Meletakkan Fondasi Akidah Ujian

Bismillรขhirrahmรขnirrahรฎm. Puji dan syukur kepada Allah subhรขnahu wata’รขla, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Menganugerahkan pengetahuan kepada makhlukNya, 

Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah yang tidak akan pernah habis teladan terpancar dari diri Beliau sampai akhir masa.

Ujian Hanya Musibah?

Gambaran orientasi akidah yang salah mengenai nikmat dan musibah pernah saya temukan ketika saya memberikan pengajian karyawan di sebuah pusat perbelanjaan di Surabaya, Mei 2011. 

Pada kesempatan itu, saya mengajukan dua pertanyaan yang berbeda.

Pertanyaan pertama saya berikan kepada Sales Promotion Boy (SPB) yang duduk di depan saya.

“Mas, bagaimana Anda melihat semua yang sekarang diterima oleh Briptu Norman Kamaru?”

“Itu nikmat, Pak!”

“Lalu, bagaimana Anda memandang nikmat itu?” tanya saya sekali lagi. Cowok ganteng itu diam. Dia tidak bisa memberikan jawaban.

Lalu, saya kembali melontarkan pertanyaan kedua. Kali ini, saya berikan kepada salah seorang Sales Promotion Girl (SPG) yang juga duduk di depan saya.

“Mbak, Anda pernah kena musibah?”

“Ya,” jawab SPG itu menganggukkan kepala.

“Bagaimana Anda memaknai musibah yang pernah menimpa diri Anda itu?” timpal saya lagi.

“Ya, saya menganggapnya sebagai ujian!” jawabnya mantap.

Itulah gambaran kita selama ini terhadap nikmat dan musibah. Tatkala diminta untuk menilai nikmat kepintaran, popularitas, maupun jabatan, kita tidak bisa memberikan pandangan bahwa itu adalah ujian dari Allah. Kita menganggap seakan-akan nikmat itu bukan suatu ujian!

Demikian pula, ketika diminta untuk memaknai musibah, kita pasti akan memandang musibah tersebut sebagai ujian dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Tidak salah apabila kita berpandangan seperti itu. 

Sebab, pandangan itu memang sudah kita terima secara turun-temurun. Musibah atau yang tidak enak-enak itu pasti akan diyakini sebagai ujian.

Nikmat dan Musibah Berasal dari Allah 

Pembaca, ketahuilah bahwa Islam telah memberikan pandangan yang benar tentang nikmat dan musibah.

Marilah kita perhatikan dua fi rman Allah berikut ini. Dua fi rman Allah yang bakal membuat kita semua terkesima.

Pertama, fi rman Allah yang terdapat di dalam QS.  An-Naml (27) ayat 40.

ู‚َุงู„َ ุงู„َّุฐِูŠْ ุนِู†ْุฏَู‡ٗ ุนِู„ْู…ٌ ู…ِّู†َ ุงู„ْูƒِุชٰุจِ ุงَู†َุง۠ ุงٰุชِูŠْูƒَ ุจِู‡ٖ ู‚َุจْู„َ ุงَู†ْ ูŠَّุฑْุชَุฏَّ ุงِู„َูŠْูƒَ ุทَุฑْูُูƒَۗ ูَู„َู…َّุง ุฑَุงٰู‡ُ ู…ُุณْุชَู‚ِุฑًّุง ุนِู†ْุฏَู‡ٗ ู‚َุงู„َ ู‡ٰุฐَุง ู…ِู†ْ ูَุถْู„ِ ุฑَุจِّูŠْۗ ู„ِูŠَุจْู„ُูˆَู†ِูŠْٓ ุกَุงَุดْูƒُุฑُ ุงَู…ْ ุงَูƒْูُุฑُۗ ูˆَู…َู†ْ ุดَูƒَุฑَ ูَุงِู†َّู…َุง ูŠَุดْูƒُุฑُ ู„ِู†َูْุณِู‡ٖۚ ูˆَู…َู†ْ ูƒَูَุฑَ ูَุงِู†َّ ุฑَุจِّูŠْ ุบَู†ِูŠٌّ ูƒَุฑِูŠْู…ٌ

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al-Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia”.

Kedua, firman Allah yang terdapat di dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 155.

ูˆَู„َู†َุจْู„ُูˆَู†َّูƒُู…ْ ุจِุดَูŠْุกٍ ู…ِّู†َ ุงู„ْุฎَูˆْูِ ูˆَุงู„ْุฌُูˆْุนِ ูˆَู†َู‚ْุตٍ ู…ِّู†َ ุงู„ْุงَู…ْูˆَุงู„ِ ูˆَุงู„ْุงَู†ْูُุณِ ูˆَุงู„ุซَّู…َุฑٰุชِۗ ูˆَุจَุดِّุฑِ ุงู„ุตّٰุจِุฑِูŠْู†َ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Dari dua firman Allah tersebut, kita mendapatkan pelajaran tauhid yang amat penting. Pelajaran tauhid yang dimaksud ialah keyakinan yang kuat bahwa nikmat dan musibah itu hakikatnya berasal dari Allah Subhanahu wa ta'ala.  

Nikmat berasal dari Allah ditunjukkan oleh QS. An-Naml (27): 40, yaitu ungkapan Nabi Sulaiman Alaihi Sallam di dalam ayat, “Ini termasuk karunia Tuhanku”. 

Sedangkan musibah hakikatnya dari Allah bisa ditangkap dari QS. Al-Baqarah (2): 155. Bagaimana keyakinan bahwa nikmat dan musibah hakikatnya dari Allah itu bisa dฤณ elaskan? Seperti ini penjelasannya. 

Iman kepada Allah itu kan mengakui bahwa Dialah yang menciptakan makhluk, memiliki mereka, menghidupkan dan mematikan mereka, memberi manfaat dan mudharat kepada mereka, mengabulkan doa mereka ketika dalam bahaya, berkuasa atas mereka, serta memberi dan menolak mereka. 

PenulisAchmad Sjamsudin

Sallam bahagia sukses dunia akhirat

0 Response to "Meletakkan Fondasi Akidah Ujian"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak