Tasawuf Amali

 بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu setia dan Istiqomah hingga hari akhir.

Di era moderen ini manusia hidup pada abad 21 yang merupakan masa kemajuan peradaban manusia. Modernisasi yang kemudian diikuti globalisasi yang tidak terbendung memunculkan kesulitan-kesulitan baru dalam kehidupan. 

Globalisasi tidak hanya mendominasi perekonomian tetapi juga telah mencengkram dan merubah kehidupan sosial dan budaya serta lingkungan hidup. 

Masyarakat telah terperangkap dalam pola pikir rasional dan mencampakkan dimensi batin. Mereka hanya berfikir kehidupan duniawi semata tanpa menghiraukan kehidupan ukhrawi.

Cara memandang, sikap dan tindakan seperti itu bertentangan dengan tasawuf yang mendorong manusia untuk hidup prihatin dan sederhana, menjauhi kehidupan dunia yang gemerlap. 

Pada dasarnya ajaran tasawuf adalah pengendalian hawa nafsu, menghapus keserakahan, mengendalikan kecenderungan yang bersifat badani, melepaskan diri dari ketakutan terhadap hari esok. 

Hakikat tasawuf adalah perpindahan sikap mental dan keadaan jiwa dari suatu keadaan pada keadaan lain yang lebih baik, lebih tinggi dan lebih sempurna.

Tasawuf bukan lagi menjadi tempat pelarian sementara manusia, namun merupakan suatu keniscayaan yang sungguh-sungguh sehingga tasawuf akan eksis ditengah-tengah percaturan dunia modern.

 Zaman modern adalah zaman ketika orang berpendapat bahwa kebutuhan pokok hidup manusia (sandang, pangan dan papan) harus diatur seserasi mungkin sehingga bisa ditingkatkan sejauh mungkin.

Orang-orang modern disibukan dengan berbagai bentuk kemajuan dan perkembangan dimensi material namun melupakan dimensi spiritual. 

Orang-orang modern mengalami exixtensial vacuum (kekosongan eksistensi) yang ditandai dengan kebosenan dan ketidakjelasan hidup.

Tiba-tiba mereka memasuki satu dunia yang luas, uang yang banyak, namun tidak tahu bagaimana menghidupi kehidupan. 

Masyarakat mengalami kegersangan spritual yaitu sebuah perasaan hampa yang menyelubungi jiwa walaupun secara material mempunyai materi yang berlimpah.

Mereka juga mengalami dekadensi moral yang dapat dilihat dengan berbagai bentuk kejahatan yang selalu hadir dalam kehidupan sehari-hari. 

Maraknya pencurian, seks bebas, pembunuhan dan terkikisnya nilai-nilai etis religius merupakan sejumlah fakta nyata tentang dekadensi moral.  

Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan lepas dari pengaruh agama dan menolak realitas abstrak yang bisa didekati dengan metode intuitif.

Dunia Modern mengizinkan merajalelanya budaya permisif yang terlepas dari norma religius dan norma etis masyarakat. 

Sebagai hasilnya perbuatan buruk yang menjadi keinginan serta didorong oleh hawa nafsu menjadi pilihan hidup manusia yang sah bukan penyakit mental yang perlu diterapi.

Berdasarkan kenyataan tersebut, ilmu tasawuf menjadi sangat penting dan sangat dibutuhkan karena ia dapat membebaskan seseorang dari pengaruh kehidupan dunia sehingga dia punya akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Tasawuf berurusan dimensi batin manusia yang berperan membersihkan hati sanubari manusia. Oleh karena itu, tasawuf merupakan solusi yang tepat untuk menangani problematika masyarakat modern. 

Ilmu tasawuf sebagai anggur murni spiritual yang sudah ada sejak zaman Nabi Adam a.s, hingga zaman sekarang ini yang akan selalu dibutuhkan untuk memenuhi kedahagaan ilmu pengetahuan umat manusia sampai hari kiamat kelak. 

Tasawuf bukan hanya untuk manusia klasik namun untuk manusia yang bisa menyesuaikan diri dimana saja dan kapan saja karena kualitas tasawuf manusia yang sebenarnya dapat diukur dari kemampuan manusia mempertahankan sifat insan kamil dalam menghadapi berbagai zaman.

Tasawuf adalah pengetahuan yang dipraktekkan bukan sekedar ilmu yang dibicarakan. Praktek ialah membiasakan diri dengan ajaran atau kebiasan tertentu secara konsisten. Sabar, tawakal, prihatin, ikhlas, mengekang diri, wara’, zuhud, khusyu adalah contoh amaliah tasawuf. 

Tasawuf amali lebih menekankan pada nilai amaliahnya dibandingkan teori.Tasawuf amali ialah suatu ajaran dalam tasawuf yang lebih menekankan amalan-amalan rohaniah dibandingkan teori. Tasawuf amali lebih menekankan pembinaan moral dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. 

Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan, seseorang harus mentaati dan melaksanakan syariat atau ketentuan agama, menghapuskan segala sifat yang tercela, melintasi semua hambatan itu dan menghadap total dari segenap esensi diri hanya kepada Allah Subhanahu wa ta 'ala dengan berbagai wirid dan amaliahamaliah lainnya. 

Dinamakan tasawuf amali karena sisi amal di dalamnya lebih dominan dari sisi teori. Tasawuf amali tidak hanya sekedar mengetahui tentang teori, akan tetapi langsung dipraktikan dalam ibadahnya sehingga dalam bertasawuf seseorang lebih bisa merasakan tujuan tasawuf tersebut yaitu kedekatan seorang hamba kepada Yang Maha Kuasa.

Konsep pendidikan tasawuf amali sangat dibutuhkan oleh setiap individu maupun masyarakat karena jika ditelaah secara mendalam tasawuf amali memiliki aspek-aspek strategis yang potensial dalam segala sendi kehidupan manusia. 

Akan tetapi esensi tersebut akan sia-sia apabila umat Islam tidak mampu memanfaatkan konsep pendidikan tasawuf amali tersebut dengan sebaik-baiknya. Sebagaimana dampak negatifnya ketika ia diremehkan akan menyebar pada indivdu dan masyarakat. 

Untuk merespon tuntutan agenda konseptual pendidikan tasawuf amali, salah satunya adalah melalui orientasi pengkajian ulang terhadap khazanah pemikiran Islam klasik. 

Kitab Durrah An-Nasihin karya Syaikh Utsman ibn Hasan ibn Ahmad Syakir Al- Khaubawi nampaknya patut untuk menjadi objek kajian yang dimaksud karena pemikiran dan gagasan kitab tersebut menjadi kajian wajib bagi anak didik di pesantren. 

Sebagai landasan berfikir, berperilaku dan beribadah sehingga tidak ada salahnya kalau kemudian gagasan tersebut dibawa ke dunia yang lebih luas dan kondusif untuk menjadi bagian dari diskursus keilmuan akademik.

Dalam kitab tersebut Syaikh Utsman menjelaskan bahwa tanda kebahagiaan ada sebelas, salah satunya ialah zuhud terhadap dunia dan cinta kepada akhirat serta senantiasa ingin beribadah dan bertaqarub kepada Allah Subhanahu wa ta'ala.

Kitab Durrah An-Nasihin karya Syaikh Utsman ibn Hasan ibn Ahmad Syakir Al- Khaubawi disusun berdasarkan motivasi untuk para pecinta nasehat.

Kitab ini memberikan penjelasan dalam bentuk keutamaan-keutamaan dari setiap ibadah disertai dengan berbagai kisah dan hikayat yang diambil dari beberapa kitab lainnya. 

Oleh sebab itu, kitab Durrah An-Nasihin ini menyodorkan kepada semua umat manusia yang beriman bagaimana seharusnya berfikir, berucap, bertindak dan beribadah agar menjadi hamba Allah Subhanahu wa ta'ala yang senantiasa taqarrub dengan-Nya, menemukan ketenangan batiniah/spiritual serta memperoleh kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.

 Secara istilah tasawuf ialah suatu ilmu yang tumbuh pada abad ke-2 Hijriah, berasal dari kelompok orang-orang yang mengutamakan kesucian diri dengan menetapkan hati dan raga untuk beribadah dan menghubungkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala. 

Dengan menghindarkan segala kemewahan dunia dengan berusaha meningkatkan kehidupan rohani melalui thariqat, memperbanyak menyebut dan berdzikir kepada Allah serta bertaubat kepada-Nya agar kemudian menjadi manusia yang sempurna (insan kamil). 

Adapun tasawuf amali. memiliki arti suatu ajaran dalam tasawuf yang lebih menekankan amalan-amalan rohaniah dibandingkan teori. 

Tujuannya yaitu mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dengan menghapuskan segala sifat yang tercela serta menghadap sepenuhnya kepada Allah swt dengan berbagai amaliah atauriyadhahyang dilakukan seperti memperbanyak wirid serta amaliah-amaliah lainnya.

Salah satu ahli hadits yang meneliti hadits dalam kitab Durrah An-Nasihin adalah Lutfi Fathullah menyatakan bahwa secara keseluruhan ia menemukan sebanyak 251 hadis palsu (30%). Sementara yang lemah 180 hadis (21,5%), amat lemah 48 hadis (5,7%) dan belum dapat dipastikan sebanyak 56 hadis (6,7%). 

Lutfi berkesimpulan seperti itu karena dua alasan. Pertama, segi kredibilitas penulisnya, keahlian Al-Khubawi dalam ilmu-ilmu keislaman, khususnya tafsir-hadis, masih diperdebatkan. Ismail Basya, misalnya, penulis biografi Al-Khubawi, tak pernah memujinya dengan sebutan Al-`Allamahatau Al-Imam. 

Sementara Umar Ridha Kahhalah memuji Al-Khubawi dengan gelar wa`izh (pemberi nasihat), mufassir (ahli tafsir), dan muhaddits (ahli hadis). Kedua, Karena Al-Khubawi bukan muhaddits, wajar jika kandungan kitab Durrah An-Nasihin lemah secara metodologi ilmu hadis.

Sedangkan cerita-cerita yang tidak pernah terlepas dari tiap pemaparan bab-bab yang ada dalam kitabnya, pastinya memiliki tujuan sebagai media penarik para pendengar dalam rangka menumbuhkan
semangat dalam menjalanan ibadah-ibadah yang diperitahkan dalam Islam.

Terlepas dari penilaian negatif akan kitab ini kitab ini memang dirasa pantas sebagai rujukan para dai dalam menyampaikan ceramahnya karena di dalamnya sendiri sudah persis menyertai buku pidato
yang disertai dalil-dalil dalam tiap pembahasannya. 

Meskipun begitu tidak baik untuk menolak isi kitab ini begitu saja tetapi tidak bijak pula menerimanaya begitu saja tanpa tanpa pemikiran yang dalam.

Kitab Durrah An-nashihin adalah jawaban ketika masyarakat sudah terpengaruh oleh kemewahan dunia yang membuat hati mereka lalai dan spiritual mereka gersang sehingga lupa cara beribadah dan
bermunajat kepada sang pencipta.

Kitab Durrah An-Nasihin memiliki kesamaan dengan kitab Tanbih Al-Ghafilin karya Abu Laits Nashr ibn Muhamad ibn Ibrahim As-samarqandi. 

Kitab ini berisi nasihat dan hikayat untuk melembutkan hati dan membuat mata menjadi menangis. Sama dengan kitab Durrah An-Nasihin, kitab Tanbih Al-ghafilin juga berisi hadits dhoif dan cerita yang tidak sahih. 

Namun begitu, Abu Laits Assamarqandi membuat kitab ini atas dasar kewajiban orang yang dikaruniai ilmu pengetahuan untuk memberikan peringatan, hikmah, wejangan dan kabar gembira sebagai bentuk dakwah kepada semua orang. 

Diharapkan setelah manusia mengkaji isi kandungan kitab Tanbih Al-ghafilin manusia merasa masih sedikit amalnya sehingga menjadi pendorong untuk meningkatkan dan menyempurnakan ibadah dan amalnya.

Konsep pendidikan tasawuf amali yang terkandung dalam kitab Durrah An-Nasihin Abu A’la Maududi menyebutkan bahwa apa yang berhubungan dengan jiwa disebut tasawuf.

Tasawuf dalam Islam beresensi pada pada hidup dan berkembang mulai dari bentuk kezuhudan dalam bentuk tasawuf amali.

Tujuannya yaitu untuk membentuk kesalehan seseorang baik kesalehan ritual maupun sosial. Jika semua laku seseorang lahir maupun batin sampai pada purna tawajjuh-nya, maka kasih Allah akan selalu menyertainya. 

Allah akan menyibakkan tirai karamah (kelebihan) dan ilmu-ilmu Allah yang tersirat. Dan bila kesalehan ritual itu disertai dengan kesalehan sosial, Allah akan menuntun pendengaran dan penglihatan kekasih-Nya kepada hal-hal yang dicintai-Nya.

Tasawuf amali adalah ajaran yang dianut oleh pengikut tarekat (ashhâbut turuq) yang meliputi menjauhi sifaf-sifat tercela, mengutamakan mujâhadah, menghadap Allah dengan bersungguh-sungguh
dan memutuskan hubungan dengan lainnya.

Tasawuf amali lebih menekankan terhadap cara-cara mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala, baik melalui amalan lahiriah maupun batiniah. 

Tujuannya mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dengan menghapuskan segala sifat yang tercela serta menghadap sepenuhnya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dengan berbagai amaliah atau riyadhah yang dilakukan seperti memperbanyak wirid serta amaliah-amaliah lainnya.

Bentuk/praktik tasawuf amali meliputi segala aspek ajaran Islam. Dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wassallam, para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, serta para ulama secara berantai hingga kini. Maka seiring perkembangan zaman praktiknya semakin banyak dan beragam.

Pada abad ke 13 H seorang ulama yang bernama syaikh Utsman ibn Hasan ibn Ahmad Asy-Syakir Al-Khaubawi menjelaskan konsep tasawuf amali dalam salah satu kitabnya Durrah An-Nasihin. 

Praktik tasawuf amali yang beliau ajarkan diperuntukan bagi semua orang, tidak harus kepada orang-orang khawas (ahli ma’rifat dan zuhud) tetapi juga untuk orang-orang awam yang masih dangkal
pemahamannya juga dapat diamalkan dalam keseharian manusia. 

Seperti wara’, taubat, berdoa, shalat tahajud, berpuasa 6 hari di bulan syawal, menafkahkan harta di jalan Allah, berteman dengan fakir dan miskin serta istiqamah di jalan-Nya.

Wara’ adalah sikap kehati-hatian terhadap sesuatu. Seseorang yang bersikap wara’ akan sangat berhati-hati dalam menjalani hidup. 

Dengan mengedepankan sikap wara’ seseorang akan tehindar dari hal-hal yang syubhat dan haram sehingga hatinya relatif bersih dan akan memudahkan dia untuk sampai kepada AllahSubhanahu wa ta'ala.

Wara’ merupakan awal dari ketakwaan seseorang. Oleh karena itu menumbuhkan sifat kesehajaan, tulus ikhlas, sikap sosial yang positif dan menjauhkan dari sikap israf, egoisme, materialisme dan
kesombongan.

Betapapun sikap wara’ sangat dianjurkan namun demikian jangan sampai terkena ghurur (tipu daya) sikap wara’ yang ekstrem. 

Oleh karena itu, Allah mengutus Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam untuk menjadi uswahhasanah bagi umatnya. Bagaimana menjalani kehidupan dengan baik dan benar. 

Maka kita sebagai umatnya harus menjadikan Nabi sebagai panutan dalam beribadah, berperilaku, bersikap dan bertutur kata, mengikuti segala perintah dan meninggalkan larangannya serta melanjutkan misi dakwah nabi.

Karena manusia memiliki dua hubungan yakni kepada Allah dan kepada sesama manusia. Maka syaikh Utsman Al-Khaubawi menjelaskan keutamaan sikap dermawan dan tolong menolong serta tidak bersikap diskriminatif. 

Hal tersebut tercermin dalam penjelasannya mengenai keutamaan menafkahkan harta di jalan Allah serta bergaul dengan fakir dan miskin. 

Dan itulah inti ajaran tasawuf yakni bagaimana seseorang mampu merasakan kehadiran Tuhan (ma’rifatullah) yang tidak saja bersifat teosentris tetapi juga antroposentris.

Teosentrisme di sini menjelaskan bahwa Tuhan sebagai pusat dari alam semesta. Pemahaman ini menganggap bahwa semua yang manusia lakukan semata-mata atas kehendak Tuhan. 

Terkait dengan penjelasan ini dalam ilmu kalam sendiri dinamakan dengan kaum Jabariyah. Manusia tidak berkuasa apa-apa tidak mempunyai daya kemampuan untuk berbuat karena semuanya dikendalikan oleh Tuhan. 

Sedangkan antroposentrisme kebalikan dari teosentrisme pusat alam semesta bukan lagi tuhan tetapi manusia. Manusia mempunyai kebebasan dalam berbuat dan bertindak, tuhan tidak menciptakan perbuatan makhluknya terutama manusia. 

Pondok pesantren dalam memahami tauhid lebih bersifat teosentris. Padahal, ilmu tauhid sebagai alat untuk menjelaskan eksistensi Tuhan harus sesuai dengan perkembangan intelektualitas manusia supaya saling ada dinamika dalam memahami tauhid. 

0 Response to "Tasawuf Amali"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak