KARAKTERISTIK INSAN KAMIL
Bismillรขhirrahmรขnirrahรฎm. Puji dan syukur kepada Allah subhรขnahu wata’รขla, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Menganugerahkan pengetahuan kepada makhlukNya,
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang tidak akan pernah habis teladan terpancar dari diri Beliau sampai akhir masa.
1. Ciri-Ciri dan Syarat-Syarat Insan Kamil
Ciri-ciri insan kamil atau manusia sempurna menurut Islam, yaitu sebagai berikut:
a. Jasmani yang sehat serta kuat dan keterampilan: Islam mengidealkan muslim yang sehat serta kuat jasmaninya.
Dalam penegakan ajaran Islam, terutama pada pada masa penyiaranya dalam historis sejarah, tidak jarang ditemukan rintangan yang pada akhirnya memerlukan kekuatan dan kesehatan fisik atau jasmani.
Kekuatan dan kesehatan terkadang diperlukan untuk berperang menegakkan ajaran Islam. Islam menghendaki setiap orang harus sehat mentalnya karena inti ajaran Islam adalah persoalan mental (iman).
Kesehatan mental berkaitan dengan kesehatan fisik, pentingnya kekuatan dan kesehatan fisik juga mempunyai dalil-dalil naqli.
b. Cerdas serta pandai: Islam menginginkan seorang muslim cerdas dan pandai. Itulah ciri akal yang berkembang dengan sempurna. Salah satu ciri insan kamil adalah cerdas serta pandai.
Kecerdasan dan kepandaian itu dapat diukur melalui indikator-indikator antara lain: pertama, memiliki sains yang banyak dan berkualitas tinggi (pengetahuan yang dari produk indera dan akal).
Kedua, mampu memahami dan menghasilkan filsafat (pengetahuan yang semata-mata akliah) maka orang Islam akan mampu memecahkan dan menyelesaikan masalah filosofis.
c. Rohani yang berkualitas tinggi: rohani bersifat samar, ruwet, belum jelas batasannya manusia belum atau tidak akan memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengetahui hakikatnya. Rohani sering disebut qalbu menurut ilmu tasawuf.[1] Islam sangat mengistimewakan perihal qalbu.
Qalbu dapat menembus alam gaib atau menembus Tuhan. Qalbu inilah yang merupakan potensi manusia yang mampu beriman secara sungguhsungguh. Bahkan iman menurut al-Qur‟an letaknya berada di qalbu.
Adapun syarat-syarat menjadi insan kamil ada beberapa maqam (tingkatan) yang harus dilalui seorang sufi yaitu, sebagai berikut:
a. Pertama Islam, yang didasarkan atas lima pokok atau rukun dalam pemahaman kaum sufi, yang tidak hanya dilakukan dengan cara ritual saja akan tetapi harus dipahami dan dirasakan lebih mendalam.
b. Kedua iman, yaitu membenarkan dengan penuh keyakinan tentan rukun iman, serta melaksanakan dasar-dasar Islam.
Iman merupakan tangga pertama dalam mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang dapat membantu seseorang mencapai tingkat yang akan lebih tinggi.
Iman dapat menunjukkan sampai mana hati mengetahui sesuatu yang jauh dari jangkauan akal. Karena, sesuatu yang dietahui akal tidak melulu membawa keimanan.
c. Ketiga ash-shalat, yaitu pada maqam ini seorang sufi mencapai tingkat meyaksikan atsar (efek) dari nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam ibadahnya ia merasa seakan berada dihadapan Tuhan.
Persyaratan yang harus ditempuh dalam maqam ini adalah sikap istiqomah (teguh pendirian) dan tobat, inabah (pemulihan diri dari hal yang menyesatkan), zuhud (orang yang mencintai akherat), tawakal (berserah diri), tafwidh (pasrah secara total), ridho (rela), dan ikhlas (tulus atau bersih).
d. Keempat ihsan (kesempurnaan atau yang terbaik), persyaratan yang harus ditempuh dalam maqam ini adalah memiliki sikap istiqomah (teguh pendirian), tobat, zuhud (orang yang mencintai akherat), inabah (pemulihan diri dari hal yang menyesatkan), tafwidh (pasrah secara total), tawakal (berserah diri), ikhlas (tulus atau bersih) dan ridho (rela).
e. Kelima syahadah (telah menyaksikan), seorang sufi pada maqam ini telah mencapai iradah (berkehendak) yang memiliki ciri; mahabah (kecenderungan hati terhadap Tuhan) kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat Tuhan secara terus-menerus, dan meninggalkan suatu hal yang menjadi kemauan pribadi.
Maqam ini terbagi menjadi dua tingkatan, yaitu; mencapai kepada Tuhan tanpa pamrih ini adalah tingkatan yang paling rendah dan dapat menyaksikan Tuhan pada semua mahluk ciptaanNya secara ainul yaqin (seseutu yang keberadaannya dengan jelas), ini tingkatan yang paling tinggi.
f. Keenam shiddiqiyah (kebenaran), tingkat pencapaian hakikat yang ma'rifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin (sesuatu yang adanya disertai bukti atau pemilik akal), amal-yaqin (pemilik ilmu), dan haqq al-yaqin (pengetahuan dan pengenalan terhadap allah). Ketiga tingkat ma'rifat itu dialami oleh para sufi secara bertahap.
g. Ketujuh qurbah (suatu bentuk kebaikan yang bisa mendekatkan seseorang kepada allah subhanahu wa ta'ala), maqam ini yang dapat memungkinkan seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati sifat dan nama Tuhan.
Itulah beberapa tahapan-tahapan yang harus dilalui seorang sufi dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan.
Ada beberapa syarat lain untuk mencapai insan kamil dalam filsafat pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut:
a. Keseimbangan jasmani dan rohani
Yang pertama yaitu fisik yang sempurna, manusia dianugrahi anggota badan yang lengkap untuk menunjang kehidupannya.
Dengan fisik yang sempurna manusia bisa menjadi individu yang bermanfaat bagi mahluk ciptaan Tuhan lainnya. Yang kedua akal pikiran, dengan potensi akal pikiran manusia dapat melakukan ijtihad (usaha yang sungguh-sungguh).
Ijtihad itu memanfaatkan seluruh ilmunya untuk menetapkan atau menentukan sesuatu hukum syariat Islam dalam hal-hal yang belum ditegaskan dalam al-Qur‟an dan sunnah [2].
b. Keshalehan individu dan kesahalehan sosial
Manusia adalah ahluk sosial, Tuhan telah menciptakan manusia untuk saling berhubungan dan hidup secara bersamaan, dengan keunikan dan karakteristik masing-masing manusia agar mampu memahami manusia lain dalam hidup berdampingan.
Menurut Gus Dur, salah satu dasar ilmu pendidikan Islam adalah adanya kesatuan yang menyeluruh. Ini berdasarkkan prinsip kesatuan umat manusia bahwa seluruh manusia adalah umat Allah.
Semua diciptakan untuk saling mengenal dan memahami, saling menghormati dan saling tolong membantu dalam menjalankan menegakkan yang benar dan melarang yang salah (amar ma‟ruf nahi munkar) [3].
c. Seimbang antara hubungan dengan kehidupan di dunia dan di akhirat
Percaya atau iman, adanya hari akhir dan kehidupan setelah mati merupakan bagian dari rukun iman. Menurut Abu A‟la Maududi, manusia tidak dilepaskan begitu saja kedunia ini sebagai binatang yang tidak bertanggung jawab.
Manusia sepenuhnya bertanggug jawab atas segala apapun yang diperbuatnya di dunia. Meskipun begitu beratnya tanggung jawab manusia di akhirat namun tidak harus memikirkan akhirat sampai lupa dunia[4]. Jadi itulah mengapa penting atas keseimbangan menjalani hidup untuk di dunia maupun di akhirat.
d. Iman, Islam dan Ihsan Dengan berkomitmen memilih agama berarti manusia itu harus memiliki keimanan, keislaman dan keimanan menjadi sempurna dengan adanya ihsan. Ihsan terwujud dalam tasawuf.
Karena ibadah dan keyakinan harus di aktualisasikan dalam kehidupan nyata terhadap hubungan manusia dengan manusia, bukan hanya hubungannya dengan Tuhan[5].
e. Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Tuhan,
f. Mampu menciptakan budaya
Manusia yang sempurna adalah manusia yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaninya secara optimal.
Manusia adalah mahluk berfikir, menurut Ibn Khaldun. Sifat semacam itu tidak dimiliki mahluk lainnya.
Dari kemampuan berfikirnya tersebut manusia tidak hanya membuat kehidupannya, akan tetapi menaruh perhatian terhadap berbagai cara untuk memperoleh makna dari kehidupan.
Kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir denga begitu saja, melainkan melalui suatu proses yang sering disebut dengan evolusi.
2. Kadudukan Insan Kamil
Kedudukan insan kamil dapat dilihat dari dua aspek, aspek yang pertama insan kamil dipandang sebagai penyebab dan pelestari eksistensi pada alam semesta.
Fungsi ini terwujud karena insan kamil merupakan khalifah Allah. Hal itu dikarenakan pada diri insan kamil telah terdapat kemampuan-kemampuan yang melebihi kemampuan yang dimiliki manusia pada umumnya, baik dari segi kepribadian maupun pengetahuan.
Kelebihan tersebut, tidak lain merupakan pada diri insan kamil telah terealisasi segenap asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh dan menyeluruh.[5]
Jadi ketinggian pada martabat insan kamil, secara ontologis adalah karena dalam dirinya tercermin asma dan sifat-sifat Tuhan secara utuh, sehingga apabila Tuhan ingin melihat citra diriNya Tuhan-pun melihatnya pada diri insan kamil.
Kemudian pada aspek yang kedua, insan kamil dipandang sebagai pusat kesadaran semesta. Fungsi ini terwujud dikarenakan insan kamil adalah sebagai wali teringgi serta yang memiliki pengetahuan esoterik.[6]
Pengetahuan esoterik adalah merupakan anugerah Tuhan kepada orang-orang yang telah mencapai tingkat tertinggi di dalam martabat kerohaniannya.
Semakin tinggi kualitas rohani seseorang semakin banyak juga ia mendapatkan pengetahuan esoterik, karena kadar asma dan sifat-sifat Ilahi yang di pancarkan pada diri seseorang tergantung pada kualitas rohani yang dimiliki oleh seseorang tersebut.[7 ]
Insan kamil menduduki tempat yang paling dekat dengan Tuhan, jadi dalam posisi itu insan kamil menjadi wadah tajalli (penampakkan diri Tuhan yang bersifat absolut) Ilahi yang paling sempurna, baik lahir maupun batinnya.
Jadi dapat diketahui bahwa insan kamil disamping sebagai wadah tajalli Tuhan juga berkedudukan sebagai khalifah-Nya dan sebagai wali tertinggi atau quthb, di dalam kalangan para wali[8].
Menurut Ibn Arabi insan kamil adalah merupakan sebab tercipta dan lestarinya alam, sedangkan dalam kedudukannya sebagai pemimpin atau khalifah merupakan teladan dan penguasa yang mewakil Tuhan di muka bumi, terutama jika dihubungkan dengan kapasitas keilmuannya, insan kamil merupakan sumber pengetahuan esoterik yang tidak habis-habis.[9]
Jadilah Bermanfaat Sallam Bahagia Sukses Dunia Akhirat Aamiin.
Daftar Pustaka:
[2] Zakiyah Darajat, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), h. 16
[3] Sukarman, Hal. 41-42.
[3] 32Agus Mahfud, Ilmu Pendidikan Islam Pemikiran Gusdur, (Yogyakarta: Nadi Pustaka, 2012), h. 12.
[4] Sukarman, Urgensi Pendidikan Holistik Dalam Membentuk Insan Kamil, Jurnal Tarbawi, Vol. II, No. 2, Juli-Desember 2014, h. 40.
[5] Yunasril Ali, Manusia Citr Ilahi: pengembangan konsep insan kamil ibn arabi oleh aljili, (jakarta; penerbit paramadina, 1997), h. 147.
[6] Ibid., h. 147. 37Ibid., h. 164.
[8] Ibid., h. 79.
[9] Ibid., h. 94.
0 Response to "KARAKTERISTIK INSAN KAMIL"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak