Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi
Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi
ุจุณู ุงููู ุงูุฑุญู ู ุงูุฑุญูู
Bismillรขhirrahmรขnirrahรฎm. Puji dan syukur kepada Allah subhรขnahu wata’รขla, Tuhan Yang Maha Mengetahui dan Menganugerahkan pengetahuan kepada makhlukNya,
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Rasulullah Sallallahu 'alaihi wa sallam yang tidak akan pernah habis teladan terpancar dari diri Beliau sampai akhir masa.
Dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu beliau berkata: bahwasanya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman, “Semua amal anak Adam adalah baginya kecuali puasa, karena sesungguhnya puasa itu bagi-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya.
Puasa adalah perisai, apabila kamu sedang puasa jangan berkata jorok, jangan berteriak-teriak dan jangan berbuat bodoh.
Apabila ada seseorang yang mencacinya atau memeranginya maka katakanlah ‘Sesungguhnya aku sedang puasa’ sebanyak dua kali.
Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sungguh bau mulut orang yang sedang puasa itu lebih harum di sisi Alloh pada hari kiamat daripada bau minyak kasturi.
Orang yang berpuasa memiliki dua kebahagiaan yang dia bergembira dengannya: ketika berbuka dia bergembira dengan bukanya dan ketika berjumpa Robbnya dia bergembira dengan puasanya.” (Muttafaq ‘alaih)
Pengantar
Saudaraku, semoga Alloh merahmatimu, syariat Islam yang mulia ini telah memberikan kelapangan dan kemudahan bagi ummat manusia.
Tidaklah Alloh membebankan suatu kewajiban kepada seseorang melainkan dengan memperhatikan kemampuannya. Alloh Ta’ala berfirman, “Tidaklah Alloh membebankan kepada seseorang kecuali menurut kemampuannya.” (QS. Al Baqoroh: 286)
Demikian pula ibadah puasa yang disyari’atkan kepada kita. Apabila seseorang justru dikhawatirkan tertimpa bahaya dengan melakukan puasa maka dia diperbolehkan bahkan lebih utama untuk tidak berpuasa ketika itu, seperti orang yang sedang sakit dan bepergian jauh.
Alloh Ta’ala berfirman, “Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka) maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Alloh menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqoroh: 185)
Syaikh Abdurrohman bin Naashir As Sa’di rohimahulloh mengatakan dalam kitab tafsirnya, “Alloh Ta’ala menghendaki memberikan kemudahan kepada kalian untuk menempuh jalan-jalan yang menyampaikan kepada keridhoan-Nya dengan semudah mungkin, dan mempermudah jalan-jalan itu dengan sepenuh kemudahan. Karena itulah semua perkara yang diperintahkan Alloh kepada hamba-Nya pada asalnya merupakan sesuatu yang sangat mudah.” (Taisir karimirrohman, hal. 86).
Pentingnya Mempelajari Tata Cara Puasa
Puasa merupakan salah satu rukun Islam. Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Islam dibangun di atas lima perkara, persaksian bahwa tidak ada sesembahan yang haq kecuali Alloh dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Alloh, menegakkan sholat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa Romadhon.” (Muttafaq ‘alaihi)
Umat Islam telah bersepakat tentang wajibnya puasa Romadhon dan merupakan salah satu rukun Islam yang dapat diketahui dengan pasti merupakan bagian dari agama. Barangsiapa yang mengingkari tentang wajibnya puasa Romadhon maka dia kafir, keluar dari Islam (lihat Al Wajiz).
Oleh karenanya setiap muslim hendaknya mempelajari ilmu yang terkait dengan pelaksanaan ibadah yang agung ini. Karena ilmu itu lebih didahulukan daripada ucapan dan perbuatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Imam Al Bukhori di dalam kitab Shohihnya.
Beliau berdalil dengan firman Alloh Ta’ala yang artinya, “Maka ketahuilah bahwa sesungguhnya tiada yang berhak disembah dengan benar kecuali Alloh dan mintalah ampunan terhadap dosamu.” (QS. Muhammad: 19)
Syaikh Al ‘Utsaimin rohimahulloh menjelaskan, “Al Bukhori rohimahulloh berdalil dengan ayat ini untuk menunjukkan kewajiban memulai dengan ilmu sebelum berucap dan berbuat, ini merupakan dalil atsari (berdasarkan penukilan -pent) yang menunjukkan seorang insan mengetahui terlebih dahulu baru kemudian mengamalkan, di sana juga terdapat dalil ‘aqli nadhari (berdasarkan pemikiran dan perenungan -pent) yang menunjukkan ilmu itu didahulukan sebelum ucapan dan amalan.
Yaitu dikarenakan ucapan dan amalan tidak akan menjadi benar dan diterima hingga bersesuaian dengan aturan syari’at, dan seorang insan tidak mungkin mengetahui apakah amalannya itu sesuai dengan syari’at kecuali dengan ilmu…” (Syarah Tsalatsatul Ushul, hal. 27-28).
Puasa Adalah Ibadah
Ibadah memiliki pengertian yang amat luas dan jelas yaitu, “Segala sesuatu yang dicintai dan diridhoi Alloh, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang nampak maupun yang tersembunyi.” (lihat perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang dinukil di Fathul Majid).
Dan puasa termasuk di antaranya, puasa adalah amalan yang dicintai Alloh, buktinya Alloh mewajibkan puasa kepada hamba-hamba-Nya.
Alloh berfirman yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. Al Baqoroh: 183).
Dan tidak mungkin Alloh mewajibkan sesuatu kecuali sesuatu itu pasti dicintai dan diridhoi-Nya, meskipun sebagian manusia ada yang merasa tidak suka dengannya. Cobalah perhatikan ketika Alloh mewajibkan kaum muslimin untuk berperang.
Alloh berfirman yang artinya, “Telah diwajibkan kepada kalian berperang padahal itu kalian benci, bisa jadi kalian membenci sesuatu padahal sebenarnya itu baik bagi kalian, dan bisa jadi kalian menyukai sesuatu padahal sebenarnya itu buruk bagi kalian. Alloh lah yang lebih tahu dan kalian tidak mengetahui.” (QS. Al Baqoroh: 216).
Dan dalam menentukan apakah sesuatu amalan itu termasuk ibadah atau bukan bukanlah akal yang menentukan, akan tetapi firman Alloh dan sabda Rosul-Nya.
Sebagaimana kaidah yang sudah amat masyhur di kalangan ulama’ bahwa hukum asal ibadah (ritual) itu terlarang/haram sampai tegak dalil yang mensyari’atkannya.
Ibadah Hanya untuk Alloh
Apabila kita telah mengetahui bahwa puasa adalah ibadah maka ketahuilah saudaraku bahwasanya ibadah itu hanya boleh ditujukan kepada Alloh, karena barangsiapa yang memalingkan ibadah kepada selain Alloh dia telah terjerumus dalam kesyirikan dan kekafiran.
Sebagaimana sholat akan menjadi batal dan rusak apabila pelakunya terkena hadats, maka demikian pula ibadah akan menjadi batal dan rusak apabila tercampuri kesyirikan.
Sebagaimana sholat tidak sah tanpa thoharoh maka demikian pula ibadah tidak akan sah tanpa tauhid. (lihat Al Qowa’idul Arba’ karya Asy Syaikh Al Imam Muhammad bin Abdul Wahhab rohimahulloh).
Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Alloh maka janganlah kamu menyeru disamping Alloh sesuatupun.” (QS. Al Jin: 18).
Syaikh Al ‘Utsaimin rohimahulloh menerangkan, “Alloh Ta’ala melarang seorang insan menyeru/beribadah disamping Alloh sesuatupun, dan Alloh tidaklah melarang dari sesuatu kecuali karena Dia Yang Maha suci lagi Maha tinggi tidak meridhoinya. Alloh ‘Azza wa Jalla berfirman yang artinya, “Jika kamu kufur sesungguhnya Alloh tidak membutuhkan kamu, dan Alloh tidak ridho kekafiran bagi hamba-Nya dan jika kamu bersyukur niscaya Dia ridho kepadamu.” (QS. Az Zumar: 7)
… dan apabila ternyata Alloh tidak meridhoi kekufuran dan kesyirikan maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap mukmin untuk tidak ridho dengan keduanya, karena seorang mukmin itu keridhoan dan kemarahannya mengikuti keridhoan dan kemurkaan Alloh, sehingga dia akan marah terhadap sesuatu yang dimurkai Alloh dan akan ridho terhadap sesuatu yang diridhoi Alloh ‘Azza wa Jalla, maka demikian pula apabila Alloh tidak meridhoi kekufuran dan kesyirikan maka tidak semestinya seorang mukmin justru ridho terhadap keduanya.” (Syarah Tsalatsatul Ushul hal. 33-34).
Maka cobalah kita renungkan keadaan kaum muslimin sekarang ini yang sebagian di antara mereka (semoga kita tidak termasuk di dalamnya) bergelimang kesyirikan sementara mereka tidak menyadarinya bahkan membela dan melestarikannya dengan mengatasnamakan tradisi.
Bagaimana bisa mereka melalaikan masalah besar ini ?! Apalah artinya mereka berpuasa menahan lapar dan dahaga jika kesyirikan masih melekat dalam hati, ucapan dan amalan mereka.
Tidakkah mereka ingat firman Alloh Ta’ala yang artinya, “Sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan kepada orang-orang sebelummu, ‘Sungguh jika kamu berbuat syirik niscaya lenyaplah seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (QS. Az Zumar: 65).
Maka marilah kita pelajari tauhid lebih serius lagi, jangan-jangan kita terjerumus dalam syirik dalam keadaan tidak menyadari.
Bagaimana mungkin seseorang bisa berkata ‘Saya bersih dari syirik’ sementara pengertian dan macam-macamnya pun dia tidak mengenalnya. Tetapi siapakah gerangan yang mau memperhatikannya ??
Syarat Diterimanya Ibadah
Suatu amalan akan diterima di sisi Alloh apabila memenuhi dua syarat: ikhlash dan showab/benar.
Alloh Ta’ala berfirman yang artinya, “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Robbnya maka hendaklah Dia mengerjakan amal sholih dan tidak mempersekutukan sesuatu apapun dalam beribadah kepada Robbnya.” (QS. Al Kahfi: 110).
Al Imam Ibnu Katsir rohimahulloh mengatakan di dalam kitab Tafsir-nya, “Dan dua hal inilah rukun amalan yang diterima; harus didasari keikhlashan kepada Alloh serta showab/benar yaitu sesuai dengan syari’at Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim juz V hal. 154).
Barangsiapa yang niatnya tidak ikhlash karena Alloh maka ibadahnya tidak diterima, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alloh berfirman yang artinya, ‘Aku adalah Dzat yang tidak membutuhkan sekutu, barangsiapa mengerjakan suatu amal yang dicampuri kesyirikan kepada-Ku maka Aku tinggalkan dia beserta kesyirikannya itu.'” (HR. Muslim)
Barangsiapa yang beramal tidak sesuai tuntunan Nabi maka ibadahnya tidak diterima, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami maka tertolak.” (HR. Muslim).
Jadi kedua syarat ini harus terpenuhi, apabila salah satu saja tidak terpenuhi maka ibadah itu tidak akan diterima oleh Alloh.
Tujuan Puasa
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan, “Tujuan dari puasa bukanlah sekedar mengekang tubuh dalam rangka menahan haus dan lapar serta kesulitan, akan tetapi tujuannya adalah menundukkan jiwa dengan meninggalkan sesuatu yang dicintai demi meraih keridhoan Dzat yang dicintai.
Adapun perkara dicintai yang ditinggalkan adalah makan, minum dan jima’, inilah nafsu syahwat. Adapun sesuatu yang dicintai yang dicari keridhoan-Nya adalah Alloh ‘Azza wa Jalla.
Maka kita harus senantiasa menghadirkan niat ini bahwasanya kita meninggalkan pembatal-pembatal puasa ini demi mencari keridhoan Alloh ‘Azza wa Jalla.” (Tsamaniyatu Wa Arba’uuna Su’aalan Fish Shiyaam hal. 10).
Puasa Menghimpun 3 Macam Sabar
Puasa adalah ibadah yang paling utama karena ketiga macam sabar terhimpun di dalamnya, yaitu:
1. Sabar dalam melaksanakan ketaatan kepada Alloh.
2. Sabar dalam menahan diri dari terjerumus dalam maksiat kepada-Nya.
3. Sabar dalam menghadapi takdir Alloh yang terasa menyakitkan.
Juga karena Alloh menyandarkan ganjaran puasa kepada Diri-Nya sendiri, Alloh menjanjikan balasan puasa dari sisi-Nya.
Puasa merupakan rahasia antara Robb dan hamba-Nya sehingga ia menjadi amanat paling agung yang harus dijaga (lihat Taisirul ‘Allaam juz I hal. 351).
0 Response to "Puasa Menahan Diri Demi Menggapai Ridho Illahi "
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak