Kaidah Pemurnian Tauhid
Kaidah Pemurnian Tauhid
Bismillah. Tidaklah diragukan oleh seorang muslim bahwa tauhid merupakan pondasi agama Islam.
Oleh sebab itu para ulama dari masa ke masa senantiasa memprioritaskan dakwah tauhid di tengah manusia.
Salah satu karya dalam ilmu tauhid di masa kini adalah sebuah kitab yang ditulis oleh Syaikh Faishal bin Qazar al-Jasim hafizhahullah berjudul ‘Tajrid at-Tauhid min Daranisy Syirki wa Syubahit Tandid’ artinya "Pemurnian Tauhid dari Kotoran Syirik dan Syubhat Pemberhalaan".
Kitab ini mendapatkan rekomendasi dan kata pengantar dari Syaikh Abdullah bin Abdul Aziz al-’Aqil.
Di dalam kitab ini penulis menyajikan kaidah-kaidah dalam hal tauhid yang sangat penting diketahui oleh kaum muslimin agar terbebas dari belenggu syirik dan mendapatkan taufik untuk mewujudkan tauhid secara murni.
Berikut ini kami sajikan secara ringkas beberapa kaidah pokok yang beliau bawakan guna memahami tauhid sebagaimana mestinya.
# Kaidah Pertama :
Mengapa Allah Menciptakan Jin dan Manusia? Allah menciptakan kita untuk beribadah kepada-Nya dan menjauhi syirik.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56).
Dan dalam rangka mewujudkan tujuan inilah Allah pun mengutus para rasul dan menurunkan kitab-kitab.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Kami utus seorang pun rasul sebelum kamu melainkan Kami wahyukan kepadanya; bahwa tidak ada ilah/ sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku.” (al-Anbiya’ : 25)
# Kaidah Kedua :
Tidak Akan Benar Ibadah Tanpa Tauhid Sebagaimana sholat tidak sah tanpa bersuci maka ibadah tidak akan menjadi benar tanpa tauhid.
Apabila ibadah tercampur dengan syirik maka seluruh amalan akan lenyap dan sia-sia.
Allah berfirman tentang ibadahnya kaum musyrik (yang artinya), “Tidak selayaknya kaum musyrik memakmurkan masjid-masjid Allah seraya mempersaksikan atas diri mereka kekafiran, mereka itulah yang terhapus amal-amal mereka dan di dalam neraka mereka itu kekal.” (at-Taubah : 17).
Allah juga berfirman (yang artinya), “Sungguh jika kamu melakukan syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)
# Kaidah Ketiga :
Apa Makna Ibadah Yang Harus Ditujukan Kepada Allah Semata?
Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah dengan penuh ketaatan; melaksanakan perintah-perintah-Nya disertai ketundukan dan kepatuhan kepada syari’at-Nya dengan dilandasi kecintaan kepada-Nya.
Maka simpul ibadah itu adalah melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah harus dilandasi dengan kecintaan dan pengagungan.
# Kaidah Keempat :
Bagaimana Mengenali Macam-macam Ibadah? Segala sesuatu yang dicintai oleh Allah untuk kita lakukan dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya maka itu adalah ibadah. Ia mencakup keyakinan hati, ucapan lisan, dan amal dengan anggota badan.
Kita bisa mengenali bahwa hal itu dicintai Allah apabila Allah memerintahkannya, memuji pelakunya, meridhainya, atau memberikan janji pahala atasnya.
Diantara contoh ibadah hati adalah inabah/kembali kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Dan inabah/ kembalilah kalian kepada Rabb kalian dan pasrahlah kepada-Nya.” (az-Zumar : 54).
Demikian pula khasy-yah/rasa takut kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang merasa takut kepada Rabb mereka dalam keadaan ghaib/tidak tampak, bagi mereka ampunan dan pahala yang sangat besar.” (al-Mulk : 12)
Diantara contoh ibadah lisan adalah berzikir. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai orang-orang yang beriman berzikirlah kepada Allah dengan sebanyak-banyak zikir.” (al-Ahzab : 41)
Diantara contoh ibadah anggota badan adalah mendirikan sholat dan menunaikan zakat. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tegakkanlah sholat serta tunaikanlah zakat.” (al-Baqarah : 43).
Begitu pula menyembelih kurban. Allah berfirman (yang artinya), “Maka sholatlah untuk Rabbmu dan sembelihlah kurban.” (al-Kautsar : 2)
Dengan demikian segala bentuk ibadah itu tidak boleh dipalingkan kepada selain Allah. Tidak ada yang berhak mendapatkan ibadah selain Allah.
Allah berfirman (yang rtinya), “Maka beribadahlah kepada Allah dengan memurnikan agama/ketaatan untuk-Nya.” (az-Zumar : 2)
# Kaidah Kelima :
Syirik kepada Allah Dosa Terbesar dan Paling Berbahaya Syirik menyebabkan semua amalan akan terhapus dan tidak akan mendapatkan ampunan dari Allah apabila pelakunya tidak bertaubat sebelum meninggal.
Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya dan akan mengampuni dosa-dosa lain yang berada di bawah tingkatan itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (an-Nisa’ : 48).
Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah benar-benar Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu sedikit pun penolong.” (al-Ma-idah : 72)
# Kaidah Keenam :
Apakah Hakikat Syirik Yang Wajib Diwaspadai? Syirik kepada Allah adalah menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal-hal yang termasuk dalam kekhususan-Nya. Kekhususan Allah itu mencakup perkara rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifatnya.
Allah sebagai satu-satunya pemelihara, penguasa, dan pengatur alam semesta; ini adalah kekhususan Allah dalam hal rububiyah.
Adapun kekhususan Allah dalam hal uluhiyah yaitu bahwa hanya Allah yang berhak disembah.
Allah berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Aku ini adalah Allah; Yang tidak ada ilah/sesembahan yang benar selain Aku, maka sembahlah Aku, dan tegakkanlah sholat untuk mengingat-Ku.” (Thaha : 14).
Allah pemilik segala sifat kesempurnaan dan nama-nama yang terindah; ini merupakan kekhususan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatu apapun, dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat.” (asy-Syura : 11).
Oleh sebab itu tidak boleh mempersekutukan Allah dalam hal rububiyah, uluhiyah maupun nama dan sifat-sifat-Nya. Tidaklah seorang menjadi ahli tauhid kecuali apabila dia mengesakan Allah dalam hal rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa shifat-Nya.
# Kaidah Ketujuh :
Doa Ibadah Yang Paling Agung Ada dua macam bentuk doa; doa dalam bentuk ibadah secara umum dan doa dalam bentuk permintaan dengan lisan.
Sholat, puasa, dsb adalah doa dalam makna yang umum. Adapun meminta berbagai kebutuhan kepada Allah maka ini adalah doa dalam makna yang khusus.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan Rabb kalian berkata; Berdoalah kalian kepada-Ku niscaya Aku kabulkan permintaan kalian, sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah kepada-Ku pasti akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina.” (Ghafir :60)
Doa dan segala bentuk ibadah yang lain harus ditujukan kepada Allah. Tidak boleh menyeru atau beribadah kepada selain Allah; siapa pun atau apa pun ia.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/berdoa kepada selain Allah bersama-Nya; siapa pun juga.” (al-Jin : 18)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabilakamu meminta maka mintalah kepada Allah, dan apabila kamu meminta pertolongan maka mintalah pertolongan kepada Allah.” (HR. Tirmidzi).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya tidak boleh beristighotsah/ meminta keselamatan kepadaku, sesungguhnya istighotsah itu hanya boleh ditujukan kepada Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Thabarani)
Dengan demikian doa, istighotsah, dan isti’adzah/meminta perlindungan adalah murni milik Allah. Oleh sebab itu tidak boleh menujukan ibadah itu kepada selain-Nya.
Barangsiapa berdoa kepada selain Allah atau beristighotsah kepada selain-Nya maka sesungguhnya dia telah beribadah kepada selain Allah kecuali apabila orang yang dia minta pertolongan itu masih hidup, hadir/bisa berkomunikasi dengannya, dan mampu memberikan pertolongan.
# Kaidah Kedelapan :
Syarat Meminta Bantuan Kepada Makhluk Diperbolehkan berdoa -dalam artian meminta bantuan- kepada makhluk dengan syarat orang yang dimintai pertolongan itu masih hidup, hadir/bisa berkomunikasi dengannya, dan mampu memberikan bantuan.
Seperti misalnya meminta bantuan kepada teman untuk mengerjakan suatu urusan. Sebagaimana kisah seorang Bani Isra’il yang meminta bantuan kepada Musa ‘alaihis salam.
Allah berfirman (yang artinya), “Maka meminta bantuan kepadanya (Musa) orang yang berasal dari kelompoknya, untuk menghadapi gangguan dari musuhnya.” (al-Qashash : 15)
Dengan demikian perbuatan meminta kepada selain Allah itu dihukumi syirik apabila :
Pertama; meminta kepadanya sesuatu yang hanya dikuasai oleh Allah.
Misalnya meminta kepada makhluk agar memberikan hidayah ke dalam hati, mengampuni dosa, memberikan anak/keturunan, menurunkan hujan, dsb.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan apabila Allah timpakan kepadamu suatu bahaya maka tidak ada yang bisa menyingkapnya kecuali Dia, dan apabila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang bisa menolak karunia-Nya.” (Yunus : 107)
Kedua; berdoa/meminta kepada orang yang sudah mati.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang kalian seru selain-Nya tidaklah menguasai walaupun setipis kulit ari. Apabila kalian berdoa kepada mereka maka mereka tidak bisa mendengar doa kalian, seandainya mereka bisa mendengar maka mereka tidak bisa memenuhi perimintaan kalian, dan pada hari kiamat mereka akan mengingkari syirik kalian, dan tidak ada yang bisa memberitakan kepadamu sebagaimana [Allah] Yang Maha teliti.” (Fathir : 13-14)
Ketiga; berdoa/meminta kepada orang/makhluk yang ghaib/tidak hadir dan tidak bisa berkomunikasi dengannya secara wajar.
Tidak ada yang bisa mendengar suara segenap makhluk -di mana pun mereka berada- dalam setiap keadaan selain Allah.
Allah berfirman (yang artinya), “Tidaklah terjadi bisik-bisik diantara tiga orang kecuali Allah lah yang keempat, dan tidak pula lima orang kecuali Allah lah yang kelima. Tidak pula kurang atau lebih daripada itu melainkan Dia bersama dengan mereka di mana pun mereka berada…” (al-Mujadilah : 7)
# Kaidah Kesembilan :
Hukum Memalingkan Ibadah Kepada Selain Allah Barangsiapa memalingkan suatu bentuk ibadah kepada selain Allah maka dia telah berbuat syirik kepada Allah; sama saja apakah dia meyakini bahwa apa yang dia seru/sembah itu bisa mendatangkan manfaat atau mudharat atau dia beribadah kepadanya dengan tujuan semata-mata demi memperoleh syafa’at darinya di sisi Allah.
Dalilnya adalah bahwa orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui bahwa Allah satu-satunya yang mencipta, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan dan mengatur segala urusan; tetapi hal itu belum memasukkan mereka ke dalam Islam.
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Siapakah yang memberikan rizki kepada kalian dari langit dan bumi, atau siapakah yang menguasai pendengaran dan penglihatan, siapa yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan? Niscaya mereka akan menjawab ‘Allah’. Maka katakanlah, ‘Mengapa kalian tidak bertakwa?’.” (Yunus : 31)
Lantas mengapa mereka dinyatakan sebagai orang kafir?
Jawabannya adalah karena mereka telah mempersembahkan ibadah kepada selain Allah walaupun dengan alasan untuk mendekatkan diri kepada Allah atau untuk mencari syafa’at.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai wali/penolong/sesembahan; mereka mengatakan, ‘Tidaklah kami menyembah mereka melainkan supaya
mereka lebih mendekatkan diri kami kepada Allah’. Sesungguhnya Allah akan memberikan keputusan hukum atas apa-apa yang mereka perselisihkan, sesungguhnya Allah tidak akan memberikan petunjuk kepada pendusta lagi ingkar.” (az-Zumar : 3)
Allah juga berfirman (yang artinya), “Dan mereka beribadah kepada selain Allah; sesuatu yang tidak mendatangkan bahaya dan tidak pula manfaat kepada mereka, mereka mengatakan ‘Mereka ini adalah para pemberi syafa’at bagi kami di sisi Allah’. Katakanlah; Apakah kalian hendak memberitakan kepada Allah dengan Sesuatu yang tidak diketahui-Nya di langit dan di bumi; Maha suci dan Maha tinggi Allah dari apa-apa yang mereka persekutukan.” (Yunus : 18)
# Kaidah Kesepuluh :
Selain Allah Tidak Boleh Disembah Apa Pun atau Siapa Pun Dia Tidak ada bedanya antara beribadah kepada selain Allah apakah yang disembah itu berupa malaikat, manusia, jin, batu, atau pohon.
Maka perbuatan beribadah kepada selain Allah -apapun bentuknya sesembahan itu- tetap dihukumi sebagai perbuatan syirik.
Hal ini bisa kita lihat di tengah kaum yang didakwahi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam; ada diantara mereka yang menyembah matahari dan bulan, ada yang menyembah orang-orang salih, ada yang menyembah malaikat, ada yang menyembah nabi, dan ada pula yang menyembah batu dan pohon.
Mereka semuanya diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa membeda-bedakan diantara mereka.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah/syirik. Dan agama/amal itu semuanya menjadi milik Allah. Maka apabila mereka berhenti -dari syirik-, sesungguhnya Allah Maha melihat apa-apa yang mereka kerjakan.” (al-Anfal : 39)
Terjadinya penyembahan kepada matahari dan bulan dikisahkan oleh Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Janganlah kalian sujud kepada matahari dan bulan, dan sujudlah kepada Allah Yang telah menciptakan itu semuanya jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (Fushshilat : 37)
Penyembahan kepada orang-orang salih dan malaikat juga telah diceritakan di dalam al-Qur’an.
Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Serulah apa-apa yang kalian sangka -sebagai sesembahan- selain-Nya, maka mereka itu tidak menguasai untuk menyingkap bahaya dari kalian dan tidak pula memalingkannya. Mereka itu yang diseru justru mencari wasilah/sarana untuk mendekatkan diri kepada Rabb mereka; siapakah yang lebih dekat -dengan Allah- dan mereka mengharapkan rahmat-Nya, dan takut akan azab-Nya. Sesungguhnya azab Rabbmu sangat layak untuk ditakuti.” (al-Israa’ : 56-57).
Ibnu ‘Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang beribadah kepada Isa, ibunya, dan Uzair. Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan orang-orang yang beribadah kepada para malaikat.
Peribadatan kepada selain Allah adalah syirik; sama saja apakah yang disembah itu adalah malaikat, nabi, wali, patung, dan sama saja apakah mereka meyakini yang disembah itu menguasai manfaat atau madharat atau mereka hanya meyakini apa yang disembah hanya menjadi perantara atau pemberi syafa’at di sisi Allah; semuanya adalah termasuk perbuatan syirik.
0 Response to "Kaidah Pemurnian Tauhid"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak