Ketaatan Pada Syariah Allah
Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiaplangkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya.
Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Di tengah terjadinya pandemi, saatnya kita semua melakukan taubatan nasuha. Inilah momentum bagi kita untuk kembali kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan tobat yang sesungguhnya,
Baik secara personal maupun kolektif, dengan menjalankan ketaatan total atas semua perintah dan larangan Allah.
Inilah yang telah dicontohkan secara paripurna oleh nabi Ibrahim dan nabi Ismail dalam sebuah peristiwa monumental, sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an.
Betapa besar pengorbanan nabi Ibrahim dalam menaati perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Beliau rela diperintah oleh Allah untuk menyembelih putra kesayangannya, Ismail.
Bagi nabi Ibrahim, Ismail adalah buah hati, harapan dan cintaannya yang telah lama beliau dambakan. Namun, di tengah rasa bahagia itu, turunlah perintah Allah kepada beliau untuk mengorbankan putra kesayangannya tersebut.
Allah berfirman:
ََููู َّุง ุจََูุบَ ู َุนَُู ุงูุณَّุนَْู َูุงَู َูุงุจََُّูู ุฅِِّูู ุฃَุฑَู ِูู ุงْูู ََูุงู ِ ุฃَِّูู ุฃَุฐْุจَุญَُู َูุงْูุธُุฑْ ู َุงุฐَุง ุชَุฑَู
”Tatkala anak itu telah mencapai usia sanggup berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata, “Anakku, sungguh aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelih dirimu. Karena itu pikirkanlah apa pendapatmu.” (Q.S. ash-Shaffat [37]: 102).
Perhatikan! Apakah Nabi Ibrahim menolak? Tidak! Beliau mengedepankan kecintaan yang tinggi, yakni kecintaan kepada Allah.
Sebaliknya, beliau segera menyingkirkan kecintaan yang rendah, yakni kecintaan kepada anak, harta dan dunia.
Perintah amat berat itu pun disambut oleh Ismail dengan penuh kesabaran. Bahkan beliau mengukuhkan keteguhan jiwa ayahnya dengan mengatakan:
َูุงَู َูุงุฃَุจَุชِ ุงْูุนَْู ู َุง ุชُุคْู َุฑُ ุณَุชَุฌِุฏُِูู ุฅِْู ุดَุงุกَ ุงَُّููู ู َِู ุงูุตَّุงุจِุฑِูู
Ayah, lakukanlah apa yang telah Allah perintahkan kepada engkau. Insya Allah engkau akan mendapati aku termasuk orang-orang yang sabar (Q.S. ash-Shaffat [37]: 102).
Kisah nabi Ibrahim dan nabi Ismail tersebut seharusnya menjadi teladan bagi kita saat ini. Tidak hanya teladan dalam pelaksanaan ibadah haji dan ibadah kurban, tapi juga teladan dalam berjuang dan berkorban.
Mewujudkan ketaatan kepada Allah secara total. Ketaatan pada syariah-Nya secara kaffah. Bukankah saat ini syariah Allah diabaikan dan dicampakkan?
Terutama syariah-Nya yang berkaitan dengan pengaturan kehidupan bermasyarakat dan bernegara seperti pemerintahan, ekonomi, sosial, hukum pidana, pendidikan, politik luar negeri dan sebagainya.
Teladan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sungguh sangat berarti bagi kita dalam menjalankan semua perintah Allah, yakni dengan mengamalkan dan menerapkan syariah-Nya secara kaffah.
Termasuk kewajiban memutuskan perkara dengan hukum-Nya. Sebagaimana yang telah Allah tegaskan dalam firman-Nya:
َูุฃَِู ุงุญُْูู ْ ุจََُْูููู ْ ุจِู َุง ุฃَْูุฒََู ุงَُّููู ََููุง ุชَุชَّุจِุนْ ุฃََْููุงุกَُูู ْ َูุงุญْุฐَุฑُْูู ْ ุฃَْู َْููุชَُِููู ุนَْู ุจَุนْุถِ ู َุง ุฃَْูุฒََู ุงَُّููู ุฅََِْููู َูุฅِْู ุชَََّْูููุง َูุงุนَْูู ْ ุฃََّูู َุง ُูุฑِูุฏُ ุงَُّููู ุฃَْู ُูุตِูุจَُูู ْ ุจِุจَุนْุถِ ุฐُُููุจِِูู ْ َูุฅَِّู َูุซِูุฑًุง ู َِู ุงَّููุงุณِ ََููุงุณَُِููู
”Hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan. Janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Berhati-hatilah engkau terhadap mereka. Jangan sampai mereka memalingkan engkau dari sebagian wahyu yang telah Allah turunkan kepadamu” (Q.S. al-Maidah [5]: 49).
Dalam ayat tersebut, Allah memerintahkan Rasulullah agar memutuskan perkara berdasarkan hukum yang telah diturunkan kepada beliau. Perintah tersebut juga berlaku bagi umatnya.
Pengertian dari ayat ini, yakni hendaknya umat Islam mewujudkan seorang hakim (penguasa) sepeninggal Rasulullah untuk memutuskan perkara menurut hukum-hukum Allah.
َูู َْู ุฃَุนْุฑَุถَ ุนَْู ุฐِْูุฑِู َูุฅَِّู َُูู ู َุนِูุดَุฉً ุถًَْููุง ََููุญْุดُุฑُُู َْููู َ ุงَِْูููุงู َุฉِ ุฃَุนْู َู
“Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat nanti dalam keadaan buta” (Q.S. Thaha [20]: 124).
Menurut Imam Ibnu Katsir, makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah “menyalahi perintah-Ku dan apa saja yang telah Aku turunkan kepada Rasul-Ku, melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya.” (Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, V/323).
Adapun kehidupan yang sempit di dunia tidak lain adalah kehidupan yang semakin melarat, miskin, sengsara, menderita, terjajah, teraniaya, tertindas dan sebagainya.
Sebagaimana yang terjadi di negara-megara muslim saat ini. Oleh karena itu, kondisi buruk ini tentu tak boleh terus berlangsung. Kaum muslim harus segera mewujudkan ketaatan penuh dengan menerapkan syariah Islam secara kaffah.
Demikian sebagaimana yang Allah inginkan dalam firman berikut:
َูุงุฃََُّููุง ุงَّูุฐَِูู ุขู َُููุง ุงุฏْุฎُُููุง ِูู ุงูุณِّْูู ِ َูุงَّูุฉً ََููุง ุชَุชَّุจِุนُูุง ุฎُุทَُูุงุชِ ุงูุดَّْูุทَุงِู ุฅَُِّูู َُููู ْ ุนَุฏٌُّู ู ُุจٌِูู
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian mengikuti langkahlangkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagi kalian” (Q.S. al-Baqarah [2]: 208).
Mari terus gelorakan perjuangan penerapan syariah Islam kaffah dalam sistem Islam, sebagai wujud ketaatan total kita kepada Allah dan Rasul-Nya.
0 Response to " Ketaatan Pada Syariah Allah"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak