Kebijakan Hukum dalam Penanggulangan KKN
Pola baru dalam upaya pemberantasan KKN, dibentuk suatu lembaga yang independen dan mempunyai kewenangan yang lebih luas dari lembagalembaga pemberantas KKN sebelumnya yaitu Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002.
Dijelaskan bahwa “lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi”.
Diperlukan suatu lembaga yang independen, professional dan akuntable dalam melakukan penanggulangan terhadap korupsi, sehingga dibentuklan KPTPK tersebut.
Selain memiliki kewenangan yang luas yang dapat mengakses data dan informasi ataupun mengambil alih penanganan kasus pada semua lembaga yang terkait dengan KKN, KPTPK ini ini juga memiliki lingkup bidang tugas sebagaimana dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 pasal 26 ayat (2) yaitu :
- Bidang Pencegahan
- Bidang Penindakan
- Bidang Informasi dan Data; dan
- Bidang Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat.
Bidang-bidang yang merupakan lingkup tugas dari KPTPK sebagaimana yang disebutkan di atas, masing-masing membawahi subbidang sebagai berikut :
1. bidang pencegahan (Pasal 26 ayat 3 UU No. 30 Tahun 2002) membawahkan :
- Pendaftaran dan pemeriksaan laporan harta kekayaan penyelenggara negara ;
- Gratifikasi ;
- Pendidikan dan pelayanan masyarakat ; dan
- Penelitian dan pengembangan
2. Bidang Penindakan (Pasal 26 ayat (4) UU No. 30 Tahun 2002) membawahkan :
- Penyelidikan ;
- Penyidikan ; dan
- Penuntutan
3. Bidang informasi dan data (Pasal 26 ayat (5) UU No. 30 Tahun 2002) membawahkan :
- Pengolahan informasi dan data ;
- Pembinaan jaringan kerja antarkomisi dan instansi ;
- Monitor.
4. Bidang pengawasan internal dan pengaduan masyarakat (Pasal 26 ayat (6) UU No. 30 Tahun 2002) membawahkan :
- Pengawasan internal ; dan
- Pengaduan masyarakat ;
Lingkup tugas KPTPK yang mencakup keempat bidang tersebut sangat penting dalam upaya pencegahan KKN atau sangat memungkinkan untuk dapat memberantas KKN paling tidak dapat menekan atau mengurangi praktek-praktek KKN tersebut.
Praktek-praktek KKN dalam dunia bisnis dapat dieliminir jika lembaga KPTPK tersebut bekerja secara professional dan proporsional dan yang paling penting dalam operasional lembaga KPTPK tersebut adalah independensi dalam arti terlepas dari campur tangan pemerintah atau pihak-pihak lainnya dalam kinerja dan proses penegakan hukum.
2. Kekuasaan, integritas moral dan penegakan hukum terhadap KKN dalam praktek bisnis
1. Pengertian Kekuasaan
Manusia adalah samping sebagai makhluk biologis juga merupakan makhluk sosial yang tidak bida hidup tanpa bekerja sama dengan manusia atau makhluk lainnya.
Manusia selalu mempunyai insting untuk berhubungan dengan orang lain akan tetapi manusia juga memiliki hasrat untuk mempertahankan diri, dan meningkatkan kemampuan diri sendiri melebihi orang lain.
Dalam diri manusia mengandung suatu kekuatan untuk menggerakkan perkembangan kehidupannya yang kemudian mengkristal dalam bentuk peradaban dan budaya.
Secara umum kekuasaan sering diartikan sebagai kekuatan atau kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi atau menggerakkan orang lain atau kelompok lain.
Menurut Arif Sidarta bahwa kekuasaan adalah kemampuan manusia yang satu untuk menggerakkan manusia lainnya agar manusia lainnya tersebut melakukan prilaku tertentu.
Lebih lanjut Sidarta mengatakan bahwa definisi tersebut tidak memperlihatkan perbedaan antara gerakan fisik dan cara yang khas dari seorang yang mempunyai kekuasaan atas orang lain untuk menggerakkan atau mempengaruhi orang lain.
Dalam kekuasaan sesungguhnya kekuatan yang dipancarkan (dijalankan) oleh manusia yang satu terhadap manusia yang lainnya tidak hanya bersifat fisik murni.
Namun dalam hubungan itu terdapat juga aspek psikologisnya ; artinya, orang yang mempunyai kekuasaan itu memiliki kewibawaan tertentu.
Menurut Sidarta bahwa hal yang paling esensial dalam kekuasaan adalah bahwa kekuasaan itu mengekspresikan dan mewujudkan kemauan dari seorang pribadi dalam hubungannya dengan satu atau lebih pribadi lain dalam menjalankan kekuasaannya.
Menurut pendapat Karl Marx dan Machiavelli bahwa dalam sejarah perkembangan kehidupan manusia selalu ada kelompok yang menguasai dan yang dikuasai.
Beberapa konsep yang menjadi landasan untuk membangun kekuasaan yang dapat dikaji dari ajaranajaran tentang kekuasaan diantaranya adalah
Plato yang berpendapat bahwa kekuasaan ditentukan oleh logos (kemanpuan berfikir) dan oleh nomos (aturan yang berlaku).
Karena terpusat kepada basis bagi segala kekuasaan maka Plato menggambarkan adanya “idea absolut” yang menjadio sumber kekuasaan. Penguasa yang ideal menurut Plato adalah yang dinamakan ”the philosopher king”.
Menurut Aristoteles (Suliantoro, bahwa kekuasaan memang berhubungan dengan logos , etika dan nomos (hukum) namun semua manusia itu merupakan produk dari proses empirik. Aristoteles membedakan bentuk kekuasaan menjadi demokrasi, aristokrasi, monarki dan oligarki.
Menurut aliran Stoa dan Eudaimonisme bahwa kekuasaan merupakan bagian dari hidup dan kehidupan manusia dan sumber kekuasaan itu adalah kehendak (will power) dan kesenangan (eudaimonisme), walaupun amat menekankan virtue dan keseimbangan.
Fenomena KKN dalam praktek bisnis cenderung identik dengan analisa dari kaum Stoa atau aliran Eudaimonisme.
Proses untuk memperoleh suatu kekuasaan didasarkan dengan kemampuan ekonomi yang pada akhirnya kekuasaan dalam jabatan berorientasi pada prinsipprinsip ekonomi, sehingga birokrasi seringkali menjadi ajang bisnis bagi para elit politik.
Hal ini senada dengan analisa Karl Marx bahwa evolusi manusia menunjukkan adanya kecenderungan untuk saling menjatuhkan dalam kancah kekuasaan. Kekuasaan yang satu dijatuhkan oleh kekuasaan lain secara terus menerus.
Menurut Marx bahwa faktor yang menentukan jatuh bangunnya kekuasaan adalah kekuatannya, dan kekuatan itu adalah kekuatan ekonomi. Oleh karena itu maka ekonomi merupakan basis kekuasaan.
Ada dua jenis kekuasaan menurut Socrates yaitu kekuasaan yang baik dan kekuasaan yang tidak baik. Dengan demikian Socrates berpendapat bahwa kekuasaan itu harus bersumber kepada keutamaan (vertue), artinya bahwa kekuasaan itu basisnya adalah etika dan moralitas.
Disinilah perlunya integritas moral yang baik dalam rangka menjalankan kekuasaan itu oleh karena dengan integritas moral yang baik maka kekuasaan itu terhindar dari perbuatan KKN.
2. Pengertian moralitas
Moral menurut Bruggink adalah suatu istilah yang bermakna ganda. Arti pertama adalah keseluruhan kaidah dan nilai berkenaan dengan ihwal “baik” atau perbuatan baik manusia.
Sedangkan pengertian “baik” menurut Bruggink adalah : “istilah “baik” adalah juga suatu istilah bermakna ganda .
“Baik” dapat memiliki muatan moral, dan dalam arti ini “baik” di sini dipergunakan. Namun “baik” juga dapat memiliki suatu muatan yang netral, misalnya dalam putusan “hitungan itu telah dikerjakan dengan baik” atau “cuaca hari ini baik”.
Pengertian lain dari Moral adalah teori tentang moral sebagaikeseluruhan kaidah dan nilai. Oleh karena itu dipergunakan juga istilah “etika”.
Lebih lanjut bruggink mengatakan bahwa etika adalah teori tentang moral dalam arti yang pertama, adalah keseluruhan kaidah dan nilai.
Moralitas adalah kualitas dalam tindakan manusia, sehingga dapat dikatakan benar atau salah, baik atau jahat, artinya bahwa moralitas berhubungan dengan nilai.
3. Hubungan antara kekuasaan, moralitas dan penegakan hukum dalam penanggulangan KKN sebagai fenomena dalam praktek bisnis.
Prilaku KKN dalam sebagaimana dijelaskan dalam pengertian tentang KKN itu sendiri adalah perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai atau prinsip-prinsip moral sehingga prilaku KKN itu merupakan suatu kejahatan.
Berdasarkan pengertian dari KKN dapat disimpulkan bahwa perbuatan amoral dalam bentuk KKN itu berada dalam lingkup kekuasaan.
Seorang pemegang kekuasaan atau aparat birokrasi atau pengawai negeri yang menyalah gunakan kewenangannya yang berakibat kerugian ekonomi atau keuangan yang ditanggung oleh negara, adalah orang yang melakukan perbuatan yang tidak dilandasi oleh integritas moral yang baik.
Kekuasaan yang dipegang oleh seorang penguasa yang tidak didasarkan pada moralitas akan cenderung menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu yang berarti merugikan orang atau kelompok lain bahkan merugikan kelompok orang yang lebih banyak yaitu negara.
Demikian juga dengan penegak hukum dalam menjalankan tugas penegakan hukum, diperlukan integritas moral terutama dalam rangka memberantas KKN,
Oleh karena tanpa intgritas moral yang tinggi maka aparat penegak hukum tersebut dimungkinkan justru ikut terlibat dalam praktek-prkatek KKN yang akan memberikan insentif ekonomis.
Melihat dari motif untuk mendapatkan keuntungan yang menjadi orientasi suatu kegiatan bisnis untuk ini sepintas memang tidak relevan dengan suatu konsep etika atau moral dalam manajemen usahanya.
Dengan demikian tidak mengherankan jika dalam praktek-praktek bisnis, dunia usaha menganggap perbuatan menyuap adalah merupakan keputusan ekonomi.
Menurut pendapat Basri bahwa keputusan dunia usaha untuk menyuap adalah keputusan ekonomi yang didasarkan pada perhitungan manfaat (benefit) dan biaya (cost) dari aktivitas penyuapan.
Artinya bahwa jika suap dapat melancarkan urusan dengan birokrasi atau memungkinkan memperoleh proteksi yang memberikan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan besarnya suap yang harus dibayar, maka ada insentif untuk menjadi pemasok suap.
Suatu studi yang dilakukan oleh Lui pada tahun 1985 menunjukkan bahwa dalam beberapa hal, korupsi justru dapat meningkatkan efisiensi.
Argumen Lui ini didukung dengan alasan teoritisnya yang dikenal dengan efficient grease (pelumas yang efisien) yang menunjukkan bahwa besarnya suap mencerminkan perbedaan biaya oportunitas dari tiap perusahaan.
Jika perusahaan tersebut efisien, maka perusahaan itu hanya bersedia membayar suap yang lebih rendah dengan kata lain suap dapat memperpendek waktu dalam berurusan dengan birokrasi.
Demikian juga studi yang dilakukan oleh Merly Khouw, ahli kriminologi dari Quest Research Limited Australia menunjukkan bahwa dunia usaha adalah salah satu penyebab utama korupsi sektor publik.
Dengan menggunakan sample data sebanyak 2.300 responden berdasarkan National Survey of Corruption di Indonesia tahun 2001, yang dilakukan oleh Partnership for Governance Reform, Khouw menunjukkan bahwa 65 % dari perusahaan yang menjadi responden menyatakan bahwa koneksi adalah hal yang amat penting untuk memenangi kontrak pembelian pemerintah (government procurement).
Bahkan 32 % menyatakan bahwa suap sebagai faktor yang penting dalam pemenangan tender. Artinya memang ada kecenderungan bahwa dunia usaha tertarik untuk menjadi pemasok suap.
Dalam praktek bisnis yang bernuansa KKN, dugaan terhadap trend dapat terhadap pelaku bisnis dengan KKN terjadi bias adanya dikotomi antara KKN dan jasa bisnis keberhasilan suatu usaha bisnis sering dicurigai sebagai produk KKN konsep teori hukum, paradigma dan solusi secara obyektif akan mengungkap issue permasalahan bahwa fenomena sosial dalam praktek bisnis tak selamanya bernuansa KKN.
Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 secara tegas telah dinyatakan bahwa : “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Menurut Marsono bahwa pasal tersebut benar-benar mencerminkan sebagai pangkal kesejahteraan rakyat dan negara yang maha kaya ini apabila sumberdaya alam yang dimiliki benar-benar dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Opini faktual yang terjadi adalah bahwa hasil sumberdaya alam hanya sebagian kecil yang dapat dinikmati untuk kemakmuran rakyat yaitu seperti pajak dan royalty dari pengelolaan sumberdaya alam.
Dalam praktek bisnis, pengelolaan sumberdaya alam ini selama puluhan tahun telah mengalami penyimpangan dalam bentuk mark up, korupsi, kolusi dan Nepotisme,
Sehingga anggaran pembangunan APBN selalu menjadi kecil sementara dana non APBN sering digelapkan atau bocor hingga sebesar 30 % untuk kepentingan kelompok atau pribadi.
Yang menjadi kelemahannya adalah suplemen isi Pasal 33 UUD 1945 tersebut yang menjadi kendala utama lemahnya penerapan hukum dan moralitas penegak hukum dalam memberantas KKN.
3. Sistem pembuktian terbalik dalam praktek peradilan tindak pidana KKN
Dalam sistem pembuktian dikenal beberapa teori (Prodjohamodjojo,yaitu antara lain :
1. Taori Tradisionil
B.Bosch-Kamper membagi teori tradisionil kedalam tiga , yaitu :
1. Teori Negatif, yaitu teori yang meberikan batasan bahwa hakim boleh menjatuhkan pidana, jika mendapat keyakinan dengan dua alat bukti yang sah, bahwa telah terjadi perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa.
2. Teori Positif, yaitu teori yang memberikan batasan bahwa hakim hanya boleh menetukan kesalahan terdakwa, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang. Artinya bahwa tidak ada bukti tidak dihukum, ada bukti meskipun hanya sedikit harus dihukum.
3. Teori bebas, yaitu teori yang meberikan bahtasan bahwa hakim tidak terikat kepada aturan hukum, tapi yang menjadi pokok adalah keyakinan hakim tetang kesalahan terdakwa yang didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalaman.
Dalam perkembangannya, teori tentang pembuktian ini memunculkan teori-teori baru yaitu teori modern antara lain :
1. Teori pembuktian dengan keyakinan belaka (blood gemoedelijke overtuiging, atau conviction intime).
Teori ini mengajarkan bahwa keputusan hakim didasarkan pada keyakinan belaka dan tidak terikat pada aturan tentang pembuktian, asal saja hakim telah yakin (berdasarkan penalaran silogisme) bahwa terdakwa telah terbukti maka hakim dapat memutuskan pidana bagi terdakwa.
2. Teori pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijke bewijstheorie).
Teori ini menganut aliran positivisme yang memberikan batasan bahwa hakim harus memutus suatu perkara yang dinyatakan terbukti menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan batasan tentang pembuktian dan cara menerapkan pembuktian.
Jika tidak terbukti melalui cara pembuktian seperti yang diatur oleh ketentuan undang-undang, meskipun kayakinan hakim menyatakan terbukti, namun terdakwa tidak dapat dipidana karena dianggap tidak terbukti.
3. Teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijke bewijstheorie).
Menurut teori ini bahwa hakim diwajibkan memberikan menghukum berdasarkan keyakinan bahwa perbuatan yang disangkakan terbukti kebenarannya yang disertai dengan alasanalasan yang berdasarkan logika hukum sebagaimana yang disebutkan dalam undang-undang. Jadi dalam memberikan logika hukum hakim terikat pada undang-undang.
4. Teori keyakinan atas alasan negatif (beredeneerde vertuging atau conviction raisonnee).
Teori ini sama dengan teori pembuktian menurut undangundang secara negatif di atas yaitu hakim menjatuhkan hukuman berdasarkan keyakinannya yang disertai alasan-alasan yang berdasarkan logika.
Namun perbedaannya adalah bahwa logika yang menjadi dasar alasan hakim tidak terikat dengan kriteria dan cara penggunaan alat bukti menurut undang-undang. Artinya bahwa hakim bebas menggunakan alat bukti yang lain asal dasar alasan tepat menurut logika.
5. Teori pembuktian negatif menurut undang-undang (negatif wettelijk overtuiging).
Teori ini dianut oleh KUHAP dan HIR bahwa hakim boleh menjatuhkan hukuman berdasarkan keyakinan hakim yang didasarkan pada alat bukti yang sah menurut undang-undang.
6. Teori pembuktian terbalik (omkeering van het bewijs theorie).
Teori ini meberikan hak kepada terdakwa untuk membuktikanketidak terlibatannya dalam perkara yang disangkakan kepadanya.
Sistem pembuktian dalam perkara pidana pada umumnya di dasarkan pada UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP.
Demikian juga dengan tindak pidana Korupsi juga di dasarkan pada KUHAP, akan tetapi ada beberapa pengecualian terutama dalam penanganan tindak pidana korupsi ini mengingat
Bahwa korupsi merupakan exra ordinary crime sehingga dalam penanganannya pun harus melalui cara-cara yang luar biasa. Salah satu bentuk pengecualian dari KUHAP ini adalah sistem pembuktian tindak pidana korupsi.
Sistem pembuktian tindak pidana korupsi menurut UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan tindak pidana Korupsi adalah sistem pembuktian terbalik yang terbatas dan berimbang, sebagaimana di tegaskan dalam Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 bahwa :
1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
2. Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya.
3. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
4. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
5. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya”.
Dalam penjelasan Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 tersebut dijelaskan bahwa terdakwa dapat membuktikan bahwa ketidak terlibatannya dalam melakukan tindak pidana korupsi,
Akan tetapi bukti itu belum dapat menjamin ketidak terlibatannya dalam korupsi yang disangkakan itu oleh karena penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pembuktian semacam ini merupakan pembuktian terbalik, yang terbatas, karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.
Ketentuan dalam Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 tersebut merupakan pengecualian atau penyimpangan dari sistem pembuktian negatif yang dianut oleh KUHAP sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP bahwa :
“hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurannya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”.
Ketentuan dalam Pasal 183 UU No. 8 Tahun 1981 tersebut menunjukkan bahwa penuntut umum-lah yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan sangkaannya terhadap tersangka dan tersangka tidak mempunyai hak untuk membuktikan ketidak terlibatannya dalam perkara yang disangkakannya.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 37 UU No. 31 Tahun 1999 di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem pembuktian yang dianut dalam proses acara pidana tindak pidana korupsi adalah :
1. Sistem pembuktian terbalik, terbatas dan berimbang. Sebagaimana dijelaskan diatas.
2. Sistem pembuktian yang sesuai dengan teori bebas yaitu bahwa hakim dapat mengambil keputusan sesuai dengan keyakinannya yang didasarkan alasan-alasan yang dapat dimengerti dan dibenarkan oleh pengalamanpengalaman.
Misalnya antara penghasilan dan kekayaan terdakwa tidak seimbang dan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang logis bahwa nilai kekayaan adalah merupakan kumpulan dari penghasilan,
Sehingga kelebihan-kelebihan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan oleh terdakwa dapat memperkuat alat bukti yang ada bahwa terdakwa benar telah melakukan korupsi.
3. Sistem pembuktian negatif menurut undang-undang, sebagaimana tercantum dalam Pasal 37 ayat (5) UU No. 31 Tahun 1999 bahwa pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa tidak menghilangkan kewajiban bagi penuntut umum untuk tetap membuktikan dakwaannya.
0 Response to " Kebijakan Hukum dalam Penanggulangan KKN"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak