BANTAHAN TERHADAPA IBN TAIMIYYAH DAN WAHABI

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ

Segala puji hanya milik Allah Subhanahu wa ta’ala, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dari-Nya, dan meminta ampunan-Nya. 

Kita berlindung kepada-Nya dari keburukan-keburukan jiwa kita, dan kejelekan-kejelekan perbuatan kita. 

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah atas diri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan orang orang yang setia meniti jalan petunjuknya hingga hari kiama

Kebanyakan ulama berpendapat bahwa angkatan terakhir adalah angkatan Imam Ahmad bin Hanbal RA dan kawan-kawan. 

Imam Ahmad bin Hanbal terkenal dengan sikap kukuhnya dalam menentang Ilmu Kalam dan Takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat dalam al-Qur’an. 

Akan tetapi beberapa ulama salaf, seperti Imam Harits Al-Muhasibi, Imam Ibn Sa’id Al-Kilabi, Imam Abul Abbas Al-Qalànisi dan sebagainya juga sudah menggunakan ilmu Kalam dan melakukan takwil terhadap ayat-ayat mutasyabihat. 

Dan usaha mereka yang kedua inilah kemudian dilanjutkan oleh Imam Al-Asy’ari, dan rumusan-rumusannya di kemudian hari disebut Madzhab Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Hal tersebut sesuai dengan pendapat Imam As-Syihristani yang berkata[3]: “Ulama Salaf yang tidak mau melakukan Takwil dan tidak berpendirian kepada Tasybih, di antara mereka adalah: Malik bin Anas, Ahmad bin Hanbal, Sufyan As-Tsauri, Dawud bin Ali Al-Ashfihani dan para pengikutnya. 

Sehingga periode salaf itu sampai kepada angkatan Abdullah bin Sa’id Al-Kilabi, Abil Abbas Al-Qalànisi dan Al-Harits bin Asad Al-Muhasibi. 

Mereka ini termasuk Ulama Salaf. Akan tetapi, mereka menggunakan Kalam dan merumuskan aqidah Salaf dengan argumentasi-argumentasi ilmu Kalam. 

Sebagian dari mereka menulis kitab, dan sebagian lagi melakukan pengkajian ilmu Kalam. Oleh karena itu, setelah munadharah antara Al-Asy’ari dan gurunya (Al-Juba’i) tentang masalah Shalàh (kepatutan) dan Ashlah (kepatutan yang lebih) dan Al-Asy’ari mengalahkan gurunya, 

Maka Al-Asy’ari meninggalkan Mu’tazilah dan kembali memihak Ulama Salaf. Lalu Al-Asy’ari mendukung aqidah mereka dengan metoda Kalam, dan pendangan-pandangannya itu menjadi madzhab Ahlissunnah Wal Jama’ah.

Ketika itu pemikiran umat Islam berkembang pesat sehingga banyak kaum ahli bid’ah yang menyebarkan bid’ahnya dengan menulis kitab-kitab yang menggunakan ilmu kalam. 

Untuk menangkis serangan inilah (golongan Qadariyah, Jahmiyyah, Jabariyyah dan golongan lain), maka Imam Al-Asy’ari dan imam-imam yang menjadi pengikut setianya, mempertahankan aqidah Ahlissunnah Wal Jama’ah dengan menggunakan ilmu kalam.

Dengan demikian mereka telah melakukan jihad atau pembelaan terhadap agama dan aqidah kaum muslimin dari pengaruh ajaran yang disebarkan oleh sekte-sekte tersebut di atas. 

Sebagaimana kita ketahui bahwa jihad tidak hanya berperang di medan laga, tetapi ada dua : jihad dengan perdebatan (Kalam), dan jihad dengan pedang (Qital). Oleh karena itu, ilmu kalam dapat dijadikan sebagai senjata dalam jihad menegakkan Islam.

Sebagaimana pada kasus ilmu kalam, dalam pentakwilan ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan oleh Asy’ari adalah untuk memurnikan tauhid dari faham Tasybih (mempersamakan Allah dengan makhluk) dan Tajsim (menganggap Allah memiliki jisim). 

Sebab kedua faham tersebut pada hakikatnya tidak sesuai dengan faham Ahlussannah Wal Jama’ah. Sedangkan Hanabilah (pengikut madzhab Imam Ahmad bin Hanbal) yang anti pentakwilan terhadap ayat mutasyabihat malah terjebak kedalam faham Tajsim dan Tasybih, sehingga mereka disebut “Hasyawiyah”. 

Contoh anti pentakwilan itu seperti ayat al-Qur’an yang berbunyi : يد الله diartikan : tangan Allah, atau Allah memiliki tangan seperti manusia memiliki tangan, tidak diartikan kekuasaan Allah. 

Lafadz أصبعين من أصابع الرحمن Didalam hadits diartikan dua jari dari jari-jari Allah sebagaimana manusia berjari, tidak diartikan kehendak Allah. Pemahaman seperti ini disebut tajsim. 

Dan lafadz إن الله ينزل ألى السماء الدنيا Didalam hadits diartikan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia sebagaimana manusia turun, tidak diartikan sesungguhnya rahmat Allah turun ke langit dunia. Pemahaman seperti ini disebut Tasybih.

Pada zaman Imam Izzuddin bin Abdissalam yaitu sebelum Ibn Taimiyyah lahir, terdapat kelompok penganut madzhab Hanbali yang disebut Hasyawiyah yaitu kelompok Musyabbihat yang anti pentakwilan terhadap ayat-ayat mutasyabihat dalam Al-Qur’an dan menganggap bahwa Al-Qur’an itu terdiri dari rangkaian huruf-huruf yang baru, bukan qadim. 

Mereka menentang madzhab Imam Asy’ari dan Asy’ariyyah yang mentakwilkan Al-Qur’an dan mengkafirkan mereka.

Imam Izzuddin bin Abdissalam berkata tentang kelompok ini: “Al-Hasyawiyah, kelompok yang mempersamakan Allah dengan makhluk-Nya itu, ada dua kelompok :

1. Kelompok yang terang-terangan memiliki pendapat Tasybih

2. Kelompok yang menutupi diri (berkedok) dengan madzhab Salaf demi kepentingan matrialistik.

Padahal madzhab Salaf yang sebenarnya adalah Tauhid dan Tanzih (tidak mempersamakan Allah), bukan Tasybih dan Tajsim. 

Memang banyak kelompok ahli bid’ah mengaku sebagai pengikut Salaf. Dan tidak mungkin Ulama Salaf memiliki I’tikad Tajsim dan Tasybih. Selanjutnya Imam Izzuddin bin Abdissalam berkata:

“Sesungguhnya Syafi’iyyah (para pengikut madzhab Syafi’i), Malikiyyah (para pengikut madzhab Maliki), Hanafiyyah (para pengikut madzhab Hanafi), dan ulama pilihan dari Hanabilah (para pengikut madzhab Hanbali) adalah pengikut faham Asy’ari”.

Dari uraian Imam Izzuddin tadi, dapat diambil kesimpulan bahwa kaum Hasyawiyah adalah bukan “ulama pilihan” dari Hanabilah. 

Ulama pilihan dari Hanabilah telah mengikuti madzhab Asy’ari dalam masalah aqidah karena pengaruh dari Syekh Abdul Qadir Al-Jilani, seorang shufi besar yang bermadzhab Hanbali dalam fiqh dan bermadzhab Asy’ari dalam aqidah.

Prof. Dr. Abdul Mun’im Al-Hafni menerangkan Hasyawiyah sebagai berikut : “Mereka adalah sekelompok orang yang berpegang pada dhahir dari nash, sehingga mereka terjerumus dalam faham-faham yang menyimpang, seperti Tajsim. 

Mereka menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an secara tekstual dan mengatakan makna tekstual itulah yang dikehendaki Allah Subhanahu Wa Ta'ala. 

Jadi, jika dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala memiliki tangan dan wajah, berarti Allah itu memang memiliki tangan dan wajah, seperti manusia”. 

Demikian juga halnya dengan Ibnu Taimiyyah dan kaum Wahabi, mereka dengan anti kalam dan anti takwil terjerumus ke dalam faham Tajsim dan Tasybih. Sedangkan ulama salaf mengikuti faham Tanzih yang bertentangan dengan kedua faham itu. 

Di samping itu mereka juga berlebih-lebihan di dalam membenci kaum penentang, sehingga mereka terjebak ke dalam faham takfir sebagaimana kaum Hasyawiyah. Dengan demikian, menjadi jelas bahwa faham Wahabi berasal dari faham Hasyawiyah.

Jika ulama pada zaman dulu seperti Syekh Sulaiman bin Abdul Wahhab (kakak Muhammad bin Abdul Wahhab), Sayyid Ahmad Zaini Dahlan dan sebagainya mengecam Wahabi, maka banyak ulama pada zaman sekarang yang juga mengecam Wahhabi. Di antara mereka adalah :

1. Prof. Dr. Syekh Ali Jum’ah, mufti mesir mengatakan bahwa Wahabi Salafi adalah gerakan militan dan ahli teror.

2. Prof. Dr. Syekh Ahmad Thayyib, Syekh Al-Azhar mengatakan bahwa Wahabi tidak pantas menyebut dirinya salafi karena mereka tidak berpijak pada manhaj salaf.

3. Prof. Dr. Syekh Yusuf Qardawi, intelektual Islam produktif dan ahli fiqh terkenal asal Mesir, mengatakan bahwa Wahabi adalah gerakan fanatik buta yang menganggap dirinya paling benar tanpa salah dan menganggap yang lain selalu salah tanpa ada kebenaran sedikitpun. Gerakan Wahabi di Ghaza lebih suka memerangi dan membunuh sesama muslim daripada membunuh orang-orang Yahudi.

4. Prof. Dr. Syekh Wahbah Az-Zuhayli, mufti Suriah dan ahli fiqh produktif, menulis magnum opus ensiklopedia fiqh setebal 14 jilid berjudul Mausu’atul Fiqhi al-Islami. Az-Zuhayli mengatakan bahwa Wahabi adalah orang-orang yang suka mengkafirkan mayoritas muslim selain dirinya sendiri.

5. Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj, ketua PBNU, mengatakan dalam berbagai kesempatan melalui artikel yang ditulisnya, wawancara dan seminar bahwa terorisme modern berakar dari ideologi Wahabi.

Kesimpulan

  • Radikalisme dan terorisme adalah gerakan yang lahir dari ajaran kaum Wahabi yang bersifat fundamentalistik.
  • Image bahwa Wahabi identik dengan Salafi meskipun salah tetapi sudah terlanjur menjadi opini publik di kalangan masyarakat luas.
  • Sebaiknya kata “salafi” atau “salafiyah” yang digunakan oleh pengikut madzhab Asy’ariyyah dipertegas dengan menggunakan qayyid pembeda di belakangnya, seperti “Salafiyah Syafi’iyah” atau “Salafiyah Asy’ariyah” atau “Salafiyah Nahdliyah” dan sebagainya.

0 Response to "BANTAHAN TERHADAPA IBN TAIMIYYAH DAN WAHABI"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak