Renungan Menjelang Bulan Ramadhan
Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiap langkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya.
Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Syaikh al-Albani rahimahullah mengatakan,
“Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang mudah ini. Di antara tujuan syariat adalah mengumpulkan manusia, menyatukan barisan mereka, dan menjauhkan mereka dari setiap pendapat pribadi yang memecah belah persatuan.
Syariat ini tidak menganggap sah pendapat pribadi Meskipun benar menurut sisi pandangnya dalam urusan ibadah yang dilakukan bersama-sama, seperti puasa, hari raya, dan shalat jamaah.
Tidakkah engkau lihat para sahabat radhiyallahu anhum, sebagian mereka tetap shalat bermakmum di belakang sebagian yang lain? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah merupakan pembatal wudhu. Sebagian yang lain tidak berpendapat seperti itu. Di antara mereka ada yang tetap shalat secara sempurna (tidak qashar) ketika safar, ada pula yang shalat secara qashar.
Perbedaan pendapat di kalangan mereka ini tidaklah menghalangi mereka untuk bersatu dalam shalat di belakang satu imam. Mereka menganggap shalat tersebut sah. Sebab, mereka mengetahui bahwa berpecah belah dalam agama lebih buruk daripada perbedaan dalam sebagian pendapat.
Sampai-sampai dalam masalah tidak menganggap sah pendapat yang menyelisihi pendapat penguasa dalam perkumpulan terbesar seperti di Mina, sebagian sahabat sama sekali tidak mengamalkan pendapat pribadi mereka. Mereka melakukannya untuk menghindari terjadinya kejelekan karena mengamalkan pendapat pribadi.
Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan (1/307),
Utsman radhiyallahu anhu shalat di Mina empat rakaat. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Aku shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dua rakaat, bersama Abu Bakr juga dua rakaat, demikian pula bersama Umar dua rakaat, bahkan bersama Utsman di awal pemerintahannya. Namun, setelah itu Utsman menyempurnakan shalatnya (yakni shalat empat rakaat). Kemudian jalan menjadi terpecah belah bagi kalian. Aku sangat berharap bahwa aku mempunyai dua rakaat yang diterima (oleh Allah) daripada empat rakaat.”
Namun, setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat rakaat!
Ditanyakan kepadanya, “Engkau menyalahkan Utsman, tetapi engkau tetap shalat empat rakaat?”
Ibnu Mas’ud menjawab, “Perselisihan itu jelek.”
Sanad kisah di atas sahih. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu anhu.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang berpecah-belah dalam urusan shalat mereka. Demikian pula menjadi bahan renungan bagi orang yang tidak mau bermakmum kepada imam masjid tertentu, khususnya shalat witir pada bulan Ramadhan, dengan dalih beda mazhab.
Demikian pula orang-orang yang berpuasa dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin maupun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falak, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin.
Hendaklah mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka.
Kita berharap agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah subhanahu wa ta’ala bersama al-jama’ah.”
0 Response to "Renungan Menjelang Bulan Ramadhan"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak