Hukum Terkait Merayakan Hari Raya Agama Lain
Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah Subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya.
Tak lupa pula, Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Hukum Terkait Merayakan Hari Raya Agama Lain dan Mengucapkan Selamat Hari raya agama lain.
Kaum Muslim haram mengikuti Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) merayakan Hari Natal atau hari raya mereka, serta mengucapkan ucapan “Selamat Natal”, karena ini merupakan bagian dari kegiatan khas keagamaan mereka, atau syiar agama mereka yang batil.
Kita pun dilarang meniru mereka dalam hari raya mereka.
Keharaman itu dinyatakan dalam al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat.
Pertama, dalam al-Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikan kemaksiatan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.s. al-Furqan [25]: 72)
Mujahid, dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan, “az-Zรปr (kemaksiatan)" itu adalah hari raya kaum Musyrik.
Begitu juga pendapat yang sama dikemukakan oleh ar-Rabรฎ’ bin Anas, al-Qรขdhรฎ Abรป Ya’lรข dan ad-Dhahรขk.” Ibn Sirรฎn berkomentar, “az-Zรปr adalah Sya’รขnain. Sedangkan Sya’รขnain adalah hari raya kaum Kristen.
Mereka menyelenggarakannya pada hari Ahad sebelumnya untuk Hari Paskah. Mereka merayakannya dengan membawa pelepah kurma. Mereka mengira itu mengenang masuknya Isa al-Masih ke Baitul Maqdis.”
Wajh ad-dalรขlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, jika Allah memuji orang-orang yang tidak menyaksikan az-Zur (Hari Raya kaum Kafir), padahal hanya sekedar hadir dengan melihat atau mendengar, lalu bagaimana dengan tindakan lebih dari itu, yaitu merayakannya. Bukan sekedar menyaksikan.
Kedua, mengenai as-Sunnah, dalil yang menyatakan keharamannya adalah hadits Anas bin Malik radhiallahu 'anhu, yang menyatakan:
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tiba di Madinah, sementara mereka (penduduk Madinah) mempunyai dua hari, dimana mereka sedang bermain pada hari-hari tersebut, seraya berkata, ‘Dua hari ini hari apa?’ Mereka menjawab, ‘Kami sejak zaman Jahiliyyah bermain pada hari-hari tersebut.’ Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik: Hari Raya Idul Adhha dan Hari Raya Idul Fitri.” (Hr. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasa’i dengan syarat Muslim)
Wajh ad-dalรขlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, bahwa kedua hari raya Jahiliyyah tersebut tidak diakui oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Nabi juga tidak membiarkan mereka bermain pada kedua hari yang menjadi tradisi mereka.
Sebaliknya, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik.” Pernyataan Nabi yang menyatakan, “mengganti” mengharuskan kita untuk meninggalkan apa yang telah diganti. Karena tidak mungkin antara “pengganti” dan “yang diganti” bisa dikompromikan. Sedangkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, “Lebih baik dari keduanya.” mengharuskan digantikannya perayaan Jahiliyah tersebut dengan apa yang disyariatkan oleh Allah kepada kita.
Ketiga, tindakan ‘Umar dengan syarat yang ditetapkannya kepada Ahli Dzimmah telah disepakati oleh para sahabat, dan para fuqaha’ setelahnya, bahwa Ahli Dzimmah tidak boleh medemonstrasikan hari raya mereka di wilayah Islam. Para sahabat sepakat, bahwa mendemonstrasikan hari raya mereka saja tidak boleh, lalu bagaimana jika kaum Muslim melakukannya, maka tentu tidak boleh lagi.
‘Umar pun berpesan:
“Tinggalkanlah bahasa kaum ajam (non-Arab). Janganlah kalian memasuki (perkumpulan) kaum Musyrik dalam hari raya mereka di gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan diturunkan kepada mereka.”(Hr. al-Baihaqi dengan Isnad yang Shahih)
Ibn Taimiyyah berkomentar, “Umar melarang belajar bahasa mereka, dan sekedar memasuki gereja mereka pada Hari Raya mereka.
Lalu, bagaimana dengan mengerjakan perbuatan mereka? Atau mengerjakan apa yang menjadi tuntutan agama mereka.
Bukankah melakukan tindakan mereka jauh lebih berat lagi? Bukanlah merayakan hari raya mereka lebih berat ketimbang hanya sekedar mengikuti mereka dalam hari raya mereka?
Jika murka Allah akan diturunkan kepada mereka pada hari raya mereka, akibat tindakan mereka, maka siapa saja yang terlibat bersama mereka dalam aktivitas tersebut, atau sebagian aktivitas tersebut pasti mengundang adzab tersebut.”
0 Response to "Hukum Terkait Merayakan Hari Raya Agama Lain "
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak