Proses Terbentuknya Insan Kamil
Bismillรขhirrahmรขnirrahรฎm. Puji dan syukur kepada Allah subhรขnahu wata’รขla, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Menganugerahkan pengetahuan kepada makhlukNya,
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yang tidak akan pernah habis teladan terpancar dari diri Beliau sampai akhir masa.
Proses Terbentuknya Insan Kamil
Semua manusia dapat dan mampu serta memiliki potensi untuk meraih derajat insan kamil, yaitu manusia yang mampu memasuki maqamat (kedudukan) sampai pada tingkat seseorang tersebut menyadari kesatuan hakekatnya dengan Tuhan sepenuhnya.
Untuk sampai pada keadaan tersebut, para sufi secara gradual harus menempuh enam tingkat fana‟ (sirna atau lenyap).
Hal ini diungkapkan Ibn Arabi dalam kitabnya futuhat al-makkiyah, sebagai berikut:
1. Fana‟ An Al-Mukhalafat (sirna dari segala dosa); pada tahap ini sufi memandang bahwa semua tindakan yang bertentangan dengan kaidah moral sebenarnya berasal dari Tuhan juga. Maka, ia mulai mengarah kepada wujud tunggal yang menjadi sumber segalanya.
Tahap ini seorang sufi berada dalam hadrah an-nur al-mahd (hadirat cahaya murni). Jika seseorang masih melihat tindakannya sebagai miliknya yang hakiki, ini menandakan ia masih berada pada hadrah az-zulmah al-mahd (hadirat kegelapan murni).
2. Fana' An Af'al Al-Ibad (sirna dari tindakan hamba); pada tahap ini seorang sufi menyadari bahwa segala tindakan manusia pada hakikatnya dikendalikan oleh Tuhan dari balik tabir alam semesta. Dengan demikian sufi menyadari adanya satu agen mutlak dalam alam ini yaitu Tuhan.
3. Fana' An Shifat Al-Makhluqin (sirna dari sifat-sifat mahluk); pada tahap ini seorang sufi menyadari bahwa segala atribut dan kualitas wujud mumkin (contingent) tidak lain adalah milik Allah.
Maka, seorang sufi menghayati segala sesuatu dengan kesadaran ketuhanan, ia melihat dengan penglihatan Tuhan, mendengar dengan pendengaran Tuhan, dan begitu seterusnya.
4. Fana' An Al-Dzat (sirna dari personalitas diri); pada tahap ini seoarang sufi menyadari atas non-eksistensi dirinya, sehingga yang benar-benar ada dibalik dirinya adalah zat yang tidak bisa sirna selamanya.
5. Fana' An Kull Al-Alam (sirna dari segenap alam); tahap ini seorang sufi menyadari bahwa segenap aspek alam fenomenal ini pada hakikatnya hanya khayal, yang benar ada hanya realitas yang mendasari fenomena.
6. Fana' An Kull Ma Siwallah (sirna dari segala sesuatu selain Tuhan)[1] ; pada tahap ini seoarang sufi menyadari bahwa zat yang betul-betul ada hanya zat Allah.
Munculnya insan kamil dapat ditelusuri dengan dua sisi. Yaitu yang pertama, melalui tahap-tahap tajalli (penampakan atau perwujudan) Tuhan pada alam sampai terbentuknya dan munculnya insan kamil.
Dan yang kedua, melalui maqamat (peringkat-peringkat kerohanian) yang dicapai oleh seseorang sampai pada kesadaran tertinggi yang terdapat dalam insan kamil. [2]
Setelah menerima gagasan Ibn Arabi mengenai kesatuan wujud, maka Al-Jilli mengemukakan bahwa penampakan dari Tuhan itu melalui tiga tahapan manifestasi barurutan yang disebutnya : ahadiah (kesatuan), hiwidiyah (keDiaan), dan aniyah (keAkuan).
Tahap pertama ahadiah (kesatuan), Tuhan berada dalam keabsolutanNya baru keluar dari al-„ama (takdir), kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat.
Pada tahap hiwidiyah (keDiaan) nama dan sifat Tuhan telah muncul, akan tetapi Dia masih dalam bentuk potensi. Selanjutnya pada tahapan aniyah (keAkuan), Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya.
Sebenarnya manusia adalah penampakkan dari Tuhan yang paling sempurna di antara mahluk lainya, namun penampakkan diri Tuhan tidak dapat disamakan pada semua manusia. Penampakkan diri Tuhan yang sempurna hanya terdapat pada insan kamil.
Dan untuk menuju kejalan insan kamil adalah dengan pengamalan Islam, Iman, Shalah, Ihsan, Syahadah (hadir atau memberi kesaksian), Shidiqqiyah (kebenaran), dan Qurbah (kedekatan).
Dengan melalui bebrapa tahapan , yatu: mubtadi (tahap awal), mutawasit (tingkat tengah), dan ma‟rifat (mengetahui Allah dari dekat) yang kemudian mencapai maqam khatam (penghabisan).
Pada sufi yang telah mencapai itu Tuhan menampakkan diri beserta zatnya. Pada tingkatan ini seorang sufi telah mencapai maqam khatam (tingkat penghabisan), sehingga mencapai atau dapat menjadi insan kamil[3].
Ada beberapa tahapan dalam pembentukan insan kamil salah satunya yaitu Menurut aliran ilmu syaththariah (aliran tarekat) ada 10 dasar beragama untuk dapat mencapai martabat syaththar (orang yang ahli mencintai Allah) atau insan kamil, yaitu antara lain sebagai berikut[4] :
1. Dasar taubat. Dasar keagamaan ini (taubat) yaitu mereka yang telah mencapai syaththar (orang yang ahli mencintai Allah) atau insan kamil selalu merasa bahwa dirinya adalah manusia yang paling banyak salah, dosa dan kesalahan maka mereka akan selalu bertaubat dan meminta ampunan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala
2. Dasar zuhud. Zuhud (seseorang yang lebih mencintai akherat) adalah “topo ing sak tengahing praja” yaitu tapa di tengah-tengah kesibukan bermasyarakat. Yaitu memiliki kepedulian yang tinggi memajukan “prajanya” (lingkungannya, masyarakatnya), memiliki rasa tanpa pamrih, senang memberi, membantu, dll.
3. Dasar qona‟ah (sikap ridho dan merasa cukup). Bukan sekedar menirama pemberian dengan senang hati. Maksudnya, menerima pemberian Tuhan dengan senang hati, seberapapun besarnya. Qona‟ah (sikap ridho dan merasa cukup) disini adalah seseorang yang kuat tekadnya untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan sikap yang tunduk, patuh, dan menerima segala kuasa Allah.
4. Dasar tawakal „alallah. Orang yang tawakal akan menyerahkan atau mewakilkan segala urusannya kepada Allah, sehingga pikirannya tidak difungsikan lagi, mereka benar-benar bergantung secara kuat kepada Allah.
5. Dasar 't'zlah. Dasar keagamaan ini adalah “nyingkreh ana sak tengahtengahe kalangan” yaitu menyendiri ditengah-tengah kalangan.
Seseorang yang memiliki tekad uzlah adalah yang tidak memiliki rasa ingin bersenang-senang, berbangga dengan harta, kedudukan, kehormatan dan gengsi harga diri.
6. Dasar mulazimatu dzikr. Yaitu kekal nya dzikir, mengeluarkan dari dalam hati ingatan keada apa saja selain dirinya Ilahi.
7. Dasar tawajub ilallah bilkulliyati, yaitu menghilangkan segala pengajak dari selain al-HaqNya (Allah).
8. Dasar sabar, yaitu selalu dengan sabar dalam memaksa jiwa raganya sehingga selalu melaksanakan perintahNya.
9. Dasar munaqobah, yaitu sama sekali tidak mengakui pada bisanya, kuatnya, dan segala miliknya. Bahkan tidak mengakui terhadap ada dan wujud jiwa raganya, untu dapat menyadari sepenuhnya terhadap yang sejatinya wujud yaitu Ilahi, sehingga hanya kepadaNya saja yang dirasa ada dan dirasa wujud.
10. Dasar ridho, yaitu keluar dari rasa mencintai diri sendiri lalu masuklah rasa cinta itu kepada satu-satunya zat yang Mutlak Wujudnya.
Selain dari itu program tazkiyat al-nafs (membersihkan atau zat sejati diri manusia dari sifat yang hina) juga dapat dijadikan sebagai alat untuk membentuk personaliti insan yang memiliki akhlak mulia.
Ini hanya jalan sederhana yang dapat dilakukan umat Islam awam untuk mencoba mendekati akhlak yang mulia.
1. Tazkiyat Al-Nafs:
Definisi Dan Skop Secara literal kata tazkiyat memiliki makna “pembersihan” atau sering dipahami sebagi “sedekah harta, atau zakat”, itu menjadi makna yang sama karena dengan hal itu harta dapat menjadi bersih telah mengeluarkan hak dari harta tersebut.[5]
Istilah tazkiyat al-nafs dalam Islam adalah suatu usaha untuk membersihkan hakikat atau zat sejati diri manusia dari berbagai sifat yang rendah dan hina (madmumah) dan menghias diri dengan berbagai sifat yang mulia dan terpuji (mahmudah).
Dengan kata lain tazkiyat al-nafs merupakan suatu proses atau usaha manusia dengan mengandung dua dimensi, pertama, proses pembuangan sifat tercela dalam diri manusia dalam Islam disebut al-takhalli (mengosongkan jiwa dari sifat-sifat buruk), dan yang kedua, proses menghias diri dengan sifat yang mulia dan terpuji dalam Islam disebut al-tahalli (menghiasi jiwa dari sifat-sifat yang mulia).[6]
Namun perlu difahami bahwa tazkiyat al-nafs (pembersihan diri manusia dari sifat yang hina) atau proses al-takhall (mengosongkan jiwa dari sifat-sifat yang buruk) dan al-tahallii (menghiasi jiwa dari sifat-sifat mulia) bukan hal yang mudah untuk dilakukan seorang muslim, banyak halangan dan godaan yang harus ditempuh. Sebagaimana firman Allah:
ٰูุٓงََُّููุง ุงَّูุฐَِْูู ุงٰู َُْููุง َูุง ุชَุชَّุจِุนُْูุง ุฎُุทُٰูุชِ ุงูุดَّْูุทِٰูۗ َูู َْู َّูุชَّุจِุนْ ุฎُุทُٰูุชِ ุงูุดَّْูุทِٰู َูุงَِّููٗ َูุฃْู ُุฑُ ุจِุงَْููุญْุดَุงุۤกِ َูุงْูู َُْููุฑِۗ َََْููููุง َูุถُْู ุงِّٰููู ุนََُْูููู ْ َูุฑَุญْู َุชُูٗ ู َุง ุฒَٰูู ู ُِْููู ْ ู ِّْู ุงَุญَุฏٍ ุงَุจَุฏًุงۙ ََِّّٰูููู ุงَّٰููู ُูุฒَِّْูู ู َْู َّูุดَุงุۤกُۗ َูุงُّٰููู ุณَู ِْูุนٌ ุนَِْููู ٌ
Artinya: “dan kalaulah tidak karena limpahan karunia Allah dan rahmatNya kepadamu, niscaya tidak ada seorangpun diantara kamu menjadi bersih dari dosanya selama-lamanya”. (Q.S An-Nur: 21).[7]
2. Mekanisme Pelaksanaan Tazkiyat Al-Nafs
Mekanisme pelaksanaan tazkiyat al-nafs (pembersihan diri manusia dari sifat hina) adalah amalan yang dapat melahirkan secara langsung kesan positif kedalam diri manusia, sehingga dapat merealisasikan nilai-nilai akhlak yang mulia, sebagaimana yang dimaksudkan dalam ajaran Islam.
Dalam pandangan Islam mekanisme pelaksanaan tazkiyat al-nafs (pembersihan diri manusia dari sifat hina) terdapat dua cara: pertama, taklif bentuk suruhan atau amalan salih, terutama semua amalan atau ibadah fardhu.
Kedua, taklif dalam bentuk larangan, taklif kedua ini berhubungan dengan tujuh anggota badan manusia, yaitu: mata, telinga, lidah, perut, organ seks, tanga, dan kaki. Ketujuh tersebut harus bersih dari perbuatan yang dilarang syariat Islam.[7]
Apabila segala sesuatu dalam proses tazkiyat al-nafs (pembersihan diri manusia dari sifat hina) berjalan dengan baik dan ditekuni oleh seorang muslim, maka dapat digambarkan adalah munculnya personaliti manusia yang berakhlak mulia di dalam masyarakat, dan dalam ajaran agama Islam itu dendiri sehingga sedikit nya mampu mendekati proses menjadi insan kamil.
Jadilah Bermanfaat Sallam Bahagia Sukses Dunia Akhirat Aamiin.
Daftar Pustaka;
[2] Fitri Ulfa, Implikasi Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi Terhadap Pembentukan Karakter Pendidikan Islam Modern, (Repository Tesis: Uin Maulana Malik Ibrahim, Malang, 2017), h. 30.
[3] Aceng Kosasih, Konsep Insan Kamil Menurut Al-Jili, h. 4.
[4] Munawar Rahmat, Proses Pendidikan Insan Kamil Dipondok Sufi Ilmu Syaththariah Pondok Pesantren Sumber Daya At-Taqwa Tanjung Anom Nganjuk Jawa Timur, Vol 27, No. 1, 2010. h. 22.
[5] Farid, Ahmad (Ed), Tadkhiyat Al-Nufus Wa Tarbiyatuha Kama Yuqarriruhu Ulama AlSalaf, (Beirut: Dar Al-Qalam, T.T.), h 12. Dikutip Oleh, Zakaria Stapa, Insan Kamil: Ciri Dan Proses Pembentukan, Afkar-Bil,2/2001, h. 53.
[5]M. Sulaiman Yasin, Akhlak Dan Tasawuf, (Bangi: Yayasan Salman, 1992), h. 220.
[6]Al-Qur'an Dan Terjemah Wanita, Mushaf 'Aisyah, (Bandung: Penerbit Hilal, 2010.
[7] Zakaria Setapa, Insan Kamil: Ciri Dan Proses Pembentukan, Jurnal Afkar Bil, 2/2002, h. 57-58.
0 Response to "Proses Terbentuknya Insan Kamil"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak