Apa Benar Dengan Penghasilan Besar Ujian pun Makin Berat?
Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiaplangkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya.
Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Apakah memang benar bahwa dengan besarnya penghasilan, ujian di kehidupan menjadi lebih berat?
Ada satu kisah menarik tentang Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke-8 dalam kekuasaan Bani Umayyah.
Pemimpin muda yang meninggal dunia di usia 37 tahun. Hanya memerintah selama kurang lebih dua setengah tahun, sebelum wafat karena sempat diracun, masyarakat yang dipimpinnya makmur dan sejahtera.
Kepada Fatimah, istrinya, Umar bin Abdul Aziz menanyakan apakah ada uang tersisa untuk membeli anggur. Umar sedang ingin makan anggur.
Tapi, Umar hanya mau menggunakan uang pribadinya. Bukan uang lainnya. Namun, saat itu tidak ada uang yang tersisa sama sekali.
“Anda adalah Amirul Mukminin. Anda tidak punya satu dirham pun atau satu nimyah (pecahan dirham) untuk membeli anggur?”, tanya istrinya keheranan.
Umar bin Abdul Aziz menjawab, “Hal ini tentu lebih ringan dibandingkan belenggu-belenggu besi kelak dalam neraka Jahannam” (Al Hilyah 2/199)
Kawan, Umar bin Abdul Aziz adalah teladan dan satu contoh buat kita. Sebagai khalifah, kurang apa beliau? Kekuasaan di tangannya, singgasana di dudukinya, harta benda berlimpah, kekuatan militer tidak tertandingi, keluarga besarnya tak terbendung, dan apa lagi yang hendak diceritakan tentangnya?
Namun, dunia tak membuatnya silau. Kekayaan tak mengubah sifatnya yang sederhana. Jabatan tidak berpengaruh karena beliau tetap yang dulu; pribadi yang rendah hati.
Istri dan anak-anaknya tetap saleh dan salehah. Beliau dicintai oleh siapa saja. Tak hanya umat Islam yang menangis saat wafatnya, bahkan musuh sekalipun merasa kehilangan.
Ibnu Asakir (Tarikh Damaskus no. 7013) menyebutkan cerita kaisar Romawi yang menangis ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz wafat. Padahal mereka berdua berhadap-hadapan sebagai musuh.
Cerita Ibnu Asakir berlanjut dengan keterangan kaisar Romawi kenapa menangis, “Saya tidak begitu kagum dengan seorang pendeta yang mengunci pintu, menolak godaan dunia, lalu bersembahyang menjadi pendeta”.
“Saya justru terkagum-kagum (dengan Umar bin Abdul Aziz) , seseorang yang dunia berada di bawah telapak kakinya, malah ia tolak dan memilih untuk beribadah”
Problemnya bukan pada dunia itu sendiri.
Ibnu Rajab (Jamiul Ulum 392-393) menjelaskan panjang lebar tentang hal ini. Ayat al Quran dan hadits Rasulullah yang menerangkan tercelanya dunia bukan terletak pada waktu, tempat dan benda.
Bukan siang malamnya. Bukan bumi dan isinya. Bukan gunung, laut, sungai, hasil tambang, pohon, dan hewan ternaknya. Sebab, semua hal itu adalah karunia dari Allah.
Titik masalahnya adalah tingkah polah dan perilaku manusianya.
Mereka yang salah jalan dalam mengelolanya. Mereka yang tanpa aturan dalam mencarinya. Tak peduli halal dan haram. Mereka yang awur-awuran untuk menghabiskannya. Tak berpikir manfaat atau madaratnya.
Titik masalahnya adalah manusia yang menjadikan dunia sebagai tolak ukur dan patokan kebahagiaan. Dikejarnya sampai melupakan tugas seharusnya untuk beribadah kepada Allah.
Ambisinya membuat ia lupa bahwa harta benda dan materi yang ada padanya seharusnya menjadi sarana untuk mencari ridha dari Allah.
Kawan, banyak orang saleh yang kaya raya. Banyak kaum salaf yang kaya raya. Banyak sahabat Nabi yang kaya raya. Namun, hal itu tidak menjadikan kehidupan mereka susah dan menderita.
Tak ada sedih yang mengganggu karena memikirkan harta. Justru, harta dan kekayaan mereka dimanfaatkan untuk beribadah hingga senanglah dan bahagialah hati mereka.
Asalkan, besarnya penghasilan itu hanya ada di tanganmu, bukan di hatimu, maka berbahagialah dirimu! Ketika di tanganmu tergenggam, semangat ibadahmu tak terganggu. Ketika lepas dari tanganmu, hatimu tak merasa galau.
Asalkan engkau ingat pesan sahabat Abu Dzar berikut ini, maka beruntunglah dirimu. Beliau mengingatkan, “Orang yang punya dua dirham, proses hisabnya akan lebih berat dibandingkan yang hanya punya satu dirham” (Az Zuhud Imam Ahmad hal. 275)
Selagi engkau ingat kata-kata al Hasan al Basri berikut ini, sungguh senanglah dirimu. Beliau mengatakan, ”Tidaklah seseorang itu mengagung-agungkan harta, melainkan Allah akan hinakan dia” (Az Zuhud Imam Ahmad hal. 444)
Jadi, harta adalah sarana. Sarana menggapai ridha Allah. Sarana untuk mendekatkan diri kepada- Nya. Jika dengan harta, engkau merasa jauh dari Allah, maka coba evaluasi diri. Lakukan koreksi!
Jadi, semakin banyak penghasilan, mestinya engkau semakin tenang dan bertambah senang dalam ibadah. Jika sebaliknya, penghasilan bertambah namun engkau malah tambah merasa susah dan semakin gelisah, maka pada dirimu ada yang salah.
0 Response to "Apa Benar Dengan Penghasilan Besar Ujian pun Makin Berat?"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak