Mengenal Kesalehan Individu dan Kesalehan Sosial

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu setia dan Istiqomah hingga hari akhir.

Sering kita dengar dari kalangan Muslim, orang yang  mempertentangkan antara kesalehan individual dan kesalehan sosial.  

Mereka memisahkan secara dikotomis  antara dua bentuk kesalehan ini. Seolah-olah dalam Islam memang ada dua macam kesalehan: “kesalehan individual/ ritual” dan “kesalehan sosial”.

Dalam kenyataannya, kita juga melihat masih terdapat ketimpangan yang tajam antara kesalehan individual dan kesalehan sosial. Banyak orang yang saleh secara individual, namun tidak atau kurang saleh secara sosial.

Kesalehan individual kadang disebut juga dengan kesalehan ritual, kenapa? Karena lebih menekankan  dan mementingkan pelaksanaan  ibadah ritual, seperti shalat, puasa, zakat, haji, zikir, dst. 

Disebut kesalehan individual karena hanya mementingkan ibadah yang semata-mata berhubungan dengan Tuhan dan kepentingan diri sendiri. 

Sementara pada saat yang sama mereka tidak memiliki kepekaan sosial, dan kurang menerapkan nilai-nilai islami dalam kehidupan bermasyarakat.  

Pendek kata, kesalehan jenis ini ditentukan berdasarkan ukuran serba  formal, yang hanya hanya mementingkan hablum minallah, tidak disertai hablum minan nas.

Sedangkan “Kesalehan Sosial” menunjuk pada perilaku orang-orang yang sangat peduli dengan nilai-nilai islami, yang bersifat sosial. 

Bersikap santun pada orang lain, suka menolong, sangat concern terhadap masalah-masalah ummat, memperhatikan dan menghargai hak sesama, mampu berpikir berdasarkan perspektif orang lain, mampu berempati, artinya  mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain, dan seterusnya. 

Kesalehan sosial dengan demikian adalah suatu bentuk kesalehan yang tak cuma ditandai oleh rukuk dan sujud, puasa, haji melainkan juga ditandai oleh seberapa besar seseorang memiliki kepekaan sosial dan berbuat kebaikan untuk orang-orang di sekitarnya. 

Sehingga orang merasa nyaman, damai, dan tentram berinteraksi dan bekerjasama dan bergaul dengannya.

Dalam Islam, sebenarnya kedua corak kesalehan itu merupakan suatu kemestian yang tak usah ditawar. Keduanya harus dimiliki seorang Muslim, baik kesalehan individual maupun kesalehan sosial. 

Agama mengajarkan “Udkhuluu fis silmi kaffah !” bahwa kesalehan dalam Islam mestilah secara total !”. Ya shaleh secara individual/ritual juga saleh secara sosial. 

Karena ibadah ritual selain bertujuan pengabdian diri pada Allah juga bertujuan membentuk kepribadian yang islami sehingga punya dampak positif terhadap kehidupan sosial, atau hubungan sesama manusia.

Karena itu, kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur dari seperti ibadah ritualnya shalat dan puasanyanya, tetapi juga dilihat dari output sosialnya/ nilai-nilai dan perilaku sosialnya: berupa kasih sayang pada sesama, sikap demokratis, menghargai hak orang lain, cinta kasih, penuh kesantunan, harmonis  dengan orang lain, memberi dan membantu sesama.

Dalam sebuah hadis dikisahkan, bahwa suatu ketika Nabi Muhammad Shalallahu 'Alaihi Wassallam mendengar berita tentang seorang yang rajin shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi lidahnya menyakiti tetangganya. 

Apa komentar nabi tentang dia, singkat saja, “Ia di neraka.” Kata nabi. Hadis ini memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja belum cukup. Ibadah ritual mesti dibarengi dengan kesalehan sosial.

Dalam hadis lain diceritakan, bahwa seorang sahabat pernah memuji kesalehan orang lain di depan Nabi. 

Nabi bertanya, “Mengapa ia kau sebut sangat saleh?” tanya Nabi. Sahabat itu menjawab, “Soalnya, tiap saya masuk masjid ini dia sudah salat dengan khusyuk dan tiap saya sudah pulang, dia masih saja khusyuk berdoa.”  “Lho, lalu siapa yang memberinya makan dan minum?” tanya Nabi lagi. 

“Kakaknya,” sahut sahabat tersebut. Lalu kata Nabi, “Kakaknya itulah yang layak disebut saleh.” Sahabat itu diam.

Kenapa? Karena sebuah pengertian baru terbentuk dalam benaknya, bahwa ukuran kesalehan, dengan begitu, menjadi lebih jelas. 

Kesalehan tidak hanya dilihat dari ketaatan dan kesungguhan seseorang dalam menjalankan ibadah ritual, karena ini sifatnya hanya individual dan sebatas hubungan dengan Allah (Hablum minallah) tetapi kesalehan juga dilihat dari dampak kongkretnya dalam kehidupan bermasyarakat.

Kesalehan sangat tergantung pada  tindakan nyata seseorang, dalam hubungannya dengan sesama manusia (Hablum minan nas); juga sangat tergantung pada sikap serta prilakunya terhadap alam, baik hewan, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya (hablum minal alam).

Pada bulan suci Ramadan ini, umat muslim melaksanakan rukun Islam yang ke empat, yakni menjalankan ibadah puasa. Bulan penuh rahmat, berkah, serta ampunan. Bulan yang sangat dinantikan karena memiliki nuansa yang begitu istimewa bagi setiap muslim, dimana pun berada.

Karena itu kesalehan mencakup hubungan baik dengan Allah (hablum minallah), hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minan nas), dan hubungan baik dengan alam (hablum minal alam).

Seorang Kiyai pernah ditanya santrinya, “Kiyai seperti apa sih yang disebut orang shaleh”? Kiyai itu menjawab: yaitu “Orang yang menyeimbangkan ushali dan usaha, ” artinya orang saleh adalah orang yang mampu menyeimbangkan antara ibadah ritual dan prilaku sosialnya. 

Artinya tidak hanya rajin beribadah, tetapi berprilaku baik pada sesama sebagai manifestasi dari ibadahnya itu.

Dengan demikian, Islam bukan agama individual. Ajaran Islam yang dibawa Nabi Muhammad adalah agama yang dimaksudkan sebagai rahmat bagi semesta alam (Rahmatan lil alamin). 

Agama yang tidak hanya untuk kepentingan penyembahan dan pengabdian diri pada Allah semata tetapi juga menjadi rahmat bagi semesta alam. 

Karena itu, dalam al-Quran kita jumpai fungsi manusia itu bersifat ganda, bukan hanya sebagai abdi Allah tetapi juga sebagai khalifatullah. 

Khalifatullah berarti memegang amanah untuk memelihara, memanfaatkan, melestarikan dan memakmurkan alam semesta ini, karena itu mengandung makna hablum minan nas wa Hablum minal alam.

Bagaimana mungkin kita bisa membuat alam ini lestari, makmur dan penuh kedamain bila kita tidak memiliki sikap yang baik terhadap sesama manusia maupun pada alam semesta. 

Dalam rangka itu, maka hampir tidak ada ibadah yang dianjurkan dalam Islam yang tidak memiliki nilai atau efek sosial, yang dimaksudkan untuk tahzib, ta’dib dan tazkiyat al-nafs. 

Tahzib berarti  mengarahkan jiwa, ta’dib berarti membentuk karakteristik jiwa yang baik, serta tazkiyat al-nafs yang berarti untuk pensucian jiwa. 

Artinya semua ibadah itu pada akhirnya ditujukan untuk membentuk prilaku yang melakukan ibadah itu, yang ujung-ujungnya akan memberi dampak sosial pada lingkungan sekitarnya.

Puasa sendiri dimaknai sebagai al imsaaku ani al mufthiraat min thuluu i al fajri ila ghuruubi al syamsi ma anniyah, menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkan puasa. 

Kita lihat saja shalat, misalnya. Shalat, dimulai dengan takbir “Allahu Akbar”. Ini menunjukkan bahwa hidup seorang Muslim itu didasarkan kepada pengabdian kepada Allah Yang Maha Besar. 

Setelah melakukan dialog dengan Allah, meminta petunjuk jalan yang benar, shalat ditutup dengan salam, ke kanan dan ke kiri, yang berarti diharapkan dapat memberikan efek sosial yang tinggi.

Menyebarkan perdamaian dan keselamatan (Salam) bagi semua pihak, baik yang di kiri maupun yang di kanan. Karena itu shalat mestinya tanha anil fahsya’i wal munkar. 

Dengan demikian kalau ada orang yang rajin shalat, tapi masih suka menyakiti orang lain, maka shalatnya patut dipertanyakan. Iya nggak?

Begitu juga, puasa implikasi sosialnya juga sangat jelas, diharapkan dengan menahan diri dari berbagai kesenangan duniawi itu (makan, minum dan hubungan seksual), seseorang akan mampu merasakan perasaan mereka yang kurang beruntung, mampu bersimpati terhadap derita orang lain.  

Sehingga wajar sekali jika seseorang, karane satu dan lain hal, tidak mampu melakukan ibadah puasa tersebut, harus menggantinya dengan “fidyah” (memberi makan kepada orang miskin). Ini mengajarkan kepada kita untuk memupuk kepekaan dan kesadaran sosial.

Puasa memiliki multifungsi. Setidaknya ada tiga fungsi puasa: tazhib, ta’dib dan tadrib. Puasa adalah sarana untuk mengarahkan (tahzib), membentuk karakteristik jiwa (ta’dib), serta medium latihan untuk berupaya menjadi manusia yang kamil dan paripurna (tadrib), yang pada esensinya bermuara pada tujuan akhir puasa: takwa. 

La’allakum tattakun, Takwa dalam pengertian yang lebih umum adalah melaksanakan segala perintah Allah dan meninggalkan segala larangan-Nya. 

Takwa dan kesalehan sosial ibarat dua sisi dari satu mata uang, satu sama lain tak bisa dipisahkan, yang menyatu secara padu.

Menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang dilarang, mulai dari terbitnya fajar sampai dengan tenggelamnya matahari dengan disertai niat.

Hakikat puasa sebenarnya tidak sebatas menahan lapar dan dahaga seperti makan ataupun minum, melainkan memiliki makna yang lebih luas bagi umat muslim yang menjalaninya.

Dengan berpuasa diharapkan seseorang akan menjaga nafsu dan syahwat. Selain itu, puasa juga bermakna menahan diri dari segala sesuatu yang dibenci Allah, baik yang bisa dilakukan oleh mata, lisan, telinga, serta anggota badan lainnya.

Orang yang berpuasa tetapi masih melakukan kebohongan, menggunjing, memfitnah, menyebarkan hoaks, maupun melakukan tindakan-tindakan yang dapat merugikan pihak lain, maka hal yang demikian tentu saja dapat membatalkan pahala ibadah puasa yang dikerjakannya.

Melalui ibadah puasa sebulan penuh, setiap muslim ditempa agar dapat menjadi insan yang peka, peduli, dapat merasakan derita sesamanya, serta akan melahirkan sikap ta’awun yakni semangat tolong menolong dan bekerja sama dengan orang lain secara tulus.

Sikap beragama yang tidak sebatas membentuk pribadi yang saleh secara individu, melainkan juga akan melahirkan kesalehan sosial. Sikap peduli terhadap nasib sesama serta mampu memupuk solidaritas sosial.

Setiap muslim yang berpuasa diharapkan mampu menumbuhkan benih-benih kasih sayang, tolong menolong, serta dapat membangun solidaritas sosial dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, serta kemanusiaan secara universal.

Sikap hablun minallah harus berkorelasi langsung dengan hablun minannas. Hubungan baik terhadap Allah yang mesti berkorelasi positif terhadap hubungan baik dengan sesama manusia.

Melalui puasa hendaknya dapat menumbuhkan semangat solidaritas sosial, peduli terhadap nasib sesama, serta menjunjung tinggi martabat kemanusiaan.

Puasa Ramadan saat ini, kita masih dihadapkan pada situasi dan kondisi dimana bangsa ini masih terus berjuang bersama-sama menangani persoalan Covid-19.

Dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh pandemi juga sangat terasa di tengah-tengah masyarakat. Ditambah pula dengan munculnya sejumlah bencana alam di negeri ini.

Oleh karena itu, spirit ibadah puasa diharapkan akan mengasah kepedulian serta memupuk solidaritas kita untuk bersama-sama merasakan nasib orang lain. Apa yang dihadapi orang lain pada dasarnya adalah masalah kita sebagai sesama warga bangsa.

Hal penting lainnya yang dapat dilakukan untuk memupuk solidaritas kita ialah dengan menjaga rasa seperti kehati-hatian dalam berucap serta bersikap. Jangan sampai ucapan dan perilaku kita menyinggung maupun menimbulkan kerugian terhadap pihak lain. 

Kesalehan sosial akan mampu memupuk solidaritas kebangsaan. Hal ini tentu saja akan menguatkan rasa persatuan kita sebagai satu bangsa. Setiap muslim hendaknya mampu mewujudkan bahwa puasa yang dijalankannya dapat menjadi berkah bagi sesama.

Membantu pihak lain dengan memberikan pertolongan, harta, tenaga, pikiran, maupun bantuan kemanusiaan dalam bentuk lainnya dalam suasana yang sangat dibutuhkan jelas merupakan ibadah yang sangat dicintai Allah.

Saatnya kita menjadikan momentum Ramadan ini untuk meningkatkan kesalehan sosial, peduli terhadap sesama, serta dapat menguatkan solidaritas kebangsaan.

Ibadah haji, sebagai rukun Islam yang kelima, di samping menekankan nilai ritualnya, juga sarat dengan pesan-pesan sosial kemanusiaan, politik, hubungan internasional, perekonomian, danlainnya. 

Nilai kesalehan sosial di balik peristiwa pengurbanan Ismail, misalnya mestinya bisa dijadikan teladan bagaimana seharusnya kita mau berkorban untuk membangun kemaslahatan bersama.

Dari sini dapat kita simpulkan bahwa kesalehan individual semestinya melahirkan kesalehan sosial. Namun dalam kenyataannya, selama ini terkesan bahwa banyak orang yang ibadah mahdhahnya (ibadah ritualnya) baik tetapi ternyata tidak memberi bekas dalam perilaku sosialnya. 

Sholat jalan terus tetapi perilaku buruk lainnya juga jalan terus, sikap iri, dengki, kurang bertanggung jawab pada tugas, kurang amanah, kurang meiliki etos dan semangat kerja, serta sikap yang melukai dan menyakitkan orang lain.

Bila di ibaratkan simbol keagamaan seperti shalat, puasa, haji, zakat dan ibadah lainnya sebagai sangkar burung, sementara esensi simbol dan ibadah itu sendiri sebagai burungnya. 

Mana sesungguhnya yang lebih penting, burung itu sendiri atau sangkarnya? Saat ini, kita lebih senang mengelus-elus sangkarnya ketimbang memikirkan burungnya. Karena keenakan ngurusi sangkarnya, kita pun lupa isinya.

Kita asyik dan rajin beribadah, tetapi lupa bahwa sesungguhnya ibadah itu bukan hanya semata-mata untuk Allah tetapi juga dimaksudkan agar nili-nilai dari ibadah itu menjadi rahmat bagi semesta alam, manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan dan sebagainya.

Dalam Kesalehan sosial juga tercakup kesalehan profesional. Kesalehan profesional menunjukkan sejauhmana perintah agama kita patuhi dalam kegiatan profesional kita, selaku pimpinan: ketua, dosen, pegawai, dan sebagainya. 

Artinya, nilai-nilai ibadah ritual kita, mesti pula termanifestasi dalam sikap, prilaku dan kinerja kita dalam menjalankan tugas-tugas akademik, maupun manejerial. 

Saling menghargai sesama, menjalin kerjasama yang baik, memiliki etos dan semangat kerja, kedisiplinan serta tanggung jawab pada tugas. Karena semua ini akan diperhitungkan. Kullukum ra’in wa kullukum masulun an raiyatihi.

Selain Kesalehan sosial kita juga mendengar istilah kesalehan terhadap alam. ”Bagi kalangan Muslim, cukup banyak perintah tentang bagaimana memelihara lingkungan dan alam sekitar untuk kebaikan manusia itu sendiri. 

Salah satu kebaikan itu adalah agar kita bisa mewariskan kepada generasi yang akan datang kehidupan yang lebih damai, dan lingkungan yang makin nyaman untuk ditinggali,”. 

Jadi bila sekarang kita gelisah karena polusi, banjir, karena global warming, ini sesungguhnya adalah dampak dari ketidak salehan terhadap alam, disebabkan karena tindakan semena-mena terhadap alam. Zaharal fasadu fil barri  wal bahri bima kasabat aidinas.

Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama adalah sikap. Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih, dan cinta kasih sesama, seperti halnya juga Islam. 

Bila kita cuma puasa, shalat, baca al-quran, banyak berzikir, namun dalam sikap keseharian masih suka memfitnah, menebarkan kebencian, tidak amanah dan bertanggung jawab pada tugas, saya kira belum layak disebut orang yang beragama dengan baik. Ya seperti itu tadi, dia baru punya sangkarnya, tidak memiliki burungnya.

Tetapi, bila saat bersamaan kita menjaga integritas diri, menjaga kesalehan sosial, kesalehan profesional dan kesalehan terhadap alam, maka itulah sesungghnya orang beragama.

Dengan demikian kita semua berjalan menuju ridho ilahi. Hidup hanya sekali, mari kita lakukan segala aktivitas untuk menuju ridho ilahi. Semoga Bermanfaat. Terima kasih Atas kunjungannya.

0 Response to "Mengenal Kesalehan Individu dan Kesalehan Sosial"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak