Imam Syafi’i , Madzhab dan Metodologinya
Dalam Islam kita mengenal empat imam madzhab besar yang terkenal sampai kepada seluruh umat di zaman yang silam dan zaman sekarang.
Mereka itu adalah Abu Hanifah Annu’man atau yang sering dikenal dengan nama Hanafi, Malik Bin Anas atau yang sering dikenal dengan nama Maliki,
Muhammad Idris Asy-syafi’i atau yang sering dikenal dengan nama Imam Syafi’i, dan Ahmad Bin Muhammad Bin Hambal yang sering dikenal dengan nama Hambali.
Karena pengorbanan dan bakti mereka yang besar terhadap agama islam yang maha suci, khususnya dalam bidang ilmu fikih mereka telah sampai ke peringkat atau kedudukan yang baik dan tinggi dalam islam.
Peninggalan mereka merupakan amalan ilmu fikih yang besar dan abadi yang menjadi kemegahan bagi agama islam dan kaum muslimin umumnya.
Pandangan-pandangan dari ke empat madzhab lebih dikenal kaitannya dalam studi ilmu fiqih, yang mana mereka mempunyai perbedaan pendapat dalam menganalisa tentang kedudukan dan penerapan hukum Islam.
Dalam makalah/paper ini akan dibahas lebih spesifik tentang salah satu imam madzhab besar yaitu Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi‟i rahimahullahu atau Imam Syafi’i.
Pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah/paper ini adalah tentang landasan hukum yang digunakan Imam Syafi’i dalam menentukan hukum islam serta perkembangan hukum islam atau madzhab Syafi’i tersebut.
Imam Syafi’i merupakan pencetus atau pelopor tentang ilmu ushul fiqh. Beliau merupakan orang pertama yang menyusun sebuah buku ushul fiqh yang dikenal dengan ar-Risalah yang dibuat sebagai disiplin ilmu atau pedoman untuk para peminat hukum islam.
Tujuannya agar tidak ada terjadinya kesalahan dalam pengertian syari’at yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist serta agar penganut agama islam yang bukan berasal dari bangsa arab dapat memahami isi dari Al-Qur’an dan Hadist maka dibutuhkannya kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan yang kemudian dinamakan ushul fiqh tersebut.
Biografi Imam Syafi’i
Nama lengkap dari Imam Asy-Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’i bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abdu Yazid bin Hasyim bin al-Muthalib bin ‘Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin Ghalib, abu ‘Abdillah al-Qurasyi Asy-Syafi’i al-Maliki, keluarga dekat rasulullah dan putra pamannya.
Al-Muthalib adalah saudara Hasyim, ayah dari ‘Abdul Muthalib, kakek Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam.
Dan kakek imam asy-Syafi’i berkumpul (bertemu nasabnya) pada ‘abdi Manaf bin Qushay, kakek Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam.
Idris, ayah Asy-Syafi’i tinggal di tanah Hijaz, ia adalah keturunan Arab dari kabilah Qurasy. Kemudian ibunya yang bernama Fathimah Al-azdiyyah adalah berasal dari salah satu kabilah di Yaman, yang hidup dan menetap di Hijaz.
Semenjak kecil Fathimah merupakan gadis yang banyak beribadah memegang agamanya dengan kuat dan sangat taat dengan rabb-Nya.
Dia dikenal cerdas dan mengetahui seluk beluk al-quran dan as-sunah, baik ushul maupun furu’/cabang.
Imam An-Nawawi berkata : Imam Asy-Ayafi’i adalah qurasyi (berasal dari suku qurasy) dan muthalib (keturunan muthalib) berdasarkan ijma’ para ahli riwayat dari semua golongan, sementara ibunya berasal dari suku azdiyah.
Imam Asy-Syafi’i dinisbahkan kepada kakeknya yang bernama Syafi’i bin As-Saib, seorang sahabat kecil yang sempat bertemu dengan rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassallam. ketika masih muda.
Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina tahun 150 H / 767 M. Imam Syafi’i hidup pada zaman/masa khalifah Harun al-Rasyid, al-Amin, al-Makmun dari dinasti Abbasiyah.
Beliau dibesarkan dalam keluarga miskin. Ayahnya wafat saat dia berumur 2 tahun dan segera dibawa ibunya ke Mekkah.
Pada hari Imam Syafi’i dilahirkan, dua orang ulama besar meninggal dunia. Seorang di Baghdad (Iraq), yaitu Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit (pembangun Mazhab Hanafi) dan seorang lagi di Mekkah, yaitu Imam Ibnu Jurej al Maky, mufti Hijaz ketika itu.
Kata orang dalam ilmu firasat hal ini adalah satu pertanda bahwa anak yang lahir ini akan menggantikan yang meninggal dalam ilmu dan kepintarannya. Memang firasat ini akhirnya terbukti dalam kenyataan.
Menurut riwayat, ketika ibunda Imam Syafi’i mengandung, dia bermimpi di dalam tidurnya. Pada suatu malam seakan-akan melihat bintang keluar dari perutnya, lalu melambung tinggi ke udara dan pecah kemudian bertebaran ke berbagai negeri.
Maka ia terbangun dari tidurnya. Pada pagi harinya ia segera menceritakan mimpinya itu kepada yang ahli menakwilkan mimpi. Lalu mereka memberitahukan kepadanya bahwa ia akan melahirkan seorang laki-laki yang kelak ilmu pengetahuannya memenuhi muka bumi.
Sejak kecil ia terkenal cerdas, kuat hafalannya, dan gigih menuntut ilmu. Menjelang umur 9 tahun ia telah hafal 30 juz al-Qur’an dan 10 tahun ia telah menguasai pramasastra Arab dengan baik.
Ketika di Mekkah, ia belajar ilmu fiqh kepada mufti Mekkah, Muslim Khalid al-Zanji dan ilmu hadist kepada Sufyan bin Uwainah (Sirajuddin Abbas, 1972).
Pada usia 15 tahun (ada yang mengatakan 18 tahun), Imam Syafi’i berfatwa setelah mendapat izin dari syaikhnya yang bernama Muslim bin Khalid az-Zanji.
Imam syafi’i menaruh perhatian yang besar kepada syair dan bahasa dan juga adat istiadat bangsa arab, sehingga ia hafal syair dari suku hudzail.
Kabilah hudzail adalah kabilah yang terkenal sebagai suatu kabilah yang paling baik bahasa arabnya. Sehingga Imam Syafi’i banyak menghafal syair-syair dan qasidah dari kabilah hudzail.
Sebagai bukti, al-Asmai’ pernah berkata : bahwa beliau pernah membetulkan atau memperbaiki syair-syair hudzail dengan seorang pemuda dari keturunan bangsa qurasy yang disebut dengan namanya Muhammad bin Idris, maksudnya adalah Imam Syafi’i.
Di samping mempelajari ilmu pengetahuan beliau mempunyai kesempatan pula mempelajari memanah, sehingga beliau dapat memanah sepuluh batang panah tanpa melakukan satu kesalahan.
Beliau pernah berkata : cita-citaku dua perkara : panah dan ilmu, aku berdaya mengenakan target sepuluh dari sepuluh.
Mendengar percakapan itu orang yang bersamanya berkata : Demi Allah bahwa ilmumu lebih baik dari memanah.
Pada usia 20 tahun Imam Syafi’i pergi ke Madinah dan belajar kepada Imam Malik. Dia membaca sendiri kitab al-Muwatta’ di hadapan Imam Malik bin Anas dengan hafalan sehingga Imam Malik pun kagum terhadap bacaan dan kemauannya.
Kemudian tahun 195 H, beliau pergi ke Baghdad dan belajar kepada Muhammad bin al-Hasan al-Syaibaniy (murid Abu Hanifah) selama 2 tahun.
Setelah itu beliau kembali ke Mekkah dan kembali lagi ke Baghdad dan menetap disana selama beberapa bulan.
Kemudian pada tahun itu juga ia pergi ke Mesir dan menetap disana sampai wafat pada tanggan 29 Rajab tahun 204 H.
Oleh sebab itu, pada diri Imam Syafi’i terhimpun pengetahuan fiqh ashab al-Hadis dari Imam Malik dan fiqh ashab al-ra’y dari Abu Hanifah.
Periode Fiqih Imam Syafi’i
Di dalam buku karangan Dr. Muhammad Ibrahim al-Fayyumi tahun 2009 yang berjudul “Imam Syafi’i Pelopor Fiqih dan Sastra”, dijelaskan periode fiqih Imam Syafi’i yang dibagi menjadi 3 sesuai dengan kota-kota tempat ia berkiprah dalam menentukan hukum islam.
Periode Pertama
Makkah adalah periode pertama Imam Syafi’i berkiprah dalam bidang fiqih. Setelah meninggalkan kota Baghdad, dia tinggal di Makkah selama sembilan tahun.
Di kota Makkah ini dia telah mencurahkan waktunya untuk terjun di dunia ilmu pengetahuan. Di sana ia benar-benar telah mendapatkan kematangan ilmunya dan mampu menghimpun berbagai hadits yang sebelumnya tidak pernah ia lakukan.
Karena itu, Imam Syafi’i sering menemukan pertentangan antara hadits yang satu dengan yang lainnya dan dalam tataran praktis dia harus mengunggulkan satu pendapat di antara pendapat-pendapat lainnya.
Pengunggulan pendapat tersebut bisa dilihat dari segi sanad hadits yang dijadikan sandarannya atau dari segi ketidakberlakuan sebuah dalil (nasikh mansukh).
Di Makkah Imam Syafi’i juga mendalami dalil-dalil al-Qur’an dan menghimpun berbagai hadits. Upaya tersebut membuatnya tahu sejauh mana kedudukan hadits di sisi al-Qur’an.
Kitab ar-Risalah adalah buah karya Imam Syafi’i selama periode makkah yang sengaja ia susun atas permintaan Abdurrahman al-Mahdi.
Periode Kedua
Imam Syafi’i datang ke kota Baghdad pada tahun 195 H. Dia tinggal di sana selama kurang lebih tiga tahun.
Pada masa ini Imam Syafi’i mulai mengeksplorasi berbagai pendapat ahli fiqih yang semasa dengannya, pendapat dari para sahabat dan tabi’in.
Di masa ini pula Imam Syafi’i mulai mengekspresikan pendapat-pendapatnya dengan berpijak pada ushulnya. Kemudian Imam Syafi’i memilih pendapat yang lebih mendekati ushulnya.
Periode Ketiga
Imam Syafi’i menghabiskan periode ketiga ini setelah dia pindah ke Mesir pada tahun 199 H. Di sana dia menetap selama empat tahun, hingga wafat. Di sanalah Imam Syafi’i mengalami kematangan-kematangannya.
Mengenai sumber fiqihnya, Imam Syafi;i memiliki lima sumber yang kesemuanya dituturkan dalam kitabnya al-Umm. Dia berkata “Ilmu memiliki beberapa tingkatan:
- Al-qur’an dan as-sunnah yang dianggap valid.
- Ijmak dan ini berlaku apabila yang sedang digali tidak ditemukan, baik di dalam al-Qur’an maupun as-Sunnah.
- Pendapat salah satu sahabat lain yang menentangnya.
- Sesuatu yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
- Qiyas. Ketahuilah tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan referensi, selama ada al-qur’an dan hadits”.
Sejarah Awal Mula Madzhab Syafi’i
Pemikiran madzhab ini di awali oleh Muhammad bin Idris asy-Syafi’i atau yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Syafi’i, yang hidup pada zaman pertengahan antara ahlul hadist (cenderung berpegang pada teks hadist) dan ahlul ra’yi (cenderung berpegang pada akal fikiran atau ijtihad).
Imam Syafi’i belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh ahlul hadist, dan Imam Muhammad Bin Hasan AsySyaibani sebagai tokoh ahlul ra’yi yang juga murid Imam Abu Hanifah.
Saat berumur 20 tahun Imam Syafi’i pergi ke Madinah dan belajar fiqih dari Imam Malik dan menyertainya hingga Imam Malik wafat pada tahun179 H.
Kemudian Imam Syafi’i pergi ke Yaman. Di sana ia bertemu dengan Umar bin Abu Salamah yang merupakan murid dari Imam al-Auza’i dan belajar darinya fiqih syaikhnya.
Imam Syafi’i juga belajar fiqih pada Yahya bin Husain yang merupakan murid dari al-Laits bin Sa’d, yang merupakan seorang ulama besar dalam ilmu fiqih di Mesir.
Pada tahun 184 H, Imam Syafi’i didatangkan ke Baghdad karena dituduh menentang Daulah Abbasiyah, namun ia terbebas dari tuduhan.
Kedatangannya ini menjadi sebab pertemuannya dengan ulama fiqih Irak yaitu Muhammad bin Hasan asy-Syaibani yang merupakan murid dari Abu Hanifah, dan menyertainya (mulazamah dengannya, membaca kitab-kitabnya, meriwayatkan darinya, dan belajar masalah-masalah fiqih darinya).
Kemudian Imam Syafi’i pindah ke Makkah dan membawa kitab-kitab fiqih ulama Irak, dan tinggal di Makkah untuk mengajar, berfatwa, dan bertemu dengan banyak ulama di musim haji selama sembilan tahun.
Demikianlah, ia menghimpun pada dirinya fiqih Hijaz dan fiqih Irak, dan mengkaji perkembangan terakhir fiqih dan mempelajarinya secara teliti dan tekun.
Imam Syafi’i bisa mengkaji dengan mudah madzhab-madzhab yang telah dikenal di zamannya, dengan kritis, analisis, dan komparatif. Imam Syafi’i menolak istihsan dari Imam Abu Hanifah atau mashalih mursalah dari Imam Malik.
Tetapi, Imam Syafi’i menerima penggunaan qiyas secara lebih luas dari Imam Malik. Dari sinilah tampak kepribadian imam Syafi’i dengan fiqih baru yang menggabungkan fiqih ulama Irak dengan fiqih ulama Hijaz, dan mulai memisahkan diri dengan mendirikan madzhab baru yang khas.
Setelah itu beliau pergi ke Baghdad untuk kedua kalinya pada tahun 195 H, dan bermukim disana selama dua tahun, kemudian kembali ke Makkah.
Lalu ia kembali lagi ke Baghdad pada tahun 198 H dn bermukim disana selama beberapa bulan. Kemudian beliau kembali ke Mesir pada akhir tahun 199 H. Ia menetap disana, mengajar, berfatwa, mengarang, dan mengajar murid-muridnya hingga wafat pada tahun 204 H.
Meskipun berada dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih, ushul fiqih, dan hadist pada zamannya membuat madzhabnya memperoleh banyak pengikut.
Dasar-Dasar Pemikiran Imam Syafi’i tentang Penggunaan Dalil
Pembicaraan menyangkut dalil-dalil syara’, dalam beberapa kitab ushul fiqh selalu berkisar di seputar dalil-dalil syara’ yang disepakati dan dalil-dalil syara’ yang diperselisihkan.
Beberapa istilah populer dari dalil syara’ atau sumber hukum itu antara lain adalah ‘adillah al-ahkam al-mutafaq ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang disepakati), mashadiru al-ahkam al-mutafaq ‘alaiha (sumber-sumber hukum yang disepakati), ‘adillah al-ahkam al-mukhtalaf ‘alaiha (dalil-dalil hukum yang diperselisihkan), mashadiru al-ahkam al-mukhtalaf alaiha (sumber-sumber hukum yang diperselisihkan).
Sedangkan dalil/sumber hukum yang disepakati oleh mayoritas (jumhur) ulama ahl al-sunah ada empat, yaitu al-Qur’an, Sunah, Ijma’ dan Qiyas.
Sementara selebihnya seperti istihsan, istishab, istishlah dan sebagainya, merupakan dalil/sumber yang diperselisihkan oleh para ulama.
Dalam buku Ushul Fiqih tahun 1993 yang berjudul “Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islam” karangan Prof. DR.
Mukhtar Yahya dan Prof. DR. Fatchurrahman, dijelaskan bahwa kalangan Syafi’i mengklasifikasikan dalil menjadi dua, yaitu dalil syara yang telah disepakati serta wajib diamalkan dan dalil syara yang masih diperselisihkan.
Dalil-dalil yang telah disepakati oleh mayoritas ahli ushul menurut Imam Syafi’i dan memiliki kekuatan hukum adalah al-Quran, Sunah, Ijma’, Qiyas dan Istishhab.
Sedangkan yang lainnya merupakan dalil yang dikelompokkan pada dalil yang diperselisihkan dan tidak wajib diamalkan menurut al-Syafi’i, yaitu istihsan, maslahah mursalah, ‘uruf, madzhab shahabi, dan syar’u man qablaha.
Cara-Cara Ijtihad Imam Syafi’i
Seperti Imam Madzhab lainnya, Imam Syafi’i menentukan thuruq al-istinbath al-ahkam tersendiri. Adapun langkah-langkah ijtihadnya yang dijelaskan dalam buku karangan Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddiqiey pada tahun 1997 yang berjudul “Pengantar Hukum Islam” adalah sebagai berikut :
1. Dhahir-dhahir Al-Qur’an selama belum ada dalil yang menegaskan, bahwa yang dimaksud bukan dhahirnya.
2. Sunnatur Rasul
As-Syafi’i mempertahankan hadits ahad selama perawinya kepercayaan, kokoh ingatan dan bersambung sanadnya kepada Rasul. Beliau tidak mensyaratkan selain daripada itu. Lantaran itulah beliau dipandang Pembela Hadits. Beliau menyamakan Sunnah yang shahih dengan Al-Qur’an.
3. Ijma’
Menurut pahamnya ialah : “tidak diketahui ada perselisihan pada hukum yang dimaksudkan”. Beliau berpendapat, bahwa meyakini telah terjadi persesuaian paham segala ulama tidak mungkin.
4. Qiyas
Beliau menolak dasar istihsan dan dasar istishlah. Metodologi ijtihad Imam Syafi’i tidak ada yang menggunakan logika kecuali terbatas pada Qiyas saja.
5. Istdlal
As-Syafi’i dapat memahamkan dengan baik fiqh ulam Hijaz dan fiqh ulama Iraq dan beliau terkenal dalam medan munadharah sebagai seorang yang sukar dipatahkan hujjahnya.
Qaul Qadim dan Qaul Jadid
Di dalam buku DR. Jaih Mubarok pada tahun 2000 yang berjudul “Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam”, Ahmad Amin menjelaskan bahwa ulama membagi pendapat as-Syafi’i menjadi dua : qaul qadim dan qaul jadid.
Qaul qadim adalah pendapat as-Syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Irak. Sedangkan qaul jadid adalah pendapat imam as-Syafi’i yang dikemukakan dan di tulis di Mesir.
Muhammad Sya’ban Ismail mengatakan bahwa pada tahun 195 H, Imam Syafi’i tinggal di Irak pada zaman pemerintahan al-Amin.
Di Irak, ia belajar kepada ulama Irak dan banyak mengambil pendapat ulama Irak yang termasuk ahlu ra’yi.
Di antara ulama Irak yang banyak mengambil pendapat Imam Syafi’i dan berhasil dipengaruhinya adalah Ahmad bin Hanbal, al-Karabisi, al-Za’farani, dan Abu Tsaur.
Setelah tinggal di Irak, as-Syafi’i melakukan perjalanan ke Mesir kemudian tinggal di sana. Di Mesir, ia bertemu dengan (dan berguru kepada) ulama Mesir yang pada umumnya sahabat Imam Malik.
Imam Malik adalah penurus fiqih ulama Madinah yang dikenal sebagai ahli hadits. Karena perjalanan intelektualnya itu, imam as-Syafi’i mengubah beberapa pendapatnya yang kemudian disebut qaul jadid.
Dengan demikian, qaul qadim adalah pendapat imam as-syafi’i yang bercorak ra’yu. Sedangkan qaul jadid adalah pendapatnya yang bercorak hadits.
Sebab terbentuknya qaul qadim dan qaul jadid adalah karena imam Syafi’i mendengar (dan menemukan) hadits dan fiqih yang diriwayatkan ulama mesir yang tergolong ahlu hadits.
Para ahli berkesimpulan bahwa munculnya qaul jadid merupakan dampak dari perkembangan baru yang dialami oleh imam Syafi’i dari penemuan hadits, pandangan, dan kondisi sosial baru yang tidak ia temui selama ia tinggal di Irak dan di Hijaz. Dan diantara pendapat qaul jadid ini dimuat di Kitab Al-Umm.
Contohnya, dalam masalah tertib wudhu. Qaul qadim mengatakan orang yang wudhunya tidak tertib karena lupa adalah sah. Sedangkan qaul jadid mengatakan bahwa orang yang wudhunya tidak tertib, meskipun karena lupa adalah tidak sah.
Contoh lain dalam masalah tayamum. Qaul qadim mengatakan bahwa seseorang diperbolehkan tayamum dengan pasir. Sedangkan qaul jadid mengatakan bahwa seseorang tidak diperbolehkan tayamum dengan pasir.
Karya-Karya dari Imam Syafi’i
Imam Syafi’i memiliki karya tulis yang banyak sekali, di antaranya yang paling terkenal adalah:
Kitab Al-Umm
Kitab fiqih yang terdiri dari empat jilid berisi 128 masalah dan terbagi ke dalam 40 bab lebih. Al-hafizh ibnu hajar berkata : Jumlah kitab (masalah) dalam kitab al-umm lebih dari 140 bab-wallahu a’lam.
Dimlai dari kitab at-thaharah (maslah bersuci) kemudian kitab (as-shalah) masalah shalat. Begitu seterusnya yang beliau susun berdasarkan bab-bab fiqih.
Kitabnya yang diringkas oleh al-muzani yang kemudian dicetak bersama al-umm. Sebagian orang ada yang menyangka bahwa kitab ini bukanlah pena dari imam asy-syafi’i, melainkan karangan al-buwaiti yang disusun oleh ar-rabi’in bin sulaiman al-muradi.
Bersama dengan kitab al-umm, dicetak pula kitab-kitab lainnya, yaitu :
- Kitab jima’ul ‘ilmi sebagai pembela terhadap as-sunah dan pengamalannya.
- Kitab ibthaalul istihsan, sebagai sanggahan terhadap para fuqaha (ahli fiqih) dari mazhab hanafi
- Kitab perbedaan antara imam malik dan imam syafi’i
- Kitab ar-radd ‘alaa muhammad bi hasan (bantahan terhadap muhammad bin hasan)
Kitab Al-Risalah Al-Jadidah
Kitab ini dianggap sebagai induk kitab ushul fiqh yang terdiri dari satu jilid besar yang sudah di-tahqiq (diteliti) oleh Ahmad Syakir, yang diambil dari riwayat Ar-Eabi’in bin Sulaiman dari Imam Asy-Syafi’i.
Di dalam kitab ini Imam Syafi’i berbicara tentang al-quran dan penjelasannya, beliau mengemukakan bahwa banyak dalil mengenai keharusan berhujjah dan berargumentasi dengan as-sunah.
Beliau juga mengupas masalah nasikh dan mansukh dalam al-quran dan as-sunah, menguraikan tentang ‘ilal (‘illat/cacat) yang terdapat pada bagian hadist dan alasan dari keharusan mengambil hadist ahad sebagai hujjah dan dasar hukum, serta apa yang boleh diperselisihkan dan tidak boleh diperselisihkan di dalamnya.
Kitab As-Sunanar-Radd ‘ala AlBaraahimiyah
Kitab Mihnatusy Imam Asy-Syafi’i.
Ahkamul Al-Qur’an
KESIMPULAN
Imam Syafi’i adalah salah satu dari 4 imam madzhab yang telah menciptakan mahakarya di dunia Islam.
Beliau adalah imam yang memiliki karakteristik akhlak yang mulia dan memiliki kecerdasan luar biasa. Beliau merupakan orang yang menentukan ushul fiqh sebagai disiplin dasar hukum islam yang sering digunakan sampai sekarang.
Beliau dikenal sebagai seorang pemikir hukum islam yang menggabungkan Al-Qur’an dan sunnah dengan pendapat para sahabat nabi yang telah disepakati.
Selain itu, beliau juga menggunakan Ijma’ dan Qiyas untuk menentukan dasar-dasar hukum islam yang telah ada.
Beliau menerjemahkan/menafsirkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa sallam. yang telah ada menggunakan keempat dasar hukum tersebut yang kemudian didapatkan artian/terjemahan yang lebih mudah dipahami oleh masyarakat banyak.
Ilmu hukum islam tersebut terkenal dengan nama Mazhab Syafi’i serta ar-Risalah yang sering digunakan oleh para muslim di Indonesia.
Hal ini dikarenakan Mazhab Syafi’i lebih tertumpu kepada elastisitas dan keakuratan dalil dan logika yang menjadi acuannya sehingga dapat berkembang sampai kini.
0 Response to " Imam Syafi’i , Madzhab dan Metodologinya"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak