkan ruh baru mengalir setelah nuthfah mencapai kondisi kesempurnaan (istiwa).
Dari keseluruhan ayat-ayat di atas dapat dilihat dengan jelas bahwa ruh memiliki hubungan kepemilikan dan asal dengan Allah. Hubungan kepemilikan dan asal tersebut mengisyaratkan bahwa ruh merupakan dimensi jiwa manusia yang bernuansa ilahiyah.
Implikasinya dalam kehidupan manusia adalah aktualisasi potensi luhur batin manusia berupa keinginan mewujudkan nilai-nilai ilahiyah yang tergambar dalam al-asma al-husna dalam perilaku kesehariannya.
Dalam banyak literatur Islam, arti ruh yang terdapat dalam ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan penciptaan Adam as dan keturunannya, dinyatakan bahwa ruh itulah yang membuat manusia siap untuk mempunyai sifat-sifat yang luhur dan mengikuti kebenaran.
Ruh merupakan unsur yang di dalamnya terkandung kesiapan manusia untuk merealisasikan hal-hal yang paling luhur dan sifat-sifat yang paling suci. Ruh-lah yang membuat manusia siap untuk membumbung tinggi melampaui peringkat hewan.
Dengan penciptaan seperti itu, manusia dibedakan dari seluruh makhluk ciptaan Allah. Manusia, dalam beberapa hal, sama dengan hewan, misalnya keadaan fisik dan emosinya untuk mempertahankan diri.
Ruh yang ada dalam dirinya menjadikan manusia cenderung mencari Allah dan rindu akan keutamaan yang akan mengantarkannya mencapai kesempurnaan manusiawi.
Oleh karena itulah manusia layak untuk menjadi khalifatullah di bumi ini. Pendek kata, bahwa yang membedakan manusia dari hewan adalah percikan ruh dari Allah atas dirinya.
Ruh menurut al-Ghazali menunjukkan kelembutan ilahi (lathifah ilahiyah) dan berada dalam hati badaniah manusia. Ruh dimasukkan ke dalam tubuh melalui 'saringan yang halus'.
Pengaruhnya terhadap tubuh adalah seperti 'lilin' di dalam kamar. Tanpa meningalkan tempatnya, cahayanya memancarkan sinar kehidupan bagi seluruh tubuh.
Karena ruh merupakan lathifah maka ia merupakan suatu unsur ilahi. Sebagai sesuatu yang halus, ruh merupakan kelengkapan pengetahuan yang tertinggi dari manusia.
Sebagai konsekueni bahwa ruh berasal dari Allah, maka ia memiliki sifatsifat yang dibawa dari asalnya tersebut. Pada saat yang sama kebutuhan manusia terhadap agama juga merupakan suatu hal yang logis karena berasal dari sumber yang sama, yaitu Allah.
Itulah sebabnya mengapa dalam agama keyakinan terhadap Allah menempati prioritas yang utama bahkan sebagai porosnya.
Tetapi karena tarikan-tarikan fisik yang sangat kuat dan luar biasa dalam diri manusia, kesadaran ilahiyah yang ada dalam dirinya menjadi tertimbun ke dasar yang paling dalam.
Itulah gambaran yang dilukiskan dalam surat al-Tin dengan penrnyataan "kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya", yaitu pada keadaan ketika ruh belum dihembuskan ke dalam dirinya.
ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ
Artinya: "Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendahrendahnya" (QS al-Tin (95): 5).
Manusia berada dalam fitrahnya yang benar, demikian dikatakan oleh Abdul Majid dkk. ketika unsur ruh mengendalikan dan mengarahkan unsur jasmani.
Ketika itu ruh memberikan pengetahuan, pengertian, kehendak, ikhtiar, dan ketetapan atau keputusan atas sesuatu kepada jasmaninya.
Manusia dikatakan tidak berada dalam fitrahnya yang normal, ketika kecenderungan jasmani terlalu mendominasinya, dan menguasai berbagai perilakunya.
Terlebih ketika dominasi jasmani tersebut sampai memadamkan lentera ruh dan petunjuk-petunjuknya, sehingga tertutup-lah pengetahuan, pengertian, kehendak, dan ikhtiar.
Dalam dua keadaan di atas, manusia telah menjadi 'campuran' yang saling terkait. Dalam 'campuran' itu, kadang-kadang dikuasai oleh nafsu jasmani dan pada saat yang lain diarahkan oleh unsur ruh.
Suatu saat manusia melakukan perbuatan buruk dan pada saat yang lain melakukan perbuatan yang baik. Dengan demikian keburukan dan kebaikan, jelas melekat pada manusia. Ia tidak bisa membebaskan atau menghindarkan diri dari kedua unsur itu.
Manusia yang diarahkan oleh ruhnya, ketika makan, minum, dan menikmati kesenangan bendawi, maka yang dilakukannya adalah mengukur dan mengatur perbuatan itu atas dasar kaidah-kaidah yang dibenarkan.
Makan dan minum adalah bagian atau merupakan sarana terbaik untuk melangsungkan kehidupan fisiknya.
Untuk itu, ia akan melakukan pilihan terbaik atas makanan dan minuman yang sesuai dengan kebutuhan fisiknya tersebut. Di sinilah berlaku kaidah halalan thayyiban.
Kehalalan di sini bersifat universal, berlaku untuk semua orang tanpa kecuali; tetapi thayyiban, boleh jadi bersifat individual, disebabkan kebutuhan asupan makanan dan minuman antara satu orang dengan orang lain bisa berbeda karena faktor-faktor tertentu.
Dominasi ruh ini menyadarkan manusia akan tujuan dan maksud tindakantindakan, serta tujuan penciptannya. Ruh memberinya kesadaran dan pengertian akan hakikat kehidupan yang diberikan Allah kepada dirinya.
Ruh, menjadikan manusia lebih cendikia atau cerdas dalam memilih perbuatan-perbuatannya sehari-sehari, sehingga terhindar dari perilaku-perilaku yang buruk.
Penguasaan ruh atas jasmani mendorong manusia untuk berkorban, berbagi dengan pihak lain, mengedepankan rasa cinta dan kasih sayang kepada sesama.
Penguasaan ruh atas jasmani akan menimbulkan berbagai kebaikan pada seseorang. Kebaikan yang sifatnya individual ini pada saatnya dapat menimbulkan kebaikan bagi individu lain sesuai dengan kadarnya, yang berujung dengan lahirnya kebaikan kolektif.
Kebaikan kolektif ini akan terwujud, ketika anggota masyarakat secara bersama-sama menjaga moral, menjauhi tindakan buruk, menghindari pemakaian narkoba, menjauhi perilaku asusila, tidak melakukan hubungan seks pra nikah, tidak membiaskan perilaku koruptif, tidak berlaku diskriminatif, dan seterusnya.
Kebaikan yang lain dari penguasaan ruh atas jasmani adalah kebaikan indvidual untuk rela berbagi dengan orang lain. Kebaikan kolektif untuk hal ini akan dapat terwujud ketika semua anggota masyarakat bersama-sama saling tolong menolong dan bahu membahu menjalankan kebaikan.
Masing-masing individu bersedia berkorban demi kepentingan bersama. Tidak ada yang menindas dan tertindas. Tidak ada yang zalim dan dizalimi. Kekuasaan dimanfaatkan untuk menegakkan kebenaran, memerintahkan kebajikan, dan melarang kemungkaran.
Kebaikan yang lain dari penguasaan ruh atas jasmani adalah kebaikan indvidual yang berupa kepribadian yang positif, aktif, kreatif, penuh semangat, dan menikmati apa yang dimilikinya dengan penuh keridhaan.
Suatu kebaikan kolektif akan menjadi kenyataan, apabila suatu kelompok masyarakat bisa diarahkan kepada kebaikan, ada upaya untuk mengurangi kesempatan munculnya tindak kejahatan, kemungkaran, dan kezaliman.
Dominasi ruh atas jasmani bisa mengatur semua hal di atas, sebagai penanggung jawab jiwa, serta kenyataan hidup. Pada situasi yang demikian, jasmani tidak kehilangan semangat. Ia pun dapat menikmati indahnya kehidupan.
Manusia yang memiliki karakter demikian tidak dihinggapi oleh kelemahan, termasuk beban-beban berat yang tidak sesuai dengan tabiatnya. Kebaikan menjadi suatu kebajikan dalam semua situasi, kondisi, dan generasi, serta lingkungan.
Namun demikian, perlu ditegaskan di sini bahwa sesungguhnya jasmani tidaklah buruk atau jahat. Ia diciptakan Allah tidak dalam keadaan buruk dan jahat.
Namun, seperti telah disebutkan di muka, keburukan tumbuh dari pengaruh dominasi kecenderungan jasmani yang berlangsung lama terhadap masyarakat.
Oleh karena itu, dominasi itu sebaiknya dikuasai oleh ruh, sehingga bisa tumbuh alami, wajar, dan menjadikan manusia sebagai manusia, serta mengangkatnya lebih tinggi dari binatang.
Tatkala kehidupan ruh sudah tidak bermakna, atau ia telah menjadikan kecenderungan jasmani sebagai dominator atas segala sesuatu, yang mestinya dikuasai ruh, ketika itu cahaya ruh akan meredup, padam, dan tidak bisa menyinari jalan kehidupan jasmani. Akibatnya muncullah disharmoni.
Kendati masih ada ruh pada dirinya, tetapi manusia telah turun derajatnya, menjadi lebih rendah dari binatang. Ia menjadi serendah-rendah makhluk, karena meninggalkan kekuatankekuatan ruh.
Ketika manusia dikatakan seperti binatang dan lebih sesat dari binatang, karena di satu sisi binatang tidak dituntut untuk menaikkan derajat, dan itu tidak dapat dilakukannya.
Dengan keaslian tabiatnya, binatang hanya melakukan apa yang dilakukan, tanpa memperhitungkan nilai dan dampaknya. Binatang sekadar mengada, sekedar mengikuti naluri, yang telah menjadi ketentuan alamiahnya.
Ketika manusia telah mengingkari fitrah kenormalannya, dengan demikian ia telah keluar dari batas-batas manusia normal.
Manusia yang demikian, meskipun masih disebut manusia, ia memiliki tingkat yang lebih rendah, disamakan dengan derajat binatang, bahkan lebih rendah dari padanya.
Manusia seperti ini telah kehilangan kendali, sekaligus tidak mempunyai kendali ruh dalam mengatur tindakan-tindakannya. Manusia telah menjadi makhluk yang buruk lagi jahat, karena telah menyimpang dari ketentuan tolok ukur bagi manusia normal.
Ruh adalah unsur lathifah ilahiyyah yang membedakan manusia dari makhluk-makhluk lainnya. Ruh inilah yang menjadi ciri fithri dan khas manusia, maka manusia harus mengembangkan potensi yang dibawanya ini.
Melalui ruh inilah manusia memiliki 'citra' atau 'gambaran' Tuhan di dalam dirinya. Oleh karena itu, manusia harus mengembangkan perilaku hidupnya sesuai dengan tuntutan lathifah ilahiyah ini.
Menyadari akan adanya potensi yang mengarah pada perilaku yang negatif pada dirinya yang berupa nafsu (al-hawa, al-syahwah), maka jalan terbaik untuk itu adalah menyalakan kesadaran ruh ilahiyyah sepanjang kehidupanya.
Untuk menyalakan latihifah ilahiyyah atau ruh ilahiyyah ini, sehingga dapat menerangi jalan kehidupan ini, selain melalui pendidikan (ta'limiyah, tarbiyah, dan ta’dibiyah), adalah melalui pelatihan (al-tajribah, al-mu'anah, dan al-riyadhah).
Proses ini akan menjadi efektif jika ada pembimbing yang dapat mengarahkan dan mengoreksi berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi.
Orang tua, guru, lembaga pendidikan, dan masyarakat secara keseluruhan, secara serentak memiliki tanggung jawab dan mengemban misi untuk mengarahkan proses pembentukan karakter yang didasari adanya lathifah ilahiyyah atau ruh ilahiyyah ini.
Pendidikan, pengajaran, pelatihan, dan tentu saja keteladanan langsung dari berbagai pihak sangat dan akan membantu berkembangnya lathifah ilahiyyah atau ruh ilahiyyah ini.
0 Response to "Kedudukan Ruh pada Manusia"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak