Bolehkah Kencing Berdiri?
Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiaplangkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya.
Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman
Para ulama sepakat tentang hukum kencing dengan duduk atau jongkok, tidak ada perselisihan hukumnya sunnah, seperti yang disebutkan dalam dalam Al Mausu’ah
لا خلاف بين الفقهاء في أنه يستحب الجلوس أثناء التبول لئلا يترشش عليه
Tidak ada perselisihan pendapat para ahli fiqih bahwa kencing dengan duduk hukumnya sunah, agar tidak terkena percikannya. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 15/274)
Kemudian bagaimana hukumnya ketika dilakukan dengan berdiri?. Sebenarnya tidak ada larangan yang kuat untuk kencing sambil berdiri.
Hadits-hadits yang menyebutkan larangan kencing sambil berdiri (buat kaum laki-laki) telah dibincangkan validitasnya.
Sebagian ulama mengharamkan kencing berdiri dengan argumen sebuah hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, yang berbunyi:
لاَ تَبُلْ قَائِمًا
Janganlah kamu kencing sambil berdiri. (HR. Ibnu Hibban No. 1423)
Derajat hadits ini dhaif (lemah) seperti yang dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. Hadits kedua, adalah riwayat dari ayahnya, yaitu Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:
رآني رسول الله صلى الله عليه و سلم وأنا أبول قائما . فقال ( يا عمر لا تبل قائما ) فما بلت قائما بعد
Rasulullah ﷺ melihat aku kencing sambil berdiri, lalu berkata: “Wahai Umar! Janganlah kamu kencing sambil berdiri.” Maka setelah itu aku tidak lagi kencing berdiri. (HR. Ibnu Majah No. 308, Al Baihaqi, Al Kubra No. 505, Al Hakim, Al Mustadrak No. 661, katanya: shahih. Abu ‘Uwanah No. 5898)
Para ulama ada yang menshahihkan, seperti Imam Al-Hakim, Imam Ibnu Hibban, dan Imam As-Suyuthi.
Tapi, penshahihan mereka telah dikoreksi para imam setelahnya, sebab dalam sanad hadits ini terdapat Ibnu Juraij seseorang yang dikenal sebagai mudallis (orang yang suka menggelapkan sanad dan matan hadits), juga Abdul Karim bin Abdil Mukhariq.
Kata Imam Al Baihaqi, murid Imam Al Hakim, dalam sanadnya terdapat Abdul Karim bin Abdil Mukhariq, dia seorang yang dhaif. (As Sunan Al Kubra No. 505)
Imam At-Tirmidzi juga berkata: “Abdul Karim adalah seorang yang dhaif menurut para ahli hadits. Ayyub As-Sukhtiyani mendhaifkannya, dan pada orang ini ada perbincangan.” (Sunan At Tirmidzi No. No. 12)
Imam Muhammad bin Thahir Al Maqdisi juga mengatakan bahwa Abdul Karim ini dhaif. (Dzakhiratul Huffazh, No. 2946)
Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan bahwa isnad hadits ini dhaif (lemah). (Takhrijul Ihya, 1/253. Lihat juga kitab Beliau yang lain, Al Mughni ‘An Hamlil Asfaar, No. 288)
Imam Ibnul Mundzir mengatakan: haadza laa yatsbut (hadits ini tidak shahih). (Al Awsath fis Sunan wal Ijtima’ wal Ikhtilaf No. 284)
Lalu, bukankah hadits ini ada dalam kitab shahih Ibnu Hibban? Berarti menurut Imam Ibnu Hibban ini shahih. Hal itu dikomentari oleh Imam Ahmad bin Abi Bakar Al Kinani, dia mengatakan: Sanadnya dhaif, dan Abdul Karim disepakati kedhaifannya.
Dia pun sendirian dalam meriwayatkan hadits ini. Hadits ini juga bertentangan dengan yang lebih shahih dari Abdullah bin Umar Al ‘Umari (Bukan Ibnu Umar anaknya Umar, pen), dia seorang yang disepakati sebagai orang yang tsiqah (bisa dipercaya), maka jangan terpedaya dengan penshahihan Ibnu Hibban. (Mishbah Az Zujaajah, 1/45)
Imam Asy-Syaukani mengatakan bahwa hadits ini dishahihkan oleh Imam As Suyuthi. (Sailul Jarar, 1/44). Syaikh Abu Ishaq Al Huwaini mengomentari:
فربما نظر السيوطي إلى رواية ابن حبان ، وأهمل تدليس ابن جريج ، والسيوطي متساهل كما هو معلوم
Pendapat As Suyuthi mengikuti riwayatnya Ibnu Hibban, dan dia mengabaikan tadlis-nya Ibnu Juraij, dan As Suyuthi termasuk ulama yang mutasahil (menggampangkan/longgar) sebagaimana telah diketahui. (Al Fatawa Al Haditsiyah LilHuwaini, 1/174), sedangkan Syaikh Al-Albani tegas mendhaifkannya. (Dhaiful Jami’ No. 6403)
Seandainya hadits ini shahih pun, tidak bermakna larangan haram, tetapi larangan adab belaka. Imam Al-Baghawi mengatakan:
فقال : ” يا عمر لا تبل قائما ” وليس هذا تحريما ، بل هو نهي تأديب.
(Maka Beliau bersabda: “Wahai Umar, janganlah kamu kencing berdiri.” Ini bukanlah pengharaman, tetapi larangan untuk mendidik adab saja. (Syarhus Sunnah, 1/387)
Ketiga, yaitu hadits dari Jabir bin Abdillah Radhiallahu ‘Anhu yang berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قَائِمًا
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seseorang kencing sambil berdiri. (HR. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra No. 508). Imam Al-Bushiri mengatakan sanadnya dhaif. (Az Zawaid, 1/93). Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Dhaiful Jami’ No. 6006)
Pengingkaran ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha
Kemudian, alasan lain pelarangan kencing berdiri adalah sikap ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang meminta agar tidak percaya kepada yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri.
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا جَالِسًا
Barang siapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kencing sambil berdiri maka janganlah kalian mempercayainya, tidaklah Beliau kencing kecuali dengan duduk. (HR. An Nasa’i No. 29, At Tirmidzi No. 12)
Di antara hadits-hadits tentang tema ini, inilah yang paling shahih dari yang ada. Imam At Tirmidzi menjelaskan:
حديث عائشة أحسن شيء في الباب و أصح
Hadits ‘Aisyah ini adalah hadits yang paling baik dan paling shahih dalam bab (pembahasan) ini. (Sunan At Tirmidzi No. 12)
Apa maksudnya? Apakah shahih? Sebagian ulama menerangkan tidak. Ucapan Imam At Tirmidzi tersebut bukan berarti hadits ini shahih, tapi di antara semua yang buruk hadits inilah yang paling baik.
Imam As Suyuthi mengatakan: Syaikh Waliyuddin mengatakan bahwa hadits ini terdapat kelemahan, sebab dalam sanadnya terdapat Syarik Al-Qadhi, dia dibincangkan karena jelek hafalannya.
Ucapan At Tirmidzi bahwa ini adalah yang paling shahih dalam bab ini, tidak menunjukkan bahwa hadits ini shahih. Oleh karena itu, Ibnul Qaththan mengatakan bahwa tidaklah dikatakan bahwa hadits ini shahih. Al Hakim begitu mudah dalam menshahihkan sebagaimana telah diketahui.
Bagaimana bisa ini sesuai syarat Syaikhain (Bukhari-Muslim) padahal Al Bukhari tidak pernah meriwayatkan hadits dari Syarik secara umum, sedangkan Muslim hanya meriwayatkan darinya sebagai penguat saja bukan sebagai hujjah. (Syarh As Suyuthi Lisunan An Nasa’i, 1/26)
Sementara ulama lain mengatakan, bahwa hadits ini valid. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa sanadnya jayyid (baik). (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/166). Imam Badruddin Al ‘Aini juga mengatakan: jayyid. (Syarh Abi Daud, 1/93)
Syaikh Al Albani tadinya mendhaifkan dalam Misykah Al Mashabih (No. 365), lalu dia menshahihkan dalam Ash Shahihah No. 201, Shahih Ibni Majah No. 249, Shahih Sunan At Tirmidzi No. 11.
Taruhlah hadits ini shahih, tapi apakah bermakna terlarang kencing berdiri? Hadits ini hanya menceritakan kesaksian ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha dari apa yang diketahuinya tentang nabi di rumah, tetapi ketika di luar rumah tentu belum tentu diketahuinya. Jadi, bukan bermakna terlarangnya hal itu. Inilah pendapat yang lebih kuat, bahwa kencing berdiri tidak terlarang bahkan itu juga pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dalam riwayat lain, dan juga para sahabatnya.
Imam Ibnu Hajar berkata: Jawaban tentang hadits ‘Aisyah adalah bahwa hal itu dikaitkan dengan pengetahuan dia, maka maksudnya adalah itulah yang terjadi di rumah-rumah. Ada pun di selain rumah maka dia tidak mengetahuinya. (Fathul Bari, 1/330)
Jadi, perkataan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha di atas tidak berarti larangan kencing berdiri. ‘Aisyah hanya menceritakan apa yang dia diketahui tentang cara kencing nabi, yaitu duduk.
Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri mengatakan:
Dalam hadits ini ada petunjuk bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah kencing sambil berdiri justru petunjuk Beliau dalam masalah kencing adalah duduk, tetapi perkataan ‘Aisyah ini tidaklah mengingkari penetapan pihak yang memastikan bahwa darinya juga pernah kencing dalam keadaan berdiri. (Tuhfah Al Ahwadzi, 1/55)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Tidak Melarang dan Para Sahabat Justru Melakukan
Imam Ibnu Hajar berkata:
وقد ثبت عن عمر وعلي وزيد بن ثابت وغيرهم أنهم بالوا قياما وهو دال على الجواز من غير كراهة إذا أمن الرشاش والله أعلم ولم يثبت عن النبي صلى الله عليه و سلم في النهي عنه شيء
Telah shahih dari Umar, Ali, Zaid bin Tsabit, dan selain mereka, bahwa mereka kencing sambil berdiri. Ini merupakan dalil bolehnya hal itu dan tidak makruh jika aman dari percikannya. Wallahu A’lam. Dan, tidak ada yang shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tentang larangan hal itu sedikit pun. (Fathul Bari, 1/330, Lihat juga ‘Aunul Ma’bud, 1/29, Lihat juga Faidhul Qadir, 6/451)
Keterangan Al Hafizh Ibnu Hajar ini, bahwa tidak ada satu pun yang shahih tentang larangan kencing berdiri dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sudah menjadi dalil kebolehannya, sebab ketiadaan dalil larangan merupakan dalil bagi kebolehan.
Imam Ibnul Mundzir mengatakan, sebagaimana dikutip Imam An Nawawi: Telah shahih dari Umar bin Al Khathab, Zaid bin Tsabit, Ibnu Umar, Sahl bin Sa’ad, bahwa mereka kencing berdiri, hal itu juga diriwayatkan dari Anas, Ali, Abu Hurairah, itu juga dilakukan oleh Ibnu Sirin, ‘Urwah bin Az Zubeir, sementara itu dimakruhkan oleh Ibnu Mas’ud, Asy Sya’biy, Ibrahim bin Sa’ad, dan Ibrahim tidak membolehkan kesaksian orang yang kencing berdiri. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/166, Lihat juga Syarh Abi Daud, 1/93)
Diriwayatkan Bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam Juga Pernah Kencing Berdiri
Dari Hudzaifah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata:
أَتَى النَّبِيُّ سُبَاطَةَ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا ثُمَّ دَعَا بِمَاءٍ فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ فَتَوَضَّأَ
Nabi mendatangi tempat pembuangan sampah milik sebuah kaum, lalu Beliau kencing berdiri. Kemudian dia meminta air, maka aku membawakannya air lalu dia berwudhu. (HR. Muttafaq ‘Alaih)
Hadits ini jelas keshahihannya bahwa Nabishallallahu 'alaihi wa sallam pernah kencing berdiri. Keadaan inilah yang tidak diketahui oleh istrinya, Aisyah Radhiallahu ‘Anha. Namun, ada yang mengartikan bahwa saat itu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam sedang sakit.
Imam An Nawawi menjelaskan:
وأما سبب بوله صلى الله عليه و سلم قائما فذكر العلماء فيه أوجها حكاها الخطابي والبيهقي وغيرهما من الأئمة أحدها قالا وهو مروي عن الشافعي أن العرب كانت تستشفي لوجع الصلب بالبول قائما
Ada pun sebab Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kencingnya berdiri, para ulama menyebutkan dalam hal ini ada beberapa penjelasan seperti yang dikisahkan oleh Al Khathabi, Al Baihaqi, dan para imam lainnya. Salah satunya, mereka berdua mengatakan bahwa diriwayatkan dari Imam Asy Syafi’i bahwa orang Arab jika sedang mengobati tulang sulbinya adalah dengan kencing sambil berdiri. (Al Minhaj, 3/165)
Riwayat lain, dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
إنما بال رسول الله صلى الله عليه وسلم قائما لجرح كان فى مأبضه
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kencing berdiri hanyalah ketika sakit di dengkul bagian dalamnya. (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi)
Hadits ini dijelaskan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar;
ولو صح هذا الحديث لكان فيه غنى عن جميع ما تقدم لكن ضعفه الدارقطني والبيهقي والاظهر أنه فعل ذلك لبيان الجواز وكان أكثر أحواله البول عن قعود والله أعلم
Seandainya hadits ini shahih, maka di dalamnya terdapat kecukupan dari semua pembahasan yang lalu, tetapi Ad Daruquthni dan Al Baihaqi mendhaifkannya. Yang benar adalah bahwa perbuatan ini (kencing sambil berdiri, pen) adalah boleh dan kebanyakan keadaan Beliau (nabi) adalah kencingnya sambil duduk. Wallahu A’lam (Fathul Bari, 1/330)
Sementara Imam Ibnul Mundzir mengatakan kencing berdiri dan duduk, keduanya shahih dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, Beliau berkata:
البول جالسا أحب إلى وقائما مباح وكل ذلك ثابت عن رسول الله صلى الله عليه و سلم
Kencing sambil duduk lebih aku sukai dan sambil berdiri boleh, semua ini shahih dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. (Dikutip oleh Imam An Nawawi, Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 3/166)
Imam Asy Syaukani mengatakan:
( والحاصل ) أنه قد ثبت عنه البول قائما وقاعدا والكل سنة
Wal hasil, bahwa telah shahih dari nabi kencing berdiri dan duduk, dan masing-masing adalah sunnah. (Nailul Authar, 1/107)
Bahkan ada yang mengatakan bahwa kencing berdiri justru lebih aman dari najis, seperti perkataan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu, yang dikutip Imam Ibnul Mundzir berikut:
وَذَلِكَ أَنَّ الْبَوْلَ قَائِمًا أَحْصَنُ لِلدُّبُرِ وَأَسْلَمُ لِلْحَدَثِ . وَرُوِيَ هَذَا الْقَوْلُ عَنْ عُمَرَ
Dan hal itu, sesungguhnya kencing berdiri lebih menjaga dubur dan lebih selamat dari hadats. Ucapan ini diriwayatkan dari Umar. (Al Awsath fis Sunan wal Ijma’ wal Ikhtilaf No. 252)
Sebagian Ulama Ada yang Memakruhkan
Telah tampak bahwa hujjah kebolehannya begitu kuat, tetapi dalam wacana ilmu kita mesti mengakui adanya ulama Islam yang memakruhkan.
Imam An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وقد روى في النهى عن البول قائما أحاديث لا تثبت ولكن حديث عائشة هذا ثابت فلهذا قال العلماء يكره البول قائما الا لعذر وهى كراهة تنزيه لا تحريم
Telah diriwayatkan hadits-hadits tentang larangan kencing sambil berdiri tapi tidak shahih. Namun, hadits ‘Aisyah adalah shahih, oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa dimakruhkan kencing sambil berdiri kecuali jika ada ‘udzur, yaitu makruh tanzih, bukan makruh tahrim (makruh mendekati haram). (Al Minhaj, 3/166)
Imam An Nawawi juga menyebutkan bahwa yang memakruhkan di antaranya dari Ibnu Mas’ud, Asy Sya’bi, dan Ibrahim bin Sa’ad.
Sementara Imam Malik berpendapat, jika kencingnya di tempat yang memungkinkan kena cipratan najisnya maka kencing berdiri adalah makruh. Tapi, jika tempatnya tidak seperti itu, tidak apa-apa berdiri.
Kesimpulan:
Kencing sambil berdiri dan duduk (jongkok) shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga keduanya adalah sunah nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Mayoritas ulama membolehkan berdiri dan telah dilakukan sejak masa sahabat nabi dan setelahnya, sebagian lain ada yang memakruhkan.
Baik pihak yang membolehkan dan memakruhkan sama-sama melarang jika berdiri memungkinkan kena cipratan najisnya.
Terkena cipratan najis bisa juga terjadi saat kencing jongkok, oleh karena itu substansi masalah ini adalah mana yang paling amanuntuk terhindar dari cipratan najisnya, itulah yang kita pilih, dan sesuaikan juga dengan tempatnya.
0 Response to "Bolehkah Kencing Berdiri?"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak