Belajar Dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa sallam

Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya. 

Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.

“Tulisan sederhana dari seorang yang mengagumimu, yang masih belajar untuk seutuhnya mengikuti dan mencintaimu, wahai Rasulullah...”

PESONA TANPA BATAS

Menyelami kepribadian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam bagaikan menyelami samudera tak bertepi, sosok yang memiliki keindahan dan pesona tanpa batas.

Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam adalah anugerah terindah bagi semesta yang diberikan oleh Sang Pencipta. Pribadi yang begitu powerful, mengubah peradaban dan meninggalkan pengaruh yang sangat besar bagi dunia, hanya dalam waktu 23 tahun masa kerasulannya.

Para ahli sejarah, penulis dan orientalis tidak pernah melewatkan nama Muhammad, ajarannya, perjuangannya, kepemimpinannya, kepribadiannya bahkan kehidupan kesehariannya setiap kali mengutarakan pemikiran dan kajian tentang sejarah kebangkitan dari Timur.

Banyak yang tak suka dan menentangnya, tapi tidak sedikit pula yang dengan jujur mengaguminya, mari kita simak beberapa kesan dan kekaguman tokoh-tokoh barat terhadap sosok Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam.

Sir George Bernard Shaw, (26 July 1856 – 2 November 1950), Tokoh Irlandia, Pendiri London School of Economics,

“ ......... Dia adalah manusia teragung yang pernah menginjakkan kakinya di bumi ini. Dia membawa sebuah agama, mendirikan sebuah bangsa, meletakkan dasar-dasar moral, memulai sekian banyak gerakan pembaruan sosial dan politik, mendirikan sebuah masyarakat yang kuat dan dinamis untuk melaksanakan dan mewakili seluruh ajarannya.

Dan ia juga telah merevolusi pikiran serta perilaku manusia untuk seluruh masa yang akan datang. Dia adalah Muhammad (SAW). Dia lahir di Arab tahun 570 masehi, memulai misi mengajarkan agama kebenaran, Islam (penyerahan diri pada Tuhan) pada usia 40 dan meninggalkan dunia ini pada usia 63.

Sepanjang masa kenabiannya yang pendek (23 tahun) dia telah merubah Jazirah Arab dari paganisme dan pemuja makhluk menjadi para pemuja Tuhan yang Esa, dari peperangan dan perpecahan antar suku menjadi bangsa yang bersatu, dari kaum pemabuk dan pengacau menjadi kaum pemikir dan penyabar, dari kaum tak berhukum dan anarkis menjadi kaum yang teratur, dari kebobrokan ke keagungan moral. 

Sejarah manusia tidak pernah mengenal tranformasi sebuah masyarakat atau tempat sedahsyat ini bayangkan ini terjadi dalam kurun waktu hanya sedikit di atas DUA DEKADE.” (The Genuine Islam,’ Vol. 1, No. 8, 1936.)

Alphonse Marie Louis de Prat de Lamartine (21 October 1790 – 28 February 1869), Penyair, Tokoh dan Politisi , Negarawan Perancis,

“ Dunia telah menyaksikan banyak pribadi-pribadi agung. Namun, dari orang orang tersebut adalah orang yang sukses pada satu atau dua bidang saja misalnya agama atau militer. Hidup dan ajaran orang-orang ini seringkali terselimuti kabut waktu dan zaman.

Begitu banyak spekulasi tentang waktu dan tempat lahir mereka, cara dan gaya hidup mereka, sifat dan detail ajaran mereka, serta tingkat dan ukuran kesuksesan mereka sehingga sulit bagi manusia untuk merekonstruksi ajaran dan hidup tokoh-tokoh ini. 

Tidak demikian dengan orang ini. Muhammad (Shallallahu 'Alaihi Wa sallam) telah begitu tinggi menggapai dalam berbagai bidang pikir dan perilaku manusia dalam sebuah episode cemerlang sejarah manusia. 

Setiap detil dari kehidupan pribadi dan ucapan-ucapannya telah secara akurat didokumentasikan dan dijaga dengan teliti sampai saat ini.

Keaslian ajarannya begitu terjaga, tidak saja oleh karena penelusuran yang dilakukan para pengikut setianya tapi juga oleh para penentangnya.

Muhammad adalah seorang agamawan, reformis sosial, teladan moral, administrator massa, sahabat setia, teman yang menyenangkan, suami yang penuh kasih dan seorang ayah yang penyayang – semua menjadi satu. 

Tiada lagi manusia dalam sejarah melebihi atau bahkan menyamainya dalam setiap aspek kehidupan tersebut – hanya dengan kepribadian seperti dia-lah keagungan seperti ini dapat diraih. 

Filosof, orator, utusan Tuhan, pembuat undang-undang, pejuang, penakluk pikiran, pembaru dogma-dogma rasional dan penyembahan kepada Tuhan yang tak terperikan; pendiri dua puluh

kerajaan bumi dan satu kerajaan langit, dialah Muhammad. Berkaitan dengan semua norma yang menjadi tolak ukur kemuliaan manusia, kita boleh bertanya, adakah manusia yang lebih besar daripada dia? ” [Histoire De La Turquie, Paris, 1854, vol. II, h. 276-277].

Mahatma Gandhi (Mohandas Karamcham Gandhi), Bapak India, Tokoh Pemikir, negarawan, dan pemimpin nasionalis India.

“ Pernah saya bertanya-tanya siapakah tokoh yang paling mempengaruhi manusia... Saya lebih dari yakin bahwa bukan pedanglah yang memberikan kebesaran pada Islam pada masanya. Kesederhanaan yang teguh, nabi yang sama sekali tidak menonjolkan-diri.

Kesetiaannya yang luar biasa kepada janjinya, kasih sayangnya yang amat besar kepada para sahabat dan pengikutnya, keberaniannya, kepercayaannya yang mutlak kepada Tuhan dan kepada misinya; inilah, dan bukan pedang, yang mengantarkan segala sesuatu di hadapan mereka dan mengatasi setiap masalah. 

Ketika saya menutup halaman terakhir volume 2 (biografi Muhammad), saya sedih karena tiada lagi cerita yang tersisa dari hidupnya yang agung.” [Young India (majalah), 1928, Volume X].

R.V.C Bodley , Penulis 

“Saya ragu apakah ada orang lain yang bisa merubah kondisi manusia begitu besar seperti yang dilakukan oleh dia (Muhammad). (R.V.C Bodley dalam The Messenger, London 1946, halaman 9)”

Tidaklah mungkin muncul kekaguman dan cinta kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam kecuali dengan usaha untuk mau mengenal kepribadiannya secara utuh, apalagi kita sebagai umatnya yang secara jelas mengakui bahwa beliau adalah Rasul Allah. 

Hal inilah yang membuat saya penasaran dan ingin mempelajari hal-hal apa saja yang membuat betapa besar pengaruh Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam kepada dunia.

Berangkat dari pengalaman pribadi dan introspeksi diri, ketika melakukan self assessment, saya adalah orang yang memiliki social intelligence yang kurang baik, kurang bisa bergaul, dan kurang luwes. 

Saya sering menghadapi kesulitan dan seringkali gagal saat membangun hubungan dengan manusia, hal itu juga yang membuat saya semakin penasaran tentang apa sebenarnya yang membuat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam begitu sukses dalam interaksi sosialnya, bahkan mampu memberikan pengaruh kebaikan yang luar biasa hebat bagi keluarga, sahabat, umatnya, dan dunia hingga saat ini.

Prosespun berjalan, saya mulai sedikit demi sedikit mempelajari teori-teori modern tentang hubungan antar manusia, psikologi hubungan sesama manusia, serta teori-teori tentang keberhasilan seseorang mengubah peradaban dalam skala kecil hingga skala besar, dan kemudian mencoba mengaitkannya dengan kepribadian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam. 

Buku ini adalah hasil ekstraksi dari apa-apa yang telah saya dapatkan dari proses pembelajaran tersebut.

Tujuan dari penulisan buku ini bukanlah “ingin menggurui” sahabat pembaca sekalian, karena sungguh pribadi penulispun masih terus belajar dan berusaha menerapkan kebaikan serta nilai-nilai yang diajarkan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam.

Tujuan dari penulisan buku ini adalah ingin menggambarkan betapa indahnya pribadi Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, betapa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam memiliki kepribadian dengan pesona tak terbatas, dan yang paling utama adalah ingin mengingatkan diri sendiri untuk senantiasa berbenah serta sekaligus ingin mengajak sahabat pembaca sekalian untuk sama-sama berbenah.

Pernahkah Anda mendengar NLP (Neuro-Linguistic Programming – sebuah Program Penyusunan Bahasa Saraf)?, NLP adalah sebuah program yang memiliki konsep bahwa jalan terbaik menuju kesuksesan adalah dengan meniru perilaku orang sukses, sebuah konsep yang berbasiskan pada premis bahwa setiap manusia memiliki system saraf yang sama, karena itu “segala yang dapat anda lakukan, maka saya juga bisa melakukannya” yaitu dengan menirunya.

Anthony Robbins menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Unlimited Power, The New Science of Personal Achievement (1997), bahwa “kesuksesan selalu meninggalkan jejak”.

Robbins menyarankan, bila Anda menginginkan kehidupan yang lebih baik, maka janganlah mencari rumor atau gosip, carilah model-model dan mentor-mentor yang hebat dalam kehidupan nyata atau di dalam buku- buku, yang perilakunya dapat Anda ikuti. 

Biarkan orang-orang ini menjadi standar atau tolak ukur (benchmark) dalam mengukur diri Anda sendiri. Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam adalah teladan yang baik dalam berbagai aspek kehidupan, dalam diri Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam terdapat berbagai karakter dan sifat-sifat dahsyat serta mulia. 

Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam memiliki kecerdasan yang lengkap, apapun teori kecerdasan yang dikemukakan oleh para ahli kecerdasan modern akan ditemukan pada diri Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, baik itu berupa IQ, kecerdasan emosional (EQ), kecerdasan spiritual (SQ), kecerdasan social (Social Intelligence), Adversity Quotient (AQ), dan sebagainya.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu” (QS. al-Ahzab:21).

Sayangnya, tidak jarang diantara kita yang memposisikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam terlalu melangit, tinggi, dan jauh di atas sehingga mendekati posisi dewa atau anak dewa. 

Akibatnya beliau menjadi “asing” bagi kita, dan seolah tidak bisa ditiru serta dijadikan suri tauladan lagi. Seolah-olah dimensi beliau menjadi berbeda dengan dimensi kita sebagai manusia biasa dan beliau sebagai “manusia langit”.

RasulullahShallallahu 'Alaihi Wa sallam adalah seorang manusia dengan segala sifat kemanusiaannya, perbedaan satu-satunya adalah bahwa beliau diamanati wahyu dan senantiasa dibimbing Allah jika melakukan suatu tindakan.

Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam adalah manusia luar biasa, namun bukan tidak mungkin untuk diteladani dan diikuti jejak-jejak kesuksesannya. Rasulullah

Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam meninggalkan teladan yang bisa kita copy-paste, beliaupun meninggalkan banyak inspirasi dan wisdom tentang banyak hal, tugas kita lah mengembangkan inspirasi tersebut sesuai dengan dimensi waktu dan ruang.

Akhir kata, saya ingin mengucapkan selamat menikmati bacaan yang sederhana ini, suatu kehormatan bagi saya ketika sahabat pembaca memutuskan untuk membeli dan membaca buku ini. Semoga kita bisa mendapatkan hikmah dan manfaat dari buku kecil ini untuk memprovokasi diri menjadi pribadi powerful dengan meniru sikap dan perilaku Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam. Selamat membaca dan semoga bermanfaat.

Sonny Abi Kim

THOMAS CARLYLE


(4 December 1795 – 5 February 1881) Penulis Besar dari Scotlandia “Betapa menakjubkan seorang manusia sendirian dapat mengubah suku-suku yang saling berperang dan kaum nomaden (Badui) menjadi sebuah bangsa yang paling maju dan paling berperadaban hanya dalam waktu kurang dari dua dekade.

Kebohongan yang dipropagandakan kaum Barat yang diselimutkan kepada orang ini (Muhammad) hanyalah mempermalukan diri kita sendiri. Sesosok jiwa besar yang tenang, seorang yang mau tidak mau harus dijunjung tinggi. Dia diciptakan untuk menerangi dunia ... “ (THOMAS CARLYLE in his HEROES AND HEROWORSHIP)

PENDENGAR YANG TULUS

Yang akan kita bahas pada bagian awal ini adalah satu hal langka dan hanya dimiliki oleh orang-orang hebat, satu hal yang hanya dimiliki oleh pribadi-pribadi powerful, satu hal yang diajarkan dan dicontohkan oleh Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, dan itu berarti satu hal yang harus juga kita miliki, hal tersebut adalah kemampuan untuk ‘mendengar’.

Di negara kita, banyak orang suka bicara tapi jarang mendengarkan, di warung, di kampus, di kampung, di kantor sampai di gedung DPR. Televisi banyak memfasilitasi orang-orang yang suka bicara. Semua berbicara, sampai-sampai tak sempat mendengarkan orang lain.

Salah satu kesempurnaan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam adalah caranya dalam melakukan dialog dan komunikasi dengan kawan maupun lawan.

Kemampuan komunikasinya itulah yang dapat membuat orang tertarik, kemudian mengikuti ajaran yang dibawanya. Muhammad tentu bukan ahli sihir, kemampuan komunikasinya bukan dari hasil praktek mistik, tapi merupakan latihan panjang dari proses pengembangan dirinya sejak kecil.

Salah satu rahasia keberhasilan Rasulullah dalam berbagai dialognya adalah kesediaan beliau menjadi pendengar yang baik. Rasululllah tidak saja pandai berbicara, tapi juga pandai mendengar. Selain menjadi pembicara yang baik, beliau adalah pendengar yang sangat baik. 

Berikut ini kisah Rasulullah ketika berdialog dengan perunding ulung yang akhirnya takluk setelah berdialog dengan beliau.

Ketika Rasulullah sudah mulai melakukan dakwah secara terbuka, kaum kafir Quraisy gundah dan guncang hatinya. Mereka ingin membendung aktivitas dakwah Muhammad dengan segala cara. Salah satunya adalah dengan mengutus Utbah bin Rabi’ah untuk melakukan negosiasi.

Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Utbah duduk di sebelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam seraya berkata: “Wahai anak pamanku, sesungguhnya engkau mengetahui secara pasti kedudukanmu di tengah-tengah kaummu.

Engkau telah memecah-belah barisan mereka, engkau caci-maki tuhan-tuhan mereka, dan engkau kafirkan nenek moyang mereka. Karena itu dengarkanlah kata-kataku: Aku akan menyampaikan beberapa tawaran, mudah-mudahan kamu mau menerima sebagiannya.”

Rasulullah berkata: “Wahai Abdul Walid, katakanlah. Aku akan mendengarnya” Lalu Utbah bin Rabi’ah mengutarakan panjang lebar segala tawarannya. Ketika selesai, Rasulullah kembali bertanya: “Sudah selesaikah wahai Abdul Walid?” Ia menjawab, “Sudah”

Rasulullah kemudian berkata: “Sekarang dengarkanlah kata-kataku” Ia pun menjawab: “Silahkan” Lalu Rasulullah membacakan beberapa ayat dari surat Fushilat.

Sampai pada akhirnya beliau membaca ayat sajadah (ayat 37), dan beliau bersujud. Lengkapnya ayat itu berbunyi:

“Dan sebagian tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang Menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah.”

Setelah itu beliau berkata kepada Utbah, engkau telah mendengarkannya dan kini silahkan temukan sikapmu. Utbah segera bangkit dari tempat duduknya, lalu pergi menjumpai teman-temannya.

Sebagian dari mereka berkata: “Demi Allah, Abdul Walid datang kepada kalian dengan raut muka yang berbeda dengan ketika ia berangkat.” Utbah meminta kepada mereka supaya memanggil Rasulullah SAW, akan tetapi mereka enggan. Mereka malah berkata: “Ia telah menyihirmu dengan ucapannya.”

Jika kita perhatikan percakapan antara Rasulullah dengan Utbah sungguh sangat menarik. Selain bobot pembicaraannya yang bagus, cara dialognya juga mempesona. Rasulullah sebagai tuan rumah terlebih dahulu mempersilahkan tamunya untuk menyampaikan maksud kedatangannya.

Dengan penuh perhatian beliau mendengarkan sampai pembicara tuntas menyampaikan maksudnya. Beliau tidak memotong pembicaraan lawan bicaranya, malah beliau bertanya kepadanya, “Wahai Abdul Walid, apakah kamu sudah selesai?”

Kesediaan Rasulullah mendengarkan hingga tuntas pembicaraan orang merupakan cerminan akhlaq beliau yang sangat mulia. Dengan akhlaq mulia itulah Rasulullah menaklukkan hati orang, sehingga bersedia mendengarkan dan mempertimbangkan ajakannya.

Utbah adalah salah seorang mitra dialog yang kemudian tertarik dan terpesona dengan gaya komunikasi beliau. Tak heran jika teman-temannya kemudian mengatakan kepadanya bahwa Utbah telah tersihir ucapan

Muhammad. Jika dihitung, ucapan Utbah jauh lebih banyak dari ucapan Rasulullah. Bahkan beliau hampir tidak berkata apa-apa kecuali sekadar membacakan beberapa ayat suci al-Qur’an. Justru dengan berhemat bicara inilah akhirnya Utbah kepincut, dan akhirnya menyerah.

Sebagai ummatnya tentu sebuah keharusan untuk kita meniru dan mempraktekkan gaya Rasulullah dalam berdialog dan berkomunikasi.

Beliau tidak ingin mendominasi pembicaraan, sebab hal itu sama saja dengan serakah, yang merupakan sikap yang dicela oleh Islam. Menjadi pendengar yang baik akan menjadikan kata-kata kita menjadi jauh lebih powerful.

Bayangkan sebuah keadaan dimana Anda sedang berbincang-bincang dan menceritakan tentang sesuatu kepada teman Anda, tetapi baru sepatah kalimat teman Anda tersebut memotong kalimat Anda dan mengambil alih pembicaraan, ketika Anda bicara lagi sepatah dua patah kalimat kemudian teman Anda tersebut kembali “menginterupsi” lagi dan kembali mengambil alih pembicaraan, seolah-olah teman Anda tersebut ingin mendominasi pembicaraan dan begitu seterusnya, kira-kira bagaimana perasaan dan tanggapan Anda terhadap teman Anda tersebut?, saya yakin pada kesempatan yang lain apapun yang dikatakan teman Anda itu tidak akan didengar oleh siapapun.

Sebaliknya, jika ketika Anda berbicara kemudian teman bicara Anda menyimak Anda dengan penuh perhatian, fokus mendengarkan dan sesekali memberikan tanggapan kecil terhadap cerita Anda, terlihat antusias terhadap cerita Anda, serta mendengarkan dengan penuh penghargaan, kira-kira bagaimana perasaan Anda terhadap orang ini?, secara tidak sadar mungkin Anda akan merasa menyukainya dan secara tidak langsung orang ini akan menjadi orang yang berpengaruh bagi Anda cepat atau lambat.

Saya berani menjamin kejadian seperti diatas dan orang-orang dengan karakter seperti ini banyak Anda temukan di lingkungan Anda, hanya saja mungkin Anda tidak menyadarinya. Orang-orang yang memiliki kemampuan untuk menjadi pendengar yang baik pastilah akan jauh lebih disukai dan diakui keberadaannya oleh lingkungan, bahkan secara sadar atau tidak, langsung maupun tidak langsung, pribadi seperti ini adalah pribadi yang memberikan pengaruh terhadap orang disekitarnya.

Di awal-awal kedatangan Islam, orang-orang Quraisy menganggap Nabi Muhammad adalah seorang yang gila. Maka suatu saat datanglah seorang bernama Dhumad, seorang tabib yang ahli dalam ilmu kesehatan kejiwaan.

Dhumad datang ke Mekkah dan orang-orang Mekkah mengatakan kepada Dhumad bahwa “orang gila” tersebut berada di dekat Dhumad. Dhumad pun mendatangi Nabi Muhammad dan berkata kepada beliau, “Wahai Muhammad, saya adalah orang yang ahli sakit jiwa. 

Tuhan menyembuhkan siapapun yang Dia kehendaki melalui tanganku. Datanglah padaku dan aku akan mengobatimu.” Dhumad pun mulai bercerita kesana-kemari menceritakan banyak hal kepada Nabi Muhammad.

Di sisi lain, manusia paling mulia ini senantiasa mendengarkan cerita Dhumad seseorang yang menganggap Rasul sebagai orang gila dan pada saat itu ia belum masuk Islam. Segera ketika Dhumad selesai bercerita,

Rasul pun mengatakan, “Segala puji bagi Allah, kami menyembah Allah saja dan kami memohon pertolongan hanya kepada Allah semata. Siapapun yang Allah beri hidayah, tidak ada yang dapat menyesatkannya. Siapapun yang disesatkan oleh Allah, tidak ada yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak diibadahi selain Allah.”

Dhumad pun terkagum dengan perkataan Rasul tersebut dan meminta Rasul untuk mengulanginya dan Rasul pun mengulanginya. Dhumad pun kemudian menyatakan bahwa Rasulullah Muhammad bukanlah orang gila, dan dia pun menyatakan diri masuk Islam di depan Rasulullah saat itu juga.

Indah bukan?, begitu pula jika Anda mau menjadi pendengar yang baik bagi teman, istri, suami, atau siapapun orangnya. Jadilah pendengar yang baik, hadapkan wajah Anda kepadanya. Gunakan ekspresi wajah yang menyenangkan ketika mendengar ceritanya dan perhatikan dampak dari menjadi pendengar yang baik. “Keahlian kita dalam menyimak perkataan seseorang secara seksama akan membuat mereka menyayangi kita...” Sheikh Muhammad Adib Ar-Rahman Al-Arifi.

Les Giblin dalam buku Skill with People menyatakan, “menjadi pendengar yang baik itu bukan suatu kebetulan. Seperti halnya karakter yang terbentuk dari kebiasaan berulang –ulang, begitu pula dengan kemampuan mendengar dengan hati. Artinya, bagi Anda yang selama ini lebih menggunakan mulut dibanding telinga masih mungkin berbenah diri asal mau.”

Menjadi pendengar yang baik bukan berarti pasif. Mendengarkan adalah suatu bentuk kegiatan aktif dengan sungguh-sungguh menaruh perhatian penuh. Ternyata banyak keuntungan yang didapat kalau kita gemar menyimak cerita orang lain. 

Menjadi pendengar aktif adalah modal terjalinnya komunikasi dan hubungan yang baik. Dengan kemampuan komunikasi yang baik akan tercipta hubungan yang nyaman. Entah itu di keluarga, di lingkungan kerja, bahkan dimanapun.

Kalau berani jujur, kadang kita terlalu ingin menjadi yang didengar, padahal kalau ingin didengar, kita harus mau mendengar. Mungkin mendengar terdengar sepele, tapi sebenarnya tidak mudah dilakukan karena keberadaan ego kita yang terlalu besar, keinginan untuk selalu menonjol, atau memaksakan kehendak kepada orang lain.

Bayangkan, betapa senangnya saat seorang teman mendengar curhat kita dengan antusias  raut wajah sumringah, tatapan mata tertarik. Padahal, sebenarnya cerita kita itu tidak terlalu penting. Kita jadi merasa penting karena ada orang yang mau menyimak dan mendengar cerita kita.

Perasaan itu timbul karena rasa ingin dihargai adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Karena itulah, menaruh perhatian juga jadi syarat penting dalam berhubungan dengan manusa. ”Peraturan pertama dalam pertemanan adalah belajar menjadi pendengar aktif yang simpatik. Dan mendengarkan dengan minat tulus tidak bisa dipalsukan,” ujar Dale Carnegie.

Menurutnya, menjadi pendengar yang baik itu bukan tergantung mood. Namun, lebih kepada keahlian mendengarkan. “Mendengar secara aktif memang tidak bisa terjadi secara otomatis. Ini merupakan keterampilan yang bisa kita kuasai dengan banyak berlatih,” paparnya.

Salah besar kalau menganggap jadi pendengar yang baik akan membuat kita menjadi nothing atau orang yang tak diperhitungkan. Bahkan inti menjadi komunikator (penyampai pesan) yang efektif dan ulung adalah mendengarkan. Dengan mendengar dan menyimak orang lain berbicara, maka kita akan mengenal cara mereka berpikir. Itu akan memudahkan kita menyampaikan apa yang diinginkan dan diharapkan dari mereka.

Menurut Carnegie, perbedaan di antara kita akan jauh lebih kecil kalau kita mau mendengar secara seksama cerita orang-orang yang berada di sekeliling kita.

Salah seorang guru pernah mengatakan; mendengarkan adalah sikap hati.

Seorang pendengar yang baik, bukan mendengarkan karena tidak memiliki sesuatu yang bisa dikatakan. Dia mendengarkan, karena dia berencana untuk berbicara lebih baik setelah mendengar. Itulah sebabnya kita diminta mengerti bahwa berbicara adalah wilayah kepandaian, sedang mendengarkan adalah wilayah kebijakan. Dan, jika cara-cara membaca yang baik belum ramah kepada diri ini; maka gunakanlah cara termudah untuk belajar, yaitu mendengarkan.

Banyak orang yang gagal dalam membuat kesan yang menyenangkan, karena mereka tidak mendengarkan dengan penuh perhatian. Perhatian mereka telah begitu tersita dengan apa yang akan mereka ucapkan selanjutnya, sehingga mereka tidak memasang telinga.

Jadi, kalau Anda ingin tahu bagaimana membuat orang lain menghindari Anda dan menertawakan Anda di belakang, atau bahkan merendahkan Anda, inilah resepnya : jangan pernah mendengarkan siapapun dalam waktu yang lama, bicaralah tanpa putus-putus tentang diri Anda, dan ketika orang lain sedang berbicara jangan tunggu sampai selesai, segera saja potong di tengah kalimatnya.

“Always Listening, Always Understanding ...”, slogan dari sebuah perusahaan ini rasanya pas untuk mewakili isi dari bab ini. Mendengar bukan berarti pasif, mendengar adalah serangkaian kegiatan aktif, mendengarkan adalah menyimak, mengingat, dan memahami isi yang disampaikan.

Fokus mengarahkan telinga dan memusatkan perhatian pada informasi yang diuraikan. Dan ketika diminta harus mengulangi pesan tersebut, kita bisa menyampaikannya (lagi) dengan baik meskipun tidak sama persis. Ya, itulah pendengar yang baik.

Secara khusus, Stephen R. Covey penulis buku 7 habits of highly effective people, menaruh kemampuan untuk mendengarkan sebagai salah satu dari 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif, yaitu kebiasaan untuk mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti.

Allah Subhanahu Wa Ta'ala menciptakan dua telinga dan satu lidah untuk kita, yang mengisyaratkan bahwa sungguh kita harus lebih sering mendengar dibanding berbicara. “Komunikator yang baik adalah pendengar yang bijaksana,” begitu kata seorang teman menasehati. Tentu, bukan berarti menjadi pendengar seseorang tidak berkomunikasi. Sebab, dengan menjadi pendengar, hakekatnya ia sedang berkomunikasi.

Cucu Rasulullah, Hasan bin Ali ra pernah berkata:

“Wahai anakku, jika engkau mengikuti pembicaraan Ulama, hendaklah engkau lebih banyak mendengar daripada berbicara. Belajarlah menjadi pendengar yang baik sebagaimana engkau belajar menjadi pembicara yang baik. Dan janganlah kamu memotong pembicaraan seseorang meski panjang lebar, hingga ia menyelesaikannya sendiri.”

Kemudian, janganlah terlalu banyak berbicara, karena sungguh sejarah membuktikan bahwa orang-orang yang paling berpengaruh di dunia ini adalah orang-orang yang sedikit berbicara dan banyak bertindak. Berbicara disini tentu maksudnya adalah berbicara dalam hal-hal yang tiada bermanfaat, kemampuan kita untuk ‘diam’ dalam pembicaraan yang tiada bermanfaat akan menentukan pengaruh kita.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Nabi shalallahu alaihi wa salam,beliau bersabda: ”Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka hendaklah ia berkata-kata yang baik atau hendaklah ia diam” (HR Bukhari dan Muslim)

Kualitas seseorang sangat dapat dilihat hanya dari intensitas berbicaranya, seberapa besar potensi kita untuk menjadi pribadi berpengaruh sangat ditentukan oleh hal ini, seberapa besar potensi kita untuk menjadi pribadi bermanfaat sangat ditentukan oleh faktor ini. Inilah faktor penentu kita dalam keberhasilan mengubah diri menjadi pribadi ‘penuh daya’, faktor itu adalah ‘kemampuan mengendalikan lisan’.

Berkata Ibnu mas’ud radhia allahu ‘anhu:

“Sesungguhnya kalian (wahai para sahabat) berada pada zaman yang banyak orang alimnya dan sedikit pembicara, akan datang nanti setelah kalian zaman yang sedikit orang alimnya tetapi banyak pembicaranya, barangsiapa yang banyak ilmunya dan sedikit bicaranya, ia terpuji dan (barangsiapa) sebaliknya (sedikit ilmunya tapi banyak bicaranya) ia orang yang tercela”

Imam Abu Hatim Ibnu Hibban Al-Busti berkata dalam kitabnya Raudhah  Al-‘Uqala wa Nazhah Al-Fudhala hal. 45, “Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. 

Hal itu karena betapa banyak orang yang menyesal karena bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan”.

Beliau berkata pula di hal. 47, “Orang yang berakal seharusnya lebih banyak mempergunakan kedua telinganya daripada mulutnya. Dia perlu menyadari bahwa dia diberi telinga dua buah, sedangkan diberi mulut hanya satu adalah supaya dia lebih banyak mendengar daripada berbicara. 

Seringkali orang menyesal di kemudian hari karena perkataan yang diucapkannya, sementara diamnya tidak akan pernah membawa penyesalan. Dan menarik diri dari perkataan yang belum diucapkan adalah lebih mudah dari pada menarik perkataan yang telah terlanjur diucapkan. 

Hal itu karena biasanya apabila seseorang tengah berbicara maka perkataan-perkataannya akan menguasai dirinya. Sebaliknya, bila tidak sedang berbicara maka dia akan mampu mengontrol perkataan-perkataannya.”

Beliau menambahkan di hal. 49, “Lisan seorang yang berakal berada di bawah kendali hatinya. Ketika dia hendak berbicara, maka dia akan bertanya terlebih dahulu kepada hatinya. Apabila perkataan tersebut bermanfaat bagi dirinya, maka dia akan bebicara, tetapi apabila tidak bermanfaat, maka dia akan diam.

Adapun orang yang bodoh, hatinya berada di bawah kendali lisannya. Dia akan berbicara apa saja yang ingin diucapkan oleh lisannya. Seseorang yang tidak bisa menjaga lidahnya berarti tidak paham terhadap agamanya”.

Orang yang banyak bicara menggambarkan dirinya sebagai orang yang kurang ilmu, karena orang yang berilmu dikenal sebagai orang yang lebih banyak berpikir dan melakukan pembelajaran agar dapat mendalami pengetahuan dengan lebih baik dan merenungkan permasalahan dengan lebih jernih. 

Hal ini sebaliknya bagi orang yang banyak bicara, mereka tidak suka berpikir mendalam, tidak mau merenungkan masalah dengan jernih, dan melakukan pembelajaran secara diam-diam karena dorongan nafsunya untuk terus bicara dan berbicara.

Akibatnya, yang diucapkan lebih banyak omong kosongnya daripada mengandung nilai yang bermanfaat dan berbobot kebenarannya. 

Hal ini akan menjerumuskan dirinya pada banyak kesalahan yang tidak akan terjadi pada orang-orang yang suka lebih banyak diam, kecuali hanya karena perlu dia berbicara.

Dalam upaya mendewasakan diri kita untuk menjadi pendengar yang baik, satu langkah awal yang harus kita pelajari adalah bagaimana menjadi pribadi yang berkemampuan dalam menjaga juga memelihara lisan dengan baik dan benar. 

Diam yang dimaksud disini adalah diam aktif, bukan diam sombong, diam marah, atau diam malas, tapi diam dengan produktif, diam dengan menghasilkan karya, diam dengan menghasilkan manfaat. 

Beberapa keuntungan diam aktif menurut KH.Abdullah Gymnastiar :

• Hemat Masalah

Dengan memilih diam aktif kita akan menghemat kata-kata yang berpeluang menimbulkan masalah.

• Hemat dari Dosa

Dengan diam aktif maka peluang tergelincir kata menjadi dosapun menipis terhindar dari kesalahan kata yang menimbulkan kemurkaan Allah.

• Hati Selalu Terjaga dan Tenang

Dengan diam aktif berarti hati akan terjaga dari riya ujub takabbur atau aneka penyakit hati lain yang akan mengeraskan dan mematikan hati kita.

• Lebih Bijak

Dengan diam aktif berarti kita menjadi pendengar dan pemerhati yang baik, diharapkan dalam menghadapi sesuatu persoalan pemahaman menjadi jauh lebih mendalam sehingga pengambilan keputusan pun jauh lebih bijak dan arif.

• Hikmah Akan Muncul

Yang tak kalah penting orang yang mampu menahan diri dengan diam aktif adalah bercahaya qolbu, memberikan ide dan gagasan yang cemerlang, hikmah tuntunan dari Allah subhanahu wa ta'ala akan menyelimuti hati lisan serta sikap dan perilakunya.

• Lebih Berwibawa

Tanpa disadari sikap dan penampilan orang yang diam aktif akan menimbulkan wibawa tersendiri. Orang akan menjadi lebih segan untuk mempermainkan atau meremehkan.

Diam aktif merupakan upaya menahan diri dari beberapa hal seperti: diam dari perkataan dusta, diam dari perkataan sia-sia, diam dari komentar spontan dan celetukan, diam dari kata yang berlebihan, diam dari keluh kesah, diam dari niat riya dan ujub, diam dari kata yang menyakiti, diam dari sok tahu dan sok pintar.

“Barangsiapa banyak bicara maka banyak pula salahnya dan barangsiapa banyak salah maka banyak pula dosanya, dan barangsiapa banyak dosanya maka api neraka lebih utama baginya”. (HR. Ath-Thabrani)

Imam Syafi’i pernah menasehati : ”Jika seseorang akan berbicara hendaklah ia berfikir sebelum berbicara, jika yang akan diucapkannya itu mengandung kebaikan maka ucapkanlah, namun jika ia ragu (tentang ada atau tidaknya kebaikan pada apa yang akan ia ucapkan) maka hendaklah tidak berbicara hingga yakin bahwa apa yang akan diucapkan itu mengandung kebaikan”.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu‘anhu berkata: “Jauhilah oleh kalian berlebihan dalam berbicara, cukup bagi seseorang umtuk berbicara seperlunya.” [Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, Ibnu Rajab al-Hambali hal 134]. Beliau juga berkata: “Demi Allah, Dzat yang tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia! Tidak sesuatu pun di dunia ini yang lebih berhak untuk ditahan dalam waktu yang lama daripada lidah.” [Az-Zuhd, Imam Ahmad hal. 227].

Orang-orang bijak mengatakan : “Apabila akal seseorang telah sempurna maka akan berkurang bicaranya.” [Bahjat al Mujalis, Ibnu Abd al-Barr 1/87].

Abu Darda’ Radhiyallahu ‘anhu berkata:

“Lebih berlaku adilah terhadap telingamu dari pada lidahmu! Karena tidaklah diciptakan telinga itu dua kecuali agar kamu lebih banyak mendengar dari pada berbicara.” [Mukhtashar Minhaj al-Qashidin, Ahmad bin Qudamah al-Maqdisi].

Sufyan ats-Atsauri Rahimahullah berkata:

“Ibadah yang pertama kali adalah diam, kemudian menuntut ilmu,mengamalkan, menghafal dan menyampaikannya.” [Raudhat al-‘Uqala’ wa nazhat l-Fudlala’, Ibnu Hibban hal. 43].

Bagaimana Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam begitu powerful mengubah peradaban dan menggerakkan orang lain dalam kebaikan?, salah satu faktor penentunya; 

Rasulullah adalah pendengar yang sangat baik, dan tidak banyak berbicara kecuali memang perlu, dua hal tersebut jika kita ikuti sungguh akan menambah kekuatan diri kita untuk menjadi pribadi penuh daya, yang kemudian kita gunakan kekuatan tersebut untuk menebarkan manfaat kepada sebanyak-banyaknya manusia.

Sir George Bernard Shaw, (26 July 1856 – 2 November 1950), Tokoh Irlandia, Pendiri London School of Economics

“Jika ada agama yang berpeluang menguasai Inggris bahkan Eropa –beberapa ratus tahun dari sekarang, Islam-lah agama tersebut. Saya senantiasa menghormati agama Muhammad karena potensi yang dimilikinya. 

Ini adalah satu-satunya agama yang bagi saya memiliki kemampuan menyatukan dan merubah peradaban. Saya sudah mempelajari Muhammad sesosok pribadi agung yang jauh dari kesan seorang anti-kristus, dia harus dipanggil ’sang penyelamat kemanusiaan” 

“Saya yakin, apabila orang semacam Muhammad memegang kekuasaan tunggal di dunia modern ini, dia akan berhasil mengatasi segala permasalahan sedemikian hingga membawa kedamaian dan kebahagiaan yang dibutuhkan dunia: Ramalanku, keyakinan yang dibawanya akan diterima Eropa di masa datang dan memang ia telah mulai diterima Eropa saat ini.”(The Genuine Islam,’ Vol. 1, No. 8, 1936.)

MENGHINDARI BERBANTAH-BANTAH

Islam melarang pemaksaan kehendak dan pemaksaan pendapat, bahkan Islam menegaskan “tidak ada paksaan dalam hal agama” (QS. 2:256) ;

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut [syaitan dan apa saja yang disembah selain dari Allah] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus, dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

“Mengalah” demi menghindari berbantah-bantahan yang berkepanjangan adalah sikap ksatria, jantan, sekaligus disukai Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Bahkan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menegaskan adanya pahala yang besar : “Aku akan menjamin sebuah rumah di tepi surga bagi siapa saja yang meninggalkan perdebatan meskipun dia yang benar.” (HR. Abu Daud no. 4800 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 1464).

Jadi, menghindari perbantahan itu bernilai tinggi menurut pandangan Allah karena dampak negatif dari perbantahan itu sangat meluas, bisa merusak akhlak, merusak kebaikan, juga merusak hati kita. Dampak negatif berbantah-bantahan antara lain adalah munculnya kemarahan, kekesalan, dan kebencian.

Tugas kita adalah menyampaikan kebenaran, “Sampaikan dariku walaupun satu ayat” (HR. Bukhari), bukan memaksakan kebenaran itu diterima oleh orang lain. Tentu saja, kebenaran yang dimaksud adalah ajaran Islam yang bersumberkan wahyu Allah atau apa pun yang sesuai dengan ajaran Islam.

Perbedaan pendapat adalah sunnatullah, sekaligus ujian bagi kaum Muslimin dalam hal persaudaraan, kebesaran jiwa, dan sikap toleran atau menghargai pendapat orang lain. Sekali lagi, tugas kita adalah menyampaikan kebenaran, bukan memaksakannya agar diterima orang lain.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengingatkan: “Tidaklah suatu kaum tersesat setelah mendapatkan petunjuk, kecuali karena mereka suka berdebat (berbantah- bantahan)“ (HR. At-Tirmidzi). Iman Ahmad pun pernah berkata: “Jangan duduk dengan orang yang suka berdebat meskipun untuk membela Alaihi sallam Sunnah sebab sesungguhnya yang demikian tidak akan berubah menuju kebaikan.”

Diantara sifat orang-orang yang powerful adalah sedikit berbicara dan menghindari perdebatan, dan itu bukan karena lemah atau bodoh, tetapi justru karena keilmuannya.

Dale Carnegie dengan tegas menyatakan bahwa Anda tidak akan pernah bisa menang dalam sebuah perdebatan, karena seseorang yang diyakinkan untuk menentang kehendaknya sendiri akan tetap memegang pendapatnya sendiri. Tidak ada pilihan bagi kita dalam perdebatan kecuali menghindarinya, dan itu diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Jauh lebih banyak kemudharatan yang ditimbulkan oleh perdebatan dibanding manfaatnya. Diriwayatkan dari Abu Umamah r.a., ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam .bersabda,

“Tidaklah sesat suatu kaum setelah mendapat petunjuk kecuali karena mereka gemar berdebat. Kemudian Rasulullah saw. membacakan ayat, “Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” (Az-Zukhruf: 58).” (Hasan, HR Tirmidzi [3253], Ibnu Majah [48], Ahmad [V/252-256], dan Hakim [II/447-448]).

Kerap dijumpai di tengah masyarakat, peristiwa yang berakhir saling bunuh atau saling membinasakan. Jika ditelisik lebih jauh, kejadian tersebut bermula dari cekcok dan salah paham. Di dunia maya, berkutat di forum dan grup yang isinya debat akan menghilangkan kelembutan jiwa. Juga, akan mengotori pikiran kita dengan kedengkian, mengotori lisan kita dengan makian, mengotori perbuatan kita dengan tindak diskriminasi dan intoleransi.

Jauhilah forum dan grup yang berisi debat karena tak ada secuilpun manfaat yang kita dapat. Lawan debat tak akan insyaf sementara energi terkuras untuk berbantahan. Bahkan tak mustahil akan membuat kita frustasi atau merasa hidup dalam bayang-bayang permusuhan, padahal semua bermula hanya di dunia maya.

Perdebatan di dunia nyata juga terkadang tak kalah sengitnya. Tak jarang perbedaan pandangan tentang suatu hal menjadi pemicu dan pencetus terjadinya perdebatan panjang. Malah tak sedikit pula akibat kata-kata yang tak tak terjaga membuahkan ketersinggungan, kemarahan dan kebencian. Boleh jadi kemudian menjadi permusuhan hingga tindakan-tindakan kriminal lainnya. 

Bahkan bagi orang yag berilmu sekalipun, perdebatan dapat menyebabkan jatuhnya harga diri. Baik karena argumenyang terkalahkan maupun karena kesia-siaan yang dihasilkan dari debt tersebut. Tak heran, jika imam Malik rahimahullah ta’ala berkata:

“berdebat adalah menghilangkan cahaya ilmu dan mengeraskan hati, serta menyebabkan permusuhan.” (Ibnu rajab, Fadhlu ilmu salaf: 35).

Sahabatku, banyak diantara kita terjebak dalam ego yang liar tak terkendali. Akibatnya keinginan menyampaikan kebenaran tumbuh secara membabi buta hingga mengalahkan kebenaran itu sendiri. Saksikanlah di forum debat, bagaimana seseorang yang menyampaikan kebenaran keyakinannya dengan memaki dan mencaci apa yang diyakini oleh orang lain.

Saya tak mengatakan bahwa semua debat adalah buruk, namun perlu diketahui pula bahwa tak setiap kita layak untuk menjadi juru debat.

Debat yang kebanyakan dilakukan oleh orang awam dan kebanyakan orang berilmu yang buruk akhlak adalah debat yang misinya untuk menjatuhkan, bukan menyadarkan.

Padahal semestinya komunikasi yang baik dan efektif adalah dengan saling menyampaikan buah pikiran masing-masing, lalu masing-masing pula memikirkan argumen yang disampaikan lawan bicara. Silahkan masing-masing menimbang argumen lawan bicara tanpa ada tindakan memaksa, mengintimidasi dan menjatuhkan. Perdebatan dengan cara saling menjatuhkan, menistakan, dan menghinakan hanya akan mengantar kita ke jurang permusuhan.

Konflik tak terhindarkan di hidup ini. Jika anda mau menghindari konflik anda harus mengisolasikan diri dari peradaban manusia, itu pun saya tidak akan jamin kalau Anda bisa menghindari yang namanya konflik.

Di film Castaway, Tom Hanks yang terdampar di pulau tak berpenghuni pun bisa konflik dengan sebuah bola voli. Jika melibatkan dua pihak, hampir bisa dipastikan terjadi debat di dalam sebuah konflik.

Jikapun kita terpaksa berdebat, maka debat yang kita lakukan untuk menyampaikan kebenaran selayaknya dilakukan dengan menarik simpati lawan debat. Jika bersimpati pada kita saja tidak, bagaimana mungkin ia mengikuti pendapat dan keyakinan kita?

Nah, jika kita merasa masih belum mampu menyampaikan argumen dengan cara yang baik dan menarik hati lawan debat, alangkah baiknya segala bentuk perdebatan ditinggalkan. 

Sebagaimana yang dikatakan hasan Al Bashri tatkala ia menyasikan orang saling berdebat: “mereka adalah kaum yang malas beribadah dan suka berbicara serta tidak memiliki warak makanya mereka suka ngobrol” . (Ibnu rajab, Fadhlu ilmu salaf: 36).

John William Draper (1811-1882) Ilmuwan, filosof, dan sejarawan Amerika


“Empat tahun setelah runtuhnya kekaisaran Roma Timur (Kaisar Justin), pada 569 Masehi, di kota Makkah, di jazirah Arab, lahirlah manusia yang di antara seluruh manusia telah memberikan pengaruh amat besar bagi umat manusia... Muhammad.” [A History of the Intellectual Development of Europe, London, 1875, vol.1, h. 329-330]

BIJAK SAAT MENUNJUKKAN KESALAHAN ORANG LAIN

Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam tidak diragukan lagi memiliki pengaruh yang luar biasa besar dalam peradaban dunia. 

Hari ini adalah hari setelah lebih dari 1400 tahun (14 abad) dimana Rasulullah pertama kali menebarkan ajaran Islam kepada umat manusia, merupakan jarak waktu yang tidak sedikit, tetapi sungguh pola pikir, ajarannya, dan prinsip hidupnya begitu sangat berpengaruh dan menggema di dunia pada zaman ini, hari ini, detik ini, dan sampai kapanpun. 

Sungguh masih terasa kelembutannya, senyum tulusnya, kasih sayangnya, dan segala sepak terjang kehidupannya, bagaimana hal itu bisa terjadi?

Masyarakat jazirah Arabia yang jahiliyah, urakan, kotor, pemarah, selalu berperang karena hal-hal yang sepele, merendahkan harkat kaum perempuan, berubah menjadi khairu ummah (ummat yang terbaik) dengan keluhuran budi dan kemuliaan akhlak, berubah menjadi umat yang beriman dengan sebenar-benarnya iman, rajin berdzikir dan khusyu dalam ibadah.

Berubah menjadi umat yang saling mengisi, memaafkan dan tolong- menolong antar sesama, umat yang selalu berfikir dan berikhtiar agar hidup mereka lebih kreatif, lebih produktif dengan tidak menjadi beban orang lain tapi justru memberi sebesar-besarnya manfaat bagi lingkungan sekitarnya, bagaimana hal itu bisa terjadi? bagaimana Rasulullah bisa begitu sukses dalam proses transformasi ini?.

Seorang guru pernah berucap bahwa proses dakwah itu layaknya proses menjual dan mempromosikan barang dagangan, seorang penjual biasanya mengemas barang dagangannya sedemikian rupa sehingga dapat menarik hati para pembeli. Berbagai upaya dilakukan, mulai dari mencari kata-kata yang eye catching, penyajian yang menarik, hingga promosi disertai bonus-bonus yang menggiurkan. 

Begitu pula dalam berdakwah, bagaimana seorang pendakwah juga dituntut bisa mengemas dakwah ini menjadi menarik, sehingga risalah mulia ini dapat tersampaikan dengan begitu memikat, dan umat manusia pun tertarik untuk berbondong-bondong menyambut seruan kebenaran ini. 

Mereka menjadi terpaku dengan keindahannya, kedamaiannya dan kelembutannya, sehingga memilih Islam sebagai lentera dalam kehidupannya di dunia.

Dakwah adalah tindakan persuasi untuk mengajak seseorang kepada kebaikan dan kebenaran. Sebagai tindakan persuasi maka sangat diperlukan berbagai upaya untuk mengarahkan seseorang mau bertindak dalam kerangka kebenaran dan kebaikan.

Bijak dalam menyampaikan kritik dan bijak dalam menyikapi perbedaan, adalah salah satu sebab yang membuat dakwah Rasulullah begitu powerful, merupakan satu hal yang sangat penting yang menjadi kekuatan dakwah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam.

Bersikap bijak dalam menyampaikan kritik adalah keharusan, memilih kata yang santun dalam bertuturpun adalah kemestian. Perbedaan pendapat yang disinergikan sedemikian rupa pasti melahirkan solusi. Hal-hal inilah yang dijaga betul oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam selama masa perjalanan dakwahnya.

Pernahkah anda mendengar ungkapan ini: “Sahabat yang baik adalah sahabat yang berani menunjukan salahnya engkau”. Adakah yang salah dalam ungkapan ini? Ungkapan tersebut adalah ungkapan yang benar, tetapi ungkapan ini menjadi salah jika kita memahaminya dengan cara yang salah dan mengaplikasikannya tanpa ilmu.

Kebutuhan dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai, kebutuhan manusia akan penghargaan tersebut sama pentingnya dengan kebutuhan makan dan minum, siapapun pasti tidak akan suka jika dikatakan salah, siapapun pasti tidak akan suka jika ditunjuk salahnya, siapapun pasti tidak akan suka jika dikritik. 

Lalu, apakah kita harus membiarkan dan diam saja jika ada yang berbuat salah? apakah kita harus diam saja jika ada yang berbuat kemungkaran? bukankah itu merupakan bentuk ketidakpedulian kita terhadap orang lain dan lingkungan?.

Sahabat sekalian, menyampaikan kesalahan orang lain tidak boleh sembarangan dan harus dilakukan dengan hati-hati. Memberikan kritik kepada orang lain haruslah dilakukan dengan bijak dan didasari oleh kasih sayang bukan didasari oleh hawa nafsu.

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam tidak akan sukses dalam dakwahnya jika beliau tidak bijak dalam memberikan kritik. Percaya atau tidak, fakta menunjukkan bahwa sebagian besar kritik itu tidak memperbaiki situasi yang sudah dikritik, melainkan justru akan menimbulkan rasa benci. 

Seseorang yang hobinya mengkritik tidak akan pernah disukai. Dalam melontarkan kritik biasanya kita sering lupa bahwa kita tidak selalu berhadapan dengan seseorang yang mampu menerimanya dengan lapang dada.

Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam tidak akan berhasil dakwahnya jika ia “secara langsung dan seketika” menghujat dan menghakimi orang lain. Alexander Pope berkata, “orang harus diberi pelajaran dengan cara seolah-olah anda tidak mengajarinya, dan hal-hal yang tidak diketahui oleh orang itu diajukan sebagai hal-hal yang terlupa”.

Dalam buku The Mind In the Marking, James Harvey Robinson menyatakan bahwa kita lebih senang untuk terus memegang keyakinan yang sudah terbiasa kita terima, yang menyatakan bahwa itu benar, dan kemudian rasa benci akan muncul apabila tertangkap adanya keraguan terhadap anggapan kita, ini akan membawa kita mencari setiap sikap berdalih untuk mendukung argumen kita agar kita bisa terus memegang apa yang sudah kita percayai selama ini. 

Kadang-kadang kita mendapati diri kita mengubah pikiran tanpa perlawanan apapun atau emosi besar apapun, tapi jika kita diberitahu bahwa kita salah, kita akan menolak mengakui ini dan mengeraskan hati.

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah serta pelajaran yang baik. Dan bantahlah mereka dengan cara yang terbaik..” (QS. An-Nahl [16] : 125)

Ayat ini memberikan sebuah masukan kaidah penting yang harus kita amalkan di dalam mengajak orang lain kepada kebaikan dan mencegah dari kemungkaran. Karena seringkali faktor inilah yang menjadi pintu masuk bagi orang yang kita dakwahi untuk menerima kebenaran dengan segenap kerelaan dirinya, bukan karena paksaan. Oleh karena itu kita dilarang melakukan hal kebalikan seperti perbuatan-perbuatan kasar yang justru malah dapat membuat orang antipati terhadap dakwah.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka...” (QS. Ali-Imron [3] : 159)

Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam adalah pribadi yang mampu memadukan antara ketegasan atas sebuah urusan dan kelembutan sehingga tidak membuat orang kabur karena takut. Jika ada yang berbuat salah, dengan penuh kesabaran dan ketenangan Rasulullah mampu menjelaskan bahwa apa yang dilakukan orang tersebut salah, tetapi juga tidak membuat orang itu lari dan benci karena merasa disalahkan, dipojokkan atau disudutkan.

Dengan penuh kesababaran dan ketenanganlah sikap bijak akan muncul, dan orang-orang yang memiliki pengaruh luar biasa dapat dipastikan memiliki sikap dan keterampilan ini. Rasulullah mengajarkan kita untuk bersikap tegas yang bijaksana di dalam mengajak orang lain, bukannya sikap kasar yang berlandas pada dorongan emosi atau egoisme. 

Anda dapat menemukan berbagai contoh sikap Rasulullah ini melalui hadits-hadits dan kisah perjalanan hidup beliau, seperti pada saat Rasulullah menyikapi orang badui yang ‘buang air kecil’ di dalam masjid.

Sampaikanlah pesan dengan hikmah, bukan dengan mengkritik membabi buta, pesan yang disampaikan dengan tidak mengkritik dan tidak bersifat menyerang akan memiliki kekuatan yang dahsyat merasuk ke dalam benak orang lain, sebaliknya jika pesan disampaikan dengan kritik maka akan terjadi penolakan yang rasa benci dari orang yang dikritik.

Seringkali orang berbuat salah karena ketidakpahaman dan ketidakmengertian mereka, maka mari kita coba untuk mengerti mengapa mereka melakukan apa yang mereka lakukan dan memaafkan mereka terlebih dahulu, hal itu akan jauh lebih bermanfaat dan akan melahirkan toleransi serta kebaikan hati. 

Sebagaimana dulu Rasulullah ketika dilempari batu saat berdakwah di Thaif, Rasulullah tidak pernah emosi dan bersikap egois, malah beliau mengatakan, 

“Sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti..”, dan ketika malaikat menawarkan untuk mengubur penduduk Thaif dengan gunung, tapi apa respon beliau..?! Beliau menolak..!! Beliau mengatakan, “Semoga akan lahir anak keturunan mereka yang menyembah Allah...”.

Benjamin Franklin mengatakan “semua orang bodoh bisa mengkritik, mencerca, dan mengeluh – dan hampir semua orang bodoh melakukannya. Namun perlu karakter dan kontrol diri untuk mengerti dan memberi maaf”.

Ketika Rasulullah dihina, dikritik, dan dihujat oleh orang lain, ia tidak pernah membalasnya dengan hal yang sama, padahal ia adalah manusia yang paling yakin bahwa apa yang ia bawa adalah kebenaran sejati. Ia tidak membalas ucapan penghinaan kepada dirinya dengan kritikan balik, padahal ia punya sejuta argumen untuk membalas ucapan itu.

Apakah kira-kira yang akan dikatakan Rasullullah, ketika melihat para penghujatnya masa kini, yang menghina, menfitnah, dan membuat karikaturnya. Terbayang oleh saya, dia hanya akan tersenyum dan berkata

"Mereka tidak mengerti", karena Rasulullah adalah manusia yang paling pemaaf, yang paling menyerap sifat Ar-Rahman dari Tuhannya.

Marak terjadi belakangan ini perselisihan antar umat beragama, dan ini tidak jarang terjadi karena ketidakmampuan menahan diri untuk mengkritik keyakinan pihak lain. Mari kita telaah dan pelajari lebih dalam bagaimana sikap Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam dalam menyikapi perbedaan, termasuk dalam hal yang sangat prinsip yaitu perbedaan keyakinan.

Sikap Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam terhadap pihak non muslim yang merupakan pihak yang berbeda pendapat adalah sungguh sikap yang mencerminkan kecerdasan yang tinggi dari seorang Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, sebuah sikap yang menunjukan penghargaan, penghormatan dan toleransi. 

Toleransi itu tidak berarti membenarkan, dan ketika kita menahan diri untuk mengatakan pihak lain itu salah bukan berarti kita membenarkan hal tersebut, tetapi dibutuhkan cara yang baik dan cerdas dalam mengemukakan pendapat secara tepat, akurat, tak menyakiti, dan efektif mengubah.

Sekarang ini banyak yang menganggap umat Muslim adalah umat beragama yang tidak toleran terhadap agama lain, apalagi sejak banyaknya teror yang mengatasnamakan Islam, tetapi mereka sesungguhnya tidak melihat sejarah bahwa Islam adalah agama yang paling toleran terhadap agama lain. 

Ada banyak contoh yang bisa anda dapatkan tentang kejadian yang terjadi pada zaman Rasulullah yang menggambarkan betapa Beliau sangat menghormati agama lain. Jadi sikap penghargaan terhadap pihak lain yang berbeda pendapat dengan kita haruslah ditumbuhkan, bukan malah sebaliknya apalagi sampai mencela agama lain.

"Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan." (al-An’am:108)

Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam pernah berucap, diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, "Termasuk dosa besar seorang laki-laki yang mengolok kedua orang tuanya." Kemudian sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah saw, bagaimana seorang laki-laki itu bisa mengolok kedua orang tuanya? Rasul menjawab, "Ia mengolok bapak seorang laki-laki, dan lelaki itu mengolok bapaknya, kemudian ia mengolok ibu lelaki itu, dan laki-laki itu balas mengolok ibunya."

Keterangan di atas tidak boleh ditafsirkan bahwa kita harus bermanis muka, bersikap munafik dan meninggalkan aktivitas menyeru kepada kebenaran. Namun, maksudnya adalah tidak "melecehkan" (sesembahan agama bathil) hingga menyebabkan terjadinya pelecehan dan penghinaan balik.

Manusia diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala kemampuan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk, manusia diberikan kemampuan akal yang dapat dioptimalkan dalam memilih kebenaran.

Tugas kita bukanlah mengkritik membabi buta pihak lain yang berbeda pendapat atau berbeda keyakinan, justru sikap penghargaan lah yang harus kita berikan kepada mereka, tugas kita adalah mengingatkan dan mengajak dengan kelemah lembutan, menunjukkan pesona Islam, menebarkan keindahan Islam, memberikan sebanyak-banyaknya manfaat, mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, memberi tahu pada dunia bahwa Islam itu indah.

Tugas mengingatkan dan mengajak itu harus dimulai dengan fokus untuk memperbaiki diri, karena ketika kita fokus terus menerus merubah diri menjadi pribadi yang lebih baik dan penuh manfaat, maka disaat yang bersamaan kita telah berkontribusi merubah lingkungan menjadi lebih baik.

Jika terhadap yang berbeda keyakinan saja kita diperintahkan untuk santun dan menghargai pendapat mereka, apalagi terhadap saudara kita yang seiman. Mari kita jalankan konsep 

“Bersatu dalam hal-hal yang disepakati dan bertoleransi dalam hal-hal yang diperselisihkan”, apalagi jika perbedaan yang ada hanyalah perbedaan yang sifatnya kecil. 

Janganlah mudah untuk mengatakan pihak lain salah, janganlah mudah untuk melontarkan kritik, atau mem-bid’ah-kan, karena bukan manfaat yang akan didapat melainkan mudharat. 

Sampaikanlah pendapat dengan cara terbaik, secara sangat hati-hati, santun, penuh kasih sayang tulus, dan pada waktu yang tepat.

Jadi, apakah kita sama sekali tidak boleh mengkritik?, mengkritik itu ada kalanya harus, tetapi juga harus pada waktu yang tepat, forum yang tepat, dan dilakukan dengan cara yang tepat, dengan cara yang paling baik.

Ketika sholat berjamaah, dan imam sholat salah gerakan, bagaimana kita sebagai ma’mum diajarkan untuk memberitahukan (mengkritik) imam?, yaitu dengan mengucapkan kalimat yang baik – dengan mengucapkan subhanallah, bukan mengkritik imam dengan cara menendangnya, atau berteriak dengan kalimat tidak baik. Guru saya mengatakan; ‘hati tidak akan pernah tersentuh oleh kekerasan, hati hanya akan tersentuh oleh ketulusan”

Rasulullah menyatakan ketika kita melihat kemungkaran maka kita diperintahkan untuk mengubahnya, baik dengan tangan, lisan, atau minimal dengan hati, tapi sungguh perintah Rasulullah untuk mengubah itu harus dilakukan dengan strategi yang efektif, tidak sembarang, tidak dengan emosi, hawa nafsu, dan egoisme.

Contoh, ketika ada perjudian di lingkungan Anda, lalu anda serta merta secara langsung dan spontan mengkritik para penjudi tersebut, Anda berceramah di depan mereka bahwa judi itu diharamkan Allah, atau bahkan Anda bertindak merusak tempat judi tersebut dengan niat ingin mengubah kemungkaran, apakah kira-kira yang terjadi?, apakah tindakan itu efektif mengubah?, saya yakin tidak, tidak untuk jangka panjang.

Jadi, tahan diri, pikirkan dan upayakan strateginya, kita siapkan terlebih dahulu kekuatan dan kekuasaan, sekali lagi – kekuatan dan kekuasaan, kita tebarkan keindahan Islam terlebih dahulu, sampai akhirnya tiba saat yang tepat untuk bertindak, dan tindakan itu pun harus dilakukan dengan cara terbaik, seperti cara yang dilakukan Rasulullah saat penaklukan Mekkah.

Disaat kita mendiamkan kemungkaran bukan berarti kita tidak peduli dan membenarkan mereka, tapi kita perlu menyiapkan kekuatan terlebih dahulu dan memikirkan strateginya sebelum bertindak. 

Mungkin, usaha kita dalam menyiapkan kekuatan-kekuasaan itu butuh waktu yang tidak sedikit dan membutuhkan kesabaran extra, tetapi Insya Allah semua usaha itu bernilai ibadah di mata Allah Subhanahu Wa Ta'ala, karena dilakukan dengan niat dakwah, ingin mengubah lingkungan menjadi lebih baik.

Lalu bagaimana jika kita dikritik?, ketika kita dikritik yang harus kita lakukan adalah diam terlebih dahulu, dengarkan dan inventarisir apa-apa yang disampaikan oleh pengkritik, jangan pernah menyerang balik dengan kritik balasan, itu adalah sebuah kesalahan. 

Ketika kita dikritik, janganlah bersuara, diam, rasakanlah betapa tidak enaknya dikritik betapapun sebenarnya yang disampaikan itu adalah benar. Iya kan?

Sekali lagi, jika kita dikritik yang harus kita lakukan hanyalah diam dan dengarkan, jangan pernah menyerang balik orang yang mengkritik kita dengan kritikan balasan, rasakanlah betapa tidak enaknya dikritik betapapun yang disampaikan itu adalah benar. 

Setelah kita diam, yang harus kita lakukan adalah evaluasi dan koreksi diri, pelajari kritikan tersebut dan akui secara jujur sejujur-jujurnya, mana kritikan yang benar mana yang tidak, fokus terhadap diri kita, dengan begitu kritik tersebut dapat meng-up grade diri kita menjadi lebih baik, inilah yang kita tuntut terhadap diri kita, bukan tuntutan kepada orang lain.

Hikmah yang bisa kita ambil ketika kita dikritik adalah betapa tidak enaknya menerima kritik meskipun itu adalah benar dan membangun.

Jadi, hati-hatilah dalam mengkritik, harus pada waktu yang tepat, forum yang tepat, dan dilakukan dengan cara yang tepat, dengan cara yang paling baik.

Inilah satu pelajaran penting dari seorang Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam jika kita ingin menjadi pribadi berpengaruh, untuk kemudian kita gunakan pengaruh tersebut dalam kebaikan dan kemanfaatan bagi sebanyak-banyaknya umat manusia.

Reverend Bosworth Smith (1794-1884) Mantan pengawas Trinity College, Oxford


“... Dia Caesar sekaligus Paus; tetapi dia adalah Paus tanpa pangkat Paus dan Caesar tanpa pasukan Caesar. Tanpa tentara tetap, tanpa pengawal, tanpa istana, tanpa pendapatan tetap, jika pernah ada manusia yang memiliki hak untuk mengatakan bahwa dia diperintah oleh Tuhan Yang Maha Benar, dialah Muhammad; karena dia memiliki semua kekuasaan tanpa peralatan dan pendukung untuk itu.” [Mohammed and Mohammedanism, London, 1874, p. 235]

MENDAHULUKAN MAAF

Adakah dari kita yang tidak pernah berbuat salah? kita semua tahu bahwa manusia adalah tempat ‘bersemayamnya’ kesalahan, ketika kita berbuat salah lalu kita menyadarinya maka pasti muncul harapan agar kesalahan tersebut dapat dimaafkan dan dimaklumi oleh pihak yang tersakiti atau dirugikan.

Dimanapun dan kapanpun, seorang pemaaf akan disukai oleh siapapun, karena walaupun mudah diucapkan, ‘memaafkan’ bukanlah perbuatan yang mudah dilakukan. Ketika seseorang telah atau akan dicelakai, maka yang tertanam biasanya perasaan dendam dan ingin membalas. Perasaan seperti itu adalah wajar dalam diri orang biasa. Namun, sikap memaafkan hanya ada pada diri orang-orang hebat.

Memaafkan butuh kematangan diri dan kecakapan spiritual. Kematangan diri hanya bisa didapatkan melalui keterbukaan hati dan pikiran akan segala pengalaman hidup yang dialami. 

Sementara kecakapan spiritual hanya bisa diperoleh ketika telah memiliki rasa penghambaan yang tinggi hanya kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala semata.

Siapa yang meragukan jiwa pemaaf Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam?

Rasulullah Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam adalah seorang manusia yang selalu memaafkan kesalahan orang tanpa peduli seberapa besar kesalahan orang tersebut, sejarah telah mencatat banyak contoh nyata dari sifat pemaaf Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam. 

Itulah hal keempat yang diangkat dalam buku ini sebagai penyebab pengaruh luar biasa seorang Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam, selalu memaafkan orang lain.

Memaafkan jauh lebih sulit daripada meminta maaf, karena ketika kita diminta untuk memaafkan maka kita sedang berada dalam kondisi menang dan benar. Dalam menjalani hidup sosial bermasyarakat, manusia tidak pernah lepas dari sebuah kesalahan, entah itu terhadap tetangga, kawan, ataupun rekan kerja. 

Kesalahan adalah suatu hal yang wajar ketika kita berinteraksi dengan sesama. Namun, menjadi luar biasa ketika kita bisa menyikapi kesalahan tersebut dengan suatu proses saling maaf dan memaafkan.

Seorang pemaaf akan dicintai oleh siapapun, kapanpun, dan dimanapun. Dan yang paling berpeluang besar mencintai seorang pemaaf adalah orang yang pernah menyakiti dan merugikannya. 

Maka, wajarlah ketika musuh-musuh Rasulullah yang dengan keras menentang ajarannya bisa berbalik menjadi follower nya dengan penuh cinta dan sangat menyayanginya, karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam adalah pribadi yang terbebas dari perasaan dendam dan selalu memaafkan.

Allah Azza wa Jalla berfirman :

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan perbuatan baik, serta berpisahlah dari orang-orang yang bodoh.” [al-A’raf/7:199]

“Memaafkan adalah bentuk tertinggi dari pengertian dan bentuk terkuat dari kasih sayang.” Mario Teguh

Hari Fathu Makkah, ya pada hari penaklukan kota Mekkah itu Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa sallam datang bersama pasukan berkekuatan 10.000 tentara dengan persenjataan yang lengkap. Abu Sufyan, pemimpin Quraisy memperhatikan kekuatan itu dari atas sebuah bukit. 

Ia berkata kepada Abbas, paman Rasulullah Saw. “Wahai Abbbas, tak seorangpun yang sanggup dan kuat menghadapi pasukan sehebat ini.” 

Namun apakah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melampiaskan dendamnya pada saat berkuasa seperti itu? Apakah Nabi mencari Hindun dan Wahsyi yang telah membunuh dan memakan jantung Hamzah paman nabi? 

Apakah Nabi membalas dendam atas kematian Mus’ab bin Umair di perang Uhud yang mayatnya dicincang orang kafir? Tidak, tidak! Pada saat itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menghukum siapapun. 

Rasulullah Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebarkan rahmat dan cinta kasih kepada orang Mekkah yang selama ini memusuhinya dan ingin menghancurkannya. Pada saat itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memaafkan mereka semua seraya berkata: 

“Siapa yang masuk ke dalam Masjidil Haram dia selamat. Dan siapa yang masuk ke dalam rumah Abu Sufyan dia juga selamat.”

MasyaaAllah.. hari itu sejarah mencatat bahwa Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberikan ampun, maaf dan janji keselamatan kepada musuh-musuhnya. Hari itu runtuhlah benteng kesombongan kafir Quraisy.

Dengan kata maaf yang diumumkan secara meluas itu bertaubatlah Quraisy akan kesalahan mereka selama ini. Seluruh kesalahan Quraisy dari pertama menyiksa umat Islam, memfitnah Nabi Muhammad SAW sebagai orang gila, penyihir dan dukun, memerangi dan membunuh umat Islam selama bertahun-tahun... dimaafkan dan diampunkan Nabi tanpa kecuali.

Allahu Akbar, alangkah luasnya samudera maaf di hati Rasulullah. Ditebarnya senyum kepada seluruh kafir Quraisy dan dituturkannya dengan lembut kepada manusia-manusia berhati besi itu, “Idzhabuu wa antum Thulaqaa... pergilah, kamua semua bebas.”

Firdaus Khalimi di kolom harianjogja.com menulis sebuah artikel yang membuat saya tertegun judulnya; ‘Nabi Pemaaf – Ummat Pemarah’, bahwa ratusan tahun sebelum kelahiran Nabi Muhammad, di jazirah Arab telah beredar kisah akan datang seorang rasul terakhir, penutup para nabi, seorang laki-laki yang akan menyempurnakan ajaran terdahulu. 

Dalam kisah kuno itu disebutkan ciri utama dari sang nabi terakhir itu adalah pribadi agung yang selalu mendahulukan maaf. Ribuan syair disusun oleh para pujangga Arab untuk menyambut manusia agung itu. Meski begitu, tidak ada yang mengetahui kapan dan di mana rasul itu akan lahir.

Mereka sangat menantikan kehadiran rasul terakhir itu karena keadaan di jazirah Arab waktu itu sangat kacau, berlaku hukum rimba, siapa kuat, dia yang menang. Betapa indahnya jika yang akan lahir itu adalah seorang yang mendahulukan maaf, bukan mendahulukan kekuatan atau mukjizat.

Jika kita yang mengaku umat Muhammad masih selalu mendahulukan balas dendam daripada memaafkan, sepertinya kita kurang mengenal Nabi kita. Bagaimana kita akan mencintai Nabi kalau kita tidak mengenalnya secara utuh. Satu hal dari bermacam sifat kenabian yang wajib untuk kita teladani adalah mendahulukan maaf. 

Perlu dipahami memaafkan tidak sama dengan kalah. Justru orang yang mampu dan mau memaafkan kesalahan orang lain sesungguhnya telah menang, menang melawan nafsu balas dendam. Islam didakwahkan dengan kasih sayang tidak dengan pedang dan kekerasan.

Nabi tidak pernah membalas dendam saat memiliki kesempatan, tidak marah atas perbuatan jelek orang padanya. Beliau marah jika hukum

Allah Subhanahu Wa Ta'ala dilanggar. Peperangan yang beliau laksanakan adalah untuk menegakkan kasih sayang dan perdamaian, bukan untuk balas dendam.

Nabi tidak pernah berperang dalam keadaan marah. Bahkan beliau selalu menekankan agar kita jangan marah.

Artinya, ketika saat ini banyak dakwah dilakukan dengan energi kemarahan, sesungguhnya bukan dakwah yang sedang dilakukan tapi usaha balas dendam. Nabi menjanjikan bahwa dengan menahan marah, imbalannya adalah surga. Untuk menjadi umat pilihan tentunya sifat pemaaf ini wajib dimiliki oleh umat Nabi Muhammad.

Dengan selalu mendahulukan maaf, maka umat Islam tidak akan mudah diadu domba dan dipecah belah dengan isu-isu murahan. Dengan selalu memaafkan, maka tanpa perang sesungguhnya kita sudah menang.

Mungkin saat ini umat Islam di Indonesia sedang mengalami sindroma mayoritas.

Sindroma ini muncul jika ada pihak minoritas yang berbeda dengan mayoritas. Si mayoritas akan merasa terganggu keberadaannya dengan munculnya perbedaan. 

Sindroma seperti ini melanda kepada pihak-pihak yang selalu merasa kalah, tidak aman dan hidup dalam tekanan. Seakan apapun yang dilakukan orang lain adalah untuk menyerang dirinya.

Semoga pendapat ini salah dan kita bisa memulai fajar baru dengan terbitnya matahari maaf dalam sanubari kita.

Masih teringat dalam ingatan kita tentang pembuatan film “Innocent of Muslim” yang dibuat oleh seorang warga USA, ketika melihat film tersebut, seakan-akan iman kita tercabik-cabik, dan bahkan banyak orang yang melakukan kekerasan demi membalas sakit hati itu. 

Tapi ketahuilah tidak ada perbuatan yang pantas untuk kita lakukan sebagai umat islam selain ‘memaafkan’, berikut sebuah penggalan kisah Rasulullah dengan seorang fakir yang ingin membunuhnya.

Seorang lelaki Arab bernama Tsumamah bin Itsal dari Kabilah Al Yamamah pergi ke Madinah dengan tujuan hendak membunuh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam. Segala persiapan telah matang, persenjataan sudah disandangnya, dan ia pun sudah masuk ke kota suci tempat Rasulullah tinggal itu. 

Dengan semangat meluap-luap ia mencari majlis Rasulullah untuk melaksanakan maksud dan tujuannya. Tatkala Tsumamah datang, Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu yang melihat gelagat buruk pada penampilannya menghadang.

Umar bertanya, “Apa tujuan kedatanganmu ke Madinah? Bukankah engkau seorang musyrik?”

Dengan terang-terangan Tsumamah menjawab, “Aku datang ke negri ini hanya untuk membunuh Muhammad!”. Mendengar ucapannya, dengan sigap Umar langsung memberangusnya. Tsumamah tak sanggup melawan Umar yang perkasa, ia tak mampu mengadakan perlawanan. Umar berhasil merampas senjatanya dan mengikat tangannya kemudian dibawa ke masjid.

Setelah mengikat Tsumamah di salah satu tiang masjid Umar segera melaporkan kejadian ini pada Rasulullah. Rasulullah segera keluar menemui orang yang bermaksud membunuhnya itu. Setibanya di tempat pengikatannya, beliau mengamati wajah Tsumamah baik-baik, kemudian berkata pada para sahabatnya, “Apakah ada di antara kalian sudah ada yang memberinya makan?”.

Para sahabat Rasul yang ada disitu tentu saja kaget dengan pertanyaan Nabi. Umar yang sejak tadi menunggu perintah Rasulullah untuk membunuh orang ini seakan tidak percaya dengan apa yang didengarnya dari Rasulullah. 

Maka Umar memberanikan diri bertanya, “Makanan apa yang anda maksud wahai Rasulullah? Orang ini datang ke sini ingin membunuh bukan ingin masuk Islam!” Namun Rasulullah tidak menghiraukan sanggahan Umar, Beliau berkata, “Tolong ambilkan segelas susu dari rumahku, dan buka tali pengikat orang itu”.

Walaupun merasa heran, Umar mematuhi perintah Rasulullah. Setelah memberi minum Tsumamah, Rasulullah dengan sopan berkata kepadanya,

“Ucapkanlah Laa ilaha illa-Llah (Tiada Tuhan selain Allah).” Si musyrik itu menjawab dengan ketus, “Aku tidak akan mengucapkannya!”. Rasulullah membujuk lagi, “Katakanlah, Aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muhammad itu Rasul Allah.” Namun Tsumamah tetap berkata dengan nada keras, “Aku tidak akan mengucapkannya!”

Para sahabat Rasul yang turut menyaksikan tentu saja menjadi geram terhadap orang yang tak tahu untung itu. Tetapi Rasulullah malah membebaskan dan menyuruhnya pergi. Tsumamah yang musyrik itu bangkit seolah-olah hendak pulang ke negerinya. Tetapi belum berapa jauh dari masjid, dia kembali kepada Rasulullah dengan wajah ramah berseri.

Ia berkata, “Ya Rasulullah, aku bersaksi tiada ilah selain Allah dan Muahammad Rasul Allah.”

Rasulullah tersenyum dan bertanya, “Mengapa engkau tidak mengucapkannya ketika aku memerintahkan kepadamu?” Tsumamah menjawab, “Aku tidak mengucapkannya ketika masih belum kau bebaskan karena khawatir ada yang menganggap aku masuk Islam karena takut kepadamu. Namun setelah engkau bebaskan, aku masuk Islam semata-mata karena mengharap keridhaan Allah Robbul Alamin.”

Pada suatu kesempatan, Tsumamah bin Itsal berkata, “Ketika aku memasuki kota Madinah, tiada yang lebih kubenci dari Muhammad. Tetapi setelah aku meninggalkan kota itu, TIADA SEORANGPUN DI MUKA BUMI YANG LEBIH KUCINTAI SELAIN MUHAMMAD RASULULLAH”.

Sungguh rindu kami padamu Ya Rasul ...

Pada saat Perang Uhud, kaum Muslim banyak yang gugur, bahkan wajah Rasulullah terluka tersayat pedang. Darah bercucuran dan satu gigi beliau tanggal terkena tombak musuh. Pada saat itu, ada sebagian sahabat yang berkata, “Ya Rasulullah, berdoalah untuk kebinasaan orang-orang musyrik.”

Dengan suara lirih menahan rasa sakit, beliau menjawab, “Tidak, aku bukan tukang laknat. Sesungguhnya aku diutus sebagai pembawa rahmat.” (HR Muslim)

Ketika Rasulullah berdakwah di Thaif, beliau disambut dengan lemparan batu. Akibatnya, sekujur tubuhnya bersimbah darah. Beliau berjalan tertatih-tatih menyeret kakinya yang penuh darah dan berlindung di kebun anggur milik Utbah dan Saibah bin Rabi'ah. 

Malaikat Jibril merasa iba menyaksikan penderitaan kekasih Allah yang telah dinista. Kemudian Jibril berbisik, “Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah sudah mendengar apa yang dikatakan kaummu kepadamu dan apa yang mereka lakukan terhadap dirimu.

Allah telah mengutus malaikat penjaga gunung. Agar engkau memerintahkan sesuatu menurut apa yang kau kehendaki.” Beliau bersabda, “Sungguh, aku berharap bahwa kelak Allah akan mengeluarkan dari mereka anak-anak yang menyembah Allah dan tidak pernah mempersekutukanNya.” (HR Bukhari-Muslim)

Betapa berat penderitaan Rasulullah di Thaif. Penderitaan itu terasa sangat menyakitkan, bahkan lebih berat dari yang dialami beliau sewaktu Perang Uhud. Namun, beliau tetap memperlakukan mereka yang telah menganiayanya dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.

Peristiwa lain yang sangat spektakuler dan sudah disinggung pada bagian awal bab ini adalah ketika Rasulullah bersama kaum Muslim memasuki Kota Makkah dan meraih kemenangan (Fathu Makkah). Kaum Quraisy yang telah menganiaya dan membunuh kaum Muslim, hatinya terasa kecut karena takut akan pembalasan Rasulullah. Namun, Rasul memahami kegelisahan dan kegundahan mereka. Beliau bersabda,

 “Aku akan mengucapkan apa yang diucapkan oleh saudaraku Yusuf bahwa pada hari ini tidak ada cercaan terhadap kamu, mudah-mudahan Allah mengampunimu.” (QS Yusuf: 92).

Berbagai peristiwa yang dialami Rasulullah bukan saja sebuah keteladanan tentang pemaafan dan kebesaran jiwa yang agung, melainkan sebuah pelajaran bagi kita bahwa menyampaikan kebenaran harus diiringi dengan sikap lemah lembut, penuh kasih sayang, dan menjauhi sikap kasar. 

“Maka, disebabkan rahmat Allah, kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras dan kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu, maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka...” (QS Ali Imran [3]: 159). 

Karena keagungan akhlak Rasulullah itu pula, beliau mendapat dua gelar dari Asma Allah, yakni Ro'ufur Rahim, yang berarti penyantun dan penyayang. (QS at-Taubah [9]:128 ).

Sifat pemaaf, penyayang, dan bersikap lemah lembut adalah mutiara akhlak setiap pribadi Muslim. Ibaratnya, bila ada rombongan yang membenci dan dendam datang untuk menginap, seorang Muslim itu akan berkata, “Maaf Tuan, kamar hatiku telah penuh dengan tamu-tamu cinta, tidak ada lagi ruangan kosong yang tersedia di kamar hatiku.” Inilah sikap seorang Muslim yang tidak lain hanyalah menghasilkan untaian cinta.

***

Di salah satu sudut Masjid Nabawi terdapat satu ruang yang kini digunakan sebagai ruang khadimat. Dahulu di tempat itulah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam senantiasa berkumpul bermusyawarah bersama para Sahabatnya. Di sana Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memberi taushiyyah, bermudzakarah, dan ta'lim.

Suatu ketika, saat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memberikan tausiyahnya, tiba-tiba Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berucap, "Sebentar lagi akan datang seorang pemuda ahli surga."

Para Sahabat pun saling bertatapan, di sana ada Abu Bakar Ash Shiddiq, Utsman bin Affan, Umar bin Khattab, dan beberapa Sahabat radhiallaahu 'anhu lainnya. Tak lama kemudian, datanglah seorang pemuda yang sederhana, pakaiannya sederhana, penampilannya sederhana, wajahnya masih basah dengan air wudhu. Di tangan kirinya menenteng sandalnya yang sederhana pula.

Di kesempatan lain, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkumpul dengan para Sahabatnya, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berucap, "Sebentar lagi kalian akan melihat seorang pemuda ahli surga." Dan pemuda sederhana itu datang lagi, dengan keadaan yang masih tetap sama, sederhana. Para Sahabat yang berkumpul pun terheran-heran, ada apa dengan pemuda sederhana itu dan siapa?

Bahkan hingga ketiga kalinya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan hal yang serupa. Bahwa pemuda sederhana itu adalah seorang ahli surga. Seorang Sahabat, Mu'adz bin Jabbal pun merasa penasaran. Amalan apa yang dimilikinya sampai-sampai Rasul menyebutnya pemuda ahli surga?

Maka Mu'adz berusaha mencari tahu. Ia berdalih sedang berselisih dengan ayahnya dan meminta izin untuk menginap beberapa malam di kediaman si pemuda tersebut. Si pemuda pun mengizinkan. Dan mulai saat itu Mu'adz mengamati setiap amalan pemuda tersebut.

Malam pertama, ketika Mu'adz bangun untuk tahajjud, pemuda tersebut masih terlelap hingga datang waktu shubuh. Ba'da shubuh, mereka bertilawah. Diamatinya bacaan pemuda tersebut yang masih terbata-bata, dan tidak begitu fasih. Ketika masuk waktu dhuha, Mu'adz bergegas menunaikan shalat dhuha, sementara pemuda itu tidak.

Keesokkannya, Mu'adz kembali mengamati amalan pemuda tersebut. Malam tanpa tahajjud, bacaan tilawah terbata-bata dan tidak begitu fasih, serta di pagi harinya tidak shalat dhuha. Begitu pun di hari ketiga, amalan pemuda itu masih tetap sama. Bahkan di hari itu Mu'adz shaum sunnah, sedangkan pemuda itu tidak shaum sunnah.

Mu'adz pun semakin heran dengan ucapan RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada yang istimewa dari amalan pemuda itu, tetapi Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutnya sebagai pemuda ahli surga. Hingga Mu'adz pun langsung mengungkapkan keheranannya pada pemuda itu.

"Wahai Saudaraku, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebut-nyebut engkau sebagai pemuda ahli surga. Tetapi setelah aku amati, tidak ada amalan istimewa yang engkau amalkan. Engkau tidak tahajjud, bacaanmu pun tidak begitu fasih, pagi hari pun kau lalui tanpa shalat dhuha, bahkan shaum sunnah pun tidak. Lalu amal apa yang engkau miliki sehingga Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutmu sebagai ahli surga?"

"Saudaraku, aku memang belum mampu tahajjud. Bacaanku pun tidak fasih. Aku juga belum mampu shalat dhuha. Dan aku pun belum mampu untuk shaum sunnah. Tetapi ketahuilah, sudah beberapa minggu ini aku berusaha untuk menjaga tiga amalan yang baru mampu aku amalkan."

"Amalan apakah itu?"

"Pertama, aku berusaha untuk tidak menyakiti orang lain. Sekecil apapun, aku berusaha untuk tidak menyinggung perasaan orang lain. Baik itu kepada ibu bapakku, istri dan anak-anakku, kerabatku, tetanggaku, dan semua orang yang hidup di sekelilingku. Aku tak ingin mereka tersakiti atau bahkan tersinggung oleh ucapan dan perbuatanku."

"MasyaaAllah...kemudian apa?"

"Yang kedua, aku berusaha untuk tidak marah dan memaafkan. Karena yang aku tahu bahwa Rasullullah tidak suka marah dan mudah memaafkan."

"MasyaaAllah...lalu kemudian?"

"Dan yang terakhir, aku berusaha untuk menjaga tali shilaturrahim. Menjalin hubungan baik dengan siapapun. Dan menyambungkan kembali tali shilaturrahim yang terputus."

"Demi Allah...engkau benar-benar ahli surga. Ketiga amalan yang engkau sebut itulah amalan yang paling sulit aku amalkan."

Wallahu a'lam bi shawwab. Semoga kita bisa mengambil hikmahnya.

Annie Besant (1847-1933)Teosof Inggris dan pemimpin nasionalis India, Presiden Kongres Nasional India pada 1917

“Siapa pun yang mempelajari kehidupan dan sifat Nabi besar dari jazirah Arabia ini, siapa pun yang mengetahui bagaimana ia mengajar dan bagaimana ia hidup, pasti memberikan rasa hormat kepada Nabi agung itu, salah seorang utusan Tuhan yang luar biasa. Dan meskipun dalam uraian saya kepada Anda akan tersebut banyak hal yang barangkali sudah biasa bagi kebanyakan orang, akan tetapi setiap kali saya membaca-ulang tentang dia, saya sendiri merasakan lagi kekaguman yang baru, menimbulkan lagi rasa hormat yang baru kepada guru bangsa Arab yang agung itu.” [The Life and Teachings of Muhammad, Madras, 1932, h. 4]

LEMAH LEMBUT

Di antara akhlak Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang paling menonjol, beliau adalah pribadi yang lemah-lembut. Kesaksian semua orang yang pernah semasa dengan beliau, menggambarkan bahwa beliau tidak pernah berkata kasar, tidak pernah mengumpat, dan tidak pernah berlaku bengis. 

Bahkan, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah marah, kecuali terhadap perbuatan yang melanggar kehormatan agama. Lemah lembut bukan berarti lemah, lemah lembut justru adalah kekuatan, lemah lembut bukan tak berdaya, tetapi justru lemah lembut sangat penuh daya. Rasulullah Saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah itu Maha Lembut, dan Dia menyukai kelembutan dalam segala urusan ”.(Muttafaq ‘Alaihi)

Jiwa seorang Muslim yang lemah lembut, merupakan refleksi dari kelembutan qalbu. Semakin lembut qalbu seseorang, maka kelemah lembutannya akan semakin tampak. Qalbu yang lembut, akan memancarkan jiwa-jiwa yang “peka”. Sebaliknya, hati yang kesat dan keras, akan melahirkan tindakan yang kasar, sembrono, bahkan brutal, karena qalbu merupakan barometer action seseorang.

Beliau bersabda dalam Hadits dari `Iyadh ibn Hamรขr ra., “Ahli (penghuni) surga itu tiga orang: Orang yang memiliki kekuasaan, adil dan diberi petunjuk (muwaffaq), seorang yang pengasih dan berhati lembut kepada setiap kerabat dekatnya dan setiap Muslim, dan orang yang menjaga kehormatan dan (senantiasa) menjaga kehormatannya padahal ia memiliki kebutuhan untuk keluarganya.” (HR. Muslim).

Suatu hari Aisyah duduk di atas ontanya, tapi ontanya sulit berjalan, akhirnya Aisyah memukul mukul onta tersebut agar mau berjalan. Melihat itu Rasulullah berkata “berlakulah dengan lembut wahai Aisyah, Sesungguhnya kelembutan itu tidak ada pada sesuatu kecuali bahwa sesuatu itu akan menjadi indah, dan tidaklah kelembutan itu dicabut dari sesuatu kecuali sesuatu itu akan cacat” (HR Muslim).

Di lain waktu rasulullah juga bersabda “Sesungguhnya Allah itu Maha Kasih dan dia senang pada kelembutan. Dia memberi pada kelembutan yang tidak dia berikan pada kekasaran, dan apa yang tidak Dia berikan pada selainnya” (HR Muslim).

Seringkali mungkin kita bersitegang dengan kawan sendiri ketika kita berdiskusi dan berdialog, atau ketika menegur kesalahan mereka sehingga seringkali pula sahabat kita itu sakit hati dan tersinggung, akibatnya bukan kebaikan yang kita dapat tapi malah ukhuwah yang retak.

Rasulullah mengatakan pentingnya lemah lembut ini dalam interaksi kita, dan Rasulullah mencontohkan sendiri dalam kehidupannya bagaimana ia bersikap lemah lembut terhadap sahabat terhadap sesama mukmin. QS 3 :159. : 

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Kelemah lembutan ini pulalah jalan yang di tempuh oleh para rasul, bagaimana lemah lembutnya Ibrahim terhadap ayahnya, sebagaimana dialog itu dikisahkan dalam Qur’an. Ingatlah ketika ia berkata kepada bapaknya ;

“Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebahagian ilmu pengetahuan yang tidak datang kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus.

Wahai bapakku, janganlah kamu menyembah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaitan”.

Berkata bapaknya:

“Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku untuk waktu yang lama”.

Berkata Ibrahim:

“Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan memintakan ampun bagimu kepada Tuhanku Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku. Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdo’a kepada Tuhanku, mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdo’a kepada Tuhanku”. QS 19 (42-48)

Atau cukuplah kisah Musa yang datang kepada Fir’aun manusia terburuk perangainya yang pernah lahir ke dunia, Allah pun menyuruh Musa untuk berkata lemah lembut kepada Fir’aun, “Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”. (qs 20 : 43-44)

Dan katakanlah (kepada Fir’aun): “Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)”. Dan kamu akan kupimpin ke jalan Tuhanmu agar supaya kamu takut kepada-Nya” (QS 79: 18-19).

Bukankah kita tak sebaik Musa? Dan kita tak seburuk Fir’aun? lalu kenapa kita tak mau berlaku lemah lembut dalam menasehati mereka ?

“Sesungguhnya kelembutan itu tidak ada pada sesuatu kecuali bahwa sesuatu itu akan menjadi indah, dan tidaklah kelembutan itu dicabut dari sesuatu kecuali sesuatu itu akan cacat” (HR Muslim)

***

Jangan salah paham dulu, bahwa dibalik kelembutan Rasulullah terdapat sikap tegas dan keras terhadap prinsip yang dipegangnya. Karena memang kita sebagai seorang muslim harus memiliki ketegasan dan keras terhadap prinsip yang kita pegang, tetapi juga sekaligus harus lembut dalam bersikap dan dalam menyampaikan kebenaran seperti yang dicontohkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Kelemah lembutan bukan indikasi ketidakberdayaan, tetapi merupakan tanda kemampuan untuk mengendalikan diri.

Sebaliknya, kekasaran bukan tanda kekuasaan, namun tanda kerapuhan emosional dan kelemahan kepribadian.

“Apabila Allah Subhanahu wa ta'ala. Menyukai seorang hamba, maka ia akan mengkaruniainya kelemah lembutan. Dan barang siapa dari keluargaku yang mengharamkan/menjauhi kelemah lembutan, maka sesungguhnya dia telah menjauhi kebaikan.” (HR. Muslim dan Abu Dawud)

Dalam ungkapan yang singkat, Dr. Yusuf al-Qardhawi mengatakan, “Barang siapa membaca sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam, baik dalam perkataan maupun perbuatan, maka akan menemukan pancaran kelemah lembutan dalam berdakwah dan interaksi sehari-hari.” 

Kelemah lembutan bisa membuat kita menjadi pribadi yang indah. Secara garis besar, Allah Subhanahu wa ta'ala mengkaruniakan dua keindahan kepada manusia : keindahan fisik, dan keindahan kepribadian.

Manusia pada umumnya mudah terpukau oleh keindahan fisik, namun keindahan fisik ini akan segera kehilangan kesan bila tingkah laku dan kata-katanya kasar. Di sinilah kelemah lembutan menjadi kunci untuk mewujudkan pribadi yang indah.

Kelemah lembutan bisa membentuk orang-orang dan lingkungan di sekitar kita. Banyak Sahabat radhiyalLahuta’รขlรข ‘anhum yang memperoleh hidayah (masuk Islam) setelah menyaksikan pribadi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lemah lembut. Kelemah lembutan adalah pelindung hati dari noda dan penyakit kalbu.

Yang perlu disadari, ketika kita berkata kasar dan mengumpat, sebenarnya kita tidak sedang merugikan orang lain. Tapi, terlebih lagi, kita sedang menodai hati kita sendiri, mengotorinya dengan kekasaran, serta membuatnya menjadi keras.

Suatu kali Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tengah duduk bersama Aisyah radiyallahu 'anha, lalu melintaslah sekelompok orang Yahudi di hadapan beliau. Tiba-tiba mereka menyapa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan memelesetkan ungkapan “Assalรขmu’alaikum” menjadi “Assรขmu ‘alaika” kebinasaan atasmu, hai Muhammad. Mendengar serapah orang-orang Yahudi itu, Aisyah naik pitam dan balik memaki mereka.

Namun Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam segera menenangkan Aisyah dan memintanya agar tidak mengotori mulut dan hatinya dengan kekasaran dan kebencian.

Kebenaran yang pada asalnya susah untuk diterima oleh jiwa, ketika disampaikan dengan cara yang buruk, cara yang kasar, tentunya justru akan membuat orang semakin lari dari kebenaran. Oleh karena itulah, dakwah pada dasarnya harus disampaikan dengan cara lemah lembut.

Perlu ditegaskan berulang kali bahwa lemah lembut bukan berarti lemah gemulai, karena seorang Umar bin Khattab sekalipun yang terkenal sangat tegas dan keras juga memiliki kelemah lembutan terutama ketika mengayomi kaum yang lemah. Dan Umar pun pernah memberi nasihat,

“kebajikan yang ringan adalah menunjukkan muka berseri-seri dan mengucapkan kata-kata lemah-lembut”.

Salah satu keunggulan sifat Rasulullah adalah keramah tamahannya kepada sesama manusia, karena keramahannya inilah sampai ada sahabat yang tidak sungkan untuk melucu di hadapan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Di samping itu, setiap di ajak bicara Rasulullah sangat serius sekali mendengarkannya.

Bila menghadapi orang yang lemah dan miskin beliau tetap menghormatinya tanpa merendahkan sedikit pun.

Hampir semua riwayat mengisahkan tentang keramahan dan kelembutan beliau dalam berbicara. Salah satu sumber riwayat mengatakan, bahwa siapapun yang mengajak beliau berbicara maka beliau siap mendengakan apa yang di bicarakan orang itu dengan penuh perhatian, atau bertanya dengan lembah lembut dan serius. 

Keramahan beliau sampai kepada hal-hal yang kecil, yang mungkin tidak di lakukan oleh manusia lain. Mengenai hal ini Abu Daud meriwayatkan dari Anas radiyallahu 'anhu, ia berkata : Jika ada seseorang datang dan berbicara kepada Nabi atau berbisik karena merahasiakan pembicaraannya, maka beliaulah yang menundukan kepala mendekatkan telinganya terlebih dahulu, sehingga orang itu pun ikut menundukan kepalanya juga.

Ath-Thabraniy meriwayatkan dari Anas radhiyallahu 'anhu. Rasulullah bila bicara selalu menghadapkan wajahnya meski pun lawan bicaranya orang paling jahat, hal ini untuk melunakkan hati sekaligus menarik perhatian. Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam bila bertemu seseorang beliau berjabat tangan, beliau tidak melepaskan tangannya sebelum orang itu melepaskannya terlebih dahulu.

Ada seorang wanita tua datang kepada Rasulullah maka beliau menyambut kedatangannya dengan penuh hormat, beliau bertanya dengan lemah lembut : "siapa ibu ini ? ia menjawab : aku Juthamah -Al muzainah ! 

Bagaimana keadaan ibu selama ini ? ia menjawab : baik-baik saja ya Rasul, selanjutnya beliau dengan penuh ramah tamah bercakap cakap dengan tamu wanita tua itu terkadang di selingi rasa tawa, percakapan itu berlangsung sangat lama, sehingga ada sahabat bertanya : 

Ya Rasulullah engkau menyambut kedatangan wanita tua itu dengan hangat dan ramahnya, Nabi menjawab : Dulu wanita itu sering datang sewaktu istriku khadijah masih hidup”. Demikian hangat dan ramahnya beliau dalam menyambut setiap orang yang datang kepadanya. Hal ini merupakan cermin dari kerendahan hati beliau dan keagungan budi pekertinya.

Keramahan dalam tutur kata menciptakan percaya diri, keramahan dalam berpikir menciptakan kesempurnaan, keramahan dalam memberi melahirkan kasih. (Lao Tse)

Keramahan bukanlah sesuatu yang membuat orang lemah, karena ramah harus tegas. Tegas dalam artian tahu apa yang dikerjakanya dan tahu apa tujuanya. Keramahan bukanlah sesuatu yang pantas ditindas atau dikasihani, karena orang yang ditindas dan dikasihani selalu meminta tolong pada orang-orang yang ramah.

Keramahan adalah indah. Karena sifat ramah membawa seseorang menjadi dekat dengan lingkungan dan masyarakat, membawa mereka ke dalam atmosfer yang diselimuti empati dan cinta. Keramahan adalah cerdas, karena dapat memanfaatkan potensi dirinya menjadi berguna bagi orang lain.

Rasulullah sangat mengedepankan kelembutan hati dalam mengajak umat kepada kebenaran. Bahkan kepada orang kafir sekalipun, yang seringkali mereka mencaci maki, menzalimi, bahkan menyakiti beliau, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam hanya mendo’akan mereka, agar segera mendapat hidayah Allah Subhanhau Wa Ta'ala.

Rasul tidak mendo’akan azab. Padahal, do’a beliau sangatlah mustajab.

Pantaslah bila banyak orang dari berbagai kalangan, mulai dari budak sampai raja, yang tertarik dengan akhlak luhur beliau. Sehingga mereka segera menyatakan syahadat dan menjadi mujahid-mujahidah Islam yang semakin memperkokoh dinding kejayaan Islam.

Sang uswatun hasanah pun telah mencontohkan dakwah yang fleksibel dan penuh kelembutan, menyentuh hati para pengikutnya. Akhlak beliau yang indah membuat umat, bahkan non-muslim sekalipun, segan dan menghormati beliau. Inilah wibawa yang dibentuk ala Rasulullah.

Washington Irving (1783-1859) Terkenal sebagai “sastrawan Amerika pertama”

“Dia makan secara sederhana dan bebas dari minuman keras, serta sangat gemar berpuasa. Dia tidak menuruti nafsu bermewah-mewah dalam berpakaian, tidak pula ia menuruti pikiran yang sempit; kesederhaannya dalam berpakaian dilatarbelakangi oleh sikapnya yang tidak mempedulikan perbedaan dalam hal-hal yang sepele....

Dalam urusan pribadinya dia bersikap adil. Dia memperlakukan kawan dan orang asing, orang kaya dan orang miskin, orang kuat dan orang lemah, dengan cara yang adil. Dia dicintai oleh rakyat jelata karena dia menerima mereka dengan kebaikan hati dan mendengarkan keluhan-keluhan mereka.... 

Keberhasilan militernya bukanlah kemenangan yang sia-sia dan sekali-kali tidak membuatnya merasa bangga, karena tujuan semuanya itu bukan untuk kepentingan pribadinya. 

Ketika dia memiliki kekuasaan yang amat besar, ia tetap sederhana dalam sikap dan penampilannya, sama seperti ketika dia dalam keadaan sengsara. 

Sangat berbeda dengan seorang raja, dia tidak suka jika ketika memasuki ruangan oang menunjukkan penghormatan yang berlebihan kepadanya.” [Life of Mahomet, London, 1889, h. 192-3, 199]

PENUTUP; KETULUSAN SANG NABI

Untuk menutup buku ini, izinkankanlah saya bertanya beberapa hal;

1. Apakah Rasulullah pernah menginginkan dirinya terkenal atau populer dan diagung-agungkan di seluruh dunia?

2. Apakah Rasulullah pernah mempunyai mimpi untuk mendapatkan gelar manusia yang paling berpengaruh di dunia?

3. Apakah Rasulullah berbuat baik kepada orang lain agar orang lain menyukainya, memujinya, dan membalas budinya?

Jawabannya tentu saja TIDAK, semua yang Rasulullah lakukan hanyalah karena cinta dan kasih sayangnya kepada manusia agar semua mendapatkan keselamatan di dunia dan akhirat. Kata kuncinya adalah KETULUSAN dan CINTA , dan ini tidak pernah bisa direkayasa, tidak akan pernah bisa dibuat-buat, karena ini adalah pekerjaan hati dan hati pula yang akan menilainya. 

Semua aktivitas yang Rasulullah lakukan berlandaskan cinta dan kasih sayang yang tulus, sungguh Rasulullah tidak menginginkan balasan apapun dari manusia kecuali karena hanya ingin mereka selamat di dunia dan akhirat. Kebaikan hati Rasulullah tidak terbatas pada umat muslim saja tetapi kepada seluruh umat manusia.

Sebagai orang yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan diangkat-Nya sebagai Rasul, Muhammad Saw sama sekali tidak merasa tinggi dari yang lainnya. “Aku hanyalah ciptaan Allah dengan segala kerendahannya, sama dengan kalian. 

Aku makan apa yang kalian makan, duduk di tempat kalian duduk,” tuturnya. Hal inilah yang membuat Nabi selalu dihormati dan menghargai sesamanya, baik yang tua maupun yang muda, dengan segala ketulusan hatinya.

Contohnya adalah ketika beliau didatangi oleh ibu susunya, Halimah Tu’sadiyah dan suaminya, dengan segera beliau membentangkan mantelnya untuk diduduki oleh keduanya. Beliau juga memerintahkan pada pengikutnya untuk menghormati ibu, seperti yang dituturkannya,

“Surga berada di telapak kaki ibu.” Dengan yang muda, beliau menghargai anaknya sendiri, seperti yang telah beliau ajarkan pada pengikutnya,

“Hargailah anak-anakmu.” Bentuk kecintaannya pada anak-anak, ditunjukkannya dengan tidak segan untuk menepuk dan mengusap-usap rambut anak-anak yang beliau temui di jalan.

Ketulusan hati Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tercermin pula dari perilakunya kepada sahabat-sahabatnya. Apabila seseorang telah menjadi sahabat Rasulullah yang terkenal dengan julukan Al Amin (yang terpercaya), maka beliau akan sangat menghargai persahabatan tersebut sampai akhir hayatnya. 

Beliau memperlihatkan kecintaannya pada sahabatnya dengan berbagai macam bentuk perilaku. Salah satunya adalah beliau selalu menjadi orang yang pertama dalam mengucapkan salam (Assalammu’alaikum, “semoga kedamaian besertamu”) kepada para sahabatnya dan menjabat tangan mereka. Terkadang beliau memanggil mereka dengan nama kesayangan dengan penuh kasih. 

Ketika berjabat tangan, beliau tidak pernah menjadi orang pertama yang menarik tangannya. Bentuk kasih lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada sahabatnya juga ditunjukkannya juga dengan mencintai anak-anak mereka dengan menggendong dan sekali-sekali ikut merawat mereka.

Selain itu, apabila ada di antara tamunya membicarakan hal yang tidak baik tentang sahabatnya, beliau melarangnya dan menganjurkan mereka untuk memikirkan hal yang baik tentang sahabatnya.

Selain pada sahabatnya, tanda ketulusan hati Nabi juga ditunjukkan dengan memberikan simpati yang cukup besar kepada janda, anak yatim dan kaum yang tak punya seperti yang dituturkannya, “Aku dan orang-orang yang merawat anak yatim adalah sedekat jari-jariku ini,” sambil mengacungkan dan merapatkan jari telunjuk dan jari tengahnya bersamaan.

Kitab suci Al-Qur’an juga menuturkan hal yang sama mengenai anak yatim, kaum yang lemah dan miskin dalam Surat Al Maa’uun : 1 - 3, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.” Selain anak yatim dan orang miskin, beliau juga menjunjung hak perempuan atas laki-laki, hak budak atas majikannya, hak yang disuruh atas pesuruh. 

Beliau juga menjenguk orang-orang yang sakit dan turut mengantar jenazah ke pemakaman. Nabi akan memberikan yang dibutuhkan oleh pengemis meskipun dengan demikian beliau kehilangan rasa nyaman. Nabi memberikan makanan kepada mereka meskipun beliau sendiri belum makan. 

Apabila ingin memberikan sedekah kepada seorang pengemis, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam akan menaruhkan sedekah tersebut langsung dari tangannya. Ketika beliau sedang menunggu ajal pun, Nabi sempat meminta sahabatnya untuk memberikan apapun yang ada di rumahnya dan dibagikannya kepada kaum papa.

Hewan pun tak luput dari rasa simpati Nabi besar kita Shallallahu 'alaihi wa sallam. Pernah pada suatu hari beliau meminta seseorang yang sedang menimba air di sumur untuk memberikan air sebagai penghapus dahaga kepada seekor anjing yang terlihat lemah dan kehausan.

Ketulusan hati Rasulullah sangat terkenal tidak hanya pada kalangan pengikutnya, tetapi juga pada musuhnya dalam sejarah dunia. Contohnya adalah kisah tentang Abdullah bin Ubay yang merupakan musuh bebuyutan Islam. Sepanjang harinya, dari pagi sampai malam, digunakannya untuk bersekongkol dan menghasut orang-orang Mekah dan Yahudi untuk menghancurkan kaum Muslim. 

Namun di hari kematiaannya, Rasulullah turut mendo’akannya dan minta Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk memaafkan segala dosanya. Bahkan beliau merelakan jubahnya untuk menyelubungi tubuhnya. Hal ini mencerminkan betapa tidak terbatasnya pemberian maaf dari Rasulullah. Menurut Siti Aisyah,

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah membalas dendam kepada orang yang pernah berbuat tak pantas padanya. Perilaku ini merupakan cerminan dari Al-Qur’an di surat Al- Araaf : 199, “jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf....”

Dari sepenggal kisah tentang perilaku Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang sangat baik kepada sesamanya di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sebagai utusan Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk menyebarkan kebenaran di bumi ini, Nabi besar kita telah mencontohkan pada kita a good service to humanity dengan ketulusan hati.

Karena memang itulah yang diajarkan Allah SWT kepadanya dalam Al-Qur’an yang telah beliau praktekkan dalam kehidupannya. Dan itu juga berlaku bagi seluruh umat-Nya (Muhammad, The Prophet, oleh Maulana Muhammad Ali, MA, LLB).

***

Akhir-akhir ini banyak fenomena yang terjadi dalam masyarakat muslim yang berkenaan dengan masalah kasih sayang, seakan kasih sayang adalah sesuatu yang mahal, yang mulai terkikis oleh derasnya arus perbedaan, sehingga rasa kasih sayang sedikit demi sedikit mulai luntur dari hati manusia, benarkah demikian?

Allah Subhanahu Wa Ta'ala mempunyai sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim maka seharusnya manusia sebagai hamba-Nya melengkapi dirinya dengan sifat penuh kasih sayang seperti yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam kehidupan sehari-harinya.

Seorang Muslim yang benar-benar memahami hukum-hukum agamanya yang penuh toleransi akan bersifat penyayang, dari hatinya terpancar mata air rahmat dan kelembutan, karena dia tahu bahwa rahmat kasih sayang yang disebarkan kepada orang lain menjadi penyebab dirinya memperoleh rahmat kasih sayang dari Allah Azza wa Jalla dan dari penghuni langit. 

Dan orang yang tidak mau memberikan kasih sayang kepada orang lain, tidak akan pernah mendapatkan rahmat kasih sayang dari-Nya, rahmat Allah hanya akan akan tertutup bagi mereka yang termasuk golongan orang-orang yang merugi seperti yang dijelaskan dalam hadist Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam berikut ini:

“Sayangilah makhluk yang di bumi, maka Dzat yang ada di langit akan menyayangimu” (HR. Imam Thabrani)

“ Barang siapa yang tidak menyayangi orang lain, maka Allah tidak akan menyayanginya” (HR. Imam Thabrani)

"Sifat penyayang tidak akan dicabut kecuali dari orang-orang yang celaka” (HR Bukhari)

Bahkan rahmat kasih sayang yang dimiliki orang muslim ini tidak hanya terbatas pada dirinya, keluarga, anak-anak, kaum kerabat serta teman-temannya, tetapi juga menyangkut seluruh umat manusia secara keseluruhan, karena Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menjadikan kasih sayang sebagai salah satu syarat iman:

“Kalian tidak akan beriman sehingga kalian menyayangi, para sahabatpun bertanya, Wahai Rasulullah, secara keseluruhan kami ini penyayang. “Belliau menjawab, “kasih sayang bukan kepada teman saja tetapi kepada manusia seluruhnya” (HR. Imam Thabrani)

Rahmat kasih sayang ini bersifat umum, rahmat yang menyentuh umat manusia, yang disebarluaskan Islam kedalam hati setiap orang muslim, yang dijadikan oleh Islam sebagai karakteristiknya, agar seluruh masyarakat benar-benar saling menyayangi, diwarnai dengan cinta yang murni, nasihat yang tulus dan kelemah lembutan yang mendalam.

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam adalah teladan dalam hal kasih sayang yang murni, bahkan apabila mendengar tangisan bayi saat beliau mengimami shalat maka beliau memendekkan shalatnya sebagai penghormatan kasih sayang ibunya yang ikut shalat.

Dari Anas radhiyallahu anhu, Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya aku hendak mengerjakan shalat dan berniat memanjangkan bacaan, lalu aku mendengar tangisan anak kecil, maka aku pendekkan shalatku itu karena saya tahu betapa gelisahnya perasaan ibunya akan tangisan anaknya itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallau Alaihi wa Sallam pernah mencium Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhu sedang disamping beliau ada Aqra bin Habis At-Tamimi, lalu Aqra’ berkata,

“Sesungguhnya aku mempunyai sepuluh anak, tapi tak satupun yang peernah aku cium” Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melihatnya seraya berkata, “Barang siapa yang tidak menyayangi, maka tidak akan disayangi,” (HR Bukhari dan Muslim)

Pada saat Umar bin Khattab hendak mengangkat seseorang untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin, beliau mendengar ucapan Aqra’ yang berkata, “Sesungguhnya dia tidak pernah mencium anaknya.” Lalu Umar pun membatalkan pengangkatannya seraya berkata, “

Jika dirimu tidak menyayangi anak-anakmu, lalu bagaimana mungkin kamu akan menyayangi orang lain?, Demi Allah aku tidak akan mengangkatmu menjadi pemimpin," seraya merobek buku pengangkatan yang sudah disiapkan.

Wilayah kasih sayang Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah meluas keseluruh jiwa kaum muslimin dan muslimat, dimana beliau tidak hanya membatasi kasih sayang hanya pada manusia saja, tetapi juga mencakup kasih sayang kepada binatang, seperti yang dikisahkan dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah bersabda:

"Ketika seorang laki-laki sedang berjalan, dia merasakan kehausan yang sangat, lalu dia turun ke sumur dan minum. Ketika dia keluar, ternyata ada seekor anjing sedang menjulurkan lidah tanda kehausan. Dia berkata, 'Anjing ini kehausan seperti diriku.' Maka dia mengisi terumpahnya dengan air, kemudian air itu diberikannya kepada anjing itu sampai kenyang. Allah mensyukurinya dan mengampuninya." Para sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, apakah kita bisa meraih pahala atas kasih sayang yang diberikan kepada binatang?" Beliau menjawab, "Pada setiap hati yang basah terdapat pahala." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari beberapa contoh cerita diatas Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam selalu menanamkan pada diri kaum muslim suatu rasa kasih sayang yang mendalam, kepada sesama manusia, kepada alam maupun kepada binatang sekalipun, maka apabila manusia mempunyai rasa kasih sayang kepada binatang maka dia akan mempunyai kasih sayang yang lebih kepada sesama manusia. 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah simbol kasih sayang dan perdamaian bagi umat manusia, maka tidak ada alasan bagi kita tidak meneladaninya.

“Sayangilah orang yang ada di bumi ini, niscaya engkau akan diberikan rahmat kasih sayang dari langit (Allah),” (HR Imam Thabrani)

Bagaimana dengan kita yang mengaku sebagai umat Rasulullah..?

***

Cinta dan kasih sayang adalah ruh kehidupan. Itulah yang menjelaskan mengapa dalam banyak kesempatan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam selalu berusaha mempatrikannya di dada umatnya, “Orang-orang yang punya rasa kasih sayang, Allah Yang Maha Sayang akan sayang kepada mereka,” ungkap beliau suatu ketika. Di lain kesempatan kekasih Allah Yang Agung ini juga bersabda, “Sayangilah penghuni bumi, niscaya Yang di langit akan sayang kepada kalian.” Sungguh sebuah ungkapan cinta dan kasih sayang yang sarat makna.

Yusuf Qardhawi, seorang pemikir dan ulama besar abad ini. Pernah menukil perkataan seorang bijak, “Seandainya cinta dan kasih sayang telah berpengaruh dalam kehidupan maka manusia tak lagi memerlukan keadilan dan undang-undang!”. 

Tak berlebihan, sebab mungkinkah huru-hara dan kekacauan dunia itu terjadi, jika cinta dan kasih sayang telah wujud dalam kehidupan kita? Cinta dan kasih sayang kepada sesama yang terbingkai dalam cinta murni kepada Sang Khalik.

Sungguh hanya Allah Dzat tempat kita menggantungkan segala asa dan cinta. Dan Allah pulalah juga yang berhak menanamkan dan mencabut cinta dari dalam lubuk hati kita. Allah berfirman: “Sekiranya kalian infakkan semua (kekayaan) yang ada di bumi, niscaya kalian takkan mampu mempersatukan hati-hati mereka (manusia), tetapi Allah yang mempersatukan hati mereka” (Q.S. al-Anfal : 63).

Dengan apa Allah mempersatukan hati dan jiwa mereka? “Dengan cinta dan kasih sayang yang ia berikan kepada hamba-Nya.” Ungkap Muhammad Quthb. Ayat ini menegaskan betapa harta benda tidak cukup mempertautkan hati. Tidak pula berbagai sistem ekonomi serta kondisi kebendaan (materialisme). Kalaupun itu terjadi, ia pastilah ikatan cinta semu, sebatas terpenuhinya sebuah kepentingan.

Tentu saja cinta model ini (cinta atas motivasi keduniaan) pasti binasa dan fana, jika ia tak dilengkapi serta dibungkus jiwa yang lembut, yang disinari roh Illahi. Itulah rasa cinta dan kasih sayang yang sejati. Kasih sayang yang mendorong senyum yang merekah dan wajah ceria saat bertemu sesama. Itulah shadaqah yang lahir dari keikhlasan cinta dan kasih sayang. 

Sebab cinta dan kasih sayang tidak mungkin terpancar dari orang yang gersang dari keduanya. “Faaqidussyaa’i laayu’ti”, sesuatu yang tak punya apa-apa, tak akan mampu memberi apa-apa, begitulah kata pepatah Arab soal ini.

Sulitkah menebar cinta? Konsep cukup sederhana untuk itu ditawarkan Rasulullah saw dalam sabdanya, “Maukah kalian kutunjukkan sesuatu hal yang apabila kalian lakukan pasti kalian saling mencintai? Sebarkan salam antara kalian.” (HR. Muslim) Imam Nawawy (dalam kitab riyadush shalihin: 328), kemudian menyebutkan hadist yang merinci tahapan-tahapan untuk menumbuhkannya; “afsyus salam, wa ath’imuth tha’aam, wa dhilul arhaam, wa shallu wan naasu niyaam, tadkhulul jannata bis salaam.”

Sebarkan salam, berikan makan (pada mereka yang membutuhkan), sambung tali persaudaraan, shalatlah (malam) ketika manusia terlelap dalam tidurnya, niscaya kalian masuk syurga dalam kedamaian. (HR. Tirmidzi)

Mari kita menghayati secara mendalam ucapan salam kita serta mewujudkan dengan maksimal pesan cinta dan kasih sayang yang ada di dalamnya? Mari kita jawab semua ini dengan nurani cinta yang jujur!

***

Kita pernah mempelajari bagaimana kebaikan hati Yusuf alaihi salam yang tidak menaruh dendam sedikitpun kepada saudara-saudaranya yang telah mencoba mencelakainya. 

Juga ketika seorang dipenjara yang melupakan kebaikan dirinya, tak sedikitpun ia marah. Kebersihan hati Yusuf itulah yang akhirnya secara tidak langsung menghantarkannya kepada kejayaan diri. 

Seorang Sulaiman yang dengan segala kebesarannya, masih menghormati makhluk kecil, semut, dan memerintahkan derap dan langkah para pasukannya untuk tidak mengganggu atau bahkan menginjak sekelompok semut yang mereka lewati.

Rasulullah Muhammad saw tidak pernah sedikitpun mengajarkan kepada ummatnya untuk melakukan kejahatan, ketidakadilan, tindak kesemena-menaan bahkan kezhaliman. 

Islam dengan segala ajaran kasih sayang dan kedamaiannya, justru mengutamakan perbuatan baik terhadap manusia itu sebagai perwujudan dari rahmantan lil ‘aalamiin-nya ajaran yang disempurnakan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Setelah para Nabi Allah sebelumnya juga mengajarkan hakikat Islam.

Sebelum menjadi Rasul, Muhammad dikenal sebagai orang yang berhati mulia, jujur, sopan, bersikap lembut dan menghargai sesama. Itulah kemudian ia mendapatkan gelar al Amin, juga menarik hati seorang saudagar kaya Khadijah binti Khuwailid yang kemudian menjadi istrinya.

Setelah menjadi Rasul Allah, kemuliaan hatinya tidak hanya diakui oleh kaum mukminin melainkan juga oleh kaum kafir Quraisy. Sebenci apapun para pembesar suku Quraisy seperti Abu Lahab, Abu Jahal, mereka tak pernah membenci Muhammad karena perilakunya yang buruk. 

Justru yang mereka khawatirkan adalah ajaran kebaikan, kedamaian, dan kemuliaan hati dari Islam yang langsung dicontohkan Muhammad-lah yang akan menggusur kekuasaan, kedudukan mereka. 

Bagaimana tidak, ketika orang-orang memperjualbelikan budak dengan harga yang tidak manusiawi, Rasulullah (Islam) memuliakannya. Ketika para wanita dianggap masyarakat kelas sekian dan menjadi suatu kehinaan diri jika mempunyai keturunan seorang wanita, Muhammad justu mengangkat derajatnya.

Tidak hanya itu, ketika ketidakadilan semakin mempertegas jarak dan perbedaan antara orang-orang kaya dengan fakir miskin, antara yang kuat dan yang lemah, Rasulullah datang dengan mengajarkan zakat dan infaq shodaqoh, mencontohkan bagaimana seharusnya kasih sayang dan cinta sesama saudara bagaikan mencintai diri sendiri.

Islam adalah agama kebaikan, agama kasih sayang. Maka tidak sewajarnya ketika mereka yang mengaku mukmin melakukan kejahatan dan tindak kezhaliman. Kecuali dalam kondisi yang memang mengharuskan setiap mukmin mempertahankan harga diri dan melakukan pembelaan, Rasulullah tak pernah mengajarkannya. 

Bayangkan, saat para sahabat mulai marah dan tidak mampu menahan diri untuk melakukan balasan terhadap intimidasi dan penganiayaan terhadap kaum muslimin, Rasulullah baru mengabulkannya setelah ada izin dari Allah yang membolehkan berperang.

Ada sebuah kisah seorang panglima perang besar kaum muslimin Amru bin Ash yang begitu mulia hatinya. Saat fajar sebelum berangkat melakukan penyerbuan ke wilayah musuh yang menentang Islam, para pasukan terheran karena hanya tinggal tenda Sang Panglima yang masih utuh belum dikemas. Alasannya, mungkin bagi kita sangat sepele, hanya karena ia mendapati seekor burung yang bertengger di atas tendanya tengah mengerami telurnya dan terpaksa menunda keberangkatan pasukannya.

Kejadian itu sungguh mengherankan dua orang penyusup dari pasukan musuh yang menyamar bergabung dalam pasukan Amru bin Ash. Padahal pendelegasian keduanya menyusup itu sebelumnya karena para pembesar dan masyarakatnya mendengar berita tentang kekejaman Panglima Amru bin Ash beserta pasukannya yang dikatakan gemar membunuh, menyiksa

dan menganiaya orang. Rupanya, dari kejadian itu mereka tak menemukan

anggapan itu. Pikir mereka, bagaimana mungkin dikatakan kejam jika

terhadap seekor burung pun sang Panglima sangat mengasihi.

Menjadi seorang muslim, berarti di dirinya tertanam sifat-sifat kebaikan, cinta dan kasih sayang. Jika seorang muslim tak memiliki sifat diatas, tentulah karena ia tidak sepenuhnya mengamalkan ajaran Rasulullah.

Sebaliknya, mereka yang meski berbuat baik, dan penuh kasih seperti Bunda Theresia dan Mahatma Gandhi, amalnya akan terputus dan tak diperhitungkan dihadapan Allah kelak karena mereka bukan muslim dan tak mengimani Allah. 

Oleh karenanya, perbaikilah segala sifat yang tak mencerminkan kebaikan dan kasih sayang itu, karena Rasulullah pun menegaskan, jika kita berbuat baik dan penuh kasih sayang terhadap semua makhluk di bumi, maka yang ada di langit akan mengasihi dan menyayangi kita. Aamiin Allaahumma Aamiin. Wallahu a’lam bishshowaab.


0 Response to "Belajar Dari Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa sallam"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak