Iman dan Taqwa Kunci Utama Keberkahan Suatu Negeri
Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiaplangkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya.
Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Satu tanda kemukjizatan Al-Qur’an sebagai wahyu yang suci adalah “narasinya” yang menggugah dan menginspirasi akal manusia yang mau berpikir.
Soal alam dimana kita berada misalnya, pernahkah terpikir bagaimana lingkungan di sekitar kita itu tercipta.
Sebut saja, masyarakat yang berada di pegunungan, dimana ia melihat kebun teh terhampar luas, kemudian sebagian daerah lainnya yang sayur-mayur tumbuh dengan subur dan menggembirakan siapapun yang melihatnya.
Adakah semua itu terjadi dengan rekayasa manusia. Atau memang ada yang menyediakan, sehingga manusia bisa membuat kebun-kebun itu.
Kerapkali kita berpikir hanya sebatas keindahan alam, pegunungan, lengkap dengan segala macam tanaman di kebun-kebun dan lain sebagainya. Lupa berpikir lebih dalam perihal, siapa yang menjadikan itu semua.
Orang yang beriman dan mau berpikir akan bertanya lebih jauh. Dan, ketika pertanyaan itu hadir, Al-Qur’an ternyata telah memberikan jawaban jelas dan tegas.
َูุฃَูุฒََْููุง ู َِู ุงูุณَّู َุงุกِ ู َุงุกً ุจَِูุฏَุฑٍ َูุฃَุณََّْููุงُู ِูู ุงْูุฃَุฑْุถِ َูุฅَِّูุง ุนََูู ุฐََูุงุจٍ ุจِِู ََููุงุฏِุฑَُูู
“Dan Kami turunkan air dari langit dengan suatu ukuran, lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi, dan pasti Kami berkuasa melenyapkannya.” (QS. Al-Mu’minun [23]: 18).
Mari perhatikan kata ‘ukuran’ dan ‘Kami jadikan air itu menetap di bumi.’ Keduanya secara logis memberikan penegasan bahwa telah didesain alam ini untuk bisa memenuhi kebutuhan umat manusia akan kebutuhan berupa ketersediaan pangan.
Dengan kata lain, ada ketergantungan tinggi kita kepada Allah Ta’ala akan kebaikan dan ketepatan ukuran yang terus diberikan bagi alam kita, sehingga hujan senantiasa mendatangkan berkah, bukan malapetaka.
Kemudian, hujan tidak otomatis menjadikan tanah subur, kecuali Allah menahan air itu tetap berada di dalam bumi.
Ketika Allah berkehendak lain, bisa saja hujan yang turun dibiarkan mengalir tanpa terserap. Lebih jauh, sangat mungkin air hujan menyebabkan tanah erosi, sehingga menghanyutkan kandungan humus di dalam tanah, sehingga tingkat kesuburan tanah pun terdegradasi.
Semua ini menunjukkan kepada kita bahwa mekanisme alam pun, bisa saja tidak membawa kebaikan, jika tidak ada kehendak Allah yang menyertai.
Sekalipun, dalam hal ini tetap ada mekanisme alam, dimana manusia berperan signifikan di dalam menentukan kebaikan lingkungan.
Dalam bahasa yang lain, manusia tidak bisa serampangan memperlakukan alam. Pada saat yang sama, manusia dilarang menganggap semua yang ada di alam ini adalah kebetulan, terjadi begitu saja, tanpa ada yang mendesain dan menetapkannya sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia itu sendiri.
Hal ini semakin mudah kita pahami jika merujuk penjelasan Ibn Katsir kala menafsirkan ayat tersebut. Bahwa yang dimaksud ‘menurut suatu ukuran’ adalah sesuai dengan kebutuhan, tidak berlebihan yang hanya akan merusak bumi dan pembangunan, dan tidak juga terlalu sedikit sehingga tidak cukup untuk mengairi tanaman dan buahbuahan, tetapi sesuai dengan apa yang dibutuhkan.
Kemudian, ‘Lalu Kami jadikan air itu menetap di bumi,” berarti Allah yang menempatkan air itu tetap di bumi jika turun dari awan, dan Kami jadikan apa yang di bumi tersebut mau menerimana, memium dan memakannya, baik itu berupa biji-bijian maupun benih.
ََّููุง َูู َّุง َْููุถِ ู َุง ุฃَู َุฑَُู ََْููููุธُุฑِ ุงْูุฅِูุณَุงُู ุฅَِูู ุทَุนَุงู ِِู
“Tidak heran jika kemudian pada ayat Al-Qur’an yang lain, Allah memerintahkan manusia untuk memperhatikan makanannya. “Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya.” (QS. An-Nazi’at [80]: 24).
Jika hal ini benar-benar direnungkan, maka pantaslah jika di dalam dasar bernegara kita di Indonesia ada sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Karena memang alam, segala jenis tanaman, dan kesuburan tanah serta kandungan alam yang melimpah tidak mungkin hadir dengan sendirinya, ada Allah yang telah menyediakannya untuk penduduk bumi pertiwi ini.
Oleh karena itu, sikap mengedepankan iman dan taqwa merupakan keniscayaan bagi seluruh kaum Muslimin, karena hanya dengan iman dan taqwa itulah, alam yang begitu luar biasa, yang telah Allah anugerahkan untuk kita ini akan menjadi ‘sahabat’ dan terus mendatangkan manfaat serta keberkahan Allah Ta’ala.
ََْููู ุฃََّู ุฃََْูู ุงُْููุฑَู ุขู َُููุงْ َูุงุชََّููุงْ ََููุชَุญَْูุง ุนََِْูููู ุจَุฑََูุงุชٍ ู َِّู ุงูุณَّู َุงุกِ َูุงูุฃَุฑْุถِ ََِููููู َูุฐَّุจُูุงْ َูุฃَุฎَุฐَْูุงُูู ุจِู َุง َูุงُููุงْ َْููุณِุจَُูู
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri tersebut beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS: Al-A’raf [7]: 96).
Imam Nawawi menyebut bahwa yang dimaksud dengan berkah adalah tumbuh, berkembang, atau bertambah; dan kebaikan yang berkesinambungan.
Al-Asfahani dan Ibnu Faris, menyebutkan, barokah arti asalnya adalah “dada atau punggung unta yang menonjol”. Ini ada kaitannya dengan arti “tumbuh dan bertambah”.
Sebab, salah satu dari anggota tubuh unta itu menonjol dari tubuhnya yang lain, sehingga berkah juga bisa dimaknai, “Tetapnya kebaikan yang bersifat ilahiyah”.
Dengan demikian, kunci utama membangun kehidupan masyarakat Indonesia yang maju, sejahtera, bahagia dan penuh keberkahan adalah dengan senantiasa ingat kepada Allah, serta terus meningkatkan iman dan taqwa, sehingga cara berpikir kita, perilaku kita, benar-benar membawa kebaikan.
Bagaimana taqwa itu, Ibnu Mas’ud menjelaskan, “taqwa adalah menaati Allah dan tidak bermaksiat kepada-Nya. Senantiasa mengingat Allah serta bersyukur kepada-Nya tanpa ada pengingkaran (kufr) di dalamnya.” (Tafsir Ibnu Katsir: Dar at-Thayyibah, 1999).
Dalam hal ini kaum Muslimin, terutama yang berada di tampuk kekuasaan, jajaran pemerintahan, dan para pengusaha, serta para petani, yang mengambil keuntungan dari mengelola sumber daya alam.
Penting memahami bahwa sumber keberkahan hidup ini ada pada keimanan dan ketaqwaan yang diimplementasikan dengan menata diri sebaik mungkin, berorientasi maslahat, kemudian menyadari bahwa setiap perilaku serakah dan destruktif hanya akan mengundang bencana demi bencana.
Jauhilah sifat koruptif, manipulatif, dan menghalalkan segala cara dalam kehidupan ini. Bersihkan diri, keluarga dan semua kolega dalam usaha dari riba.
Kemudian teruslah berjuang menjalani hidup ini dengan yakin sepenuhnya kepada janji Allah Ta’ala. Inilah sumber keberkahan hidup kita bahkan negeri yang kita cintai. Allahu a’lam.
0 Response to "Iman dan Taqwa Kunci Utama Keberkahan Suatu Negeri"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak