Halalan Toyyiban
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta'ala, shalawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad shalallahu alaihi wassallam keluarga sahabat dan para pengikutnya yang setia dan istiqamah.
Islam mendorong manusia mempunyai wawasan yang luas, kuat, amanah, dan profesional. Sumber daya manusia yang profesional adalah sumber daya manusia kafa’ah (memiliki keahlian), amanah (terpercaya), serta himmatul amal (memiliki etos kerja yang tinggi). Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa ta'ala.:
ุนَุณٰู ุฑَุจُُّูู
ْ ุงَْู َّูุฑْุญَู
َُูู
ْۚ َูุงِْู ุนُุฏْุชُّู
ْ ุนُุฏَْูุงۘ َูุฌَุนََْููุง ุฌَََّููู
َ ِِْٰููููุฑَِْูู ุญَุตِْูุฑًุง
“Katakanlah, tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing. Maka Tuhan-mu
lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya” (Q.S. al-Israa: 84)
Untuk bisa memperoleh nilai kualitas profesional tersebut manusia harus memperhatikan
keadaan dirinya dengan baik agar mampu mengembangkan diri dan potensi yang dimiliki
termasuk memperhatikan aspek kehalalan makanan yang dimakannya karena berkaitan dengan
segala aktivitasnya.
Sebab makanan adalah pintu masuk energi perbuatan, dan perbuatan yang baik (berintegritas dan berkualitas), oleh karenanya penting untuk memperhatikan aspek halaldan nilai kebaikan dari apa yang menjadi spirit aktivitas tersebut.
Sama halnya ketika seorang memilih untuk mengemban tugas sebagai pengusaha. Ia harus dapat memfokuskan pada inovasi dan kreativitas dan yang mampu membawa perubahan suatu cita-cita atau gagasan menjadi sumber daya manusia yang menguntungkan.
Halal dan Thayyib adalah dua kritria konsumsi makanan dan minuman dalam islam. Artinya makanan tak hanya cukup dihalalkan untuk dikonsumsi namun juga harus memenuhi kriteria baik yakni bergizi atau membawa kebaikan bagi tubuh.
Thayyib ini penting diperhatikan sebab banyak makanan dan minuman yang halal namun menjadi haram dikonsumsi karena tidak Thayyib.
Sedangkan secara terminologi dalam kitab Mu’jam Mufradat Alfadh al-Qur’an al-Karim, al-Raghib al-Isfahani yang dikutib oleh M. Quraish
Shihab memberikan definisi halal mempunyai arti hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya. Atau segalasesuatu yang bebas dari bahaya duniawi dan ukhrawi.
Dalam al-Qur’an, kata halal disebutkan untuk menjelaskan beberapa permasalahan seperti masalah muamalah, kekeluargaan perkawinan, dan terkait dengan masalah makanan ataupun rezeki.
Namun demikian kata halal tersebut tidak banyak
digunakan dalam menerangkan masalah makanan, minuman, dan rezeki. Kata halal dalam alQur’an terkadang juga disifati dengan kata thayyib yang bermakna baik.
Kedua kata tersebut
disandingkan dan berkaitan antara satu dengan lainnya dalam masalah yang terkait aktivitas
manusia secara umum dengan mengarah kepada aktivitas yang banyak dilakukan manusia
yakni makanan.
Dalam al-Qur’an kata halal dan thayyib (baik) ini memberikan isyarat bahwa halal saja
tidak cukup namun harus disertai pula dengan adanya nilai kebaikan (thayyib).
Ketetapan
tentang haram dan halal segala sesuatu, termasuk urusan makanan, adalah hak absolut Allah
dan Rasul-Nya.
Sebagaimana yang disinggung di atas bahwa persyaratan
halal ini terkait dengan standar syariat yang melegalisasinya, dalam arti boleh secara hukum.
Adapun thayyib berkenaan dengan standar kelayakan, kerbersihan, dan efek fungsional bagi
manusia. Bisa jadi sesuatu itu halal tapi tidak thayyib atau sebaliknya, thayyib (baik) tapi tidak
halal.
Berikut ini adalah contoh makanan dan minuman yang halal namun tidak thayyib:
Durian, hukumnya adalah halal namun TIDAK THAYYIB jika dikonsumsi berlebihan atau dikonsumsi orang-orang dengan penyakit tertentu.
Kopi, hukumnya adalah halal namun TIDAK THAYYIB jika dikonsumsi penderita maag.
Yoghurt, hukumnya adalah halal namun tidak THAYYIB jika dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan.
Dua syarat ini mutlak harus terpenuhi (halalan thayyiban) dalam segala sesuatu
perbuatan, termasuk pada makanan atau minuman, atau yang berkaitan dengan sesuatu yang
masuk ke tubuh sebagai energi.
Halalan thayyiban merupakan asumsi dasar etika Islam yang akan mempengaruhi
perilaku seorang muslim. Sebagaimana makna dari halalan thayyiban yaitu sesuatu yang halal
lagi baik.
Secara harfiah, halal arti asalnya adalah lepas atau tidak terikat sedang thayyib berarti.
baik, bagus (al-hasan), sehat (al-mu’afa), dan lezat (al-ladzidz).
Setiap yang baik dan sehat itu
pasti halal, tetapi belum tentu semua dan setiap yang halal itu baik.
Dalam Islam konsumsi menganut pada asas kerkualitasan hidup.
Keberkualitasan
memiliki makna tingkat baik buruknya sesuatu; kadar, mutu, derajat, atau taraf (kepandaian,
kecakapan, dan sebagainya). Sehingga keberkualitasan hidup bisa dimaknai dengan tingkat
mutu hidup seseorang.
Adapun makna kualitas adalah pemeriksaan pengaruh pada kebaikan
dan makna dalam kehidupan, serta kebahagiaan rakyat dan kesejahteraan.
Tujuan akhir yang ingin dicapai mencakup tiga hal yakni Sumber Daya Manusia yang berkualitas,
berintegritas, dan berspiritualitas.
Pertama, sumber daya manusia yang berspiritualitas.
Dalam tinjauan secara keagaaman,
makanan yang halal merupakan energi yang positif dan gizi bagi sel-sel tubuh.
Sehingga sel-sel anggota tubuh akan bergerak secara positif, membuat pelakunya menjadi ringan dan mudah
untuk beribadah dan mengarahkan individu untuk lebih taat kepada Allah Suhanahu wa ta'ala.
Namun
sebaliknya, makanan yang haram menjadi sumber energi yang negatif, berakibat menjadi berat
untuk beribadah dan cenderung mudah untuk melakukan hal negatif, seperti: mencuri,
menyuap, menipu, menggelapkan barang, dan lain sebagainya.
Maka bisa dilihat orang yang
memakan rezeki yang tidak halal, misalnya dari mencuri atau korupsi, ibadahnya cenderung
malas dengan berbagai alasan.
Tubuhnya yang telah terkontaminasi dengan yang haram, karena
sumber energi negatif membuatnya cenderung kepada perbuatan yang negatif pula, yakni
maksiat.
Kekuatan spiritual ini dapat ditemui maknanya dalam surah an-Nahl ayat 114, surah
Thaha ayat 81, surah al-Mu’minun ayat 51, dan surah al-Baqarah ayat 172.
Kedua, sumber daya manusia yang berintegritas.
Makanan
yang dikonsumsi sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang baik secara jasmani dan
rohani.
Dari sisi biologis, makanan yang dikonsumsi merupakan sumber energi gerak dan gizi
untuk mengembangkan dan memperbaiki sel-sel tubuh.
Dari sisi lain
juga berpengaruh terhadap kesehatan mental. Kesehatan mental adalah suatu kondisi optimal
yang menyangkut sisi emosional.
Kondisi optimal kesehatan mental yang baik adalah yang
mampu memelihara diri, berperilaku dengan pertimbangan sosial, memiliki kecenderungan
bahagia, bersyukur, serta mampu menyesuaikan diri sesuai dengan lingkungannya.
Kebaikan hati dapat dibentuk melalui makanan yang halal dan baik (thayyib) karena ini
adalah intinya. Makanan adalah bibit dari segala perbuatan, jika yang masuk halal maka
yang keluar juga halal.
Jika yang masuk haram, maka yang keluar juga haram, jika yang masuk syubhat maka yang keluar juga syubhat.
Dalam al-Qur’an surah asy-Syuara ayat
88-89 menyatakan bahwa hati yang baik adalah lambang kemenangan.
Hati yang baik akan menimbulkan amal perbuatan yang baik, karena jika hati itu baik
dan hanya dipenuhi dengan kehendak Allah.
Sehingga ia bersegera dalam melakukan
perbuatan yang diridhai Allah, dan meninggalkan perbuatan yang dibenci Allah.
Kondisi ini dapat ditemui maknanya dalam surah an-Nahl ayat 114, surah Thaha
ayat 81, surah al-Mu’minun ayat 51, surah al-Baqarah ayat 168 dan ayat 172.
Perwujudan makanan yang baik dapat melahirkan perilaku yang berintegritas yang
terwujud dengan perilaku jujur, memegang teguh prinsip-prinsip kebenenaran, etika, dan
moral, serta berbuat sesuai dengan perkataan, maka orang tersebut dapat dikatakan
bertanggung jawab serta memiliki integritas.
Tak kalah penting adalah
kekonsistenan dalam menerapkan perilaku jujur dan bertanggung jawab, sehingga integritas
tidak lagi dipertanyakan.
Pada tataran kolektif, nilai integritas dapat memandu manusia untuk
berkomitmen pada tugasnya serta menjadikan manusia pribadi yang dapat dihandalkan dan
dipercaya.
Sementara pada tataran negara, integritas dapat mendorong aparatur pemerintahan
bekerja secara lebih profesional, transparan, jujur, dapat dihandalkan, dan terpercaya.
Oleh
karena itu, nilai integritas penyelenggara negara akan sangat berpengaruh terhadap
kepercayaan puplik terhadap kinerja yang dilakukannya.
Ketiga, sumber daya manusia yang berkualitas.
Tujuan konsumsi dalam Islam adalah untuk
memperoleh kemaslahatan besar. Karakter khusus dalam etika Islam merupakan konsep yang
menitikberatkan pada hubungan manusia dengan Tuhan.
Menurut Ibnu Khaldun basahan-basahan akibat banyaknya makan dapat menutupi akal dan
pikiran dengan penguapan yang kotor darinya hingga naik sampai ke otak.
Hal ini
menimbulkan ketumpulan akal, kelalaian, dan penyimpangan dari sifat-sifat moderat secara
umum.
Kadar pengaruh lapar terhadap tubuh dalam membersihkannya dari kelebihan-kelebihan yang rusak dan menimbulkan pengaruh buruk terhadap tubuh dan akal sebanding
dengan kadar pengaruh makanan terhadap tubuh secara berlawanan dari pengaruh lapar tadi.
Kondisi ini dapat ditemui maknanya dalam surah al-Mu’minun ayat 51, surah al-Baqarah ayat
168, dan surah al-Maidah ayat 88.
Ketika kondisi tubuh didominasi oleh hal-hal haram, maka dampaknya bukan hanya
kepada diri yang bersangkutan tetapi akan meluas ke keluarganya dan lingkungannya.
Misalnya, orang yang korupsi, dapat saja dikarenakan karena ia mengonsumsi makanan yang tidak halal. Maka anak-anaknya banyak yang terjerat dan kecanduan narkoba, berperilaku
bebas, atau perbuatan maksiat lainnya.
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa aktivitas makan dan minum bukan hanya
urusan duniawi semata. Akan tetapi ia sangat terkait dengan urusan membangun sumber daya
manusia.
Islam menaruh perhatian yang sangat besar dan secara tegas
menyuruh untuk memperhatikan apa yang dimakan dan apa yang di minum, serta dari mana
mendapatkannya dan kemana penggunaannya.
Dengan demikian haruslah dipastikan bahwa
setiap muslim memiliki pemahaman yang sama terkait hakikat dan spirit halal dan thayyib
(baik) yang tersurat maupun tersirat dalam al-Qur’an.
Maka akibat dari pemahaman tersebut adalah
dapat meningkatkan hidup yang berkualitas, berintegritas, dan berspiritualitas. Yang pada
akhirnya merupakan sarana untuk mencapai sumber daya manusia (entrepreneur) yang
berakhlakul karimah.
Sumber daya manusia pada awalnya merupakan terjemahan dari “human resource”
namun ada pula yang menyamakan sumber daya manusia dengan istilah “manpower” yang
berarti tenaga kerja (wirausaha).
Di mana sumber daya manusia yaitu manajemen,
sumber, daya, dan manusia. Manajemen sumber daya manusia, erat kaitannya dengan
entrepreneurship.
Di mana sumber daya manusia juga merupakan kemampuan untuk mengelola
sesuatu yang ada dalam diri untuk dimanfaatkan dan ditingkatkan agar lebih optimal sehingga
dapat meningkatkan taraf hidup di masa mendatang.
Halalan thayyiban merupakan asumsi dasar etika Islam yang akan mempengaruhi
perilaku seorang muslim dalam Islam konsumsi menganut pada asas keberkualitasan hidup.
Keberkualitasan hidup memiliki makna tingkat baik buruknya sesuatu; kadar, mutu, derajat
atau taraf (kepandaian, kecakapan, dan sebagainya).
Sehingga dengan keberkualitasan hidup dapat
dimaknai dengan tingkat mutu hidup seseorang dan tujuan akhir yang ingin dicapai adalah
mencakup tiga hal yakni SDM yang berkualitas, berintegritas dan berspiritualitas.
Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bahwa aktivitas makan dan minum bukan hanya urusan duniawi semata.
Dengan demikian haruslah dipastikan bahwa setiap muslim memiliki pemahaman yang sama terkait hakikat dan spirit halal dan thayyib (baik) yang tersurat maupun tersirat dalam al-Qur’an.
Diharapkan dari pemahaman tersebut adalah dapat meningkatkan hidup yang berkualitas, berintegritas, dan berspiritualitas. Yang pada akhirnya merupakan sarana untuk mencapai sumber daya manusia (entrepreneur) yang berakhlakul karimah. Wallahu a’alam biss shawabb.
0 Response to "Halalan Toyyiban"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak