Kisah Pemberontakan Terhadap Usman
Ikatlah Aku…
Bismillah. Thawus bin Kaisan mengisahkan : Ketika terjadi fitnah/ pemberontakan kepada Utsman bin Affan ada seorang lelaki yang berkata kepada keluarganya, “Ikatlah aku, sesungguhnya aku ini mulai gila.” Setelah Utsman terbunuh, dia pun berkata, “Lepaskanlah ikatanku. Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan aku dari kegilaan dan membebaskan aku dari keterlibatan dalam fitnah/ pemberontakan terhadap Utsman.” (lihat Kitab Fadhilatu asy-Syukr lillah oleh al-Khara’ithi, hlm. 46)
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, penggalan kisah singkat ini memberikan banyak pelajaran bagi kita mengenai kaidah-kaidah beragama. Berikut ini sebagiandiantaranya :
Pertama; Wajibnya taat kepada ulil amri selama bukan untuk bermaksiat Bukanlah syarat ulil amri/penguasa muslim yang wajib ditaati itu adalah bersih dari kesalahan, bahkan meskipun mereka zalim dan bertindak aniaya.
Hal ini telah ditegaskan oleh para ulama kita, diantaranya oleh Imam Abu Ja’far ath-Thahawi rahimahullah (wafat 321 H).
Imam ath-Thahawi berkata, “Dan kami -ahlus sunnah-tidak memandang bolehnya memberontak kepada para pemimpin kami dan para pemegang urusan-urusan (ulil amri) diantara kami meskipun mereka berbuat aniaya/zalim.
Kami tidak mendoakan keburukan bagi mereka, dan kami tidak mencabut kesetiaan dari sikap patuh kepada mereka. Kami memandang ketaatan kepada mereka sebagian bagian dari ketaatan kepada Allah yang wajib dikerjakan, selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat. Dan kami mendoakan bagi mereka agar diberikan kebaikan dan keselamatan.” (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 379)
Inilah keyakinan Ahlus Sunnah yang diselisihi oleh penganut paham Khawarij. Orang-orang Khawarij di masa silam berlepas diri dari pemerintahan Utsman dan Ali dan mereka juga memberontak kepada penguasa dengan dalih penguasa itu telah menyelisihi sunnah/ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Syarh Lum’ah al-I’tiqad oleh al-Utsaimin, hlm. 162)
Kewajiban taat kepada ulil amri -meskipun zalim- disebabkan dampak kerusakan/ kekacauan yang timbul dari pemberontakan jauh lebih besar daripada kezaliman yang dilakukan oleh penguasa itu sendiri.
Bahkan dengan bersabar menghadapi kezaliman mereka menjadi sebab terhapuskannya dosa-dosa dan dilipatgandakan pahala.
Karena sesungguhnya Allah tidaklah menguasakan mereka atas kita melainkan karena rusaknya amal perbuatan kita sendiri.
Oleh sebab itu apabila rakyat menginginkan terbebas dari kezaliman pemimpin yang bertindak aniaya hendaklah mereka juga meninggalkan kezaliman (lihat Syarh al-’Aqidah ath-Thahawiyah, hlm. 381)
Kaum Khawarij sejak dulu hingga sekarang adalah gerombolan orang yang tidak mau mengindahkan kaidah yang agung ini.
Pada masa kekhalifahan Utsman tepatnya pada tahun 35 H mereka menyusun kekuatan massa dari berbagai negeri di bawah komando Abdullah bin Sa’ba’ dan bersepakat untuk melakukan unjuk rasa dengan berjalan kaki untuk menemui/ menekan Utsman radhiyallahu’anhu di Madinah kala itu dengan menyamarsebagai jama’ah haji.
Mereka memanfaatkan celah kepergian banyak para Sahabat untuk menunaikan ibadah haji di Mekah; mirip dengan apa yang dilakukan oleh sebagian orang di masa kini dengan aksi demonstrasi kepada penguasa dengan kedok amar ma’ruf dan nahi mungkar (lihat Haqiqah al-Khawarij, hlm. 84)
Kedua; pemberontakan kepada penguasa muslim adalah fitnah/kerusakan Sesungguhnya cikal-bakal paham Khawarij ini adalah disebabkan celaan dan perendahan terhadap para ulama dan para imam/penguasa kaum muslimin.
Seperti ini pula lah awal kemunculan fitnah Khawari di masa Utsman; dimana mereka berusaha untuk mencela dan menjatuhkan kredibilitas beliau, padahal beliau adalah sebaik-baik umat Islam di masa itu, mereka juga tidak mempedulikan pemahaman para sahabat, sampai pada akhirnya kekacauan itu berujung pada pembunuhan Utsman bin Affan radhiyallahu’anhu (lihat Haqiqah al-Khawarij, hlm. 53-54)
Bahkan, cikal-bakal pengusung paham Khawarij ini telah muncul di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika seorang lelaki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di sebuah tempat bernama Ji’ranah pada saat beliau sedang membagi-bagikan harta rampasan perang. Lelaki itu berkata dengan nada merendahkan di hadapan khalayak, “Wahai Muhammad, bersikaplah adil.” (HR. Muslim).
Sampai-sampai setelah mendengar ucapan orang ini Umar dan Khalid bin Walid pun meminta ijin kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membunuhnya.
Akan tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengijinkan hal itu mempertimbangkan mafsadat/ kerusakan yang timbul sesudahnya apabila hal itu dilakukan (lihat Syarh Muslim li an-Nawawi, 4/388)
0 Response to "Kisah Pemberontakan Terhadap Usman"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak