Sejarah Ilmu Bahasa Dan Sastra
Sejarah Bahasa
Mendengar kata sejarah menjadi momok karena mengandung gagasan bahwa mempelajari topik tersebut berarti harus menghafal atau mendengar ceramah tentang berbagai peristiwa di masa lalu.
Hanya dengan mengetahui sejarah di masa lalu, kita tahu apa yang harus kita lakukan kini. Salah satu jargon Bapak Revolusi Indonesia, Bung Karno, “Jas Merah! Jangan pernah melupakan sejarah!” seharusnya mampu menjiwai perjalanan kita mempelajari sejarah.
Apakah sebenarnya sejarah itu? Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa sejarah adalah kejadian dan peristiwa yang benarbenar terjadi pada masa lampau.
Itu sebabnya menyajikan sejarah merupakan upaya untuk menyampaikan apa yang terjadi di masa lampau.
Pergantian generasi yang terjadi terus menerus menjadikan upaya menyajikan sejarah menjadi aktivitas yang sangat menarik dan penuh kepentingan.
Jika sejarah merepresentasikan realitas, bisa jadi apa yang kita pahami tentang suatu peristiwa berbeda dari versi umum yang dirilis oleh pemerintah, atau versi resmi.
Hal semacam ini pernah terjadi dalam salah satu peristiwa bersejarah dalam dunia sastra Indonesia, yaitu polemik antara golongan Manifes Kebudayaan dengan kelompok Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang terjadi pada kurun waktu 1960-an.
Kedua kelompok merekam peristiwa tersebut melalui berbagai buku dengan versi yang berbeda-beda. Bahkan, polemik tersebut, yang diyakini juga berujung pada hilangnya nyawa orang-orang yang tidak seideologi dengan salah satu kelompok, cukup meyakinkan kita bahwa sejarah tak mungkin dipahami hanya dengan satu versi realitas.
Kenyataan menunjukkan bahwa semakin banyak pelaku sejarah, semakin bervariasi pula versi yang muncul.
Dengan demikian, kita perlu memahami sifat asal sejarah, yaitu fleksibel, menyesuaikan dengan kepentingan para pemiliknya.
Ini berarti, tak ada satu versi tunggal terhadap sejarah. Yang mengapung hadir ke permukaan pembaca dan pendengar adalah versi pemilik peristiwa tersebut.
Pengertian Sejarah Bahasa
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) di era globalisasi saat ini berdampak besar terhadap cara berpikir manusia.
Dampak positif yang terjadi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah ‘spirit perubahan’ pola berpikir manusia yang harus berjalan maju.
Dalam hal ini, pola berpikir manusia dalam mempelajari tentang ‘sesuatu hal’ yang bersifat menjangkau ke masa depan.
Dampak negatifnya, adalah manusia bisa dipastikan sedikit demi sedikit akan mengikiskan pola berpikir ke belakang.
Artinya, sedikit demi sedikit manusia bisa dipastikan akan segera ‘melupakan’, semacam ada penurunan ketertarikan untuk mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang berkaitan tentang sejarah.
Pendidikan di Indonesia bisa dipastikan tidak ada pembahasan materi pembelajaran yang membahas sejarah nasional tentang sejarah bahasa Indonesia.
Dengan demikian, bisa dipastikan masyarakat Indonesia yang setiap harinya hampir secara keseluruhan aktif menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi, akan terkesan kurang bijak jika tidak mengetahui sejarah bahasanya sendiri.
Oleh karena itu, untuk menumbuhkembangkan jiwa nasionalisme, kali ini kita semua perlu mempelajari dan memahami tentang sejarah bahasa Indonesia.
Kata ‘Indonesia’, pertama kali dilontarkan oleh salah seorang tokoh kebangsaan Inggris bernama George Samuel Earl, dengan menyebut kata ‘Indunesia’ pertama kali untuk menamai gugusan pulau di Lautan Hindia.
Namun, para ilmuwan berkebangsaan Eropa lebih sering menyebut dengan kata ‘Melayunesia’. Sejarah dunia mencatat, bahwa dalam majalah Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (Volume IV, 1850:254)
Seorang tokoh Inggris bernama J.R. Logan, menyebut gugusan pulau di Lautan Hindia dengan kata ‘Indonesian’.
Kemudian, seiring berjalannya waktu, oleh tokoh berkebangsaan Jerman yang bernama Adolf Bastian, dan dalam bukunya yang berjudul Indonesian Order die Inseln des Malaysichen Archipel
Ia menyebut kata ‘Indonesia’ untuk menamai gugusan pulau yang bertebaran di Lautan Hindia. Dan, kata ‘Indonesia’ inilah yang kemudian dipakai sebagai nama negara yang berada di kawasan Asia Tenggara, yang berpenduduk lebih dari 270-an juta jiwa.
Apabila kita ingin membicarakan tentang sejarah Bahasa Indonesia, pastinya kita juga akan membicarakan bahasa Melayu sebagai sumber (akar) sejarah bahasa Indonesia.
Sudah menjadi catatan sejarah nasional, bahwa bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu, yang sejak dulu sudah dipakai sebagai bahasa penghubung (lingua franca) di hampir seluruh kawasan Asia Tenggara.
Pertanyaan awal yang pasti muncul di benak kita adalah kapan sebenarnya bahasa Melayu mulai dipergunakan sebagai alat komunikasi.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa berbagai batu tertulis (prasasti) kuno yang ditemukan, seperti :
1. Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, tahun 683;
2. Prasasti Talang Tuo di Palembang, tahun 684;
3. Prasasti Kota Kapur di Bangka Barat, tahun 686; dan
4. Prasasti Karang Brahi antara Jambi dan Sungai Musi, tahun 688,
Yang bertulis Pra-Nagari dan bahasanya Melayu Kuno, memberi petunjuk kepada kita bahwa bahasa Melayu dalam bentuk Melayu Kuno sudah dipakai sebagai alat komunikasi pada zaman Sriwijaya.
- Bahasa Melayu merupakan lingua franca di Indonesia, bahasa perhubungan, dan bahasa perdagangan,
- Sistem bahasa Melayu sederhana, mudah dipelajari, karena bahasa Melayu tidak dikenal tingkatan bahasa, seperti dalam bahasa Jawa (ada ngoko, kromo) atau perbedaan bahasa kasar dan halus, seperti dalam bahasa Sunda (kasar, lemes),
- Suku-suku di Indonesia sangat menerima dengan sukarela bahasa Melayu dijadikan sebagai bahasa negara Indonesia (sebagai bahasa nasional),
- Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti yang lebih luas.
Bahasa Indonesia harus dapat menjadi sebuah instrumen dalam melakukan komunikasi utama di Indonesia.
Melihat keadaan tersebut, berbagai stakeholder harus mempunyai inovasi agar Bahasa Indonesia dapat senantiasa beradaptasi mengikuti perkembangan zaman agar bahasa Indonesia memiliki kedaulatannya tersendiri di Negara Indonesia.
Upaya untuk terus menjaga dan mengembangkan Bahasa Indonesia dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu cara untuk terus menjaga dan mengembangkan bahasa Indonesia, yaitu dengan diadakannya beberapa kongres bahasa Indonesia.
- Lambang kebanggaan nasional;
- Lambang identitas nasional;
- Alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berlatar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda,
- Alat perhubungan antar daerah dan antar budaya.
Dilandasi hal tersebut, sudah sepatutnya bahasa Indonesia dilestarikan dengan seutuhnya. Begitu pula dengan kebanggaan individu untuk berbahasa Indonesia agar senantiasa memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.
Sehingga terwujud sikap positif bangsa Indonesia terhadap bahasanya sendiri. Untuk itu kesadaran akan kaidah pemakaian bahasa Indonesia harus selalu ditingkatkan.
Pandangan-Pandangan dalam Penulisan Sejarah Bahasa
Pada zaman penjajahan Belanda pada awal abad ke-20, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda melihat pegawai pribumi memiliki kemampuan memahami bahasa Belanda yang sangat rendah.
Hal itu yang menyebabkan pemerintah kolonial Belanda ingin menggunakan bahasa Melayu untuk mempermudah komunikasi antar pegawai pribumi, yakni dengan patokan bahasa Melayu Tinggi yang sudah mempunyai kitab-kitab rujukan.
Sarjana Belanda mulai membuat standardisasi bahasa, mereka mulai menyebarkan bahasa Melayu yang mengadopsi ejaan Van Ophusijen dari Kitab Logat Melayu.
Penyebaran bahasa Melayu secara lebih luas lagi dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) pada tahun 1908.
Pada 1917 namanya diganti menjadi Balai Poestaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
Pada 16 Juni 1927, saat sidang Volksraad (Rapat Dewan Rakyat), Jahja Datoek Kajo pertama kalinya menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya. Di sinilah bahasa Indonesia mulai berkembang.
Pada 28 Oktober 1928, Muhammad Yamin mengusulkan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua.
Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai “bahasa persatuan bangsa” pada saat Sumpah Pemuda.
Problematika Penulisan Sejarah Bahasa
Ada pertemuan rutin yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali oleh pemerintah dan para pakar bahasa untuk membahas perkembangan bahasa Indonesia, Pertemuan rutin ini dinamakan kongres bahasa Indonesia.
Kongres-kongres ini begitu pentingnya bagi sejarah kemajuan bahasa Indonesia pada umumnya. Oleh karena dengan adanya kongres bahasa Indonesia, bahasa Indonesia menjadi lebih kompleks kosakatanya, menjadi lebih mantap dalam membakukan kata atau dalam penyerapan bahasa asing.
Hal itu terjadi dan dibahas dalam kongres bahasa Indonesia. Berikut ini kongres bahasa Indonesia yang sudah dilaksanakan.
1. Kongres Bahasa Indonesia I (Pertama)
Kongres bahasa Indonesia yang pertama dilaksanakan di Kota Solo, Jawa Tengah, yakni pada tanggal 25 - 28 Juni tahun 1938.
Kongres pertama ini menghasilkan simpulan yang intinya usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia pada waktu itu.
Kemudian, pada 18 Agustus 1945 ditandatangani Undang-Undang Dasar 1945, pada Pasal 36 menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
Diresmikannya penggunaan Ejaan Republik sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya, peresmian ini terjadi pada tanggal 19 Maret 1947.
2. Kongres Bahasa Indonesia II
Kongres bahasa Indonesia yang kedua dilaksanakan di Kota Medan, Sumatra Utara, pada 28 Oktober - 1 November 1954.
Kongres bahasa Indonesia ini merupakan sebuah perwujudan tekad yang kuat dari bangsa Indonesia untuk terus dan terus menyempurnakan bahasa Indonesia yang dijadikan kebanggaan bagi bangsa Indonesia.
Presiden H.M. Soeharto yang waktu itu menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia pada 16 Agustus 1972, meresmikan penggunaan Ejaan yang Disempurnakan (EYD) melalui sarana pidato kenegaraan pada sidang DPR yang dikokohkan dengan adanya Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 31 Agustus 1972, menetapkan Pedoman Umum Bahasa Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
3. Kongres Bahasa Indonesia III
Kongres bahasa Indonesia ketiga dilaksanakan di ibu kota Jakarta, pada 28 Oktober - 2 November 1978.
Simpulan pada kongres bahasa yang ketiga ini adalah memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 yang memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak tahun 1928 dan berusaha terus untuk memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
4. Kongres Bahasa Indonesia IV
Kongres bahasa Indonesia keempat diselenggarakan di Jakarta, dari 21 - 26 November 1983.
Bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda yang ke-55 disebutkan dalam keputusannya bahvva pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan
Sehingga amanat yang tercantum di dalam GBHN, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar tercapai semaksimal mungkin.
5. Kongres Bahasa Indonesia V
Kongres bahasa Indonesia yang kelima dilaksanakan di Jakarta, pada 28 Oktober - 3 November 1988.
Kongres bahasa yang kelima ini dihadiri oleh tujuh ratusan pakar bahasa Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Hadir juga tamu undangan yakni perwakilan dari negara Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia.
Pada kongres ini dipersembahkan pula sebuah karya besar dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pecinta bahasa di bumi Nusantara, yakni sebuah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
6. Kongres Bahasa Indonesia VI
Kongres bahasa Indonesia yang keenam dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28 Oktober - 2 November 1993 sebanyak 770 peserta dari Indonesia hadir dalam konggres bahasa keenamini.
Dalam hal ini tidak ketinggalan 53 peserta dari berbagai negara juga ikut sebagai tamu, yakni negara Brunei Darusalam, Australia, Jepang, Rusia, Hongkong, India, Jerman, Singapura, Amerika Serikat, dan Korea Selatan.
Simpulan dari kongres ini adalah pengusulan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Indonesia ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, di samping mengusulkan disusunnya Undang- Undang Bahasa Indonesia.
7. Kongres Bahasa Indonesia VII
Kongres bahasa Indonesia ketujuh dilaksanakan di Hotel Indonesia, Jakarta, yakni pada 26 - 30 Oktober 1998. Simpulan dari kongres bahasa yang ke tujuh ini adalah pengusulan agar segera dibentuk Badan Pertimbangan Bahasa Indonesia.
8. Kongres Bahasa Indonesia VIII
Kongres bahasa Indonesia kedelapan diselenggarakan di Jakarta, yakni pada 14 - 17 Oktober 2003.
Pada kongres bahasa kali ini para pakar dan pemerhati bahasa Indonesia menyimpulkan bahwa berdasarkan Kongres Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 yang menyatakan bahwa para pemuda memiliki satu bahasa, yakni bahasa Indonesia, bulan Oktober dijadikan bulan bahasa.
Agenda pada bulan bahasa adalah berlangsungnya seminar bahasa Indonesia di berbagai lembaga yang memperhatikan bahasa Indonesia.
9. Kongres Bahasa Indonesia IX
Kongres bahasa Indonesia kesembilan dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28 Oktober - 1 November 2008.
Kongres ini juga memperingati 100 tahun kebangkitan nasional, 80 tahun Sumpah Pemuda, dan 60 tahun berdirinya Pusat Bahasa.
Dalam hal ini dicanangkannya tahun 2008 sebagai tahun bahasa, maka sepanjang tahun 2008 diadakan kegiatan kebahasaan dan kesastraan.
Sebagai puncaknya dari seluruh kegiatan kebahasaan dan kesastraan serta 80 tahun Sumpah Pemuda, diadakan kongres bahasa Indonesia IX.
Kongres ini membahas lima hal utama, yakni bahasa Indonesia, bahasa daerah, penggunaan bahasa asing, pengajaran bahasa dan sastra, serta bahasa media massa.
Kongres bahasa ini berskala internasional yang menghadirkan pembicara-pembicara dari dalam dan luar negeri.
Pakar bahasa dan sastra yang selama ini telah melakukan penelitian dan mengembangkan bahasa Indonesia di luar negeri diberi kesempatan untuk memaparkan pandangannya dalam Kongres Bahasa Indonesia IX ini.
10. Kongres Bahasa Indonesia X
Kongres bahasa Indonesia yang kesepuluh dilaksanakan di Jakarta, yakni pada 28 Oktober - 31 Oktober 2013.
Simpulan dari kongres bahasa yang kesepuluh adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), merekomendasikan hal-hal yang perlu dilakukan pemerintah.
Rekomendasi tersebut berdasarkan laporan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa serta paparan enam makalah pleno tunggal, diantaranya enam belas makalah sidang pleno panel, seratus empat makalah sidang kelompok yang tergabung dalam delapan topik diskusf panel, dan diskusi yang berkembang selama persidangan.
Sejarah Sastra
Sejarah sastra adalah ilmu yang mempelajari tentang perkembangan sastra secara kronologis dari waktu ke waktu.
Sastra merupakan bentuk kegiatan kreatif dan produktif dalam menghasilkan sebuah karya yang memiliki nilai rasa estetis serta mencerminkan realitas sosial kemasyarakatan.
Sumardjo & Saini, menyatakan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Berdasarkan hal-hal tersebut, berikut beberapa pengertian sejarah sastra. Luxemburg, dalam Pengantar Ilmu Sastra menjelaskan bahwa sejarah sastra ialah ilmu yang membahas periode-periode kesusastraan, aliran-aliran, jenis-jenis, pengarang-pengarang dan reaksi pembaca.
Sedangkan menurut Zulfanur Z.F. dan Sayuti Kurnia, Sejarah Sastra ialah ilmu yang mempelajari perkembangan sejarah suatu bangsa daerah, kebudayaan, jenis karya sastra, dan lain-lain.
Sejarah sastra, dengan demikian, merupakan pengetahuan yang mencakup uraian deskriptif tentang fungsi sastra dalam masyarakat, riwayat para sastrawan, riwayat pendidikan sastra, sejarah munculnya genre-genre sastra, kritik, perbandingan gaya, dan perkembangan kesusastraan.
Untuk memperjelas istilah, sejarah sastra perlu dibatasi untuk membedakan dengan studi yang lain. Peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi termasuk ke dalam fakta.
Dengan kata lain, sejarah sastra mengkaji data berupa fakta-fakta sastra yang terjadi di masa lampau dengan kajian data melalui dua media yaitu berupa fakta tertulis dan fakta lisan.
Fakta tertulis berasal dari media-media tulis seperti surat kabar dan buku-buku sastra. Sedangkan fakta-fakta lisan berasal dari pelaku atau sumber yang dekat dengan pelaku sastra. Sastra adalah karya estetis imajinatif yang sulit untuk didefinisikan secara penuh.
Hal ini mengingat perkembangan teori sastra mengikuti perkembangan kreasi sastra yang konvensinya selalu berkembang dan berubah.
Akan tetapi, jika dijabarkan karya sastra meliputi beberapa hal khusus yang membedakan dari bidang lain. Berdasarkan pengertian tersebut, sejarah sastra Indonesia, secara khusus, adalah studi sastra yang mengungkap rangkaian
kejadian-kejadian dalam periode-periode perkembangan kesusastraan Indonesia perkembangan terakhir. Selanjutnya, mulaikelahiran sampai dalam pembabakan kesusastraan Indonesia terdapat dua hal yang terkadang rancu dan membingungkan, yaitu pembagian berdasarkan lahirnya angkatan sastra dan periodisasi dalam sastra.
Pembagian yang lazim dilakukan adalah dengan membagi babak-babak dalam kesusastraan Indonesia berdasarkan angkatan yang terfokus pada pengarang tertentu yang memfokuskan pada pengarang-pengarang yang berperan pada angkatan tersebut.
Pengertian Sejarah Sastra
Untuk memperjelas istilah, sejarah sastra perlu dibatasi untuk membedakan dengan studi yang lain.
Secara umum sejarah berarti peristiwa dan kejadian yang benar-benar terjadi pada masa lampau (KBBI, 1999: 891). Peristiwa atau kejadian yang benar-benar terjadi itu adalah fakta.
Dengan kata lain sejarah sastra mengkaji data berupa faktafakta sastra dengan dua media yaitu berupa fakta tertulis dan fakta lisan.
Fakta tertulis berasal dari media-media tulis seperti surat kabar dan buku-buku sastra sedangkan fakta-fakta lisan berasal dari pelaku atau sumber yang dekat dengan pelaku sastra.
Sastra adalah karya estetis dan imajinatif yang sulit untuk didefinisikan secara penuh. Hal ini mengingat perkembangan teori sastra mengikuti perkembangan kreasi sastra yang konvensinya selalu berkembang dan berubah.
Akan tetapi, jika dijabarkan karya sastra meliputi beberapa hal khusus yang membedakan dari bidang lain.
Sastra adalah ekspresi estetis-imajinatif dari seorang individu yang dimaksudkan untuk menyampaikan ide atau tanggapan terhadap lingkungannya.
Dari dua komponen definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa sejarah sastra adalah sejarah 4 perkembangan sastra yang terdiri atas rangkaian peristiwa dalam periode-periode perkembangan sastra suatu bangsa mulai lahir sampai perkembangan terakhir.
Berdasarkan pengertian tersebut, sejarah sastra Indonesia, secara khusus, adalah studi sastra yang mengungkap rangkaian kejadian-kejadian dalam periode-periode perkembangan kesusastraan Indonesia perkembangan terakhir.
Kedudukan dan Cakupan Sejarah Sastra
Sejarah sastra bagian dari ilmu sastra. Ilmu sastra adalah ilmu yang mempelajari tentang sastra dengan berbagai permasalahannya. Di dalamnya mencakup teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra.
Ketiga bagian ilmu sastra tersebut saling berkaitan. Teori sastra tidak dapat dilepaskan dari sejarah sastra dan kritik sastra demikian pula sebaliknya.
Sejarah sastra adalah ilmu yang memperlihatkan perkembangan karya sastra dari waktu ke waktu, para penulis memilih karya-karya yang menonjol, karya-karya puncak dalam suatu kurun waktu, ciri-ciri dari setiap kurun waktu perkembangannya, peristiwaperistiwa yang terjadi seputar masalah sastra.
Untuk dapat melihat karya sastra yang menonjol dan merupakan karya-karya puncak kurun waktu tertentu sejarah sastra perlu melibatkan kritik sastra. Sedangkan ciri-ciri dan sifat karya sastra pada suatu waktu dapat diketahui melalui teori sastra.
Dengan demikian sejarah sastra sangat penting untuk kritik sastra, kalau kritik hendak bergerak lebih jauh dari sekadar pernyataan suka dan tidak suka.
Seorang kritikus yang peduli pada hubungan sejarah akan meleset penilaiannya. Ia tidak akan tahu apakah karya itu asli atau tiruan. Dan karena buta sejarah, ia cenderung salah dalam pemahamannya atas karya sastra.
Kritikus yang tidak dibekali pengetahuan sejarah yang cukup cenderung membuat tebakan yang sembarangan, atau berpuas diri dengan pengalamannya membaca atau “bertualang di antara mahakarya”.
Dalam mempelajari teori sastra, sejarah sastra suatu bangsa dan suatu daerah tidak dapat ditinggalkan, karena timbulnya suatu teori sastra berangkat dari kehidupan masyarakat yang dicerminkan dalam karya sastra.
Demikian juga yang berkaitan dengan kritik sastra. Kritik sastra yang dilakukan seseorang tidak terlepas dari teori dan sejarah suatu bangsa, suatu daerah, dan lain-lain.
Tumbuhnya berbagai pendekatan dalam kritik sastra juga tidak dapat terlepas sejarah perkembangan kesusastraan.
Periode-periode perkembangan dalam kritik sastra bersamaan dengan periode-periode kesusastraan itu sendiri.
Sejarah sastra mempunyai cakupan yang luas dan kompleks, meliputi sejarah sastra sebuah bangsa atau nasional. Pengertian nasional ditandai dengan batas suatu negara.
Jadi, sejarah sastra Amerika dan Inggris walaupun sama-sama menggunakan bahasa Inggris, adalah dua hal yang berbeda.
Sejarah sastra sebuah bangsa yang lainnya mencakup, sejarah sastra Indonesia, Cina, Jepang, Mesir dan- lain.
Sejarah sastra suatu daerah mencakup berbagai sastra yang hadir di nusantara seperti sastra Sunda, Jawa, Bali, Aceh, Lombok, dan Bugis.
Sejarah sastra daerah apabila dikaitkan dengan kebudayaan nasional merupakan unsur kebudayaan yang memperkuat dan memperkaya kebudayaaan nasional. Ciri yang muncul pada sastra daerah adalah penggunaan bahasa daerah.
Beberapa pengarang Indonesia seperti Ajip Rosidi selain menulis dalam bahasa Indonesia beberapa karangannya terutama pada awal kepenulisannya juga menggunakan bahasa daerahnya, yaitu bahasa Sunda.
Sejarah sastra suatu kebudayaan seperti sejarah sastra klasik, romantik, dan renaissance. Sejarah sastra suatu kebudayaan berlangsung pada sejarah sastra di Barat yang pengaruhnya terasa juga dalam perkembangan sastra Indonesia.
Pengarang-pengarang yang karyanya diterbitkan Balai Pustaka dan muncul pada Majalah Pujangga Baru umumnya bercorak romantisme.Sedangkan cakupan sejarah sastra lainnya ialah sejarah sastra jenis karya sastra meliputi sejarah perkembangan puisi, novel, drama, esai dan lain-lain.
Beberapa penulisan tentang sejarah sastra berdasarkan jenis karya sastra diantaranya Perkembangan Novel-novel Indonesia oleh Umar Junus (1974)¸ Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern oleh Umar Junus (1984), Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia oleh Jacob Sumardjo (1997).
Penulisan sejarah sastra dapat juga mencakup penulisan tentang sejarah kepengarangan seseorang sejak awal penulisan sampai pada perkembangannya terakhir.
Misalnya sejarah kepengarangan Nur Sutan Iskandar, Sejarah Kepengarangan Sutan Takdi Alisjahbana, Sejarah Kepengarangan Hamka, Sejarah Kepengarangan Chairil Anwar dan sebagainya. Sejarah Sastra juga dapat mencakup sejarah pembelajaran sastra di sekolah.
Hal yang bisa digali dalam penulisan tersebut diantaranya ialah sejak kapan sastra masuk ke sekolah, bagaimana kurikulum sastra yang digunakan pada waktu dulu sampai sekarang, bagaimana metode pengajarannya, dan apakah guru-guru pengajar memiliki kompetensi mengajar sastra atau tidak.
Pandangan-pandangan dalam Penulisan Sejarah Sastra
Sejarah sastra dapat ditulis berdasarkan berbagai perspektif. Yudiono K.S merujuk artikel Sapardi Djoko Damono “Beberapa Catatan tentang Penulisan Sejarah Sastra” (tahun 2000),
Bahwa penulisan sejarah sastra Indonesia dapat didasarkan pada perkembangan stilistik, tematik, ketokohan, atau konteks sosial, yang semuanya merupakan sarana menempatkan sastra sedemikian rupa
Sehingga memiliki makna bagi masyarakatnya, terkait dengan berbagai permasalahan yang dihadapi oleh masyarakatnya.
Sebuah kajian sastra misalnya dapat berangkat dari persoalan proses kreatif, atau persoalan distribusi, atau proses publikasi suatu karya, bahkan tanggapan pembaca terhadap karya tersebut.
Novel semacam Siti Nurbaya karya Marah Rusli menjadi penting disebutkan dalam sejarah sastra Indonesia karena telah 20 kali cetak.
Sehingga dapat dipermasalahkan berapa tiras setiap kali terbit, berapa royaltinya, siapa ahli warisnya, apakah terjadi perubahan teks, dan bagaimana sambutan pembaca. Namun, pengajaran sastra juga dapat dijadikan salah satu aspek sejarah sastra.
Bagaimanapun menuliskan sejarah sastra dari perspektif pengajaran sastra akan menunjukkan bahwa sastra merupakan bidang ilmu yang terus berkembang, mengikuti perkembangan mutakhir dalam bidang tersebut.
Menuliskan sejarah sastra berdasarkan karya-karya yang muncul di koran dan majalah kesusastraan yang bermunculan sejak lahirnya media ini di zaman kolonial juga dapat menjadi tantangan lain bagi para pemerhati sastra, baik akademisi maupun non akademisi.
Problematika Penulisan Sejarah Sastra
Penulisan Sejarah Sastra dengan demikian memiliki aspek yang beragam sehingga jika ditulis hanya berdasarkan satu perspektif akan menunjukkan betapa kurangnya gambaran yang dapat kita peroleh dari penulisan semacam itu.
Penulisan sejarah sastra sangatlah rumit dan kompleks. Hal itu disebabkan karena batasan atau pengertian sastra Indonesia sangat kabur.
Banyak pendapat dari berbagai pakar beserta argumen-argumennya yang menjelaskan awal dari sastra Indonesia. Hal itu menyebabkan titik tolak awal perkembangan kesusastraan Indonesia pun berbeda pula.
Perbedaan tersebut juga dalam memandang setiap peristiwa atau persoalan yang kaitannya dengan kehidupan sastra.
Akibatnya sebuah peristiwa dalam pandangan seorang penulis dianggap penting sehingga harus dimasukkan dalam sejarah kesusastraaan Indonesia.
Tetapi penulis lain dapat beranggapan berbeda sehingga peristiwa tersebut tidak perlu menjadi catatan dalam Perkembangan Kesusastraan Indonesia.
Beberapa peristiwa berkenaan dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan beberapa pengarangnya tidak pernah dibicarakan ataupun kalau dibicarakan hanya mendapat porsi yang kecil oleh para penulis dan pemerhati sejarah sastra Indonesia.
Kesulitan lainnya ialah walaupun usia sastra Indonesia belum sepanjang sastra negara lain tetapi objek karya sangat berlimpah.
Penelitian Ersnt Ulrich Kratz mencatat 27.078 judul karya sastra dalam majalah berbahasa Indonesia yang terbit tahun 1922 -1982 (dalam Bibliografi Karya Sastra Indonesia yang terbit di koran dan majalah).
Pamusuk Eneste mencatat dalam Bibliografi Sastra Indonesia terdapat 466 judul buku novel, 348 judul kumpulan cerpen, 315 judul buku drama, dan 810 judul buku puisi.
Sedangkan A. Teeuw mencatat, selama hampir 50 tahun (1918-1967), Kesusastraan modern Indonesia asli hanya ada 175 penulis dengan sekitar 400 buah karya.
Jika dihitung sampai tahun 1979, sebanyak 284 penulis dan 770 buah karya. Hal di atas belum termasuk karya yang tersebar di koran, majalah, lebih-lebih yang terbit pada masa silam.
Jakob Sumardjo memberikan gambaran bahwa sejak Merari Siregar menulis Azab dan Sengsara (1919) sampai 1986 telah dihasilkan 1.335 karya sastra yang berupa kumpulan cerpen, kumpulan puisi, roman, atau novel, drama, terjemahan sastra asing dan kritik serta esai sastra.
Tercatat juga 237 nama sastrawan yang penting (1970-an). Hampir setengah dari jumlah sastra kita menulis puisi (49,3%), selanjutnya cerita pendek (47,6%), novel (36%), esai (23, 2%), drama (18,9%) dan sisanya penerjemah serta kritik sastra.
Kesulitan lainya ialah objek sastra selain karya sastra yang berupa jenis-jenis (genre) sastrayaitu puisi, prosa dan drama juga meliputi objek-objek lain yang sangat luas meliputi pengarang, penerbit, pembaca, pengajaran, apresiasi, esai, dan penelitian.
Perkembangan jenis-jenis sastra itu sendiri di Indonesia mengalami perkembangan sendiri-sendiri. Awal pertumbuhan dan perkembangan novel, misalnya, tidak sejalan dengan puisi dan drama.
Novel atau roman Indonesia sudah dimulai pada tahun 1920-an, sedangkan puisi Indonesia dimulai pada tahun 1928-an.
Sementara perkembangan cerpen semarak pada tahun 1950-an meskipun pada pertumbuhan sastra Indonesia cerpen sudah mulai muncul di berbagai media massa.
Kelahiran Bahasa dan Sastra Indonesia
Bagian ini secara garis besar membahas adanya perbedaan dalam penetapan periodisasi sejarah sastra Indonesia serta karakteristik yang secara konsisten muncul dalam periodisasi tersebut.
Dengan demikian, pola argumen yang digunakan sebagai dasar penetapan periodisasi dapat mudah dipahami.
Keberadaan ideologi yang menyatu dalam karya sastra pada akhirnya tidak sekadar menjadi potret pemikiran masyarakat yang dalam hal ini diwakili oleh sastrawan, tetapi turut menjadi identitas dan semangat sastrawan pada zamannya.
Oleh karena itu, perubahan kondisi sosial budaya, politik dan realitas kehidupan bermasyarakat berimplikasi pula pada keberadaan ideologi.
Pergeseran nilai-nilai, arah pandang, cita-cita dan pemikiran individu dalam suatu golongan terjadi sebagai bentuk respon dan interaksi sosial sesuai pada masanya.
Jika diusut, secara historis sastra Indonesia lahir sekitar abad ke-19 bersamaan dengan lahirnya bahasa Indonesia.
Maka ciri khas karya sastra pada masa itu adalah jiwa dan semangat keindonesiaan, sebagai ciri-ciri ekstrinsik, bukan intrinsik.
Begitu pun yang terjadi seterusnya. Perkembangan sastra tidak berbeda jauh dengan perkembangan ideologi yang dipengaruhi kondisi tiap zaman.
Kenyataan ini tentu telah menjelaskan bahwa memang masyarakat yang mengkondisikan terjadinya suatu aktivitas kreatif, bukan sebaliknya.
Pengertian Bahasa dan Sastra Indonesia
Membicarakan sejarah Bahasa dan Sastra Indonesia tentunya harus dipahami dahulu konsep pengertian bahasa dan sastra Indonesia. Berbagai pendapat menjelaskan beberapa pengertian yang berbeda.
Oleh karena itu, perlu berbagai kesepakatan normatif tentang pengertian tersebut. Untuk kepraktisan pengajaran maka pengertian tersebut dapat dirumuskan bahwa Bahasa dan Sastra Indonesia ialah
Sastra berbahasa Indonesia yang sudah berkembang abad ke-20 sebagaimana tampak penerbitan pers (surat kabar dan majalah) dan buku, baik dari usaha swasta maupun pemerintah kolonial.
Dengan demikian penulisan Sejarah Kesusastraan Indonesia pada buku ini tidak dimulai oleh penerbitan-penerbitan Balai Pustaka tetapi ditarik mundur ke tahun 1850-an sejak hadirnya karya-karya para aktivis pergerakan nasional yang dikenal dengan bacaan liar dan penulis para Tionghoa yang dikenal Sastra Indonesia Tionghoa atau sastra Melayu Tionghoa.
Konsep tersebut tentunya terbuka untuk diperdebatkan oleh siapa saja baik peneliti, sastrawan, maupun penikmat sastra. Pengertian ini ditawarkan untuk kemudahan pengajaran dan dapat direvisi pada masa yang akan datang.
M. Periodisasi Bahasa dan Sastra Indonesia Pembicaraan tentang Sejarah Periodisasi Bahasa dan Sastra Indonesia dimulai dengan pertanyaan kapankah kesusastraan Indonesia lahir? Jawaban pertanyaan tersebut memunculkan beragam pendapat dari berbagai pakar sebagaimana kita lihat berikut ini.
1. Umar Junus
Umar Junus membicarakan lahirnya Kesuastraan Indonesia Modern dalam karangannya yang dimuat dalam majalah Medan Ilmu Pengetahuan (1960).
Ia berpendapat bahwa: sastra ada sesudah bahasa ada. “ Sastra X baru ada setelah bahasa X ada, yang berarti bahwa sastra Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada,” katanya.
Dan karena bahasa Indonesia baru ada tahun 1928 (dengan adanya Sumpah Pemuda), maka Umar Junus pun berpendapat bahwa “Sastra Indonesia baru ada sejak 28 Oktober 1928”.
Adapun karya yang terbit sebelum tahun 1928 – yang lazim digolongkan pada karya sastra Angkatan ’20 atau angkatan Balai Pustaka menurut Umar Junus tidaklah dapat dimasukkan “ke dalam golongan hasil sastra Indonesia”, melainkan hanya “sebagai hasil sastra Melayu Baru/Modern”.
Alasan Umar Junus: Karya-karya itu “bertentangan sekali dengan sifat nasional yang melekat pada nama Indonesia itu”.
Dengan dasar pemikiran itu, Umar Junus membagi sastra Indonesia dengan beberapa masa, yaitu :
- Pra Pujangga Baru atau Pra Angkatan ’33 (1928-1933),
- Pujangga Baru atangtan ’33 (1933 – 1945),
- Angkatan ’45, dan seterusnya.
- Ajip Rosidi
Pendapat Ajip Rosidi mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia dapat kita baca dalam bukunya “Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir” yang dimuat dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1985).
Ajip memang mengakui bahwa sastra tidak mungkin ada tanpa bahasa. Akan tetapi, sebelum sebuah bahasa diakui secara resmi, tentulah bahasa itu sudah ada sebelumnya dan sudah pula digunakan orang.
Oleh sebab itu, Ajip tidak setuju diresmikannya suatu bahasa dijadikan patokan lahirnya sebuah sastra (dalam hal ini sastra Indonesia).
Di pihak lain, Ajip berpendapat bahwa kesadaran kebangsaanlah seharusnya dijadikan patokan. Berdasarkan kebangsaan ini, menetapkan bahwa lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern adalah tahun 1920/1921 atau 1922.
Tahun 1922 adalah lahirnya kesusastraan Indonesia dengan alasan Ajip memilih tahun 1920/1921 bukan karena pada tahun itu terbit Azab dan Sengsara maupun Siti Nurbaya melainkan karena pada tahun itu para pemuda Indonesia (Muhammad Yamin, Mohammad Hatta, Sanusi Pane, dan lain-lain) mengumumkan sajak-sajak mereka yang bercorak kebangsaaan dalam majalah Jong Sumatra (diterbitkan oleh organisasi Jong Sumatra).
“Pabila buku Azab dan Sengsara dan Siti Nurbaya dianggap bersesuaian dengan sifat nasional, (hal yang patut kita mengerti mengingat yang menerbitkannya pun adalah Balai Pustaka, organ pemerintah kolonial), tidaklah demikian halnya dengan sajak-sajak buah tangan para penyair yang saya sebut tadi.
Sifatnya tegas berbeda dengan dengan umumnya hasil sastra Melayu, baik isi maupun bentuknya. Puisi lirik bertemakan tanah air dan bangsa yang sedang dijajah adalah hal yang tidak biasa kita jumpai dalam khazanah kesusastraan Melayu”, demikian Ajip.
Ajip memilih tahun 1922 karena pada tahun itu terbit kumpulan sajak Muhammad Yamin yang berjudul Tanah Air.
Kumpulan sajak ini pun, menurut Ajip, mencerminkan corak/semangat kebangsaan, yaitu tidak ada atau tampak pada pengarang-pengarang sebelumnya.
3. A. Teeuw
Pendapat Teeuw mengenai lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern dapat kita baca dalam bukunya Sastra Baru Indonesia 1 (1980).
Agak dekat dengan tahun yang diajukan Ajip Rosidi, Teeuw pun berpendapat bahwa kesusastraan Indonesia Modern lahir sekitar tahun 1920. Alasan Teeuw adalah
“Pada ketika itulah para pemuda Indonesia untuk pertama kali mulai menyatakan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda dengan perasaan dan ide yang pada dasarnya berbeda.
Perasaan dan ide yang terdapat dalam masyarakat setempat yang tradisional dan mulai demikian dalam bentuk-bentuk sastra yang pada pokoknya menyimpang dari bentuk-bentuk sastra Melayu, Jawa, dan sastra lainnya yang lebih tua, baik lisan maupun tulisan.
Alasan lainnya menurut Teeuw ialah. “Pada tahun-tahun itulah untuk pertama kali para pemuda menulis puisi baru Indonesia.
Oleh karena itu mereka dilarang memasuki bidang politik, maka mereka mencoba mencari jalan keluar yang berbentuk sastra baik pemikiran serta perasaan, emosi serta cita-cita baru yang telah mengalir dalam diri mereka”.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Teeuw menyatakan lahirnya kesusastraan Indonesia pada tahun 20-an, yaitu pada saat lahirnya puisi-puisi kebangsaan dan bentuk soneta yang digunakan pengarang.
4. Slamet Mulyana
Slamet Mulyana melihat kelahiran Kesusastraan Indonesia dari sudut lain. Beliau melihat dari sudut lahirnya sebuah negara Indonesia adalah sebuah negara di antara banyak negara di dunia. Bangsa Indonesia merdeka tahun 1945.
Pada masa itu lahirlah negara baru di muka bumi ini yang bebas dari penjajahan Belanda, yaitu negara Republik Indonesia.
Secara resmi pula bahasa Indonesia digunakan atau diakui sebagai bahasa nasional, bahkan dikukuhkan dalam UUD 45 sebagai undang-undang dasar negara.
Karena itu Kesusastraan Indonesia baru ada pada masa kemerdekaan setelah mempunyai bahasa yang resmi sebagai bahasa negara. Kesusastraan sebelum kemerdekaan adalah Kesusastraan Melayu, belum Kesusastraan Indonesia.
5. Sarjana Belanda
Hooykass dan Drewes, dua peneliti Belanda menganggap bahwa Sastra Indonesia merupakan kelanjutan dari Sastra Melayu (Meleise Literatur).
Perubahan “Het Maleis” menjadi “de bahasa Indonesia” hanyalah perubahan nama termasuknya sastranya. Dengan demikian Kesusastraan Indonesia sudah mulai sejak Kesusastraan Melayu.
Karena itu pengarang Melayu, seperti Hamzah Fansuri, Radja Ali Haji, Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi, Nurrudin Ar-Raniri, beserta karya Sastra Melayu seperti Hang Tuah, Sejarah Melayu Bustanussalatina, Tajussalatina, dan lain-lain adalah bagian dari Kesusastraan Indonesia.
6. Pendapat Lain
Pendapat lain beranggapan bahwa lahirnya kesusastraan Indonesia Modern adalah tahun 1920. Alasannya : Karena pada waktu itu novel Merari Siregar yang berjudul Azab dan Sengsara.
Lepas dari apakah isi novel ini bersifat nasional atau tidak, yang jelas inilah karya penulis Indonesia yang pertama kali terbit di Indonesia dalam bahasa Indonesia. Selain tokoh dan setting di Indonesia bentuknya sudah berbeda dengan karya sastra lama sebelumnya.
Dengan kata lain bentuk sudah “modern” dan tidak “lama” lagi, tidak lagi seperti kisah-kisah seputar istana, legenda atau bentukbentuk sastra lama lainnya. Wajarlah kalau masa itu dijadikan masa lahirnya Kesusastraan Indonesia Modern.
Karakteristik Periode Bahasa dan Sastra Indonesia
Perkembangan sastra Indonesia sejak kelahiran sampai saat ini memperlihatkan kesinambungan sejarah. Hal ini tercermin dari berbagai pembabakan atau periode sastra yang dikemukakan oleh berbagai pakar.
Menurut Rene Wellek, pembabakan ialah bagian waktu yang dikuasai oleh sistem norma-norma sastra, dan konvensikonvensi sastra, yang munculnya, meluasnya, keberagaman,
integrasi, dan lenyapnya dapat dirunut.
Tujuan periode sastra adalah untuk memudahkan pengembangan sejarah sastra, selain itu periode sastra menjadi penting untuk penciptaan karya sastra baru oleh sastrawan.
Para sastrawan dapat melihat cakrawala sastra dari lahirnya hingga sekarang dengan jelas. Mereka akan dapat melihat dan menghayati sifat-sifat atau ciri-ciri di setiap periode atau masa angkatan.
Dengan demikian mereka akan selalu menciptakan karya sastra yang baru yang menyimpang dari ciri-ciri sastra yang telah ada, baik dalam ekspresi seni, konsep seni, struktur estetiknya, maupun dalam bidang masalahnya, pandangan hidup, filsafat, pemikiran dan perasaannya.
Berkenaan dengan pembabakan dalam perkembangan Kesusastraan Indonesia, Ajip Rosidi lebih memiliki Periode dibanding angkatan. Penggunaan “angkatan” dalam kesusastraan Indonesia telah menimbulkan kekacauan.
Angkatan menyiratkan kelompok pengarang yang memiliki kesesuaian pandangan, ide, atau gagasan dalam melahirkan karyanya.
Dalam suatu periode mungkin saja ada beberapa angkatan. Periode berdasarkan adanya normanorma umum dalam sastra sebagai pengaruh situasi masing-masing zaman.
Periode sastra Indonesia terlihat dapat berdasarkan :
- bentuk,
- angkatan,
- tahapan.
Ketiga perspektif ini menghasilkan pola penyajian yang berbeda. Pembabakan dalam sejarah sastra yang berdasarkan bentuk akan terlihat rancu ketika kita menyodorkan pertumbuhan pantun kilat (karmina) yang menjamur di ibu kota Jakarta sebagai salah satu bentuk komunikasi sehari-hari dalam bahasa ‘gaul’.
Contohnya makan mangga gadung di pinggir kali, yang pakai kerudung manis sekali. Bentuk semacam ini merupakan bentuk kesusastraan lama yang mulai tumbuh kembali.
Jika periodesasi mendasarkan pada bentuk, masalah waktu akan dinafikan. Pembabakan berdasarkan angkatan memiliki subjektivitas yang tinggi.
Mengingat ciri dari sebuah angkatan adalah adanya kesamaan semangat dan kejiwaan pada sekelompok sastrawan yang memiliki rentang usia tertentu pada satu kurun waktu,
Maka kerap yang terjadi adalah pemilihan sastrawan yang cukup produktif saja, tanpa memperhitungkan seberapa besar pengaruh karya-karyanya pada khalayak pembaca.
Pemilihan semacam ini sangat bergantung pada seberapa banyak bahan yang dimiliki oleh pengamat agar asumsinya tentang kemunculan suatu angkatan tetap dapat dipertanggungjawabkan.
Pembabakan berdasarkan periode terhitung yang dapat diterima objektivitasnya karena pemilihan dilakukan berdasarkan kurun waktu sehingga apapun yang terjadi pada kurun tersebut dapat diidentifikasi dan diklasifikasi untuk menjadi bagian dari periode tersebut.
Pada kurun waktu 1850 – 1933 terdapat berbagai peristiwa besar, baik yang menyangkut dunia kesusastraan saja, maupun terkait dengan gerakan kebangsaan.
Fokus pada peristiwa membuat pembabakan semacam ini menjadi agak lemah pada detail seperti riwayat hidup pengarang serta proses kreatif.
Lahirnya suatu karya sastra dari tangan seorang sastrawan akan diperhitungkan sebagai bagian dari momentum peristiwa yang lebih besar.
Untuk memudahkan penulisan sejarah sastra dalam buku ini juga membagi perkembangan sastra Indonesia sejak kelahiran sampai perkembangan terkini berdasarkan pembabakan waktu atau periode-periode sastra secara diakronis dengan mempertimbangkan ciri-ciri khusus setiap periode baik intrinsik maupun ekstrinsik.
Dengan mempertimbangkan hal tersebut dirasakan akan semakin jelas corak sastranya dan semakin tegas adanya eksistensi periode sastra tersebut.
Berdasarkan hal-hal tersebut, maka penulisan sejarah sastra Indonesia dalam buku sejarah sastra ini membagi periode sebagai berikut:
- Periode 1850 – 1933
- Periode 1933 – 1942
- Periode 1942 - 1945
- Periode 1945 – 1961
- Periode 1961 – 1971
- Periode 1971 – 1998
- Periode 1998 – Sekarang
0 Response to "Sejarah Ilmu Bahasa Dan Sastra"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak