LANGKAH-LANGKAH MENUJU KEHIDUPAN TASAWUF

ุจِุณْู…ِ ุงู„ู„ّู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…َู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู…ِ
Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah Shallallahu 'Alaihi Wassallam, keluarga, dan para sahabatnya, serta pengikutnya yang selalu setia dan Istiqomah hingga hari akhir.

Untuk dapat menuju kehidupan tasawuf, sehingga merasakan kedekatan dengan Allah, maka ada langkah-langkah atau upaya yang harus dilakukan oleh seseorang. Langkah-langkah tersebut, yaitu:

1. Tazkiyah al-Nafs.

Untuk memasuki kehidupan tasawuf, ada beberapa upaya yang harus dilakukan sebagai jalan untuk dapat mengantarkan seseorang agar memiliki hati yang bersih dari berbagai penyakit, yaitu yang disebut tazkiyah al-nafs. 

Dengan tazkiyah al-nafs, dapat mengantarkan seseorang untuk memiliki akhlak yang baik dalam kehidupan sehari-hari, dan mengantarkannya untuk menjadi orang yang dekat dengan Allah.

Oleh karena itu, tazkiyah al-nafs sangat penting dilakukan bagi orang yang akan memasuki kehidupan tasawuf.

Apakah yang dimaksud tazkiyah an-nafs itu?

“Tazkiyah al-nafs itu adalah merupakan suatu upaya untuk menjadikan hati menjadi bersih dan suci, baik dzatnya, maupun keyakinannya” (Taimiyah, 2010: 117).

Berkaitan dengan tazkiyah al-nafs, Azra dalam (Isma’il, 2008: ix) menjelaskan bahwa kegiatan pokok mengamalkan tasawuf itu terfokus pada tiga kegiatan sebagai berikut:
  1. tazkiyat an-nafs, yakni membersihkan diri dari dosa besar dan dosa kecil, serta membersihkan diri dari berbagai penyakit hati dan sifat-sifat tercela; 
  2. taqarrub ila Allah, yakni memberikan perhatian serius kepada usaha-usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat-dekatnya. Memang Allah itu dekat dengan hamba-hamba-Nya, bahkan lebih dekat daripada urat nadi yang ada di leher (QS.50:16). Persoalannya, kedekatan Allah dengan manusia tidak selalu dapat dirasakan manusia; 
  3. hudlur al-qalb ma'a Allah, yakni menfokuskan diri kepada usaha untuk merasakan kehadiran Allah dan melihat-Nya dengan mata hati, bahkan merasakan persatuan dengan Allah.
Menurut Solihin dalam (Isma’il, 2008: 1318) bahwa tazkiyah al-nafs mempunyai posisi esensial dalam kegiatan bertasawuf. 

Masalah ini telah menjadi agenda penting para sufi, baik sufi-sufi klasik maupun kontemporer. 

Misalnya, Al- Ghazali seorang pemikir kharismatik yang banyak mengkaji tazkiyah al-nafs yang tersebar dalam beberapa buku tasawufnya, memandang bahwa penyucian jiwa itu dapat dilakukan melalui proses takhalli (menghilangkan sifat-sifat tercela) sembari mengisi dengan sifat terpuji (tahalli). 

Tazkiyah al-nafs juga berarti penyucian jiwa dari sifat-sifat kebinatangan dan sifat-sifat setan, kemudian mengisi dengan akhlak ketuhanan (rabbaniah). 

Tazkiyah al-nafs berusaha mengobati penyakit jiwa (asqam al-nufus) setelah mengetahui sebab-sebabnya. 

Tazkiyah al-nafs sangat erat kaitannya dengan akhlak, kejiwaan, dan dengan usaha mendekatkan diri kepada Allah. 

Karena Allah itu Maha Suci, maka harus didekati oleh orang yang berjiwa suci pula. Karenanya, tingkat kedekatan (qurb), pengenalan (ma'rifah), dan kecintaan (mahabbah) manusia terhadap-Nya tergantung pada kesucian jiwanya.

2. Mujahadah dan Riyadhah

Salah satu hal yang harus ditempuh oleh seorang Sufi sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah yaitu mujahadah dan riyadhah. 

Mujahadah (berjuang melawan hawa nafsu) adalah menyapihnya, membawanya keluar dari keinginan-keinginan yang tercela dan mengharuskannya untuk melaksanakan syari’at Allah, baik perintah maupun larangan. (Isa, 2010: 72). 

Menurut Al-Shadiqi, bahwa mujahadah itu ialah kemampuan diri untuk menekan dorongan hawa nafsu
yang selalu ingin berbuat hal-hal yang tidak benar, lalu mampu memaksanya untuk berbuat hal-hal yang baik (Majhudin, 2010, J. 2: 200).

Rosyidi dalam (Isma’il, 2008: 871), menjelaskan pengertian mujahadah dengan mengutip beberapa pendapat para sufi, yaitu bahwa kata mujahadah berasal dari kata jihad, yang artinya "berusaha dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan segala kekuatan pada jalan yang diyakini baik dan benar". 

Dalam pengertian kaum sufi, mujahadah yaitu "upaya spiritual melawan hawa nafsu dan berbagai kecenderungan jiwa rendah". 

Mujahadah adalah perang terus menerus melawan hawa nafsu, dan perang ini dianggap sebagai perang besar (al-jihad al-akbar), dan perang ini menggunakan senjata samawi berupa dzikir kepada Allah. 

Sedangkan menurut Al-Qusyairi, mujahadah ialah suatu upaya untuk membebaskan diri dari kekangan hawa nafsunya yang menjadi sifat manusiawi, dan berusaha mengendalikan diri serta tidak memperturutkan kehendaknya dalam kebanyakan waktu. 

Al-Ghazali mendefinisikan mujahadah sebagai pengerahan kesungguhan dalam menyingkirkan nafsu dan syahwat atau menghapuskannya sama sekali. 

Menurut Ali Ar-Rudzbari, bahwa prinsip mujahadah pada dasarnya adalah mencegah jiwa dari kebiasaan- kebiasaannya dan memaksanya menentang hawa nafsunya sepanjang waktu.

Selain harus melakukan mujahadah, untuk dapat mendekatkan diri kepada Allah yaitu harus melakukan riyadhah. 

Yang dimaksud riyadhah menurut Ash-Shidiqi ialah latihan kerohanian dalam melaksanakan hal-hal yang terpuji, baik dengan cara perkataan, perbuatan maupun dengan cara penyikapan terhadap hal-hal yang benar, yang dilakukan dengan tiga macam cara menurut tingkatan kedekatan
hamba dengan Tuhannya (Majhudin, 2010, J.2: 201). 

Tiga macam cara tersebut,yaitu:

1. Riyadhah orang awam, yaitu upaya melatih dirinya untuk berbuat baik dengan cara berusaha memahami perbuatan yang dilakukannya, berbuat dengan sikap yang ikhlash, tidak tercampur dengan sikap riya, dan memperbanyak melakukan kebenaran dalam pergaulan, baik terhadap Allah, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungan hidupnya. 

Riyadhah tersebut ditentukan oleh tuntunan teks agama mengenai sesuatu yang akan dilakukan, baik dilakukan dengan perbuatan nyata maupun dengan perbuatan yang tidak nyata.

2. Riyadhah orang khowas (sufi, wali), yaitu upaya agar selalu tetap berkonsentrasi terhadap Allah ketika melaksanakan suatu perbuatan baik, sehingga tidak terpengaruh lagi oleh lingkungan sekelilingnya, penglihatan dan pendengarannya tidak terpengaruh lagi oleh sesuatu yang ada di sekelilingnya, kecuali hanya menuruti tuntunan kata hatinya.

3. Riyadhah orang khowasul khowas (nabi, rasul), yaitu berbuat baik untuk mendapatkan kesaksian Allah dan ma’rifat atau kebersatuan dengan Allah.

Kebersatuan dengan Allah berbeda dengan istilah penyatuan menurut paham wujudiah. Kebersatuan berarti bersatu dengan Allah dalam keadaan wujud masih berbeda, yaitu Allah tetap Al-Khalik dan manusia yang bersatu dengan Allah tetap makhluk. 

Termasuk juga proses riyadhah yang dilakukan oleh peserta tasawuf (al-mutasawwif) ketika melakukan suluk (kegiatan dzikir dan tafakur) untuk memperoleh kedudukan spiritual (al-maqamat) dan kondisi spiritual (al-ahwal) hingga mencapai ma’rifah sebagai tujuan tasawuf.

Dari uraian tentang mujahadah dan riyadhah di atas, dapat dikatakan bahwa mujahadah dan riyadhah dalam tasawuf itu merupakan suatu hal yang mutlak harus dilakukan. 

Mujahadah yaitu memerangi hawa nafsu dari hal-hal atau sifat-sifat yang tidak baik, karena sifat dari nafsu itu selalu mengajak manusia kepada hal-hal yang buruk (yajri ilassu). 

Tanpa memerangi nafsu, seorang salik (orang yang berkehendak untuk menuju tasawuf) tidak akan dapat membersihkan dirinya dari perbuatan dan sifat-sifat yang jelek dan tidak akan mencapai kedekatan dengan Tuhan, apalagi merasakan kehadiran Tuhan dalam dirinya. 

Selain mujahadah juga harus melakukan riyadhah, yaitu melatih diri untuk menjalankan syari’at yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan berusaha untuk menanamkan sifat-sifat baik dalam hatinya yang disertai juga dengan memperbaiki akhlaknya dalam kehidupan sehari-hari.

Demikian Langkah-langkah menuju kehidupan Tasawuf, semoga bermanfaat dan dapat menambah pengetahyan kita.

0 Response to "LANGKAH-LANGKAH MENUJU KEHIDUPAN TASAWUF"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak