Ringkasan Fikih Kurban
Bismillahirrahmanirrahim. Tiada untaian kata yang pantas diucapkan seorang hamba dan syukur kehadirat Allah subhanahu wa ta'ala, semoga rahmat dan karunia-Nya selalu menyertai setiaplangkah-langkah kita dalam penghambaan kepada-Nya.
Tak lupa pula, shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada manusia paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya yang selalu istiqamah dalam menjalankan risalahnya hingga akhir zaman.
Pembahasan yang akan disajikan kali ini adalah yang berkaitan tentang fikih kurban.
Dalam kesempatan ini, kami akan membawakan penjelasan ulama yang dilandasi dengan dalil-dalil dari al-Qur’an dan sunah karena kita sangat membutuhkan penjelasan ulama dalam memahami keduanya.
Kami mengucapkan terimakasih dengan untaian jazahumullahu khairan yang menjadi sebab terkumpulnya faedah-faedah ini.
Dan tidak lupa kita saling mengingatkan karena kesalahan sangat mungkin terjadi pada manusia. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk selalu dalam kebaikan.
DEFINISI KURBAN
Kata kurban dalam syariat Islam disebut dengan al-Udhhiyah. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
الأضحية: ما يذبح من بهيمة الأنعام أيام الأضحى بسبب العيد؛ تقربا إلى الله عز وجل
“Al-Udhhiyah adalah segala sesuatu yang disembelih berupa bahīmatul-an‘ām pada hari-hari penyembelihan karena Iduladha (diselenggarakan) dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah.” (Ahkām al-Udhiyyah wa adz-Dzakāh, Jilid 2, hlm. 213).
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan yang dimaksud bahīmatul-an‘ām,
يعني الإبل والبقر والغنم
“Yaitu unta, sapi, dan kambing.” (Tafsīr Ibnu Katsīr, Jilid 5, hlm. 416).
HUKUM BERKURBAN
Kaum muslimin sepakat bahwa berkurban adalah amalan yang dianjurkan dan termasuk amalan yang disyariatkan. Allah subhanahu wa taala berfirman,
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Karena itu, dirikanlah salat karena Rabb-mu dan berkurbanlah.” (Al-Kautsar: 3).
Allah ta'ala pun menerangkan,
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ
“Bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban) supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (Al-Hajj: 34).
Sahabat yang mulia, Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan,
ضَحَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِكَبْشَيْنِ أَمْلَحَيْنِ أَقْرَنَيْنِ، ذَبَحَهُمَا بِيَدِهِ، وَسَمَّى وَكَبَّرَ، وَوَضَعَ رِجْلَهُ عَلَى صِفَاحِهِمَا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkurban dengan dua ekor kambing putih kehitaman yang bertanduk. Beliau menyembelih keduanya dengan tangannya sendiri. Beliau membaca basmalah dan bertakbir sambil meletakkan kakinya di atas leher (sebelah kanan) kambing tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 5.565 dan Muslim no. 1.966).
Ibnu Qudamah rahimahullah menyebutkan,
وأجمع المسلمون على مشروعية الأضحية
“Kaum muslimin sepakat akan disyariatkannya berkurban.” (Al-Mughni, Jilid 9, hlm. 435).
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah juga menjelaskan,
ولا خلاف في كونها من شرائع الدين
“Tidak ada perbedaan pendapat bahwa berkurban ini termasuk dari syariat agama Islam.” (Fath al-Bāri, Jilid 1, hlm. 3).
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang wajib atau sunahnya seseorang yang memiliki kemampuan untuk berkurban. Dalam hal ini, ada dua pendapat.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan bahwa yang berpendapat wajib adalah al-Auza‘i, Laits, mazhab Abu Hanifah, salah satu dari dua riwayat al-Imam Ahmad, dan salah satu dari dua pendapat al-Imam Malik, serta yang tampak dari mazhab al-Imam Malik.
Sementara itu, yang berpendapat sunah muakadah dan jika ditinggalkan dalam keadaan mampu hukumnya makruh adalah mayoritas ulama, mazhab Syafi‘i, serta yang masyhur dari mazhab al-Imam Malik dan al-Imam Ahmad. (Ahkām al-Udhhiyyah wa adz-Dzakāh, Jilid 2, hlm. 214–215).
Kemudian telah dinukil dari beberapa sahabat dengan sanad yang sahih bahwa hukum berkurban adalah sunah. Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menukil dari Abu Bakr al-Shiddiq, ‘Umar bin al-Khaththab, Bilal, dan Abu Mas‘ud al-Badri radhiyallahu ‘anhum (Syarh Shahih Muslim, Jilid 13, hlm. 110).
Hal tersebut dikuatkan oleh pendapat Ibnu Hazm rahimahullah, sebagaimana yang dinukil oleh al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah,
قال بن حزم لا يصح عن أحد من الصحابة أنها واجبة
“Ibnu Hazm mengatakan tidak ada yang sahih dari seorang pun dari kalangan para sahabat yang berpendapat bahwa berkurban itu hukumnya wajib.” (Fath al-Bāri, Jilid 10, hlm. 3).
Pendapat ini lebih mendekati kebenaran, wal-‘ilmu ‘indallah, dan lebih menenangkan hati karena inilah pendapat para sahabat, pendapat yang mewajibkan, berpegang dengan lafaz-lafaz perintah dalam al-Qur’an ataupun hadits tentang berkurban.
Namun, yang semestinya dilakukan oleh setiap muslim tatkala memiliki kemampuan adalah bersegera untuk berkurban dalam rangka mencontoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam; bersegera dalam kebaikan; dan mengagungkan syiar Allah. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
وسلوك سبيل الاحتياط أن لا يدعها مع القدرة عليها، لما فيها من تعظيم الله وذكره وبراءة الذمة بيقين
“Untuk berhati-hati dalam hal ini, hendaknya seseorang tidak meninggalkannya tatkala memiliki kemampuan karena dalam ibadah kurban terdapat pengagungan terhadap Allah; mengingat-Nya; dan melepaskan tanggungan dengan yakin.” (Ahkām al-Udhhiyyah wa adz-Dzakāh, Jilid 2, hlm. 219).
Ibnu ‘Abdilbarr rahimahullah mengatakan,
ضحى رسول الله صلى الله عليه وسلم طول عمره ولم يأت عنه أنه ترك الأضحى وندب إليها فلا ينبغي لمؤمن موسر تركها وبالله التوفيق
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu berkurban dan tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa beliau tidak berkurban. Beliau menganjurkan untuk menunaikannya. Karena itu, tidak selayaknya bagi setiap mukmin yang diberi kelapangan meninggalkan berkurban. Wa billahit-taufiq.” (Al-Istidzkār, Jilid 5, hlm. 230).
Dengan demikian, tatkala seseorang memiliki kemampuan untuk berkurban, maka yang afdal adalah berkurban dan tidak bersedekah dengan seukuran harga hewan kurban. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata,
ويدل على أن ذبح الأضحية أفضل من الصدقة بثمنها أنه هو عمل النبي صلى الله عليه وسلم والمسلمين فإنهم كانوا يضحون ولو كانت الصدقة بثمن الأضحية أفضل لعدلوا إليها
“Yang menunjukkan bahwa menyembelih kurban lebih utama daripada bersedekah dengan seukuran harganya adalah amalan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kaum muslimin yang mereka berkurban. Kalau seandainya bersedekah dengan seukuran harganya lebih utama, tentu mereka akan mengedepankannya.” (Ahkām al-Udhhiyyah wa adz-Dzakāh, Jilid 2, hlm. 220).
BERKURBAN UNTUK ORANG YANG MENINGGAL
Dalam hal ini, al-Lajnah ad-Dā’imah mengeluarkan fatwa sebagai berikut.
أما الضحية عن الميت فإن كان أوصى بها في ثلث ماله مثلا أو جعلها في وقف له وجب على القائم على الوقف والوصية تنفيذها، وإن لم يكن أوصى بها ولا جعلها، وأحب إنسان أن يضحي عن أبيه أو أمه أو غيرهما فهو حسن ويعتبر هذا من نوع الصدقة عن الميت والصدقة عنه مشروعة في قول أهل السنة والجماعة
“Adapun berkurban untuk orang yang meninggal, jika dia mewasiatkan sepertiga hartanya untuk berkurban atau dia jadikan hewan kurban tersebut sebagai wakaf, maka wajib atas orang yang diserahi urusan wakaf dan wasiat tersebut untuk menunaikannya. Jika tidak demikian, misal seseorang ingin berkurban untuk ayah, ibunya, atau yang lain, maka ini adalah kebaikan dan terhitung sebagai bersedekah untuk orang yang meninggal. Sementara itu, bersedekah untuk orang yang meninggal disyariatkan menurut pendapat ahlusunah waljamaah.” (Fatāwa al-Lajnah ad-Dā’mah, Jilid 11, hlm. 418–419).
WAKTU BERKURBAN
Berkaitan dengan waktu berkurban, para ulama telah menjelaskan hal tersebut. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan,
أول وقتها بعد صلاة العيد لمن يصلون كأهل البلدان أو بعد قدرها من يوم العيد لمن لا يصلون كالمسافرين وأهل البادية فمن ذبح قبل الصلاة فشاته شاة لحم وليست بأضحية ويجب عليه ذبح بدلها على صفتها بعد الصلاة
“Awal waktu penyembelihan adalah setelah salat Id bagi yang menegakkan salat Id, seperti penduduk kota; atau setelah waktu yang diperkirakan salat itu berakhir bagi yang tidak menegakkan salat Id, seperti musafirin dan orang-orang yang tinggal di pedalaman. Barang siapa yang menyembelihnya sebelum salat, maka hewan sembelihan tersebut dagingnya untuk dimakan saja bukan hewan kurban (tidak sah) dan wajib untuk menggantinya setelah salat Id sesuai dengan tata caranya.” (Ahkām al-Udhhiyyah wa adz-Dzakāh, Jilid 2, hlm. 225).
Dari penjelasan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa awal waktu penyembelihan adalah setelah salat secara langsung dan jika dilakukan sebelum salat, maka kurbannya tidak sah. Hal ini sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits,
مَنْ صَلىَّ صَلَاتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ وَمَنْ ذَبَحَ قَبْلَ أَنْ يُصَلِّيَ فَلْيُعِدْ مَكَانَهَا أُخْرَى
“Barang siapa yang salat seperti salat kami dan menyembelih hewan kurban seperti sembelihan kami, maka telah benar kurbannya. Barang siapa yang menyembelih sebelum salat, maka hendaklah dia menggantinya dengan yang lain.” (HR. al-Bukhari no. 5.563 dan Muslim no. 1.553).
Secara terperinci, waktu yang afdal adalah setelah selesai khotbah Idul Adha. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menerangkan,
والأفضل أن يؤخر الذبح حتى تنتهي الخطبتان لأن ذلك فعل النبي صلى الله عليه وسلم قال جندب بن سفيان البجلي رضي الله عنه صلى النبي صلى الله عليه وسلم يوم النحر ثم خطب ثم ذبح . الحديث، رواه البخاري
“Yang afdal adalah tidak menyembelih sampai selesai khotbah karena yang demikian ini adalah perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jundub bin Sufyan al-Bajali radhiyallahu ‘anhu (dalam HR. al-Bukhari no. 985) mengatakan, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan salat pada Idul Adha, kemudian berkhotbah, kemudian menyembelih’.” (Ahkām al-Udhhiyah wa adz-Dzakāh, Jilid 2, hlm. 225).
Adapun batas waktu penyembelihan dijelaskan oleh beliau sebagai berikut.
وينتهي وقت الأضحية بغروب الشمس من آخر يوم من أيام التشريق وهو يوم الثالث عشر من ذي الحجة فيكون الذبح في أربعة أيام: يوم العيد، و يوم الحادي عشر ويوم الثاني عشر ويوم الثالث عشر
“Waktu penyembeliahan berakhir dengan tenggelamnya matahari pada akhir hari tasyrik yakni hari ke-13 bulan Zulhijah. Karena itu, penyembelihan bisa dilakukan dalam waktu empat hari: hari Id, hari ke-11,12, dan 13.” (Ahkām al-Udhhiyah wa adz-Dzakāh, Jilid 2, hlm. 226).
Hari ke-11, 12, dan 13 ini dinamakan dengan hari tasyrik. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikannya untuk kita sebagai hari makan dan minum. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر الله
“Hari-hari tasyrik adalah hari makan dan minum serta berzikir kepada Allah.” (HR. Muslim no. 1.141).
Kemudian menurut pendapat yang kuat, hari-hari ini juga merupakan hari penyembelihan hewan kurban berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كل أيام التشريق ذبح
“Semua hari tasyrik adalah hari penyembelihan (hewan kurban).” (Ash-Shahihah no. 2.476).
Masalah Pertama: Waktu yang Tepat untuk Berkurban.
Dalam waktu empat hari tersebut, kapan waktu yang tepat untuk berkurban? Penyembeliham boleh dilakukan pada waktu kapan pun dalam empat hari tersebut. Boleh dilakukan pada siang atau bahkan malam hari. Namun, yang afdal adalah dilakukan pada siang hari. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan,
والذبح في النهار أفصل ويجوز في الليل لأن الأيام إذا أطلقت دخلت فيها اليالي
“Menyembelih pada siang hari lebih utama. Namun, (menyembelih juga) boleh dilakukan pada malam hari karena hari-hari apabila disebutkan secara mutlak termasuk di dalamnya waktu malam.” (Ahkām al-Udhhiyyah wa adz-Dzakāh, Jilid 2, hlm. 227).
Tidak ada satu dalil pun yang bisa dijadikan sandaran bahwa menyembelih pada malam hari itu hal yang terlarang. Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari Ibnu ‘Abbas tentang larangan penyembelihan pada malam hari, maka hadits tersebut bukanlah hadits yang sahih karena terdapat cacat di dalam sanadnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan,
حديث (أنه صلى الله عليه وسلم نهى عن الذبح ليلا) الطبراني من حديث ابن عباس وفيه سليمان بن سلمة الخبائري وهو متروك
“Hadits yang lafaznya: ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menyembelih pada malam hari’ diriwayatkan oleh ath-Thabrani dari sahabat Ibnu ‘Abbas. Di dalam sanadnya terdapat seseorang yang bernama Sulaiman bin Salamah al-Khabāiri. Dia adalah seorang yang matruk (ditinggalkan periwayatan haditsnya).” (At-Talkhis, Jilid 4, hlm. 260).
Oleh karena itu, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan,
ولا يكره الذبح في الليل؛ لأنه لا دليل على الكراهة، والكراهة حكم شرعي يفتقر إلى دليل.
“Tidak makruh menyembelih pada malam hari karena tidak ada dalil yang menyebutkan tentang hal ini. Kata ‘makruh’ adalah hukum syariat yang butuh terhadap dalil untuk menetapkannya.” (Ahkām al-Udhhiyyah wa adz-Dzakāh, Jilid 2, hlm. 227).
Masalah Kedua: Tidak Sempat Berkurban pada Waktunya karena Uzur.
Bagi yang tidak sempat berkurban di hari-hari tersebut karena uzur. Telah kita ketahui tatkala seseorang menyembelih sebelum salat, maka sesembelihannya tidak sah sebagai hewan kurban. Namun, bolehkah seseorang terlambat dari menyembelih karena uzur, misalnya dalam kondisi darurat, dia hanya bisa melakukannya setelah hari tasyrik selesai, yaitu pada hari ke-14? Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan jika dalam kondisi seperti ini,
الأضحية عبادة موقتة لا تجزئ قبل وقتها على كل حال، ولا تجزئ بعده إلا على سبيل القضاء إذا أخرها لعذر
“Berkurban adalah ibadah yang ditentukan waktunya. Tidak sah dilakukan sebelum waktunya bagaimana pun keadaannya. Tidak sah pula dilakukan setelah waktunya, kecuali dalam rangka mengqadanya ketika seseorang mengakhirkannya karena uzur.” (Ahkām al-Udhhiyyah wa adz-Dzakāh, Jilid 2, hlm. 225).
Abu Fudhail Abdurrahman bin Umar غفر الرحمن له.
0 Response to "Ringkasan Fikih Kurban"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak