Kaidah Ahlussunnah dalam Memahami Nama Dan Sifat Allah
Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya.
Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Kaedah Pertama:
Yang wajib dalam memahami dalil-dalil Al-Quran dan As-Sunnah dalam nama-nama dan sifat-sifat Allah:
Yang wajib dalam memahami dalil-dalil Al-Kitab dan As-Sunnah adalah membiarkan penunjukannya sesuai zhahirnya tanpa mengubahnya.
Karena Al-Quran itu diturunkan dengan bahasa Arab yang jelas, dan Nabi shallallahu alaihi wasallam berbicara degan bahasa arab.
Maka wajib membiarkan penunjukan perkataan Allah dan perkataan Rasul-Nya apa adanya dalam makna bahasa Arab.
Karena mengubahnya dari zhahirnya adalah berkata atas nama Allah dengan tanpa ilmu dan itu hukumnya haram.
Berdasarkan firman Allah Taala:
قُلۡ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ ٱلۡفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنۡهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلۡإِثۡمَ وَٱلۡبَغۡيَ بِغَيۡرِ ٱلۡحَقِّ وَأَن تُشۡرِكُواْ بِٱللَّهِ مَا لَمۡ يُنَزِّلۡ بِهِۦ سُلۡطَٰنٗا وَأَن تَقُولُواْ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعۡلَمُونَ
"Katakanlah (Muhammad), “Rabbku hanya mengharamkan segala perbuatan keji yang terlihat dan yang tersembunyi, perbuatan dosa, perbuatan zhalim tanpa alasan yang benar, dan (mengharamkan) kalian mempersekutukan Allah dengan sesuatu, sedangkan Dia tidak menurunkan alasan untuk itu, dan (mengharamkan) kalian membicarakan tentang Allah apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-A'raf 33)
Contohnya penerapannya hal itu adalah Firman Allah Taala:
بَلۡ يَدَاهُ مَبۡسُوطَتَانِ يُنفِقُ كَيۡفَ يَشَآءُۚ
"Bahkan kedua tangan Allah itu terbuka ; Dia memberi rezeki sebagaimana Dia kehendaki." (QS. Al-Maidah 64)
Maka sesungguhnya zhahirnya ayat: Sesungguhnya Allah itu memiliki dua tangan yang hakiki. Maka wajib menetapkan hal itu bagi diriNya.
Maka jika ada yang berkata: Yang dimaksud dengan tangan adalah kekuatan, maka kita katakan kepadanya:
Ini adalah memalingkan perkataan dari zhahirnya, maka tidak boleh berpendapat demikian, karena itu termasuk berkata atas nama Allah dengan tanpa ilmu.
Kaedah Kedua: Tentang Asma Allah.
Dibawah kaedah ini ada beberapa kaedah cabang:
2.1. Cabang pertama:
Nama Allah itu semuanya pada puncak kebagusan dan paling tingginya. Karena Nama Allah itu mengandung sifat-sifat yang sempurna, tidak ada kekurangan padanya dalam segala sisinya.
Allah Taala berfirman:
وَلِلَّهِ ٱلۡأَسۡمَاۤءُ ٱلۡحُسۡنَىٰ
"Dan milik Allah segala Nama-nama yang pada Puncak kebagusan." (QS. Al-A'raf 180)
Contoh dalam hal itu:
Ar-Rahman adalah satu nama dari nama-nama Allah, menunjukkan sifat yang Agung yaitu sifat Rahmat yang Luas.
Dari sana kita mengetahui bahwasanya Ad-Dahr (masa) adalah bukan termasuk nama Allah. Karena Ad-Dahr tidak terkandung padanya makna puncak kebagusan.
Adapun sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam:
لا تسبوا الدهر فإن الله هو الدهر
"Janganlah kalian mencela Ad-Dahr (masa) karena Allah itu adalah Ad-Dahr (masa)." (HR. Muslim)
Maka maknanya adalah Allah itu adalah pemilik Ad-Dahr (masa) yang mengatur masa. Hal ini berdasarkan sabda beliau dalam riwayat yang kedua, bahwasanya Allah berfirman:
بيدي الأمر أقلب الليل والنهار
"Di tangan Ku segala urusan, Aku membolak-balikkan malam dan siang." (HR. Bukhari)
2.2. Cabang kedua:
Nama Allah itu tidak terbatas dalam jumlah tertentu.
Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam hadits yang terkenal:
أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِي كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ
"Saya meminta kepadaMu dengan segenap nama milikMu, yang Engkau namakan DiriMu dengannya, atau yang Engkau turunkan dalam kitabMu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari MakhlukMu, atau yang Engkau simpan di ilmu ghaib sisi-Mu." (HR. Bukhari Muslim)
Dan apa yang Allah simpan di ilmu ghaib di sisiNya itu tidak mungkin dibatasi dan tidak bisa dijangkau.
Dan cara mengompromikan antara hadits ini dengan hadits yang shahih:
إن الله تسعة وتسعين اسمًا من أحصاها دخل الجنة
"Sesungguhnya Allah itu memiliki sembilan puluh sembilan nama, yang barangsiapa menjaganya dia masuk surga." (HR. Bukhari)
Sesungguhnya makna hadits ini: bahwasanya diantara nama-nama Allah itu ada sembilan puluh sembilan yang barang siapa yang menjaganya akan masuk surga. Bukanlah yang dimaksud kalau Nama-NamaNya itu terbatas sejumlah itu.
Permisalan hal ini, kalau engkau mengatakan:
Saya memiliki uang seratus dirham yang saya siapkan untuk sedekah. Maka tidak menafikan kalau engkau masih memiliki uang dirham lainnya yang engkau siapkan untuk selain sedekah.
2.3. Cabang ketiga:
Nama Allah itu tidak boleh ditetapkan dengan akal, akan tetapi ditetapkan dengan syariat.
Nama-nama Allah itu tauqifiyah, penetapannya harus dengan dalil-dalil syariat. Maka tidak boleh ditambahkan padanya atau dikurangi, karena:
Akal itu tidak mungkin menjangkau apa yang berhak bagi Allah Taala dari Nama-Nama. Maka wajib berhenti dalam hal itu diatas aturan syariat.
Karena menamakan Allah dengan apa yang Allah tidak namakan diriNya, atau mengingkari apa yang Allah telah namakan diriNya adalah kejahatan terhadap hak Allah Taala. Maka wajib menempuh adab dalam hal itu.
2.4. Cabang ke empat:
Setiap nama dari nama-nama Allah itu menunjukkan atas Dzat Allah dan menunjukkan sifat yang terkandung di dalamnya dan juga pengaruh yang berkaitan dengannya, jika sifat tersebut membutuhkan obyek.
Tidak sempurna keimanan dengan Nama Allah kecuali dengan menetapkan itu semua.
Misal penerapan hal itu pada Nama Allah yang tidak membutuhkan obyek (ghaira Muta'addi):
Nama Al-'Azhiim. Maka tidaklah sempurna beriman dengan Nama ini sampai kita mengimani dengan:
Menetapkannya sebagai satu nama dari nama-nama Allah yang menunjukkan Dzat Allah Yang Maha Tinggi dan juga menunjukan kandungan sifatNya yaitu sifat Keagungan.
Misal penerapan hal itu pada nama Allah yang membutuhkan obyek (Muta'addi):
Nama Ar-Rahman: Maka tidak sempurna Iman dengannya sampai kita beriman dengan menetapkannya sebagai satu nama dari nama-Nama Allah yang menunjukkan atas DzatNya dan juga apa yang terkandung di dalamnya dari sifat, yaitu sifat Rahmat dan juga pengaruhnya yaitu bahwasanya Dia merahmati siapa saja yang Dia kehendaki.
Kaedah Ketiga: Tentang Sifat-Sifat Allah.
Dibawah kaedah ini ada beberapa cabang:
3.1. Cabang Pertama:
Sifat-sifat Allah itu semuanya Tinggi, sifat yang Sempurna dan Terpuji, tidak ada kekurangan padanya dari segala sisinya.
Seperti Sifat Hidup, Ilmu, Maha Kuasa, Pendengaran, Penglihatan, Hikmah, Rahmat, Sifat Tinggi dan selainnya. Berdasarkan firmanNya:
وَلِلَّهِ ٱلۡمَثَلُ ٱلۡأَعۡلَىٰۚ
"Dan Allah itu memiliki Sifat-Sifat yang Tinggi." (QS. An-Nahl 60)
Karena Allah itu Maha Sempurna, maka Sifat-SifatNya pasti Maha sempurna juga.
Apabila ada sifat yang ada kekurangannya, yang tiada kesempurnannya, maka itu tertolak pada hak Allah.
Seperti sifat mati, bodoh, lemah, bisu, buta dan semisalnya. Karena Allah Taala akan menyiksa orang-orang yang mensifati diriNya dengan sifat kekurangan, dan Dia menyucikan diriNya dari apa yang mereka sifatkan terhadap diriNya dengan sifat kekurangan.
Dan juga karena Rabb tidak mungkin memiliki kekurangan karena bertentangan dengan Rububiyyah.
Apabila ada sifat yang sempurna dari satu sisi, dan ada kekurangan dari sisi lainnya, maka tidak ditetapkan untuk Allah dan tidak pula ditiadakan dariNya secara mutlak.
Bahkan harus dirinci:
Maka kita tetapkan bagi Allah dalam keadaan yang sempurnanya dan ditiadakan (sifat tersebut) dalam keadaan yang ada kekurangannya.
Seperti sifat Makar dan Tipu daya dan semisalnya.
Maka sifat-sifat ini keadaannya sempurna apabila dalam membalas yang semisalnya. Karena hal itu menunjukkan kalau pelakunya itu tidak lemah dari menghadapi musuhnya dengan semisal perbuatannya.
Dan sifat ini menjadi bernilai kekurangan pada selain kondisi ini.
Maka kita tetapkan (sifat-sifat ini) bagi Allah pada keadaan yang pertama bukan yang kedua.
Allah Taala berfirman:
وَیَمۡكُرُونَ وَیَمۡكُرُ ٱللَّهُۖ وَٱللَّهُ خَیۡرُ ٱلۡمَـٰكِرِینَ
"Dan mereka membuat makar dan Allah membalas makar mereka. Dan Allah itu sebaik-baik pembuat makar." (QS. Al-Anfaal 30)
إِنَّهُمۡ یَكِیدُونَ كَیۡدࣰا وَأَكِیدُ كَیۡدࣰا
"Sesungguhnya mereka membuat satu tipu daya, dan Aku membalas tipu daya mereka." (QS. Ath-Thaariq 15-16)
إِنَّ ٱلۡمُنَـٰفِقِینَ یُخَـٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَـٰدِعُهُمۡ
"Sesungguhnya orang munafikin itu menipu Allah dan Dia membalas menipu mereka." (QS. An-Nisaa 142)
Dan selain ayat-ayat itu.
Apabila dikatakan, apakah Allah itu disifati dengan sifat Makar misalnya?
Maka tidak boleh kita jawab: Iya, tidak boleh pula kita jawab: Tidak.
Akan tetapi katakanlah: Dia adalah Pembuat Makar kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya.
3.2. Cabang kedua:
Sifat-sifat Allah itu terbagi dua macam: Sifat tsubutiyah dan sifat salbiyyah
Maka sifat Tsubutiyyah adalah Sifat yang Allah tetapkan untuk diriNya. Seperti sifat Hidup, Ilmu dan Maha Kuasa.
Maka wajib kita menetapkannya untuk Allah sesuai dengan yang pantas bagiNya, karena Allah telah menetapkannya untuk diriNya dan Dia lebih mengetahui dengan Sifat-SifatNya.
Sifat Salbiyyah: Adalah Sifat yang Allah menafikannya (meniadakannya) dari diriNya, seperti sifat zhalim.
Maka wajib kita menafikannya dari Allah karena Allah telah menafikannya dari diriNya.
Akan tetapi kita wajib meyakini dan menetapkan bagi Allah lawan sifat tadi dalam sisi yang lebih sempurna.
Karena menafikan saja itu bukanlah kesempurnaan sampai terkandung nilai positifnya.
Misalnya: pada firman Allah Taala:
ولا يظلم ربك أحدا
"Dan Dia itu tidak menzalimi siapapun." (QS. Al-Kahfi 49)
Maka wajib menafikan sifat zalim dari Allah, sambil diiringi keyakinan akan tetapnya sifat Adil bagi Allah dalam sisi yang lebih sempurna.
3.3. Cabang ke tiga:
Sifat tsubutiyyah terbagi menjadi dua macam: Sifat Dzatiyyah dan Sifat Fi'liyyah
▪️ Sifat Dzatiyyah adalah Sifat yang Allah terus menerus dan senantiasa disifati dengan sifat ini seperti sifat Mendengar dan sifat Melihat.
▪️ Sifat Fi'liyyah adalah Sifat yang tergantung dengan masyi'ah (kehendak) Allah. Jika Allah berkehendak melakukannya, jika Allah tidak menghendaki maka Dia tidak melakukannya.
Seperti sifat Istiwa (Tinggi) di atas 'Arsy dan sifat Datang (di hari Kiamat).
Terkadang ada satu sifat yang Dzatiyyah sekaligus Fi'liyyah dengan dua sudut pandang. Seperti sifat Kalam (Berbicara).
Maka sesungguhnya Sifat Berbicara itu kalau ditinjau dari asal sifat adalah termasuk sifat Dzatiyyah. Karena Allah itu senantiasa dan terus-menerus Berbicara.
Dan kalau ditinjau dari Pembicaraan demi PembicaraanNya maka itu adalah sifat Fi'liyyah.
Karena Kalam (Berbicara) itu berkaitan dengan masyi'ahNya (kehendakNya) Allah akan berbicara dengan yang Dia menghendaki dan kapan Dia kehendaki.
3.4. Cabang ke keempat:
Setiap sifat dari sifat-sifat Allah itu sesungguhnya dihadapkan kepadanya tiga pertanyaan:
Pertanyaan pertama:
- Apakah sifat Allah itu hakiki, mengapa?
Pertanyaan kedua:
- Apakah boleh menanyakan kaifiyyah (bagaimananya) sifat Allah, mengapa?
Pertanyaan ketiga:
- Apakah Sifat Allah itu menyerupai sifat makhluk, mengapa?
Jawaban pertanyaan pertama:
Ya, Sifat Allah itu hakiki (bukan majas-pent), karena hukum asal dalam perkataan (kalam) adalah hakiki. Maka tidak boleh dipalingkan darinya kecuali dengan dalil shahih yang mencegah darinya.
Jawaban Pertanyaan kedua: Tidak boleh menanyakan kaifiyah (bagaimananya) sifat Allah, karena Allah berfirman:
وَلَا يُحِيطُونَ بِهِۦ عِلۡمٗا
"Dan ilmu mereka tidak dapat meliputi diri-Nya." (QS. Tha-Ha 110)
Dan karena akal itu tidak mungkin menjangkau hakikat bagaimananya Sifat Allah.
Jawaban untuk pertanyaan ketiga: Sifat Allah tidak menyerupai sifat makhluk, berdasarkan firman Nya:
لَيۡسَ كَمِثۡلِهِۦ شَيۡءٞۖ.
"Tidak ada sesuatupun yang serupa denganNya." (QS. Asy-Syuura 11)
Dan karena Allah itu berhak atas segala kesempurnaan yang tidak ada lagi yang diatas-Nya. Maka tidak mungkin ada makhluk yang serupa denganNya karena makhluk itu penuh kekurangan.
Perbedaan antara Tamtsil dan Takyiif:
Sesungguhnya Tamtsil itu menyebutkan kaifiyah (bagaimananya) sifat Allah dengan menetapkan yang diserupakan, sedangkan Takyiif adalah menyebutkan kaifiyah (bagaimananya) sifat tanpa menetapkan yang diserupakan.
Contoh Tamtsil adalah Seorang mengatakan: Tangan Allah itu seperti tangan manusia.
Contoh Takyiif adalah: Seorang mengkhayalkan akan Tangan Allah dengan gambaran tertentu yang tidak memisalkan dengan tangan makhluk. Maka tidak boleh melakukan khayalan-khayalan ini.
Kaedah Keempat: Membantah kaum Mu'aththilah
Mu'aththilah adalah mereka yang mengingkari (menolak) sebagian dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat Allah, mereka menyelewengkan nash-nash dalil dari zhahirnya.
Mereka disebut juga golongan Mu'awwilah.
Dan kaedah umum dalam membantah mereka: Kita katakan sesungguhnya pendapat mereka itu:
- Menyelisihi zhahirnya nash-nash
- Menyelisihi metode para salaf (pendahulu yang shalih)
- Tidak memiliki dalil yang shahih yang mendasari pendapatnya.
- Dan kadang pada sebagian sifat memiliki bantahan keempat atau lebih.
Sumber: Syarh Lum'atil i'tiqad karya Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah 22-27
0 Response to "Kaidah Ahlussunnah dalam Memahami Nama Dan Sifat Allah"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak