Mengenal Nasab
1. Definisi Nasab
Secara etimologis, kata nasab berasal dari bahasa Arab‚ an-nasab yang artinya‚ keturunan, kerabat. Nasab juga dipahami sebagai pertalian kekeluargaan berdasar hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan yang sah.
Secara terminologis, istilah nasab adalah keturunan atau ikatan keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah (bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya) ke bawah (anak, cucu, dan seterusnya) maupun kesamping (saudara, paman, dan lain sebagainya).
Dalam Alquran, kata nasab disebut di tiga tempat, yaitu dalam surah al-Mu’minun ayat 101 dalam bentuk jamak (ansab), dan dalam surah al-Saffat ayat 158 dan al-Furqan ayat 54, masing-masing dalam bentuk mufrad (nasab).
Surah Al-Mu'minun 101
َูุงِุฐَุง ُِููุฎَ ِูู ุงูุตُّْูุฑِ ََููุงٓ ุงَْูุณَุงุจَ ุจََُْูููู ْ َْููู َِูุٕฐٍ ََّููุง َูุชَุณَุงุۤกََُْููู
Artinya : Apabila sangkakala ditiup maka tidak ada lagi pertalian keluarga di antara mereka pada hari itu (hari Kiamat), dan tidak (pula) mereka saling bertanya.
Surah Al-Saffat ayat 158
َูุฌَุนَُْููุง ุจََْูููٗ َูุจََْูู ุงْูุฌَِّูุฉِ َูุณَุจًุง َََูููุۗฏْ ุนَِูู َุชِ ุงْูุฌَِّูุฉُ ุงَُِّููู ْ َูู ُุญْุถَุฑَُْููۙ
Berkaitan dengan hal ini, seorang ayah dilarang untuk mengingkari keturunannya. Karena mengingkari nasab ini mengakibatkan bahaya yang besar, dan bisa menimbulkan aib yang buruk bagi anak dan istrinya tersebut.
Dan haram bagi wanita menisbahkan atau membangsakan seorang anak kepada seseorang yang bukan ayah kandung dari anak itu.
Keberadaan anak dalam keluarga merupakan sesuatu yang sangat berarti. Anak memiliki arti yang berbeda-beda bagi setiap orang tua.
Anak merupakan penyambung keturunan, sebagai investasi masa depan, dan anak merupakan harapan untuk menjadi sandaran di kala usia lanjut.
Anak dianggap sebagai modal untuk meningkatkan peringkat hidup sehingga dapat mengontrol status sosial orang tua.
Anak merupakan pemegang keistimewaan orang tua, waktu orang tua masih hidup, anak sebagai penenang dan sewaktu orang tua telah meninggal, anak adalah lambang penerus dan lambang keabadian.
Anak mewarisi tanda-tanda kesamaan dengan orang tuanya termasuk ciri khas baik maupun buruk, tinggi, maupun rendah. Anak adalah belahan jiwa dan potongan daging orang tuanya.
Begitu pentingnya eksistensi anak dalam kehidupan manusia, maka Allah Subhanahu Wa Ta'ala mensyariatkan adanya perkawinan.
Pensyariatan perkawinan memiliki tujuan antara lain untuk berketurunan (memiliki anak) yang baik, memelihara nasab, menghindarkan diri dari penyakit dan menciptakan keluarga yang sakinah.
Sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta'ala dalam surah ar-Rum ayat 21 yang berbunyi :
َูู ِْู ุงٰٰูุชِูٖٓ ุงَْู ุฎَََูู َُููู ْ ู ِّْู ุงَُْููุณُِูู ْ ุงَุฒَْูุงุฌًุง ِّูุชَุณُُْْูููุٓง ุงََِْูููุง َูุฌَุนََู ุจََُْูููู ْ ู ََّูุฏَّุฉً َّูุฑَุญْู َุฉً ุۗงَِّู ِْูู ุฐَِٰูู َูุงٰٰูุชٍ َِّْูููู ٍ َّูุชَََّููุฑَُْูู
Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
Dalam Fikih, seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah.
Sebaliknya anak yang terlahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah. Biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah.
Penetapan nasab seseorang berdampak besar terhadap seseorang tersebut, keluarganya dan masyarakat di sekitarnya, dan setiap seseorang hendaknya merefleksikannya dalam masyarakat, supaya terjadi kejelasan nasab dari seseorang tersebut.
Disamping itu, ketidakjelasan nasab dikhawatirkan bisa menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam perkawinan, misalnya perkawinan dengan mahram sendiri.
Itulah yang menyebabkan pelarangan menisbahkan nasabnya kepada seseorang yang bukan ayah kandungnya.
2. Sebab Terjadinya Nasab
Dalam hukum Islam, nasab dapat terjadi dari salah satu dari tiga sebab, yaitu:
- Dengan cara al-firash, yaitu kelahiran karena adanya perkawinan yang sah
- Dengan cara iqrar, yaitu pengakuan yang dilakukan oleh seorang ayah yang mengakui bahwa anak tersebut adalah anaknya
- Dengan cara bayyinah, yakni dengan cara pembuktian bahwa berdasar bukti-bukti yang sah bahwa seorang anak tertentu tersebut adalah anak dari seseorang (ayahnya).
Perkawinan diadakan, agar benar-benar dapat diketahui dengan pasti bahwa seseorang perempuan adalah isteri dari seorang laki-laki (suaminya).
Istri dilarang menghianati suaminya atau dengan kata-kata kiasan, dilarang menyirami tanaman suami dengan air orang lain.
Dengan demikian, anak-anak yang lahir dari perempuan tersebut, dalam hubungan perkawinan yang masih berlangsung, adalah benar-benar anak suaminya, tanpa memerlukan adanya pengakuan atau pernyataan dari ayahnya demikian pula tidak memerlukan adanya tuntutan ibu agar suami mengakui anak yang dilahirkannya adalah anaknya.
Sejatinya, seorang laki-laki baru dapat dinyatakan menjadi penyebab kehamilan dan melahirkannya seorang ibu bila sperma si laki-laki bertemu dengan ovum si ibu atau yang dalam kitab fikih disebut ‘uluq.
Hasil pertemuan dua bibit itu menyebabkan pembuahan dan menghasilkan janin dalam rahim si ibu. Inilah penyebab hakiki hubungan kekerabatan antara seseorang anak dengan ayahnya. Hal tersebut tidak mungkin diketahui oleh siapapun kecuali Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Karena hukum harus didasarkan pada sesuatu yang nyata dan dapat diukur serta dipersaksikan maka dicarilah sesuatu hal yang nyata, yang dapat dipersaksikan dan yang menimbulkan anggapan kuat bahwa sebab hakiki yang disebutkan di atas terdapat padanya.
Sesuatu hal yang nyata yang dijadikan sebab hakiki yang tidak nyata itu, dikalangan ulama usul fiqih disebut‚ mazhinnah atau rechvermoeden.
Dalam hubungan kekerabatan tersebut di atas yang dapat dijadikan mazhinnah-nya adalah akad nikah yang sah, yang telah berlaku antara seorang laki-laki dan ibu yang melahirkan anak tersebut. Selanjutnya, akad nikah tersebut yang menjadi faktor penentu hubungan kekerabatan itu.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan kekerabatan berlaku antara seseorang anak dengan seseorang laki-laki sebagai ayahnya, bila anak tersebut lahir dari hasil atau akibat perkawinan yang berlaku antara si lakilaki dengan ibu yang melahirkannya.
Hal ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Sayyid Sabiq, yang berbunyi :
ุงِุจُْู ุดَุฑْุนِู َُูู ุงْูู َُْْูููุฏُ َูุชِุฌَุฉُ ุฑََูุงุฌِ ุงูุดَّุฑْุนِู
Artinya : Anak yang sah dalam pandangan shara’ adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah secara shara.
Sesuai dengan teori fikih di atas, ketentuan Pasal 43 ayat (1) UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 dan Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dan hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, telah sejalan dengan teori fikih yang bersifat universal.
3. Cara Menentukan Nasab
Penetapan nasab anak dalam perspektif Islam memiliki arti yang sangat penting, karena dengan penetapan itulah dapat diketahui hubungan nasab antara anak dengan ayahnya.
Disamping itu, penetapan nasab itu merupakan hak pertama seorang anak ketika sudah terlahir ke dunia yang harus dipenuhi.
Dalam Fikih, seorang anak dapat dikatakan sah memiliki hubungan nasab dengan ayahnya jika terlahir dari perkawinan yang sah.
Sebaliknya anak yang terlahir di luar perkawinan yang sah, tidak dapat disebut dengan anak yang sah. Biasa disebut dengan anak zina atau anak di luar perkawinan yang sah (anak luar nikah).
Untuk melegalisasi status anak yang sah, ada empat syarat yang harus dipenuhi, antara lain yaitu:
1. Kehamilan bagi seorang istri bukan hal yang mustahil, artinya normal dan wajar untuk hamil. Ini adalah syarat yang disetujui oleh mayoritas Ulama’ kecuali Imam Hanafi.
Menurutnya, meskipun suami istri tidak melakukan hubungan seksual, apabila anak lahir dari seorang istri yang dikawini secara sah, maka anak tersebut adalah anak sah.
2. Tenggang waktu kelahiran dengan pelaksanaan perkawinan sedikitnya enam bulan sejak perkawinan dilaksanakan. Tentang ini terjadi ijma’ para pakar hukum Islam sebagai masa terpendek dari suatu kehamilan.
3. Anak yang lahir terjadi dalam waktu kurang dari masa sepanjang kehamilan. Tentang hal ini masih dipersilihkan oleh para pakar hukum Islam.
Madzhab Hanafi berpendapat bahwa batas maksimal kehamilan adalah dua tahun, berdasarkan ungkapan A’isyah RA. yang menyatakan bahwa, kehamilan seorang wanita tidak akan melebihi dua tahun.
Sedangkan Madzhab Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa masa kehamilan adalah empat Tahun. Alasanya karena sesuatu yang tidak ada dalilnya dikembalikan pada kenyataan atau realita yang ada.
Dan terbukti ada masa kehamilan yang mencapai empat tahun. Kaum wanita Bani Ajlan juga menjalani masa kehamilan selama empat tahun, sebagaimana diterangkan oleh Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
Pendapat yang dilontarkan oleh ketiga madzhab tersebut berbeda dengan pendapat madzhab Maliki. Menurutnya, batas maksimal kehamilan adalah lima Tahun.
Pendapat ini didukung oleh Al-Laith bin Said dan Ibad bin Al-Awwam. Bahkan menurut cerita Malik, suatu ketika ada seorang wanita hamil yang datang kepadanya sambil mengatakan bahwa masa kehamilannya mencapai 7 Tahun.
4. Suami tidak mengingkari anak tersebut melalui lembaga li’an. Jika seorang laki-laki ragu-ragu tentang batas minimal tidak terpenuhi dalam masa kehamilan atau batas maksimal kehamilan terlampaui, maka ada alasan bagi suami untuk mengingkari anak yang dikandung oleh istrinya dengan cara li’an.
Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan mengatakan bahwa nasab seseorang dapat ditetapkan melalui tiga cara :
1. Melalui nikah s}ahih atau fasid.
Ulama fikih sepakat bahwa nikah yang sah dan fasid merupakan salah satu cara dalam menetapkan nasab seseorang pada ayahnya
2. Melalui alat bukti atau saksi,
Dalam konteks ini ulama fiqih sepakat bahwa saksi harus benar-benar mengetahui sejarah dan keadaan anak yang dinasabkannya
3. Melalui pengakuan atau gugatan terhadap anak.
Ulama fikih membedakan antara pengakuan terhadap anak dan pengakuan selain anak, seperti saudara, paman, atau kakek.
Jika seorang lelaki mengakui bahwa seorang anak kecil adalah anaknya, atau sebaliknya seorang anak yang telah baligh (menurut jumhur ulama’) atau mummayiz (menurut madzhab Hanafi) mengakui seorang lelaki adalah ayahnya,
Maka pengakuan tersebut dapat dibenarkan dan dinasabkan kepada laki-laki tersebut apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Anak tidak jelas nasabnya, tidak diketahui ayahnya. Apabila ayahnya diketahui, maka pengakuan ini batal.
Ulama fikih sepakat bahwasanya apabila anak itu adalah anak yang tidak diakui ayahnya melalui li’an, maka tidak dibolehkan seseorang mengakui nasabnya, selain suami yang meli’annya.
2. Pengakuan tersebut harus rasional, misalnya dalam hal usia dan lainnya
3. Apabila anak tersebut membenarkan pengakuan laki-laki tersebut dengan catatan anak tersebut sudah baligh atau mummayiz
4. Lelaki yang mengaku tersebut menyangkal bahwa anak tersebut adalah hasil dari hubungan zina
4. Akibat Dari Hubungan Nasab
Implikasi dari adanya hubungan nasab akan menimbulkan adanya beberapa hubungan, yaitu :
1. Hubungan kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasab antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi yang disebabkan oleh kelahiran.
Kekerabatan itu merupakan sebab memperoleh hak mempusakai terkuat, dikarenakan kekerabatan itu termasuk unsur kausalitas adanya seseorang yang tidak dapat dihilangkan.
Berlainan halnya dengan perkawinan, ia merupakan hal baru dan dapat hilang, misalnya kalau ikatan perkawinan itu telah diputuskan.
Pada tahap pertama seseorang anak menemukan hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkanya. Seorang anak yang dilahirkan oleh seorang ibu mempunyai hubungan kerabat dengan ibu yang melahirkannya.
Hal ini bersifat alamiah dan tidak ada seorangpun yang membantah hal ini karena si anak jelas keluar dari rahim ibunya itu.
Pada tahap selanjutnya seseorang mencari hubungan pula dengan laki-laki yang menyebabkan ibunya itu hamil dan melahirkan.
Bila dapat dipastikan secara hukum bahwa laki-laki yang menikahi ibunya itu yang menyebabkan ibunya hamil dan melahirkan, maka hubungan kerabat berlaku pula dengan laki-laki itu.
Laki-laki itu kemudian disebut dengan ayahnya. Bila hubungan keibuan berlaku secara alamiah maka hubungan keayahan berlaku secara hukum.
2. Kewarisan
Salah satu misi syariat Islam adalah hizfun nasl, yakni terpeliharanya kesucian keturunan manusia sebagai pemegang amanah khalifah di muka bumi.
Hubungan darah (nasab) antara orang tua dan anak merupakan hubungan keperdataan yang paling kuat dan tidak dapat diganggu gugat oleh hubungan lain dari manapun. Di bidang kewarisan, kedudukannya tidak dapat dihijab (dihalangi) baik hirman maupun nuqshan.
Bahkan hubungan itu dalam pandangan agama dimungkinkan berlangsung sampai keluar batas kehidupan dunia, misalnya secara moral anak saleh merasa berkepentingan menyertakan do’a untuk keselamatan kedua orang tuanya di akhirat.
Alquran melukiskan kedekatan hubungan itu sebagaimana tercantum dalam surah al-Furqan ayat 54.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman dalam surah an-Nisa ayat 11:
ُْููุตُِْููู ُ ุงُّٰููู ِْููٓ ุงََْููุงุฏُِูู ْ ِููุฐََّูุฑِ ู ِุซُْู ุญَุธِّ ุงْูุงُْูุซََِْููู ۚ َูุงِْู َُّูู ِูุณَุงุۤกً ََْููู ุงุซَْูุชَِْูู َََُّูููู ุซُُูุซَุง ู َุง ุชَุฑََู ۚ َูุงِْู َูุงَูุชْ َูุงุญِุฏَุฉً َََูููุง ุงِّููุตُْู ۗ َِููุงَุจََِْููู ُِِّููู َูุงุญِุฏٍ ู ُِّْููู َุง ุงูุณُّุฏُุณُ ู ِู َّุง ุชَุฑََู ุงِْู َูุงَู َููٗ ََููุฏٌ ۚ َูุงِْู َّูู ْ َُْููู َّููٗ ََููุฏٌ ََّููุฑِุซَูٗٓ ุงَุจَُٰูู َِููุงُู ِِّู ุงูุซُُّูุซُ ۚ َูุงِْู َูุงَู َููٗٓ ุงِุฎَْูุฉٌ َِููุงُู ِِّู ุงูุณُّุฏُุณُ ู ِْูۢ ุจَุนْุฏِ َูุตَِّูุฉٍ ُّْููุตِْู ุจَِูุงٓ ุงَْู ุฏٍَْูู ۗ ุงٰุจَุงุۤคُُูู ْ َูุงَุจَْูุงุۤคُُูู ْۚ َูุง ุชَุฏْุฑَُْูู ุงَُُّููู ْ ุงَْูุฑَุจُ َُููู ْ َْููุนًุง ۗ َูุฑِْูุถَุฉً ู َِّู ุงِّٰููู ۗ ุงَِّู ุงَّٰููู َูุงَู ุนَِْููู ًุง ุญَِْููู ًุง
Artinya: Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.
3. Perwalian
Adanya wali dalam suatu pernikahan dianggap sangat penting, sebab suatu pernikahan menjadi tidak sah apabila tidak ada wali.
Sebagaimana disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 19, wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.
Amir Syarifuddin mengatakan bahwa secara umum, wali adalah seseorang yang karena kedudukannya berwenang untuk bertindak terhadap dan atas nama orang lain, sedangkan wali dalam perkawinan adalah seseorang yang bertindak atas nama mempelai perempuan dalam suatu akad nikah.
Dalam hal ini seseorang yang dalam urutan awal menjadi wali bagi seorang perempuan yang hendak menikah adalah wali dari jalur nasab.
Karena nasab merupakan hubungan yang paling erat dan dekat hingga dapat menimbulkan hak-hak yang sedemikian rupa. Sedangkan dalam Alquran yang mengisyaratkan tentang perwalian ada dalam surah al-Baqarah ayat 232 :
0 Response to "Mengenal Nasab"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak