Hadits Dhaif dalam Dzikir dan Do’a
Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya.
Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Para ulam berbeda pandangan dalam masalah menggunakan hadits dhaif untuk doa maupun dzikir, berdasarkan pernyataan para ulama, baik fuqaha dan muhadditsun. Empat madzhab juga berlainan pendapat seperti berikut ini:
Madzhab Hanafi
Dalam madzhab Hanafi penggunaan hadits dhaif yang berkenaan dengan dzikir dan doa merupakan hal yang dibolehkan. Contoh beberapa masalah dalam hal ini, yakni masalah doa ketika membasuh anggota wudhu. Al Hashkafi berkata,”Doa warid dalam hal itu, yakni dalam setiap membasuh anggota wudhu, telah diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dan lainnya dari Nabi Shallahahu Alaihi Wasallam melalaui beberapa jalan. Telah berkata al muhaqqiq Ar Ramli Asy Syafi’i,’hadits itu diamalkan dalam fadha’il a’mal meski An Nawawi mengingkarinya’”. (Syarh Al Hashkafi, 1/127)
Demikian halnya dalam hal membaca surat Al Qadr setelah wudhu, Al Hafidz Ibnu Hajar menyatakan bahwa hadits mengenai hal itu tidak shahih dari Nabi Shallalalhui Alaihi Wasallam, baik dari perkataannya maupun perbuatannya, namun para ulama mentoleransi dengan menyebutkan hadits dhaif dalam mengemalkannya dalam fadhail a’mal. (lihat, Hasyiyah Ibnu Abidin, 1/131)
Demikian pula doa dan dzikir setelah iqamah shalat “aqamahallah wa adamaha” (semoga Allah menegakkan shalat dan mengekalkannya), dimana para ulama melafdzkan hal itu meski haditsnya diketahui dhaif. (lihat, Hasyiyah Ath Thahawi, 2/198)
Madzhab Maliki
Masalah shalawat di permulaan perkataan. Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda,”Setiap perkataan yang tidak disebutkan nama Allah di dalamnya , hingga diawali dengannya dan juga dengan shalawat kepadaku, maka ia terputus dari segala bentuk keberkahan.”
Hadits tersebut dihukumi dhaif isnadnya oleh Al Hafidz As Sakhawi. Namun Al Haththab berkata,”Meski ia dhaif, telah bersepakat ulama mengenai bolehnya beramal dengan hadits dhaif dalam fadhail a`mal”. (Mawahib Al Jalil, 1/25)
Madzhab Syafi’i
Dalam madhab Asy Syafi’i, para ulamanya membolehkan pengamalan doa dan dzikir meski berasal dari hadits dhaif. Sebagai contoh dalam masalah ini, menjawab iqamah dengan “aqamaha Allah wa adamaha” (semoga Allah terus menjadikan malan shalat tegak dan mengekalkannya). Imam An Nawawi berkata mengenai hadits ini,”Walai bagaimana pun ia merupakan hadits dhaif, akan tetapi hadits dhaif diamalkan dalam fadhail a`mal berdasarkan kesepakatan ulama , dan hadits ini termasuk dalam hal ini”. (Al Majmu’, 3/226)
Demikian pula mengenai doa ketika membasuh anggota wudhu, diriwayatkan dari nabi melalaui beberapa jalan dalam Tarikh Ibnu Hibban dan lainnya. Kemudian Al Mahalli berkata bahwa meski hadits itu dhaif, ia tetap diamalkan dalam fadhail. (Syarh Al Mahalli Ala Al Minhaj, 1/64).
Dalam masalah doa ketika thawaf, Ibnu Hajar Al Haitami menyatakan bahwa untuk doa yang ma’tsur dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, tidak ada bedanya antara yang shahih sanadnya dengan yang tidak, karena hadits dhaif, mursal dan mungqathi’ diamalkan dalam fadhail al a’mal sesuai kesepakatan. (lihat, Fatawa Ibni Hajar, 2/54)
Mengenai hukum membaca bismilah sebelum berwudhu, Ibnu Al Mundzir menyatakan bahwa tidak ada khabar shahih yang menunjukkan bahwa wudhu batal jika tanpa tasmiyah. Namun Ibnu Mundzir berkata,”Namun lebih utama mengucapkan bismillah bagi siapa yang hendak wudhu dan mandi dalam rangka kehati-hatian, dan tidak mengapa bagi yang meniggalkannya. (Al Ausath, 1/368)
Madzhab Hanbali
Dalam madzhab Al Hanbali ada beberapa perkara yang sama dalam madzhab lainnya, seperti masalah doa ketika membasuh anggota wudhu, meski haditsnya dhaif, namun tetap dipakai karena berkanaan dengan fadhail a’mal. (lihat, Mathalib Uli An Nuha, 1/122)
Demikian pula dengan tasmiyah wudhu’, dimana Abdullah bertanya kepada ayahnya Imam Ahmad mengenai hadits Abu Sa’id,”Tidak berwudhu bagi siapa yang tidak menyebut nama Allah atasnya”. Maka Imam Ahmad pun menjawab,”Hadits itu tidak tsabit bagiku, namun aku lebih suka mengucapkannya.” (Masa’il Abdullah li Abihi, 1/89)
Dengan demikian, dalam praktik empat madzhab, doa dan dzikir meski berasal dari hadits dhaif, ia tidak diabaikan begitu saja, namun ia tetap dipakai, karena masih dalam koridor fadhail a’mal. Wallahu Ta’ala A’la wa A’lam.
0 Response to "Hadits Dhaif dalam Dzikir dan Do’a"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak