Hidayah at-Taufiq wal Ilham
Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiaplangkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya.
Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Perbedaan antara hidayah al-irsyad dan hidayah at-taufiq terlihat dari beberapa sisi. Di antaranya adalah:
1. Hidayah al-irsyad bisa dilakukan oleh siapa pun yang memiliki kemampuan menyampaikannya, sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya. Adapun hidayah at-taufiq itu murni di tangan Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dia memberikannya kepada siapa yang dikehendaki oleh-Nya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (al-Qashash: 56)
2. Hidayah al-irsyad tidak selalu mendatangkan iman dan hidayah yang sempurna (taufik). Adapun hidayah at-taufiq pasti bergandengan dengan iman, karena hidayah at-taufiq itu khusus bagi orang yang beriman dan mengamalkan Islam.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam.” (al-An’am: 125)
3. Hidayah al-irsyad adalah sebab dan syarat untuk mendapatkan hidayah at-taufiq, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Adapun hidayah at-taufiq adalah hasil dan buah dari pengamalan hidayah al-irsyad.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Barang siapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya ia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (Ali Imran: 101) (Ta’liq Yasin al-Adni atas Syarah al-Aqidah al-Wasithiyah, Khalil Harras, hlm. 41)
Hidayah at-taufiq ini ada dua tingkatan[1].
1. Hidayah at-taufiq dari kekufuran dan kesyirikan menuju Islam dan tauhid, disebut dengan hidayah ila ath-thariq (هِدَايَةٌ إِلَى الطَّرِيقِ).
Hidayah ini didapatkan oleh seseorang yang sebelumnya kafir musyrik dengan mengucapkan dua kalimat syahadat, dengan segenap ketentuan dan persyaratannya.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi, “Apakah kamu (mau) masuk Islam?” Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk …. (Ali Imran: 20)
Hidayah ini bisa menyelamatkan seseorang dari kekekalan dalam api neraka, walaupun dia terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan. Apabila Allah Subhanahu wa Ta'ala menghendaki, Dia akan mengampuni dosanya meskipun dia meninggal sebelum sempat bertaubat.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik. Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisa: 48)
Tidak ada sesuatu pun yang dapat membatalkan hidayah ini, melainkan apabila seseorang melakukan salah satu pembatal keislaman dan ketauhidan yang telah dirinci oleh para ulama dalam kitab-kitab akidah.
2. Hidayah at-taufiq dari kebid’ahan menuju sunnah, dari kemaksiatan menuju ketaatan, dan dari dosa menuju ibadah.
Hidayah inilah yang lebih utama. Inilah yang diinginkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Ini pula yang harus dicari dan didapatkan oleh seorang hamba. Dengan inilah seorang hamba berlomba meraih pahala yang besar, kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta'ala, dan surga dambaan setiap insan. Hidayah ini disebut hidayah fi ath-thariq (هِدَايَةٌ فِي الطَّرِيقِ).
Tidak semua orang yang diberi hidayah kepada Islam bisa mendapatkan hidayah untuk mengamalkan Islam sesuai dengan sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan, sunnatullah (menjadi ketetapan Allah Subhanahu wa Ta'ala), banyak pihak yang menyimpang dan sesat, sedangkan yang selamat hanya sedikit.
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyatakan:
وَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ
“Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba: 13)
Cermatilah berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tentang perpecahan yang terjadi pada umat ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
سَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثَةٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً، كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً. قِيلَ: مَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ
“Umatku akan terpecah-belah menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka, kecuali satu golongan.” Beliau ditanya, “Siapakah dia, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “(Golongan) yang berada di atas apa yang aku dan para sahabatku berada.” (Hasan, HR. at-Tirmidzi dalam Sunan-nya “Kitabul Iman Bab Iftiraqul Hadzihil Ummah”, dari sahabat Abdullah bin Amr bin al-‘Ash radhiallahu anhuma)
Hanya satu pihak yang dinyatakan selamat dari kesesatan. Mereka adalah orang-orang yang senantiasa di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun pihak-pihak yang lain dinyatakan sesat dan terancam dengan neraka. (Lihat Silsilah ash-Shahihah no. 204)
Hidayah ini merupakan konsekuensi dari hidayah at-taufiq yang pertama. Setiap orang yang telah mengucapkan syahadatain dan memeluk Islam harus mempelajari dan mengamalkan Islam sesuai dengan bimbingan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Dia harus mengaplikasikan Islam secara kaffah dalam kehidupannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (al-Baqarah: 208)
Inilah makna hidayah yang sesungguhnya. Hidayah di atas jalan yang lurus. Hidayah di atas As-Sunnah.
Sebagian pihak merasa telah meraih hidayah ketika sebelumnya dia kafir lalu masuk Islam, tanpa melihat Islam yang di atas Sunnah Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam. Cukup banyak orang kafir yang masuk Islam, namun kemudian mengikuti paham Ahmadiyah, Rafidhah, JIL, dan paham kekafiran lain yang berkedok Islam.
Tidak jarang pula orang yang sebelumnya terkungkung dalam paham sesat ekstrem lalu keluar, namun tidak keluar menuju As-Sunnah, justru menuju paham sesat lainnya semacam IM (Ikhwanul Muslimin), firqah Tabligh, Sururiyah, Haddadiyah, Hizbut Tahrir, dan firqah takfir wal jihad[2].
Jenis yang pertama ibarat orang yang keluar dari mulut buaya namun masuk ke mulut harimau. Adapun pihak kedua seperti orang yang keluar dari sebuah kesesatan kemudian masuk kepada kesesatan lainnya.
Kita tidak mengingkari bahwa mereka telah mendapatkan hidayah taufik untuk memeluk Islam. Hanya saja, yang tidak ada pada mereka adalah hakikat hidayah, yaitu hidayah at-taufiq di atas Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Ada pula pihak ketiga, orang-orang yang mendapatkan hidayah at-taufiq di atas As-Sunnah, namun dalam kesehariannya masih kurang sempurna menjalankan As-Sunnah. Mereka masih sering terjatuh dalam beragam dosa dan kemaksiatan. Perbuatan mereka ini bisa mengurangi kesempurnaan hidayah, sesuai dengan kadar dosa dan maksiatnya.
Dari sisi inilah, orang-orang yang berada di atas As-Sunnah berbeda tingkat keutamaan dan kedudukannya. Barang siapa menyempurnakan pengamalan As-Sunnah dalam segala aspek, sempurnalah hidayah yang diraihnya. Semakin tinggi pula kedudukan dan keutamaannya. Sebaliknya, barangsiapa yang semakin sering terjatuh dalam dosa dan kemaksiatan, akan semakin berkurang kesempurnaan hidayah yang diraihnya. Bahkan, mungkin akan pudar dan hilang apabila dia terjatuh dalam jurang penyimpangan dan kesesatan. Bahkan, bisa jadi luput pula darinya hidayah Islam, apabila dia murtad atau melakukan pembatal keislaman dan ketauhidan.
Dua Jenis Kesesatan
Sebagaimana hidayah, kesesatan (ضَلَالَةٌ) juga terbagi dua.
1. Dhalalun kulli (ضَلَالٌ كُلِّيٌّ)
Kesesatan secara total yang mengeluarkan pelakunya dari Islam, dalam bentuk kekufuran, kesyirikan, kemurtadan, dan kezindiqan (kemunafikan akbar).
2. Dhalalun juz’i (ضَلَالٌ جُزْئِيٌّ)
Kesesatan secara parsial, terjadi pada orang yang masuk Islam, dalam bentuk kesesatan pada akidah dan manhaj, yang tidak mengeluarkannya dari Islam. (ats-Tsabat ‘ala as-Sunnah hlm. 3—4, al-’Allamah asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah)
Hidayah dalam Surat al-Fatihah
Ibnu Qayyim al-Jauziyah rahimahullah dalam Badai’ul Fawaid (2/190) menjelaskan bahwa hidayah yang diminta oleh seseorang setiap kali membaca al-Fatihah pada ayat:
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.” (al-Fatihah: 6-7)
Adalah meliputi al-irsyad wal bayan dan hidayah at-taufiq wal ilham.
Mengapa Seseorang Tetap Meminta Hidayah al-Irsyad dan Hidayah at-Taufiq, Padahal Dia Sudah Meraihnya?
Beberapa ahli tafsir, semisal al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir-nya menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah memohon bantuan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala agar meneguhkan dan menegarkan dirinya di atas hidayah, istiqamah, dan semakin menyempurnakan hidayah yang telah dia peroleh.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkomentar bahwa jawaban di atas hanyalah salah satu cabang dari makna ayat di atas. Beliau rahimahullah menguraikan bahwa seorang hamba tidak akan pernah meraih hidayah yang sempurna sesuai yang dia harapkan, kecuali apabila terpenuhi enam hal yang sangat dibutuhkah olehnya.
1. Mengetahui hidayah tersebut dalam semua yang dia lakukan dan yang dia tinggalkan.
Hal ini terwujud dengan dia melakukan apa yang dicintai dan diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, serta menjauhi apa yang dibenci dan dimurkai oleh-Nya.
Bila ilmu dan pengetahuan seseorang tentang hal ini berkurang, akan berkurang pula hidayah sesuai dengan kadarnya.
2. Memiliki kehendak dan azam (tekad) yang kuat untuk melaksanakan apa yang dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan meninggalkan apa yang dilarang dan dibenci oleh-Nya, baik secara global maupun terperinci sesuai dengan kondisi masing-masing.
3. Mengamalkan hidayah tersebut, baik berupa melakukan sesuatu maupun meninggalkan sesuatu.
Apabila pengamalan seorang hamba berkurang, akan berkurang pula kadar hidayahnya.
Ibnul Qayyim rahimahullah menegaskan bahwa tiga poin di atas merupakan prinsip hidayah, sedangkan tiga poin berikut ini adalah pelengkap dan penyempurnanya.
4. Seseorang mungkin telah meraih hidayah tentang beberapa hal secara global, namun dia tidak mendapatkan hidayah tentangnya secara detail. Oleh karena itu, dia membutuhkan hidayah tentang hal tersebut secara detail.
5. Seseorang mungkin telah mendapatkan hidayah tentang beberapa hal dari satu sisi saja, tetapi belum mendapatkan hidayah tentangnya dari sisi yang lain. Oleh karena itu, dia membutuhkan hidayah secara sempurna dari semua sisinya.
6. Seseorang mungkin telah mendapatkan hidayah tentang beberapa hal, secara detail dari segala sisinya. Dalam keadaan seperti ini, dia membutuhkan istiqamah dan kontinuitas berada di atas hidayah tersebut.
Keenam poin di atas terkait dengan suatu hal yang hendak dikerjakan atau ditinggalkan olehnya. Ada poin ketujuh yang terkait dengan hal-hal yang telah dilakukannya di masa lalu, yaitu tindakan-tindakan yang terjadi tidak di atas prinsip istiqamah (yakni dia menyimpang). Untuk hal-hal ini, dia perlu meralatnya dengan cara bertaubat dari hal tersebut dan menggantinya dengan amalan lainnya di atas prinsip istiqamah.
Ibnul Qayyim rahimahullah menyimpulkan, apabila enam poin di atas sudah tercapai maka yang diminta adalah istiqamah di atas hidayah. Namun, apabila poin-poin di atas belum diraih secara sempurna maka yang diminta adalah prinsip-prinsip hidayah tersebut secara kontinu, memohon ilmu, azam dan kehendak kuat, kemampuan untuk beramal, serta kesempurnaan hidayah dan istiqamah di atasnya. (Badai’ul Fawaid, 2/190-191)
Penggunaan Lafadz Hidayah
Lafadz hidayah (هِدَايَةٌ) dan pecahannya memiliki beberapa keadaan.
1. Muta’addi[3] dengan sendirinya tanpa bantuan huruf jar.
Dalam keadaan ini, lafadz hidayah secara makna meliputi hidayah al-irsyad, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan.” (al-Balad: 10)
Juga mengandung makna hidayah at-taufiq, seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya.” (al-Qashash: 56)
2. Muta’addi dengan huruf jar ila (إِلَى).
Dalam keadaan ini, maknanya adalah hidayah al-irsyad. Contohnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (asy-Syura: 52)
Demikian juga firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (an-Nahl: 121)
3. Muta’addi dengan huruf jar lam (اللَّامُ).
Dalam keadaan ini, lafadz hidayah bermakna hidayah at-taufiq. Contohnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini.” (al-A’raf: 43) (Tafsir Ibnu Katsir, pada surat al-Fatihah)
Pembaca yang terhormat ….
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan terkait dengan masalah hidayah. Di antaranya adalah:
1. Mahalnya nilai hidayah
Hidayah at-taufiq yang telah dianugerahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kita sangat mahal nilainya. Tidak mungkin hidayah tersebut hidayah kepada Islam, terlebih lagi hidayah kepada As-Sunnah ditukar dengan harta, wanita, kedudukan, jabatan, ketenaran, atau urusan-urusan duniawi lainnya.
Mari kita renungkan hal-hal berikut ini yang menunjukkan betapa hidayah adalah anugerah yang agung, nikmat yang besar, dan pemberian yang tiada tara.
a. Hidayah at-taufiq tidak diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada semua hamba, namun diberikan secara khusus kepada makhluk-makhluk yang dipilih oleh-Nya.
Berapa jumlah mukallaf di muka bumi ini? Miliaran manusia. Berapa jumlah orang yang diberi hidayah at-taufiq memeluk agama Islam? Sekitar satu miliar saja.
Manakala Anda menyadari bahwa Anda termasuk dalam rombongan muslimin, artinya Anda termasuk hamba pilihan yang mendapatkan anugerah besar, hidayah kepada Islam, tanpa melihat apakah Anda termasuk golongan sabiqun bil khairat, muqtashid, atau zhalimun linafsih[4]. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman tentang ketiga golongan ini:
“Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir: 32)
Kemudian, berapa banyak jumlah muslimin di muka bumi ini? Sekitar satu miliar saja. Berapa jumlah orang yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan pemahaman salafus shalih? Jutaan atau mungkin ratusan ribu saja. Semakin sedikit jumlahnya. Satu pihak yang selamat di tengah-tengah 72 sekte yang sesat, belum lagi beragam sekte dari kalangan orang-orang kafir sejagat.
Apabila Anda termasuk kafilah Ahlus Sunnah, salafiyin, yang terus berupaya istiqamah di atas As-Sunnah, Anda adalah orang yang berhasil meraih hakikat hidayah. Artinya, Anda adalah hamba pilihan yang dianugerahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala kenikmatan di atas kenikmatan. Kenikmatan Islam dan kenikmatan As-Sunnah, diselamatkan dari berbagai kesesatan di dunia dan insya Allah diselamatkan dari neraka jahannam di akhirat. Anda termasuk orang yang paling berbahagia di dunia dan di akhirat.
Apalagi jika Anda termasuk pihak yang menghabiskan umur untuk mempelajari, mengamalkan, dan mendakwahkan As-Sunnah di tengah-tengah umat, Anda termasuk segelintir salafiyin pilihan kategori terbaik, sebagai pewaris nabi dan penerus perjuangan dakwah para nabi.
b. Renungkanlah kisah para nabi dan rasul. Lebih banyak mana antara orang yang beriman dan orang yang membangkang?
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitakan dalam firman-Nya:
“Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya.” (Yusuf: 103)
Perhatikanlah sabda Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini.
عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّهْطُ، وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَيْنِ، وَالنَّبِيَّ وَلَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ ….
“Ditampakkan seluruh umat kepadaku. Aku melihat seorang nabi dan bersamanya ada ar-rahthu (sekelompok yang berjumlah 3—9 orang). Ada juga seorang nabi yang bersamanya hanya satu-dua orang. Ada pula seorang nabi yang tidak ada seorang pun bersamanya ….” (HR. al-Bukhari no. 5705, 5752 dan Muslim no. 220 dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma)
Nabi Nuh ‘alaihissalam adalah seorang rasul dari kalangan ulul ‘azmi, tetapi anak dan istri beliau kafir. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam, bergelar Khalilur Rahman (kekasih ar-Rahman), namun ayah beliau termasuk tokoh orang-orang kafir. Demikian pula Nabi Luth ‘alaihissalam, istri beliau adalah orang kafir. Bahkan, kedua orang tua Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, kakek beliau (Abdul Muththalib) dan paman beliau (Abu Thalib) juga kafir. Mereka semua tidak diberi anugerah oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala, padahal mereka sangat dekat hubungan kekerabatannya dengan makhluk-makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala yang terbaik.
Resapilah kisah detik-detik akhir kehidupan Abu Thalib. Yang mentalqin kalimat La ilaha illallah kepadanya adalah sebaik-baik makhluk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dengan mengucapkan kalimat syahadat saja, dia akan masuk Islam dan meraih khusnul khatimah. Akan tetapi, hidayah memang mahal harganya. Abu Thalib tidak termasuk hamba pilihan. Walaupun yang mentalqinnya adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, tetap saja kalimat tersebut sangat sulit diucapkan oleh kedua bibirnya. Akhirnya, ia meninggal di atas kesyirikannya.
Jika kita melihat diri kita, kalimat syahadat sudah biasa kita ucapkan. Dengan mudah kita melantunkannya. Gampang pula kita mentalqin kalimat syahadat kepada orang lain. Tidakkah kita menyadari keagungan nikmat hidayah ini?!
c. Telaahlah sejarah para sahabat nabi-nabi terdahulu dan sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Terlalu banyak di antara mereka yang disiksa dan dianiaya. Bahkan, ada yang dibunuh karena mempertahankan hidayah yang telah mereka raih. Di antara mereka ada yang digergaji dari atas kepalanya hingga badannya terbelah dua. Ada pula yang disisir rambutnya dengan sisir dari besi tajam hingga tergerus daging dan otaknya. Ada juga yang dimasukkan ke dalam parit api, dan berbagai kisah lainnya.
Mereka semua sabar diperlakukan demikian, karena mereka mengetahui mahalnya nilai hidayah, agungnya anugerah hidayah, dan besarnya keutamaan orang-orang yang istiqamah di atas hidayah.
Penderitaan yang dialami oleh sahabat Bilal, juga Yasir dan keluarganya, Sumayyah dan Ammar, begitu pula para sahabat lain yang disiksa oleh kaum musyrikin Quraisy kala itu, tidak menggoyahkan iman mereka. Mereka rela disiksa dan dibunuh karena mempertahankan hidayah iman.
Bandingkanlah dengan keadaan mayoritas kita. Kita terlahir di dunia ini di lingkungan kaum muslimin. Sejak kecil sudah menikmati anugerah hidayah ini tanpa ada tekanan, gangguan, siksaan, ataupun pembunuhan.
Alangkah besarnya nikmat hidayah yang selama ini kita rasakan! Seyogianya kita terus menjaga kesempurnaan hidayah ini dan tetap teguh di atasnya, dengan cara semakin bersemangat mengkaji bimbingan As-Sunnah, mengamalkannya dalam kehidupan keseharian, dan mendakwahkannya kepada umat sesuai dengan kemampuan kita.
2. Mencari dan mengejar hidayah
Hidayah at-taufiq memang murni anugerah dari Allah Subhanahu wa Ta'ala. Dia memberikannya kepada siapa yang dikehendaki oleh-Nya. Akan tetapi, tidak berarti bahwa kita pasif dan berpangku tangan menunggu datangnya hidayah. Termasuk tuntunan as-salafush shalih adalah aktif mencari dan mengejar hidayah, mengorbankan segala yang ada, baik harta maupun nyawa, untuk meraih hidayah.
Kisah Salman al-Farisi radhiallahu anhu adalah pelajaran berharga bagi pendamba kebahagiaan dunia dan pengharap surga.
Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (5/441) meriwayatkan perjalanan panjang seorang Salman al-Farisi radhiallahu anhu dalam mencari hidayah. Disebutkan bahwa Salman dulunya adalah penyembah api. Ayahnya, selaku kepala suku, menugaskan Salman untuk menjaga api agar terus menyala, tidak boleh padam. Salman pun tidak pernah keluar dari rumahnya, layaknya gadis pingitan.
Suatu hari, Salman disuruh oleh ayahnya untuk mengurus kebun dan menyelesaikan beberapa tugas. Di tengah perjalanan, Salman melewati sebuah gereja. Dia mendengar suara-suara merdu dari dalam gereja. Dia pun masuk dan menyaksikan apa yang dilakukan oleh kaum Nasrani. Salman takjub dan ingin memeluk agama mereka. Dia pun tertahan di situ hingga matahari tenggelam. Salman pun menanyakan asal-usul agama tersebut yang ternyata berasal dari Syam.
Ketika pulang, Salman langsung diinterogasi dan dimarahi oleh ayahnya. Dia lalu ditahan di kamar dengan kaki terlilit belenggu dari besi. Walhasil, akhirnya Salman berhasil kabur dari rumah. Berangkatlah ia menuju Syam bersama kafilah dagang dari Syam yang singgah di daerahnya. Di Syam inilah, Salman memulai sejarah perjalanannya mencari hidayah: agama Islam yang haq, Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Di Syam, Salman tinggal bersama seorang pendeta di gereja. Ternyata pendeta tersebut adalah orang yang jelek. Di akhir kisah, umat Nasrani menyalib pendeta tersebut.
Salman lalu tinggal bersama seorang pendeta lain yang menggantikan posisi pendeta sebelumnya. Pendeta tersebut adalah orang yang saleh dan baik. Namun, tidak lama berselang, pendeta tersebut tiba ajalnya. Sebelum wafat, dia berwasiat kepada Salman untuk mendatangi seorang saleh di negeri Maushil.
Salman pun segera berangkat ke Maushil dan tinggal bersama orang saleh tersebut. Akan tetapi, tidak lama kemudian orang tersebut wafat. Sebelum meninggal, dia berwasiat kepada Salman agar datang kepada seorang yang saleh di negeri Nashibin.
Tanpa membuang waktu, Salman bergegas menuju Nashibin dan bertemu dengan orang saleh tersebut. Salman lalu tinggal bersamanya. Namun dengan takdir Allah Subhanahu wa Ta'ala, cepat pula ajal menjemput orang ini. Dia pun wafat, setelah sebelumnya memberitahu Salman tentang seorang saleh di daerah Ammuriyah.
Di Ammuriyah, Salman bertemu dan tinggal bersama orang saleh tersebut dalam waktu yang cukup lama. Salman bahkan sempat mencari usaha hingga memiliki beberapa ekor sapi dan kambing. Tatkala ajal tiba, orang saleh tersebut memberitakan bahwa tidak ada lagi di muka bumi ini orang yang saleh seperti dirinya. Namun, dia memberitahu Salman bahwa waktu itu telah datang masa munculnya nabi akhir zaman. Disebutkannya pula ciri-ciri nabi itu: nabi itu muncul di negeri Arab, lalu berhijrah ke daerah yang diapit oleh dua bukit berbatu hitam, di tengahnya terdapat pohon-pohon kurma, nabi itu mau memakan hadiah tetapi tidak mau memakan sedekah, dan di antara kedua pundaknya ada tanda kenabian.
Setelah orang saleh itu wafat, Salman masih tinggal di Ammuriyah beberapa lama. Ketika datang kafilah dagang dari kabilah Kalb, Salman meminta mereka membawanya ke tanah Arab dengan bayaran seluruh sapi dan kambing yang dia miliki. Mereka pun menyetujuinya dan membawa serta Salman. Namun, setibanya mereka di Wadi Qura, mereka menjual Salman sebagai budak kepada seorang Yahudi. Salman pun tinggal di sana beberapa waktu.
Tidak seberapa lama, datanglah sepupu Yahudi itu dari Bani Quraizhah Madinah. Dia pun membeli Salman dan membawanya ke kota Madinah. Sesampainya di sana, Salman langsung mengenali Madinah sebagaimana kriteria yang disebutkan oleh orang saleh dari Ammuriyah.
Di Madinah, Salman disibukkan oleh statusnya sebagai budak. Bersamaan dengan itu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah diutus sebagai nabi di Makkah, lalu berhijrah ke Madinah.
Singkat kisah, Salman pun berhasil menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di Quba, lalu menemuinya lagi di Madinah untuk melihat ciri-ciri kenabian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Semuanya telah dia ketahui, kecuali satu hal: tanda kenabian di antara kedua pundak beliau.
Pada suatu hari, beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam mengantarkan jenazah seorang sahabat ke pekuburan Baqi’. Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam duduk di antara para sahabat. Datanglah Salman lalu mengucapkan salam kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak sabar, Salman pun langsung berputar ke belakang punggung beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melihat apakah ada tanda kenabian seperti yang disebutkan oleh orang saleh dari Ammuriyah.
Tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tahu bahwa Salman sedang memastikan sesuatu, beliau pun melepaskan kainnya dari pundak. Salman pun melihat dan mengenali tanda kenabian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam. Salman langsung memeluk beliau sambil menangis dan menceritakan perjalanan panjangnya mencari hidayah, hingga akhirnya Allah Subhanahu wa Ta'ala mempertemukannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam takjub dengan kisah Salman dan memintanya untuk menceritakannya kepada para sahabat.
Hadits ini dihasankan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ ash-Shahih (1/85).
Begitu pula kisah Zaid bin Amr bin Nufail, ayah salah seorang sahabat yang diberi kabar gembira dengan surga, yaitu Sa’id bin Zaid radhiallahu anhu.
Zaid mencari agama yang haq dan mendatangi tempat-tempat ahli kitab, dari Khaibar hingga ke negeri Syam. Setelah pengembaraan panjang mencari kebenaran, ternyata dia mendapatkan bahwa yang dicarinya ada di negerinya sendiri. Salah seorang tua yang saleh dari negeri Jazirah menyebutkan bahwa telah datang masa kenabian dan akan muncul di tanah Arab, kampung halaman Zaid bin Amr. Namun tatkala Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam diangkat sebagai nabi, Zaid telah tiada. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يُبْعَثُ أُمَّةً وَاحِدَةً
“Dia akan dibangkitkan sebagai umat tersendiri.” (HR. Abu Ya’la 6/732, al-Bazzar 3/283 Kasyful Astar, dihasankan oleh asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam al-Jami’ ash-Shahih, 1/181-182)
Masih banyak lagi kisah semisal dari kalangan sahabat, tabi’in, dan generasi setelah mereka. Semuanya menyimpan segudang ibrah dan faedah serta kilauan hikmah dari upaya pencarian hidayah.
3. Manfaat dan keutamaan hidayah kembali kepada hamba sendiri
Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan segenap hamba untuk menempuh bimbingan hidayah guna meraih taufik dan kemuliaan-Nya. Ketika seorang hamba memenuhi panggilan Allah Subhanahu wa Ta'ala, mencari dan mengejar hidayah, mengorbankan segala yang dimilikinya, baik harta maupun nyawa, lalu Allah Subhanahu wa Ta'ala menganugerahkan taufik kepadanya sehingga dia meraih kenikmatan dan keutamaan yang tiada tara di dunia, dan di akhirat dimasukkan ke dalam surga, yang merasakan semua ini adalah si hamba sendiri. Allah Subhanahu wa Ta'ala Mahakaya, tidak membutuhkan apa pun dari sang hamba.
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya): Katakanlah, “Wahai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu kebenaran (Al-Qur’an) dari Rabbmu. Oleh sebab itu, barangsiapa yang mendapat petunjuk maka sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang sesat maka sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. Dan aku bukanlah seorang penjaga terhadap dirimu.” (Yunus: 108)
ditulis oleh: Al-Ustadz Muhammad Afifuddin hafizhahullah
Catatan Kaki:
Lihat Taisir al-Karim ar-Rahman pada surat al-Fatihah dan Syifa’ul ‘Alil (hlm. 194).
Penjelasan tentang penyimpangan kelompok-kelompok tersebut bisa Pembaca lihat pada edisi-edisi terdahulu.
Fi’il (kata kerja) yang membutuhkan maf’ul bih (objek), terkadang dengan sendirinya dan terkadang dengan bantuan huruf jar.
Lihat catatan kaki no. 4 rubrik “Manhaji”.
0 Response to "Hidayah at-Taufiq wal Ilham"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak