Membangun Fondasi Karakter Anak Dalam Keluarga
Dalam upaya membentuk warga negara yang baik maka setiap keluarga harus menyadari bahwa awal masa depan anak tercipta dalam keluarga melalui pendidikan karakter yang konsisten dan berkesinambungan.
Keluarga memiliki peran sentral dan sangat strategis dalam pembentukan karakter manusia. Peletakan dasar fondasi berada dalam keluarga, sketsa masa depan dirancang, benih kebaikan dan keburukan disemaikan.
Dalam lingkungan keluarga anak terlahir dengan membawa fitrahnya serta menerima pendidikan untuk pertama kalinya.
Hal yang mendasari sehingga keluarga menjadikan pilar utama yang paling kuat dalam pendidikan karakter yakni keluarga yang memegang peran pendidikan pertama kali.
Apabila pondasi pendidikan dibangun dengan kuat maka pembangunan pendidikan selanjutnya akan mudah dan berhasil dengan baik, sebaliknya jika pondasi pendidikan lemah dan berantakan, sulit kiranya membangun pendidikan selanjutnya.
Dalam mendidik anak, orangtua sebagai pendidik memilih pola asuh yang sesuai dalam mempengaruhi perkembangan anak, serta membimbingnya kepada kehidupan yang layak dan bermartabat.
Proses pengasuhan selalu bersifat dinamis dalam mencari bentuk atau pola asuh yang lebih efektif dan baik.
Model pola asuh yang diterapkan oleh orangtua terhadap anaknya akan menentukan keberhasilan pendidikan karakter mereka dalam keluarga.
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada aspek kognitif saja, akan tetapi lebih berorientasi pada proses pembinaan potensi yang ada dalam diri anak, dikembangkan melalui pembiasaan sifatsifat baik yaitu berupa pengajaran nilai-nilai karakter yang baik.
Pendidikan karakter menjadi tema sentral sejak beberapa tahun terakhir dalam perkembangan pendidikan di Tanah Air.
Dunia pendidikan diharapkan sebagai motor penggerak untuk memfasilitasi pembangunan karakter, sehingga anggota masyarakat mempunyai kesadaran kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis dan demokratis dengan tetap memperhatikan norma-norma di masyarakat yang telah menjadi kesepakatan bersama.
Pembangunan karakter dan pendidikan karakter menjadi suatu keharusan karena pendidikan tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi cerdas, tetapi juga harus mempunyai budi pekerti dan sopan santun sehingga keberadaannya sebagai anggota masyarakat menjadi bermakna baik bagi dirinya.
Betapa tidak, dewasa ini kita sedang dihadapkan pada persoalan dekadensi moral yang sangat serius. Pergeseran orientasi kepribadian yang mengarah pada berbagai perilaku amoral sudah demikian jelas dan nampak terjadi di tengah-tengah kehidupan bermasyarakat.
Rasa malu, berdosa dan bersalah dari perbuatan buruk serta pelanggaran terhadap norma-norma, baik norma agama, norma hukum, norma susila, tidak lagi menjadi tuntunan dalam menciptakan kehidupan yang bertanggung jawab dalam memelihara nilai-nilai kemanusiaan.
Kegiatan pendidikan tidak lepas dari peran keluarga, sekolah dan masyarakat, yang disebut Ki Hajar Dewantara sebagai “Tripusat” pendidikan. Olehnya itu, pendidikan akan berjalan efektif dan memberikan hasil jika ketiga pusat pendidikan tersebut dilaksanakan secara optimal.
Fenomena yang terjadi dalam kehidupan, desain pendidikan karakter lebih menitikberatkan pada peran sekolah, sehingga gaung program pun hanya terdengar dilingkungan institusi Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Keluarga memiliki peran sentral dan sangat strategis dalam pembentukan karakter manusia. Lahirnya generasi-generasi terbaik bangsa ataupun sebaliknya pribadi yang tanpa masa depan, tidak terlepas dari bentukan keluarga. Sebab peletakan dasar fondasi berada dalam keluarga.
Sketsa masa depan dirancang, benih kebaikan dan keburukan disemaikan. Dalam lingkungan keluarga anak terlahir dengan membawa fitrahnya serta menerima pendidikan untuk pertama kalinya.
Hal yang mendasari sehingga keluarga menjadikan pilar utama yang paling kuat dalam pendidikan karakter yakni keluarga yang memegang peran pendidikan pertama kali.
Orangtua menjadi figure yang paling berpengaruh bagi anak-anaknya. Sehingga hasil pendidikan yang dicapai dilingkungan keluarga akan membawa pengaruh yang sangat besar terhadap lingkungan pendidikan berikutnya, yaitu Sekolah dan masyarakat.
Olehnya itu, pendidikan karakter memerlukan keteladanan dan sentuhan mulai sejak dini sampai dewasa. Periode yang paling sensitif menentukan adalah pendidikan dalam keluarga yang menjadi tanggungjawab orangtua. Pola asuh atau parenting style adalah salahsatu faktor yang secara signifikan turut membentuk karakter anak.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun atau masa-masa golden age.
Peningkatan kecerdasan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun dan 20 % sisanya berada pada pertengahan atau sekitar pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.
Dengan demikian, menjadikan keluarga sebagai lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak, adalah langkah yang tepat.
Pendidikan dalam keluarga adalah pendidikan utama dan pertama bagi anak, yang tidak bisa digantikan oleh lembaga pendidikan manapun.
Keluarga yang harmonis, rukun dan damai akan tercermin dari kondisi psikologis dan karakter anak. Vintoni & Jayanti, mengemukakan bahwa keunggulan keluarga sebagai unsur utama dan pertama dalam pendidikan seumur hidup (long life education), terutama karena sifatnya yang tidak memerlukan fomalitas ruang, waktu, usia, metode, fasilitas dan sebagainya.
Sangat disayangkan, tidak semua orangtua menyadari peran strategis keluarga dalam pendidikan anak-anaknya.
Amat banyak orangtua yang mengabaikan pendidikan anak-anaknya di dalam rumah mereka, lebih banyak juga yang tidak menyadari bahwa setiap kata, sikap, tindakan dan perilaku mereka adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan anak-anak mereka dalam keluarga.
Dalam upaya membentuk warga negara yang baik maka setiap keluarga harus menyadari bahwa awal masa depan anak tercipta dalam keluarga melalui pendidikan karakter yang konsisten dan berkesinambungan.
Keluarga yang mengabaikan fungsi ini dapat mengakibatkan dampak yang sangat besar pada masa depan anak maka perlu sekiranya direvitalisasi kesadaran orang tua dalam memainkan peranan mendidik anak dalam keluarga, oleh karena dengan kebersamaan dan keterlibatannya dengan mereka, anak-anak senantiasa bertemu dan berinteraksi dan ditentukan pula kehidupannya.
Komalasari mengemukakan bahwa perilaku seseorang berkarakter dalam proses perkembangan dan pembentukanya. dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor lingkungan (nurture) dan faktor bawaan.
Dalam konteks faktor lingkungan sebagai faktor eksternal yang membentuk karakter maka pendidikan sangat penting.
Oleh karena pendidikan karakter merupakan suatu kebiasaan maka pembentukan karakter seseorang memerlukan communities of character yang terdiri dari keluarga, sekolah, institusi keagamaan, media, pemerintahan dan berbagai pihak yang mempengaruhi nilai-nilai generasi muda.
Urgensi Pendidikan Karakter dalam Keluarga
Tidak dapat dipungkiri, jika dasar pendidikan yang menjadi landasan dan tongkat estafet pendidikan anak selanjutnya adalah pendidikan keluarga.
Apabila pondasi pendidikan dibangun dengan kuat maka pembangunan pendidikan selanjutnya akan mudah dan berhasil dengan baik.
Sebaliknya jika pondasi pendidikan lemah dan berantakan, sulit kiranya membangun pendidikan selanjutnya.
Sebagai sistem sosial terkecil, keluarga memiliki pengaruh luar biasa dalam hal pembentukan karakter suatu individu.
Keluarga merupakan produsen dan konsumen sekaligus, dan harus mempersiapkan dan menyediakan segala kebutuhan sehari-hari seperti sandang dan pangan.
Setiap keluarga dibutuhkan dan saling membutuhkan satu sama lain, supaya mereka dapat hidup lebih senang dan tenang.
Keluarga menjalankan peranannya sebagai suatu sistem sosial yang dapat membentuk karakter serta moral seorang anak. Keluarga tidak hanya sebuah wadah tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Sebuah keluarga sesungguhnya lebih dari itu.
Keluarga merupakan tempat ternyaman bagi anak. Berawal dari keluarga segala sesuatu berkembang. Kemampuan untuk bersosialisasi, mengaktualisasikan diri, berpendapat, hingga perilaku yang menyimpang.
Keluarga adalah faktor penting dalam pendidikan seorang anak. Karakter seorang anak berasal dari keluarga.
Dimana sebagian sampai usia 18 tahun anak-anak di Indonesia menghabiskan waktunya 60-80 % bersama keluarga. Sampai usia 18 tahun, mereka masih membutuhkan orangtua dan kehangatan dalam keluarga.
Setiap keluarga selalu berbeda dengan keluarga lainnya, dalam hal ini yang berbeda misalnya cara didik keluarga, keadaan ekonomi keluarga.
Setiap keluarga memiliki sejarah perjuangan, nilai-nilai, dan kebiasaan yang turun temurun yang secara tidak sadar akan akan membentuk karakter anak.
Pengaruh keluarga amat besar dalam pembentukan pondasi kepribadian anak. Keluarga yang gagal membentuk kepribadian anak biasanya adalah keluarga yang penuh dengan konflik atau tidak bahagia.
Tugas berat para orang tua adalah meyakinkan fungsi keluarga mereka benar-benar aman, nyaman bagi anak-anak mereka. Rumah adalah surga bagi anak, dimana mereka dapat menjadi cerdas, sholeh, dan tentu saja tercukupi lahir dan bathinnya.
Ada 2 (dua) hal pokok fungsi keluarga terkait dengan membangun karakter anak yakni fungsi sosialisasi dan fungsi pendidikan.
Fungsi sosialisasi ini diantaranya adalah:
- Membina sosialisasi pada anak,
- Membentuk norma-norma perilaku sesuai dengan tingkat perkembangan anak,
- Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga.
Sementara dari sisi fungsi pendidikan diantaranya adalah:
- Menyekolahkan anak untuk memberi pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai bakat dan minat yang dimilikinya.
- Mempersiapkan anak-anak untuk kehidupan dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa.
- Mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Ahli lain membagi fungsi keluarga dalam membentuk karakater anak, sebagai berikut :
1. Fungsi Pendidikan : Dalam hal ini tugas keluarga adalah mendidik dan menyekolahkan anak untuk mempersiapkan kedewasaan dan masa depan anak bila kelak dewasa.
2. Fungsi Sosialisasi anak : Tugas keluarga dalam menjalankan fungsi ini adalah bagaimana keluarga mempersiapkan anak menjadi anggota masyarakat yang baik.
3. Fungsi Perlindungan: Tugas keluarga dalam hal ini adalah melindungi anak dari tindakan-tindakan yang tidak baik sehingga anggota keluarga merasa terlindung dan merasa aman.
4. Fungsi Perasaan : Tugas keluarga dalam hal ini adalah menjaga secara instuitif merasakan perasaan dan suasana anak dan anggota yang lain dalam berkomunikasi dan berinteraksi antar sesama anggota keluarga. Sehingga saling pengertian satu sama lain dalam menumbuhkan keharmonisan dalam keluarga.
5. Fungsi Religius : Tugas keluarga dalam fungsi ini adalah memperkenalkan dan mengajak anak dan anggota keluarga yang lain dalam kehidupan beragama, dan tugas kepala keluarga untuk meyakinkan bahwa ada kehidupan lain setelah dunia ini.
Keluarga bukan hanya wadah untuk tempat berkumpulnya ayah, ibu, dan anak. Lebih dari itu, keluarga merupakan wahana awal pembentukan moral serta penempaan karakter manusia.
Berhasil atau tidaknya seorang anak dalam menjalani hidup bergantung pada berhasil atau tidaknya peran keluarga dalam menanamkan ajaran moral kehidupan.
Keluarga lebih dari sekedar pelestarian tradisi, kelurga bukan hanya menyangkut hubungan orang tua dengan anak, keluarga merupakan wadah mencurahkan segala inspirasi.
Keluarga menjadi tempat pencurahan segala keluh kesah. Keluarga merupakan suatu jalinan cinta kasih yang tidak akan pernah terputus.
Penanaman moral pada diri seorang anak berawal dari lingkungan keluarga. Pengaruh keluarga dalam penempaan karakter anak sangalah besar.
Dalam sebuah keluarga, seorang anak diasuh, diajarkan bebagai macam hal, diberi pendidikan mengenai budi pekerti serta budaya.
Setiap orang tua yang memiliki anak tentunya ingin anaknya tumbuh dan berkembang menjadi manusia cerdas yang memiliki budi pekerti baik agar dapat menjaga nama baik keluarga.
Pola Asuh dan Karakter Anak
Seorang anak tentunya tidak langsung dapat mengenal alam sekitar mengerti dan memahami segalanya dengan sendirinya, melainkan dibutuhkan pendidikan keluarga, pendidikan kelembagaan dan pendidikan di masyarakat.
Keluarga sebagai komunitas pertama memiliki peran penting dalam pembangunan mental dan karakteristik sang anak.
Di dalam keluarga, anak belajar dan menyatakan diri sebagai makhluk sosial. Interaksi yang terjadi bersifat dekat dan intim, segala sesuatu yang diperbuat anak mempengaruhi keluarganya, dan sebaliknya apa yang didapati anak dari keluarganya akan mempengaruhi perkembangan jiwa, tingkah laku, cara pandang dan emosinya.
Dengan demikian pola asuh yang diterapkan orang tua dalam keluarganya memegang peranan penting bagi proses interaksi anak di lingkungan masyarakat kelak.
Menurut Agus Wibowo bahwa sebagian besar orangtua memiliki pola asuh yang unik, dimana mereka berkecenderungan agar anaknya menjadi “be special” daripada “be average or normal”. Terkadang orangtua merasa malu jika anaknya hanya memiliki kecerdasan yang pas-pasan.
Pendapat Elkind yang dikutip oleh Dewi Utama Faizah mengelompokkan beberapa tipe orang tua (parenting style) dalam mengasuh anaknya yaitu:
1. Gaya Gourmet Parents (orangtua Borju) yang mengasuh anaknya penuh ambisi, layaknya merawat karir dan harta mereka. Asupan dan didikan orangtua tipe ini akan melahirkan anak yang “superkids”
2. Gaya College Degree Parents (Orangtua Intelek) artinya orangtua yang mengutamakan pendidikan anaknya.
Mereka sering memaksakan keinginan agar anaknya memasuki sekolah yang mahal dan bermutu. Orangtua dengan tipe ini mengharapkan anak-anaknya memiliki tingkat kecerdasan seperti dirinya.
3. Gaya Gold Medal Parents (orangtua selebritis). Tipe orangtua seperti ini menginginkan anaknya untuk menajdi kompetitor dalam berbagai gelanggang. Tipe seperti ini dapat menimbulkan banyak bencana pada anak.
4. Tipe Do-it yourself parents yang mengasuh anak-anaknya secara alami dan menyatu dengan alam semesta. Hal ini lantaran profesi mereka di bidang sosial dan kesehatan.
Anak-anak di sekolahkan di sekolah negeri yang sesuai dengan keuangan mereka, akan tetapi tetap mempunyai harapan untuk menjadikan anak-anaknya menajdi “superkids”.
Orangtua tipe ini dalam kesehariannya mengajak anak untuk mencintai lingkungannya dengan mengajarkan, merawat dan memelihara hewan atau tumbuhan yang mereka sukai.
5. Tipe Outward bound parents (Orangtua paranoid). Orangtua yang memprioritaskan pendidikan anaknya.
Tipe orangtua ini beranggapan bahwa hanya melalui pendidikan saja yang dapat memberikan kenyamanan dan keselamatan kepada anak-anaknya.
Tujuannya sederhana yakni agar kelak dapat bertahan dimasa depan yang penuh dengan lika-liku kehidupan.
Kekurangan dari tipe orangtua model ini adalah terlalu berlebihan melihat marabahaya diluar rumah tangga mereka, sehingga terkadang mudah panic dan ketakutan melihat situasi yang akan membawa dampak buruk bagi anak-anaknya.
6. Tipe Prodigy Parents (orangtua instant) merupakan orangtua yang sukses dalam karir namun tidak memiliki pendidikan yang cukup.
Oleh karena itu, mereka memandang kesuksesan mereak di dunia bisnis merupakan bakat semata dan memandang sekolah dengan sebelah mata.
7. Tipe encounter group parents (Orangtua ngerumpi), merupakan orangtua yang sangat menyenangi pergaulan.
Mereka terkadang cukup berpendidikan, namun kekurangan harta atau terkadang tidak memiliki pekerjaan tetap (luntang-lantung). Mereka sangat mementingkan nilainilai relationship dalam membina hubungan dengan oranglain.
Sebagai akibatnya kelompok ini sering melakukan ketidakpatutan dalam mendidik anak-anak dengan perilaku “gang ngerumpi” yang terkadang mengabaikan anak.
8. Tipe Milk and Cookies parents (orangtua ideal), yakni orangtua yang dengan latarbelakang masa kanak-kanak yang bahagia, masa kecil yang sehat dan manis.
Mereka cenderung menjadi orangtua yang hangat dan menyayangi anak-anaknya dengan tulus dan peduli serta mengiringi tumbuh kembang anak-anak mereka dengan penuh dukungan.
Dari beberapa tipe orangtua yang telah dipaparkan, tentunya tipe Milk and Cokies Parents yang cocok dengan karakteristik dan sifat khas anak.
Tipe orangtua ini tidak berpeluang untuk menjadi orangtua yang melakukan “miseducation” dalam merawat dan mengasuh anak-anaknya.
Dalam mendidik anak, orangtua sebagai pendidik memilih pola asuh yang sesuai dalam mempengaruhi perkembangan anak, serta membimbingnya kepada kehidupan yang layak dan bermartabat.
Proses pengasuhan selalu bersifat dinamis dalam mencari bentuk atau pola asuh yang lebih efektif dan baik.
Pengasuhan orang tua di dalam keluarga ada tiga pola yakni:
- Pola Asuh Otoriter,
- Pola Asuh Permisif, dan
- Pola Asuh Demokrasi.
1. Pola Asuh Otoriter (PAO)
Setiap orang tua pastilah menghendaki anaknya menjadi orang yang berguna dan mencapai kebahagiaan kelak.
Akan tetapi dalam mengasuh tidak jarang kita mendapati orang tua yang mengambil langkah dan sikap yang otoriter dalam mendidik anaknya.
Seringkali orang tua lebih mengedepankan kuatnya keinginan dan cita-cita agar anak meraih keberhasilan di masa datang.
Mereka selalu berfikir apa yang meraka lakukan semata-mata demi kebaikan sang anak dan mengesampingkan perasaan dan kondisi anak tersebut.
Ciri utama dalam pola asuh otoriter yaitu orangtua membuat hampir semua keputusan, sementara sang anak harus tunduk, patuh dan tidak boleh bertanya apalagi membantah.
Sementara untuk ciri khasnya adalah kekuasaan orangtua amat dominan, anak tidak diakui sebagai pribadi, kontrol terhadap tingkahlaku anak sangat ketat dan orangtua akan sering menghukum jika anak tidak patuh.
Hal negatif yang akan timbul pada diri anak akibat sikap otoriter yang diterapkan orang tua, seperti takut, kurang memiliki keyakinan diri, menjadi pembangkang, penentang ataupun kurang aktif.
Orang tua seperti itu selalu memberikan pengawasan berlebih pada anak sehingga hal-hal yang kecil pun harus terlaksana sesuai keinginannya.
Disisi lain, orang tua tersebut lebih seperti polisi yang selalu memberi pengawasan dan aturan-aturan tanpa mau mengerti anak.
2. Pola Asuh Demokratis (PAD)
Hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak semestinya didasari prinsip saling menghormati dan kasih sayang.
Apabila orang tua selalu mengedepankan pendekatan secara personal dengan curahan kasih sayang, maka akan terbentuklah kepercayaan yang besar dalam diri anak.
Anak akan bersikap terbuka kepada orang tuanya sehingga segala permasalahan dapat dicari kunci penyelesaianya.
Selain itu orang tua lebih mudah memberi pengarahan dan nasihat serta meninggalkan cara-cara paksaan dan intimidasi.
Perilaku anak akan terbentuk secara bertahap menuju kepada kepribadian yang baik. Dorongan yang kuat secara terus-menerus sangat diharapkan dari orang tua.
Sosok orang tua yang demokratis tidak mengedepankan kepentingan pribadinya, akan tetapi tetap menghargai dan memperhatikan kepentingan anak sebagai seorang individu diantara komunitas manusia.
Dengan kata lain, orang tua selalu melihat kepentingan bersama sebagai pembatas dari kebebasan seorang individu.
Ciri dari pola asuh orangtua demokratis ini yaitu:
- Orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan,
- ada kerjasama antara orangtua dan anak,
- anak diakui sebagai pribadi,
- ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua,
- ada kontrol ari orangtua yang tidak kaku.
3. Pola Asuh Permisif (PAP)
Orang tua yang baik tentunya tidak pernah bercita-cita menjadikan anaknya sebagai sampah masyarakat, tidak berguna dan tidak disiplin.
Namun terkadang kita masih mendapati orang tua yang rela membiarkan anaknya tanpa bimbingan dan arahan.
Anak menjadi tak terarah, dan merasa orang tuanya telah memberikan kebebasan sepenuhnya pada dirinya, sehingga setiap keputusan yang ia ambil adalah sepenuhnya hak priadi yang tak seorang pun dapat mencampurinya.
Seorang anak yang berkembang tanpa batasan dan aturan dan perhatian akan mengalami ketidakjelasan hidup dan hilangnya contoh teladan yang berakibat pada beralihnya anak kepada lingkungan, teman atau orang-orang terdekatnya dan menjadikannya figur.
Pola asuh permisif yang diterapkan orang tua akan memberi dampak kurangnya prestasi belajar, anak bisa saja menjadi malas dan tidak peduli dengan hasil belajar yang ia raih dikarenakan tidak adanya perhatian dari orang tua.
Orang tua merasa tidak mampu memberikan pendidikan dan pengasuhan dengan baik sehingga menyerahkan sepenuhnya pendidikan kepada sekolah.
Mereka melupakan peran penting dalam keluarga sebagai pendidik, pengasuh, pembimbing, pemberi motivasi, kasih sayang dan perhatian.
Dari uraian tersebut, maka ciri utama dari pola asuh permisif yakni
- Orangtua memberikan kebebasan penuh pada anak untuk berbuat,
- Dominasi pada anak,
- Sikap longgar atau kebebasan dari orangtua,
- tidak ada bimbingan dan pengarahan dari orangtua,
- kontrol dan perhatian orangtua terhadap anak sangat kurang bahkan tidak ada.
Karakteristik anak adalah meniru apa yang dilihat, didengar, dirasa, dan dialami, maka karakter mereka akan terbentuk sesuai dengan pola asuh orangtua tersebut.
Dengan kata lain, anak akan belajar apa saja termasuk karakter, melalui pola asuh yang dilakukan orangtua mereka.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa model pola asuh yang diterapkan oleh orangtua terhadap anaknya akan menentukan keberhasilan pendidikan karakter mereka dalam keluarga.
Teladan Orangtua
Saat ini anak-anak mengalami krisis keteladanan. Hal ini terjadi karena sedikitnya orang tua yang memainkan perannya secara langsung dalam mendidik anak, demikian pula sangat sedikit media masa yang mengangkat tema tokoh-tokoh teladan bagi anak-anak.
Tayangan-tayangan televisi misalnya, didominasi acara hiburan dalam berbagai variasinya. Tayangan sinetron atau infotainment sama sekali tidak memberikan contoh kehidupan Islami secara utuh,
Bahkan cenderung menayangkan ajaran-ajaran yang menyimpang dari kebenaran, meskipun dalam kemasan acara yang sifatnya relegius sekalipun.
Sementara itu porsi penanaman akhlak mulia melalui contoh pribadi teladan pada pelajaran-pelajaran keislaman di sekolah juga masih sangat rendah.
Orang tua merupakan panutan bagi anak-anaknya, untuk itu sebaiknya orang tua dapat menjadi contoh yang baik bagi anak-anaknya.
Orang tua juga harus membuka diri terhadap perkembangan zaman dan teknologi saat ini. Anak-anak memiliki pemikiran yang kritis terhadap sesuatu yang baru.
Bila orang tua tidak membuka diri terhadap perkembangan yang ada, kelak akan menuai kesulitan dalam menjawab pertanyaan dari anak. Pada akhirnya berbuah kebohongan dan secara tidak langsung menanamkannya pada anak.
Dalam kondisi krisis keteladanan ini, keluarga menjadi basis penting bagi anak untuk menemukan keteladanan. Maka, orang tua sudah selayaknya menjadi figur pertama bagi anak untuk memenuhi kebutuhan ini.
Untuk itu ada kiat-kiat yang bisa dilakukan oleh orang tua dalam proses pembentukan karakter dan akhlak yang baik pada anak agar menjadi pribadi teladan.
Keteladanan dalam pendidikan merupakan metode influentif yang paling meyakinkan keberhasilannya dalam membentuk karakter anak secara moral, spiritual dan sosial.
Jika pendidik jujur, dapat dipercaya, berakhlaq mulia, berani, bertanggung jawab, tangguh, ikhlas dan zuhud, maka si anak juga akan tumbuh kejujurannya, terbentuk akhlaknya, terbangun keberaniannya, tangguh mentalnya, tertanan keikhlasannya serta termotivasi zuhudnya dan begitupun sebaliknya.
Mendidik anak adalah sebuah tanggung jawab besar. Agar suatu hari nanti mereka tumbuh menjadi pribadi yang baik dan berkontribusi positif bagi lingkungan sekitarnya, dibutuhkan peran besar orang tua untuk membimbing dan dan memberi teladan.
Beberapa manfaat mendidik dan membentuk pribadi anak melalui teladan, yakni:
1. Menghindarkan anak dari krisis identitas
Orang tua adalah guru utama dan pertama bagi anak. Sepanjang proses tumbuh kembangnya dari lahir hingga besar, mereka akan memerhatikan dan meniru segala hal yang diperbuat/dicontohkan orang tuanya.
Ketika orang tua tidak mampu menjalankan tugasnya dan tidak memberikan teladan yang baik bagi anak-anak, maka mereka akan kehilangan sosok panutan yang seharusnya menjadi bagian dalam hidupnya.
2. Menghindarkan anak dari meniru contoh yang salah
Dalam proses menemukan jati diri seorang anak membutuhkan sosok panutan yang akan menjadi pondasi utama bagi kepribadiannya.
Namun, tidak sedikit pula salah dalam menentukan siapa yang harus menjadi panutan dan pada akhirnya terjerumus ke dalam perbuatan-perbuatan tidak terpuji.
Karena itu, melalui teladan dari orang tua diharapkan anak-anak menemukan sosok panutan yang baik agar kehidupannya kelak bahagia.
3. Mempererat hubungan antara orang tua dan anak
Teladan baik dari orang tua mampu membuat anak semakin mencintai orang tuanya, sehingga hubungan diantara mereka semakin harmonis.
4. Meningkatkan budi pekerti anak
Sebagai orang tua, teladan Anda dapat berpartisipasi meningkatkan pemahaman anak terhadap budi pekerti, sehingga mereka makin mampu menempatkan dirinya dalam masyarakat, tahu bagaimana bertutur kata yang sopan, dan bagaimana mengasihi orang lain.
5. Meningkatkan rasa percaya diri anak
Motivator terbaik bagi seorang anak adalah orang tuanya, dimana kemampuan serta rasa percaya diri anak bisa dipupuk dan dikembangkan.
Ada banyak contoh anak-anak berhasil karena orang tuanya sangat peduli dan aktif memberikan teladan, sehingga membuat masa depan anak-anak pun semakin cerah.
6. Meningkatkan kecerdasan anak
Jika Anda menanyakan pertanyaan ini kepada anak-anak berprestasi, siapakah orang yang paling berjasa dalam keberhasilan mereka?
Umumnya anak-anak akan menjawab orang tuanya. Teladan dari orang tua mampu memberikan motivasi serta semangat agar mereka tidak mudah putus asa.
7. Meningkatkan jiwa sosial anak
Pendidikan karakter untuk meningkatkan jiwa sosial anak tidak hanya bisa dilakukan di sekolah saja. Teladan yang berasal dari dalam rumah oleh orang tua, umumnya jauh lebih mudah diterima serta dipahami oleh anak.
Paparan di atas menunjukkan pentingnya keteladanan dalam mendidik anak, sebab orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak, terutama dalam hubungan emosionalnya.
Semoga setiap orang tua selalu menyadari perannya dan dapat memberikan apa yang menjadi hak bagi anak termasuk hak memperoleh pendidikan yang baik.
Strategi Internalisasi Karakter pada Anak
Strategi internalisai merupakan cara menanamkan sesuatu kepada seserang yang bertujuan untuk membentuk pola piker tertentu yang digunakan untuk kehidupan nyata.
Strategi internalisasi sangat efektif digunakan untuk menanamkan nilai-nilai karakter pada anak di dalam keluarga dikarenakan strategi ini memberikan penanaman menggunakan kebiasaan, pengertian-pengertian dan kasih sayang yang dirasa anak sangat baik baginya.
Sebagai lembaga sosial terkecil, keluarga merupakan miniatur masyarakat yang kompleks, karena dimulai dari keluarga seorang anak mengalami proses sosialisasi.
Dalam keluarga, seorang anak belajar bersosialisasi, memahami, menghayati, dan merasakan segala aspek kehidupan yang tercermin dalam kebudayaan. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai kerangka acuan di setiap tindakannya dalam menjalani kehidupan.
Seiring dengan perkembangan zaman, pendidikan moral dalam keluarga mulai luntur. Arus globalisasi menyerang di segala aspek kehidupan bermasyarakat, tidak hanya masyarakat kota tetapi juga masyarakat pedesaan.
Dengan demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa peran kelurga sangat besar sebagai penentu terbentuknya moral manusia-manusia yang dilahirkan.
Dalam kaitannya dengan internalisasi, Muhadjir mengemukakan bahwa internalisasi adalah interaksi yang memberi pengaruh pada penerimaan atau penolakan nilai (values), lebih memberi pengaruh pada kepribadian, fungsi evaluatif menjadi lebih dominan.
Proses internalisasi dilakukan melalui lima jenjang, yaitu:
- menerima,
- menanggapi,
- memberi nilai,
- mengorganisasi nilai, dan,
- karakterisasi nilai.
Proses internalisasi benar-benar mencapai tujuannya apabila telah mencapai jenjang yang keempat yaitu mengorganisasikan nilai.
Mulai jenjang keempat ini kemudian terjadi proses menuju kepemilikan sistem nilai tertentu. Pada jenjang ini berbagai nilai ditata supaya sinkron dan kohern.
Baru pada jenjang kelima proses internalisasi nilai, subyek sudah mulai menyusun hubungan hierarki berbagai nilai dan diorganisasikan sedemikian rupa sehingga menyatu dalam arti sinkron dan kohern.
Apabila para pendidik ataupun orangtua memahami hubungan hierarki serta pengorganisasian berbagai nilai ini, maka proses internalisasi nilai bagi anak akan terwujud mempribadi dalam diri anak.
Pendidikan karakter merupakan pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada aspek kognitif saja, akan tetapi lebih berorientasi pada proses pembinaan potensi yang ada dalam diri anak, dikembangkan melalui pembiasaan sifat-sifat baik yaitu berupa pengajaran nilai-nilai karakter yang baik.
Beberapa alasan sehingga keluarga perlu melakukan internalisasi pendidikan karakter dalam membentuk kepribadian anak, diantaranya:
1. Pendidikan sebagai modal utama dalam kehidupan Pendidikan
Karakter yang diterima anak-anak asuh akan menjadi modal ketika mereka terjun dalam lingkungan masyarakat secara umum.
Modal pendidikan yang cukup akan membentuk watak dan kepribadian anak, sehingga mereka benar-benar menjadi individu yang dewasa dan bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat.
Hal ini terlihat dengan adanya kesiapan anak-anak yang telah dewasa untuk dapat bekerja dalam rangka mencukupi segala kebutuhannya
2. Pendidikan karakter sebagai motor penggerak perilaku bagi anak-anak.
Melalui pendidikan karakter yang diberikan kepada anak akan memberikan pengarahan atas segala tindakan yang akan ia lakukan.
Hal ini dikarenakan melalui pengalaman pendidikan yang telah ia terima, anak akan mempertimbangkan segala perbuatannya apakah baik untuk dilakukan atau tidak.
Pendidikan berfungsi untuk menyampaikan, meneruskan, atau mentransmisi kebudayaan, diantaranya nilai-nilai dan norma yang dianut dalam masyarakat.
Dengan kata lain melalui pendidikan karakter akan melatih mental anak asuh agar memiliki kesiapan yang cukup untuk terjun di lingkungan masyarakat.
Terbukti melalui berbagai nasihat dan berbagai kegiatan yang ada di dalam lingkungan keluarga, anak telah memiliki pengalaman berupa kedisiplinan, ketaatan, kemandirian, tanggung jawab dalam menyelesaikan segala tugas, serta nilainilai karakter lainnya.
3. Pendidikan karakter menciptakan kemandirian anak.
Salah satu fungsi pedidikan karakter yang telah dijabarkan dalam Publikasi Pusat Kurikulum Badan Penelitian Dan Pengembangan Kementerian Pendidikan Nasional adalah menciptakan pribadi mandiri yang mampu bersaing dalam meningkatkan peradaban bangsa bersifat kompetitif dalam pergaulan dunia.
Melalui pendidikan karakter yang ditanamkan oleh anggota kelurga maka anak akan memiliki kemandirian yang nantinya akan sangat berguna pada saat ia sudah dewasa.
Melalui proses internalisasi tersebut, nilai-nilai karakter yang berasal dari luar masuk dan mendarah daging dalam diri peserta didik.
Nilai-nilai yang telah terinter-nalisasi dalam diri peserta didik tersebut kemudian teraktualisasi dalam perilaku sehari-hari, dalam arti dihayati dan diamalkan.
Widyaningsih, S mengemukakan bahwa terdapat empat indikator yang terkandung dalam makna internalisasi, yaitu:
1. Internalisasi merupakan sebuah proses
Internalisasi merupakan suatu proses karena di dalamnya ada unsur perubahan dan waktu. Proses penanaman nilai memerlukan waktu yang terus menerus dan berkelanjutan sehingga seseorang akan menerima nilai-nilai yang telah ditanamkan pada dirinya dan akan memunculkan perilaku sesuai dengan nilai yang diperolehnya.
Hal ini berarti ada perubahan dalam diri seseorang itu dari belum memiliki nilai tersebut menjadi memiliki, atau dari sudah memiliki nilai tersebut tetapi masih lemah dalam mempengaruhi perilakunya menjadi memiliki nilai tersebut lebih kuat mempengaruhi perilakunya.
Berdasarkan proses tersebut maka ada dua hal yang menjadi inti internalisasi, yaitu:
- proses penanaman atau pemasukan sesuatu yang baru dari luar ke dalam diri seseorang, dan
- proses penguatan sesuatu yang telah ada dalam diri seseorang sehingga membangun kesadaran dalam dirinya bahwa sesuatu tersebut sangat berharga.
2. Mendarah daging
Mendarah daging mempunyai mak-na bahwa sesuatu telah meresap dalam sanubarinya sehingga menjadi kebiasaan yang tidak bisa dilepaskan dari dirinya.
Sebagai contoh dalam diri seseorang telah mendarah daging melakukan sholat Dhuha, maka orang tersebut akan me-lakukan sholat dhuha dengan sendirinya, tanpa perlu diingatkan, atau tanpa memerlukan pemaksaan dari orang lain
Karena sholat dhuha sudah menjadi kebiasaan dalam dirinya. Jika dia tidak melakukan sholat dhuha maka dia akan merasakan ada sesuatu yang hilang dalam dirinya.
3. Menjiwai pola pikir, sikap, dan perilaku
Makna menjiwai dalam inter-nalisasi adalah bahwa nilai-nilai karakter menjadi dasar dalam pola pikir, sikap, dan perilaku.
Nilai-nilai karakter yang telah tertanam dalam diri seseorang akan membangun pola pikir (mindset) dalam diri seseorang selanjutnya nilai tersebut akan menjadi dasar dalam bersikap dan berperilaku.
Sebagai contoh seseorang telah berhasil menginternalisasi nilai kejujuran dalam dirinya sehingga menjiwai pola pikir, sikap, dan perilakunyan
Maka dalam mindset seseorang akan terbangun pikiran bagaimana melakukan sesuatu secara jujur, tidak ada penipuan, kelicikan dan kecurangan
Ada rasa takut untuk berbuat tidak jujur, karena dia telah memahami bagaimana manfaat jujur dan apa akibatnya bila dia tidak berbuat jujur.
Karena kejujuran telah mendasari mind-setnya maka kejujuran tersebut dengan sendirinya akan mendasari sikap dan perilakunya. Pikiran yang jujur akan diterjemahkan dalam sikap yang jujur dan perilaku yang jujur pula.
4. Membangun kesadaran diri untuk meng-aplikasikan
Kesadaran diri merupakan kompo-nen kecerdasan emosional yang mengan-dung arti mempunyai pemahaman terhadap sesuatu dalam hal ini nilai yang menjadi sumber kekuatan dan pendorong diri untuk mengaplikasikan nilai-nilai tersebut.
Kesadaran diri merupakan pe-mahaman seseorang akan nilai-nilai dan tujuan diri. Seseorang yang sadar diri tahu kemana arah yang akan ia tuju dan mengapa ia melakukannya.
Keputusan yang diambil oleh orang dengan kesa-daran diri tinggi akan cenderung selaras dengan nilai-nilai yang mereka anut sehingga membuat mereka berperilaku sesuai nilai-nilai yang dianutnya.
Dengan internalisasi nilai akan terbangun kesadaran diri sehingga seseorang mengaplikasikan nilai-nilai yang telah diinternalisasikannya selaras dengan hatinya, ada ketulusan dalam mengaplikasikan nilai, tanpa ada kepura-puraan karena tujuan tertentu.
Sebagai contoh orang yang telah berhasil meng-internalisasi nilai sopan santun, maka orang tersebut secara tulus akan bersikap sopan pada orang lain, bukan karena mempunyai tujuan untuk mendapatkan pujian, penghargaan, dan lain-lain.
Pendidikan karakter yang dilakukan oleh orang tua (keluarga) diawali dengan penanaman karakter yang kemudian dilakukan dengan pemeliharaan.
Pemeliharaan dilakukan agar karakter yang sudah ditanamkan tidak terlupakan dan hilamg ketika sudah tumbuh dewasa.
Pentingnya pondasi karakter dari orangtua dalam mendidik anaknya disebabkan oleh degradasi moral atau beratnya tantangan masa depan yang semakin memperihatinkan, perilaku asusila yang menyimpang dari norma kehidupan.
Membangun pondasi karakter anak dalam keluarga merupakan upaya integrative dan komprehensif yang bertujuan membentuk dan mengembangkan potensi kemanusiaan sehingga menghasilkan generasi yang kompeten dan berwatak (berakhlak) mulia.
Namun upaya yang dilakukan oleh keluarga perlu melibatkan semua pihak keluarga, sekolah dan masyarkat.
Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama tidak ada harmonisasi dan keseimbangan antara ketiga pusat Pendidikan.
0 Response to "Membangun Fondasi Karakter Anak Dalam Keluarga"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak