KONFLIK
Defenisi Konflik
Dalam kehidupannya manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. Dalam kajian sosiologis, kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain disebut dengan gregariousness.
Lebih lanjut, interaksi sosial sendiri merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang-perorangan, antara kelompok-kelompok manusia maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia.
Interaksi sosial sendiri dimulai ketika dua orang bertemu (tatap muka), saling menegur (kontak suara), dan berjabat tangan (kontak fisik).
Lebih lanjut, interasi sosial menurut Karp dan Yoels ditentukan oleh ciri-ciri fisik dan penampilan.
Ciri-ciri fisik meliputi jenis kelamin, usia, ras, sedangkan penampilan meliputi daya tarik, bentuk tubuh, busana, dan wacana percakapan.
Berdasarkan pendapat di atas, diketahui bahwa pertimbangan dalam berinteraksi biasanya ditentukan oleh adanya persamaan-persamaan, baik persamaan dalam ciri fisik maupun penampilan.
Dalam hal ini, individu cenderung melakukan identifikasi atau mencari persamaan, dimana individu kemudian menempatkan diri pada kelompok tertentu.
Pada tataran kelompok etnis, persamaan yang dicari diantaranya persamaan bahasa, adat kebiasaan, wilayah, sejarah, sikap, dan sistem politik.
Lebih lanjut, bentuk-bentuk interaksi sosial yang sering dijumpai dalam masyarakat, antara lain; kerjasama, persaingan, dan pertentangan (konflik).
Kerjasama adalah suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama.
Sedangkan kompetisi adalah suatu proses dimana individu atau kelompok saling bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan (sumber daya) yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum.
Coser membedakan konflik menjadi dua tipologi yakni konflik realistik dan konflik non-realistik. Konflik realistik adalah konflik yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutan-tuntutan khusus yang tejadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para paratisipan, dan yang ditujukan pada objek yang dianggap mengecewakan.
Selanjutnya, konflik non-realistis diartikan oleh Coser sebagai konflik yang bukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonistik, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari satu pihak.
Rothchild dan Sriram mengemukakan konflik antarkelompok ke dalam empat fase, diantaranya:
1. Fase potensi konflik (potential conflik phase), dimana konflik telah terjadi namun dalam intensitas yang rendah.
Factor structural, sosio-ekonomi, kultur, dan politik menjadi penyebab konflik. Perasaan tidak puas mulai tumbuh, namun tidak dikatalisasikan ke dalam kelompok yang terorganisir.
2. Fase pertumbuhan (gestation phase), dimana isu yang dipertentangkan oleh kelompok lebih didefinisikan, hubungan antarkelompok lebih dipolitisir dan dimobilisasi sedemikian rupa, ikatan antarelit masih terjalin dan isu yang dipertentangkan masih dapat dirundingkan, namun kemungkinan terjadinya kekerasan makin tinggi.
3. Fase pemicu dan eskalasi (triggering and escalastion phase), dimana persepsi perubahan yang nyata dalam kelompok (sosial-ekonomi, kultur, politik, dan structural) memicu terjadinya eskalasi.
Fase ini ditandai dengan adanya kekerasan masal yang terorganisir, terputusnya jaringan komunikasi antarelit, kelompok yang bertikai mulai kehilangan kepercayaan satu sama lain dan merasa tidak dapat berkompromi.
4. Fase pasca konflik (post-conflict phase), setelah kekerasan mengalami penurunan (de-eskalasi), intervensi dengan tujuan membangun kembali hubungan damai dan saluran komunikasi kelompok-kelompok yang terlibat konflik untuk menghindari terulangnya kekerasan.
Fase ini terbagi atas dua bagan yang terpisah, yakni; fase keamanan jangka pendek (security-building phase) yang melibatkan dukungan dari militer, serta fase keamanan jangka panjang (long-term institution building phase) dimana rekonstruksi sosial, politik, dan ekonomi membantu membangun kembali hubungan antarkelompok sebagai upaya perdamaian yang berkelanjutan.
Menurut Kurt Lewin menyatakan bahwa konflik adalah keadaan dimana daya di dalam diri seseorang berlawanan arah dan hampir sama kekuatannya.
Kedudukan psikologis dari konflik muncul ketika berada di bawah tekanan untuk merespon secara simultan dua atau lebih daya.
Konflik itu sendiri terjadi karena seseorang berada di bawah tekanan untuk merespon daya-daya tersebut secara simultan.
Daya adalah suatu hal yang menyebabkan perubahan. Bila dua motif saling bertentangan, kepuasan motif yang satu akan menimbulkan frustasi pada motif lain.
Berdasarkan Lahey konflik adalah keadaan dimana dua atau lebih motif tidak dapat dipuaskan karena mereka saling mengganggu satu sama lain.
Menurut Kurt Lewin, dalam Lindzey & Hall menyatakan bahwa konflik terjadi pada lapan kehidupan seseorang.
Lapangan kehidupan seseorang terdiri dari orang itu sendiri (person) dan lingkungan psikologis (psychological environmental) yang ada padanya pada suatu saat tertentu.
Lapangan kehidupan ini ada yang bersifat nyata (reality) seperti ibu, teman, pekerjaan, dan ada pula yang maya (irreality) seperti cita-cita atau harapan.
French, dkk. mengatakan bahwa konflik terdiri dari interaksi perilaku dua atau lebih individu, kelompok, atau sistem sosial yang lebih besar yang memiliki tujuan yang bertentangan.
Ross Stagner, Mitchel dalam Winardi juga mengemukakan mengenai konflik merupakan sebuah situasi, dimana dua orang atau lebih menginginkan tujuan-tujuan yang menurut persepsi mereka dapat dicapai oleh salah seorang di antara mereka tetapi hal itu tidak mungkin dicapai oleh kedua belah pihak.
Winardi mengemukakan agar situasi disebut sebagai konflik maka setidaknya harus terdapat dua pihak yang masing-masing pihak sama-sama ingin mencapai tujuan tertentu, dan masing-masing pihak beranggapan bahwa pihak lain merupakan sebuah ancaman baginya dalam hal mencapau tujuan tersebut.
Namun konflik harus dibedakan dengan persaingan atau kompetisi, karena persaingan meliputi tindakan-tindakan yang dilakukan orang tertentu untuk mencapai tujuan yang diinginkannya dengan menyebabkan orang lain tidak berhasil mencapai tujuannya.
Di dalam persaingan juga hampir tidak terdapat interaksi atau saling ketergantungan antara kedua individu tersebut, sehingga dapat dikatakan bahwa persaingan bisa saja menimbulkan konflik, tetapi tidak semua konflik mencakup persaingan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konflik terjdadi karena adanya kesenjangan dari tekanan daya-daya tersebut yaitu berlawanannya antara person dan direction,
Dimana yang ingin dilakukan seseorang, dan adanya harapan orang lain terhadap seseorang serta adanya permintaan dari lingkungan tidak berjalan seimbang sesuai harapan seseorang,
Hal itulah yang disebut sebagai daya yang menekan harapan seseorang dan menjadi tidak seimbang sehingga menimbulkan konflik.
Konflik juga diawali dari adanya persaingan yaitu kompetisi untuk mencapai hal yang dikehendaki dengan menyebabkan orang lain tidak berhasil mencapai tujuannya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konflik
Faktor konflik adalah daya. Daya adalah suatu hal yang menyebabkan perubahan. Perubahan dapat terjadi jika pada suatu wilayah ada valensi tertentu.
Valensi dapat bersifat negatif atau positif tergantung pada daya tarik atau daya tolak yang ada pada wilayah tersebut.
Kalau suatu wilayah mempunyai valensi positif, maka akan menarik daya-daya dari wilayah lain untuk bergerak menuju kearahnya.
Sebaliknya, jika valensi yang ada pada suatu wilayah negatif, maka daya-daya yang ada akan menghindar atau menjauhi wilayah tersebut.
Valensi itu sendiri dipengaruhi oleh faktor yang menghambat. Salah satu faktor yang dapat menghambat kekuatan valensi adalah jarak psikologis.
Kurt Lewin membagi daya dalam beberapa jenis, yaitu:
1. Driving forces
Yaitu daya yang mengarahkan pergerakan atau lokomosi ke wilayah tertentu. Menurut Kurt Lewin tingkah laku adalah lokomosi yaitu perubahan atau pergerakan lapangan kehidupan.
Lokomosi terjadi karena adanya komunikasi antara dua wilayah dalam lapangan kehidupan seseorang. Komunikasi antara dua wilayah menimbulkan ketegangan (tension) pada salah satu wilayah.
Ketegangan menimbulkan kebutuhan (need) dan kebutuhan inilah yang menyebabkan tingkah laku.
2. Restraining forces
Restraining forces atau daya yang menghambat yaitu batas-batas fisik atau sosial yang dapat menghambat pergerakan. Daya ini tidak mengarahkan terbentuknya lokomosi, tetapi mempengaruhi efek dari driving forces.
3. Force corresponding
Yaitu daya yang berasal dari kebutuhan sendiri, merefleksikan kehendak diri sendiri untuk melakukan sesuatu, seperti pergi ke rumah makan, menonton bioskop, dan lain-lain. Dapat diartikan sebagai hal yang ingin dilakukan seseorang.
4. Induced forces
Yaitu daya yang berasal dari orang lain, daya yang berhubungan dengan kehendak orang lain seperti perintah orang tua atau harapan teman. Dapat diartikan sebagai harapan orang lain terhadap seseorang.
5. Impersonal forces
Yaitu daya yang tidak berasal dari kehendak sendiri maupun orang lain, melainkan berasal dari situasi misalnya norma sosial yang menghambat orang sehingga tidak bicara keras-keras di tengah malam buta. Dapat diartikan sebagai permintaan dari lingkungan.
Berdasarkan uraian faktor-faktor di atas dapat disimpulkan jika daya-daya tersebut tidak seimbang dan tidak terpenuhi maka akan mempengaruhi valensi yang menyebabkan terjadinya konflik.
Sebagai contoh perkembangan induced forces jika tidak adanya driving forces maka akan menimbulkan wilayah postif atau negatif pada individu sebagai konflik.
Aspek-Aspek Konflik
Pondy & Walton (1969) mengemukakan konflik dalam lima tahap yang menjadi komponen terbentuknya konflik.
1. Frustasi (Frustation)
Konflik muncul sebagai hasil dari persepsi suatu pihak bahwa pihak lainnya menyebabkan frustasi dalam pemenuhan kepentingannya, maksud kepentingan ini adalah sebagai konsep yang lebih spesifik,
Seperti kebutuhan-kebutuhan, keinginan-keinginan, objek formal, standar perilaku, promosi, keterbatasan sumber daya ekonomi, norma-norma perilaku dan penghargaan, kepatuhan terhadap peraturan dan perjanjian, nilai-nilai, serta kebutuhan-kebutuhan interpersonal yang tidak terpenuhi maka menyebabkan frustasi.
2. Konseptualisasi (Conceptualization)
Konseptualisasi mendefinisikan masalah dari konflik dalam kaitannya dengan kepentingan kedua pihak serta beberapa pemahaman mengenai kemungkinan tindakan alternative serta akibat-akibatnya.
Konseptualisasi ini mempengaruhi perilaku penanganan konflik dan bagaimana peningkatan serta perubahan dalam konseptualisasi suatu pihak. Adapun aspek dari konseptualisasi ini adalah:
3. Penentuan masalah (defining the issue)
Yaitu kepentingan pihal yang mengalami frustasi beserta persepsinya terhadap kepentingan pihak lainnya yang menampilkan tindakan yang menyebabkan frustasi.
4. Alternatif-alternatif terbaik (salient alternatif)
Yaitu kesadaran akan tindakan alternatif serta akibat yang akan ditimbulkan.
Kemungkinan hasil yang dicapau bagi kedua pihak akan menentukan pandangan suatu pihak atas konflik kepentingan antara dirinya dengan pihak lainnya.
5. Perilaku (Behavior)
Di dalam tahap ketiga ini terdapat tiga komponen utama dari perilaku.
Komponen-komponen tersebut adalah:
1. Orientasi (orientation), yaitu tingka dimana suatu pihak akan memenuhi kepentingan sendiri dan kepentingan pihak lainnya.
Terdapat lima perilaku yang bisa ditempuh menurut Blake, dkk , yaitu:
1. Kompetitif / Dominasi (Competitive / Domination): yaitu keinginan suatu pihak untuk memenangkan kepentingan sendiri atas kerugian pihak untuk memenangkan kepentingannya sendiri atas kerugian pihak lainnya, atau dengan kata lain mendominasi (Win-lose power strunggles.
2. Akomodatif / Berdamai (Accomodative / Appeasement): yaitu suatu pihak memuaskan kepentingan pihak lain tanpa memuaskan kepentingannya sendiri (peaceful coestence).
3. Berbagi / Berkompromi (sharing / compromise): perilaku ini merupakan intermediasi antara mendominasi dan mendamaikan.
Perilaku ini adalah pilihan yang moderat tetapi tidak memberikan kepuasan yang sepenuhnya bagi kedua belah pihak.
Di sini suatu pihak memberikan sesuatu secara sebagian kepada pihak lainnya dan menyimpan sebagian lainnya.
Blake, dkk menyebut hubungan demikian sebagai “spilitting the difference”, karena suatu pihak mencari suatu hasil yang mencari suatu hasil yang menjadi hasil tengah yang diinginkan kedua belah pihak.
4. Kolaborasi / Integrasi (Collaborative / Integration): perlaku ini berusaha memuaskan kepentinan kedua belah pihak secara penuh yaitu untuk mengintegrasi kepentingan-kepentingan mereka. Blake, dkk menyebutnya “problem solving’.
5. Menghindar / Membiarkan (Avoidant / Neglect): perilaku ini merefleksikan ketidakpedulian terhadap kepentingan pihak manapun.
Blake, dkk menggambarkan perilaku ini sebagai contoh penarikan diri, isolasi, ketidakpedulian, tidak mahu tahu, atau keyakinan terhadap takdir/nasib.
2. Sasaran Strategis (Strategic Objectives) yaitu penilaian akan kekuatan dan komitmen dari pihak yang lainnya akan mempengaruhi apa yang bisa diharapkan dari pihak melalui dimensi distributif.
3. Perilaku Taktik (Tactical Behavior) yaitu terdiri dari taktik kompetitif dan taktik kolaboratif.
Terdapat enam kekuatan dalam taktik kompetitif yaitu kekuatan informasi, kekuatan acuan, kekuatan legitimasi (ketergantungan pada prinsip dan aturan yang disepakati), kekuatan ahli, kekuatan paksaan (ancaman hukum), kekuatan imbalan.
Sedangkan taktik kolaboratif atau yang disebut taktif pemecahan masalah yang mengidentifikasikan 3 langkah dalam proses pemecahan masalah, yaitu :
1. Mengidentifikasi kepentingan esensial atau mendasar dari kedua belah pihak.
2. Mencari alternatif-alternatif dan mengidentifikasi konsekuensinya bagi kedua belah pihak.
3. Mengidentifikasi altenatif yang paling memuaskan kedua belah pihak.
Interaksi (Interaction)
Yaitu perilaku suatu pihak dipandang sebagai pemicu sederet perilaku dari kedua belah pihak. Dengan menimbang kejadian-kejadian dari sudut pandang suatu pihak, perilaku dari pihak yang lain dipandang mempengaruhi perilaku dari pihak pertama dalam sejumlah cara.
Terdapat dua reaksi yang bisa muncul dalam tahap ini terhadap konflik, yaitu:
1. Peningkatan, yaitu peningkatan dalam level konflik.
Peningkatan ini dapat meningkatkan jumlah atau ukuran masalah-masalah yang dipertentangkan, meningkatkan persaingan, meningkatkan usaha pencapaian permintaan atau secara ekstrim meningkatkan penggunaan taktik paksaan.
2. Penurunan, yaitu penurunan dalam tingkat konflik yang tejadi.
Hasil (Outcome)
Yaitu hasil dari episode konflik. Ketika interaksi antara pihak-pihak berakhir, beberapa hasil telah muncul baik apakah itu berupa kesepakatan eksplisit atau kesepakatan diam untuk membiarkan masalah.
Dalam tahap ini kita memutuskan bagaimana kita akan memberi respon terhadap cara konflik yang telah diatasi hingga tahap ini
Tipe-Tipe Konflik
Kurt Lewin (dalam Lindzey & Hall 1985) mengemukakan, berdasarkan jenis daya sebagai faktor konflik yang terlibat di dalamnya, konflik dibagi menjadi beberapa tipe:
1. Konflik antara daya-daya yang menimbulkan pergerakan (conflict between Two or More Driving Forces)
Konflik tipe pertama ini adalah konflik antara dua atau lebih driving forces (daya yang mendorong). Dalam hal ini, seseorang (person) berada antara dua valensi postif atau negatif yang masing-masing terpisah satu sama lain.
Pada tipe pertama ini, dapat terjadi tiga kemungkinan situasi konflik. Ketiganya akan dijelaskan di bawah ini:
1. Konflik Mendekat-Mendekat (Approach-Approach Conflict)
Pada konflik ini seseorang berada diantara dua valensi positif yang sama kuat. Sebagai contoh seorang anak harus memilih antara kegiatan postif yaitu bertemu dengan teman lama atau pergi piknik bersama keluarga.
Atau memilih kegiatan negatif yaitu tidak mengerjakan tugas sekolah atau mendapat hukuman jika bermain keluar rumah.
Kekuatan salah satu daya akan meningkat jika valensi wilayah yang dituju menguat dan jarak psikologis menuju ke wilayah itu berkurang.
Jika hal itu terjadi, maka konflik itu terselesaikan. Pada perilaku nyata, penyelesaian konflik di atas berlangsung dalam dua bentuk.
Pertama, konflik diselesaikan dengan memenuhi tujuan di satu wilayah terlebih dahulu, baru kemudian ke wilayah lain, sebagai contoh anak di atas akan pergi piknik terlebih dahulu dengan keluarga, lalu kemudian bertemu dengan teman lamanya.
Dibandingkan dengan tipe konflik lainnya konflik seperti ini biasanya tidak berlangsung lama dan mudah dipecahkan.
Sebeb, begitu person bergerak ke satu arah, maka daya menujuarah tersebut akan menguat dan daya yang menuju kea rah lain akan melemah.
Konflik ini juga tidak stabil karena mudah terpecahkan oleh pengaruh tambahan apapun yang dapat membawa person lebih dekat kea rah satunya.
2. Konflik Menajauh-Menjauh (Avoidance-Avoidance Conflict)
Dalam konflik ini, person berada di antara dua valensi negatif yang sama kuat. Contohnya, seorang siswa bermaksud ingin bergabung dengan geng terkenal di sekolahnya, agar terlihat fashionable dan berkelas (daya1).
Namun siswa tersebut hanya ingin terlihat fashionable dan berkelas tanpa malas belajar karena akan menimbulkan resiko yang besar bagi sekolahnya(daya2).
Dengan demikian siswa tersebut berada dalam konflik antara menghadapi keadaan tidak dapat bergabung dengan geng terkenal di sekolahnya (dengan konsekuensi tidak terlihat fashionable dan berkelas) atau bergabung dengan geng terkenal (dengan konsekuensi malas belajar dan mengacaukan prestasi belajarnya) daya dalam kehidupan siswa tersebut menjauhi untuk bergabung dengan geng dan malas belajar.
Konflik ini bisa bertahan lama jika ia tetap berada ditengah-tengah daya1 dan daya2, dan keadaan semacam ini disebut keadaan keseimbangan yang semu (quasi state of equilibrium).
Dua bentuk perilaku dapat muncul sebagai akibat keadaan ini. Bentuk pertama adalah kebimbangan perilaku dan pemikiran.
Artinya ada inkonsistensi pada apa yang dilakukan dan dipikirkan person tersebut yang terombang ambing antara satu hal dengan hal yang lain.
Kebimbangan terjadi karena kuatnya daya suatu wilayah akan meningkat begitu person bergerak mendekatinya.
Ketika person mendekati salah satu wilayah yang bervalensi negatif, person akan merasakan adanya peningkatan daya tolak dan akibatnya ia bergerak menghindari wilayah itu.
Namun ketika ini dilakukan secara bersamaan person justru mendekati wilayah kedua yang juga bervalensi negatif. Sebagai akibatnya, ia akan mengalami hal yang sama. Hal ini membuat konflik menjadi stabil.
Dalam kondisi ini, jumlah daya yang dihasilkan justru menggerakkan person ke arah yang secara simultan meninggalkan ke dua wilayah bervalensi negatif tersebut. Secara teoritis, seseorang dapat menyelesaikan konflik menjauhmenjauh dengan cara seperti ini.
Namun seringkali tindakan ini justru memiliki konsekuensi yang lebih buruk dari alternatif yang sudah ada, sehingga sering digambarkan keadaan dimana seseorang lari dari kenyataan, dan sering menjadi ciri dari perilaku orang yang terperangkap dalam konflik pelik semacam ini.
3. Konflik Mendekat-Menjauh (Approach-Avoidance Conflict)
Pada konflik ini, person menghadapi valensi postif dan negatif pada jurusan yang sama. Contohnya, seorang gadis yang ingin sekali mengikuti kontes menyanyi padahal ia sadar kemampuan menyanyinya tidak begitu baik.
Sebagai daya positif mengarahkan gadis tersebut untuk mendaftarkan diri pada kontes menyanyi tersebut, tetapi sebagian daya lainnya menghambat gadis itu karena ia khawatir akan ditertawakan orang lain karena kemampuannya yang tidak baik.
Gadis tersebut mendatangi tempat pendaftaran kontes nyanyi, tetapi berikutnya ia diam, dan tidak bergabung dalam antrian panjang orang-orang yang juga ingin mendaftarkan diri.
Hal ini menunjukkan adanya keadaan keseimbangan (equilibrium), dan menyebabkan konflik mendekat-menjauh menjadi konflik yang stabil
Seperti halnya konflik menjauh-menjauh, kebimbangan juga kerap kali terjadi pada konflik mendekat-menjauh.
Artinya, seseorang yang berada pada konflik ini akan berupaya mencapai wilayah yang dituju sampai suatu saat valensi negatifnya menjadi lebih kuat, dan ia mundur.
Konflik menjauh-menjauh dan mendekatmenjauh, hanya dapat terjadi kalau ada batas-batas yang kokoh pada lapangan kehidupan orang yang bersangkutan sehingga tidak ada daya yang bisa keluar dari wilayah-wilayah terjadinya konflilk.
Pertama, jika batas tidak kuat dan ada wilayah lain yang bervalensi positif, maka daya akan berpindah ke wilayah yang terakhir ini.
Terjadilah substitusi dan konflikpun berakhir. Kedua, salah satu daya berkembang menjadi lebih dominan, sehingga pergerakan (lokomosi)pun terjadi mengikuti arah daya tersebut.
2. Konflik antara Daya yang Menimbulkan Pergerakan dan Daya yang Menghambat (Conflict between Driving Forces and Restraining Forces)
Tipe konflik yang kedua adalah konflik antara driving forces (daya yang menggerakkan) dan restraining forces (daya yang menghambat). Konflik ini berbeda dengan konflik mendekat-menjauh yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pada konflik mendekat-menjauh, dan konflik-konflik lainnya yang berada dalam tipe pertama, semua daya yang terlibat merupakan driving forces. Driving forces adalah daya yang mengarahkan pergerakan atau lokomosi ke wilayah tertentu.
Sedangkan restraining forces adalah batas-batas fisik atau sosial yang menghambat pergerakkan. Artinya daya ini sama sekali tidak mengarahkan pergerakan namun berpengaruh pada driving forces.
Seseorang terhalang oleh batas-batas tertentu dari upayanya untuk mendekati suatu tujuan bervalensi positif atau untuk menghindari wilayah bervalensi negatif.
Dalam situasi ini, person akan berulang kali mencoba mengitari dan kemudian melintasi batas, dengan kata lain bernegosiasi, untuk mencapai valensi positif atau meninggalkan valensi negatif. Jika upaya itu gagal, batas itu sendiri lama kelamaan akan bervalensi negatif.
Lewin menambahkan, gagalnya negosiasi untuk keluar dari batas wilayah bervalensi negatif sering menghasilkan keadaan ketegangan emosional yang tinggi.
3. Konflik antara Daya yang berasal dari Kebutuhan Sendiri dan Daya yang berasal dari Orang Lain (Conflict between Own Need Forces and Induced Forces)
Tipe konflik pertama dan kedua di atas biasanya merupakan pertentangan antara daya yang berasal dari kebutuhan orang yang bersangkutan, atau dua daya yang berasal dari orang lain.
Adapun tipe konflik yang ketiga ini, merupakan antara sebuah daya yang bersifat own need force dan sebuah daya lain yang bersifat induced forces.
Sebagai contoh, keinginan seorang anak bertentangan dengan harapan orang tuanya, orang tua memiliki kekuasaan yang lebih besar, oleh karena itu orang tua dapat menciptakan induce driving / restraining forces yang sesuai dengan kehendak orang tua sendiri.
Si anak dapat berupaya melawan atau meruntuhkan kekuasaan orangtuanya, setidaknya di dalam area konflik tersebut.
Namun jika upaya ini gagal, anak tersebut mungkin akan mengarahkan agresivitasnya pada orang atau obyek lain, atau mungkin juga anak tersebut berhenti melawan orang tuanya.
0 Response to "KONFLIK"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak