Mungkin Kita Belum Mengenal Tauhid
Mungkin Kita Belum Mengenal Tauhid
Bismillah. Kaum muslimin yang dirahmati Allah, kehidupan di alam dunia ini seolah membuat kita hanyut dalam angan-angandan larut dalam impian.
Banyak orang terengah-engah mengejar kemegahan materi dan merengek-rengek mengais kenikmatan sesaat.
Padahal, masih ada hidup setelah kematian. Dan akan ada hari pembalasan setelah kebangkitan dan penimbangan amal.
Allah berfirman (yang artinya) “Sesungguhnya Kami menjadikan apa-apa yang ada di atas muka bumi ini sebagai perhiasan baginya untuk Kami menguji mereka; siapakah diantara mereka yang terbaik amalnya.”(al-Kahfi : 7).
Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnyamenerangkan bahwa dunia ini Allah jadikan sebagai negeri yang fana dan dihiasi dengan perhiasan yang akan lenyap, Allah menjadikannya sebagai negeri ujian bukan negeri untuk menetap seterusnya (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/137 tahqiq Sami bin Muhammad as-Salamah cet. Dar Thayyibah)
Apa Tujuan Hidup Kita?
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadahkepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56).
Ibnu Katsir menjelaskan maksud ayat tersebut, bahwa Allah menciptakan mereka untuk diperintah beribadah kepada-Nya, bukan karena kebutuhan Allah kepada mereka.
Allah menciptakan hamba agar beribadah kepada-Nya, dan Allah mengabarkan bahwa Allah tidak membutuhkan apa-apa dari mereka.
Bahkan mereka semuanya butuh dan fakir kepada Allah dalam segala keadaan; karena Allah lah yang menciptakan mereka dan memberikan rezeki kepada mereka.
Allah melanjutkan ayat itu dengan firman-Nya (yang artinya), “Aku tidak menginginkan dari mereka rezeki dan Aku juga tidak menghendaki supaya mereka memberi aku makanan. Sesungguhnya Allah Maha pemberi rezeki dan pemilik kekuatan lagi maha kokoh.” (adz-Dzariyat : 57-58) (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 7/425)
Kaum muslimin yang dirahmati Allah, banyak orang beranggapan bahwa ibadah adalah perkara yang tidak menyenangkan bahkan dianggap sebagai beban yang memberatkan. Padahal sesungguhnya dengan beribadah kepada Allah justru hidup kita menjadi diliputi kebahagiaan dan limpahan rahmat dan ketenangan.
Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa melakukan amal salih dari kalangan lelaki atau perempuan dalam keadaan beriman; niscaya Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan benar-benar Kami akan membalas mereka dengan pahala yang lebih baik daripada apa-apa yang mereka lakukan.” (an-Nahl : 97)
Diantara bentuk kehidupan yang baik itu adalah diberikan rezeki yang halal dan baik, qana’ah/perasaan cukup di dalam hati, kebahagiaan, kenikmatan surga, ketekunan beribadah kepada Allah selama hidup di dunia, bisa melakukan ketaatan dan merasa lapang dengannya (lihat keterangan Imam Ibnu Katsir rahimahullah dalam Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 4/601)
Dengan mengikuti petunjuk Allah yang dibawa oleh para nabi dan rasul maka seorang muslim akan berbahagia di dunia dan di akhirat. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku niscaya dia tidak akan tersesat dan tidak pula celaka.” (Thaha : 123).
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma mengatakan, maksudnya tidak akan tersesat selama di dunia dan tidak akan celaka kelak di akhirat (lihat Tafsir al-Qur’an al-’Azhim, 5/322)
Adapun orang-orang yang berpaling dari peringatan Allah maka Allah akan berikan kepadanya penghidupan yang sempit.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkan dia kelak pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata; Wahai Rabbku, mengapa Engkau kumpulkan aku dalam keadaan buta padahal dahulu aku bisa melihat. Allah menjawab ; Demikianlah yang pantas kamu peroleh, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tetapi kamu justru melupakannya, maka begitu pula pada hari ini kamu dilupakan.” (Thaha : 124-126)
Ibnu ‘Abbas menafsirkan bahwa yang dimaksud penghidupan yang sempit itu adalah kesengsaraan. Diriwayatkan pula dari beliau bahwa beliau mengatakan, “Setiap harta yang diberikan kepada seorang hamba; sedikit ataupun banyak, sementara dia tidak menggunakan harta itu dalam ketakwaan maka tidak ada kebaikan padanya, itulah yang dimaksud kesempitan dalam hal ma’isyah/penghidupan…” Sa’id bin Jubair menafsirkan bahwa salah satu bentuk kesempitan hidup itu adalah dicabutnya qana’ah/perasaan cukup di dalam hati sehingga dia tidak pernah merasa kenyang alias rakus dan tamak terhadap dunia (lihat tafsir karya Imam al-Baghawi Ma’alim at-Tanzil, hlm. 829)
Allah menceritakan perkataan Nabi Musa 'alaihis salam kepada Bani Isra'il (yang artinya), “Jika kalian kafir dan juga seluruh yang ada di bumi, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (Ibrahim : 8). Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Maka maslahat ibadah tidaklah kembali kepada Allah.
Karena sesungguhnya Allah tidak membutuhkan mereka dan tidak juga ibadah-ibadah mereka. Seandainya mereka semua kafir maka hal itu tidak akan mengurangi kerajaan Allah sama sekali.
Dan seandainya mereka semua taat maka hal itu pun tidak akan menambah apa-apa di dalam kerajaan-Nya.” (lihat Da'watu at-Tauhid wa Sihamul Mughridhin, hlm. 8)
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang paling pertama sampai yang paling terakhir diantara kalian dari kalangan manusia atau jin, mereka semua memiliki hati yang paling bertakwa diantara kalian maka hal itu tidak akan menambah sedikit pun dalam kerajaan-Ku.
Wahai hamba-hamba-Ku, seandainya orang yang pertama hingga paling terakhir diantara kalian dari kalangan manusia dan jin, semuanya memiliki hati yang fajir/jahat sejahat-jahatnya hati diantara kalian, maka hal itu pun tidak akan mengurangi sedikit pun dari kerajaan-Ku.” (HR. Muslim dari Abu Dzarr radhiyallahu'anhu)
Ketika menjelaskan faidah hadits di atas, Syaikh Abdul Muhsin al-'Abbad hafizhahullah berkata, “Dan bahwasanya ketakwaan setiap insan sesungguhnya akan memberikan manfaat bagi orang yang bertakwa itu sendiri.
Demikian pula kefajiran/maksiat yang dilakukan oleh setiap orang yang fajir maka itu pun hanya akan membahayakan dirinya sendiri.” (lihat Kutub wa Rasa'il, 3/157)
Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada kita dan tidak pula kepada ibadah-ibadah kita. Akan tetapi sesungguhnya kita inilah yang membutuhkan ibadah kepada Allah; supaya mendekatkan diri kita kepada-Nya, agar kita bisa sampai kepada Rabb kita 'azza wa jalla, dan memperkenalkan diri kita kepada-Nya, maka dengan itu kita akan meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.”(lihat Da'watu at-Tauhid wa Sihamul Mughridhin, hlm. 9)
Allah 'azza wa jalla berfirman (yang artinya), “Jika kalian kafir maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi tidak membutuhkan kalian. Dan Allah tidak ridha terhadap kekafiran bagi hamba-hamba-Nya. Dan apabila kalian bersyukur maka Allah pun meridhai hal itu bagi kalian.” (az-Zumar : 7)
Pentingnya Tauhid dalam Hidup
Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri keimanan mereka dengan kezaliman (yaitu syirik), mereka itulah orang-orang yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan hidayah.” (al-An'aam: 82)
Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar'awivrahimahullah berkata, “Allah subhanahu wa ta'ala memberitakan kepada kita bahwasanya barangsiapa yang mentauhidkan-Nya dan tidak mencampuri tauhidnya dengan syirik maka Allah menjanjikan atasnya keselamatan dari masuk ke dalam neraka di akherat serta Allah akan membimbingnya menuju jalan yang lurus di dunia.” (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 35)
Syaikh Muhammad bin Abdul Aziz al-Qar'awi rahimahullah menambahkan, “Ayat ini menunjukkan bahwa barangsiapa meninggal di atas tauhid serta bertaubat dari dosa-dosa besar dia akan selamat dari siksa neraka. Dan barangsiapa yang meninggal dalam keadaan masih bergelimang dengan dosa-dosa besar/tidak bertaubat darinya sementara dia masih bertauhid dia akan selamat dari kekal di neraka.” (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 35)
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Apabila seorang mukmin terbebas dari syirik besar dan kecil serta perbuatan zalim kepada sesama maka dia akan memperoleh hidayah dan keamanan yang sempurna di dunia dan di akherat. Adapun, apabila dia terbebas dari syirik akbar namun tidak bersih dari syirik kecil atau sebagian dosa yang lain maka hidayah yang diperolehnya tidak sempurna. Keamanan yang dirasakannya pun tidak sempurna.
Bahkan, bisa jadi dia harus masuk ke dalam neraka akibat kemaksiatan yang dia lakukan dan dia belum bertaubat darinya.” (lihat Syarh Kitab at-Tauhid, hlm. 19-20, lihat juga at-Tam-hid, hlm. 25)
Tauhid Pondasi Agama Islam
Pengertian islam dalam makna umum adalah beribadah kepada Allah dengan mengikuti syari'at-Nya semenjak Allah utus para rasul hingga datangnya hari kiamat.
Hal ini menunjukkan bahwasanya semua ajaran nabi-nabi terdahulu adalah islam. Seperti yang dikisahkan mengenai doa Ibrahim (yang artinya), “Wahai Rabb kami, jadikanlah kami muslim/orang yang pasrah kepada-Mu, demikian pula keturunan kami menjadi umat yang muslim/pasrah kepada-Mu.” (al-Baqarah : 128).
Adapun islam dalam makna khusus ialah ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Karena ajaran beliau menghapus ajaran syari'at terdahulu. Dengan demikian seorang muslim -di masa kini- adalah orang yang mengikuti ajaran beliau shallallahu 'alaihi wa sallam. Barangsiapa tidak mengikuti beliau maka bukan muslim (lihat Syarh Tsalatsah al-Ushul oleh Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah, hlm. 20)
Aqidah merupakan asas di dalam agama. Ia merupakan kandungan dari syahadat 'laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah'. Aqidah merupakan kandungan dari rukun Islam yang pertama.
Oleh sebab itu wajib memperhatikannya dan mengenalinya dengan baik. Wajib pula mengetahui hal-hal yang bisa merusaknya. Dengan begitu maka seorang insan akan berada di atas ilmu yang nyata dan di atas aqidah yang benar.
Karena apabila agamanya tegak di atas pondasi yang benar niscaya agama dan amalnya akan menjadi benar dan diterima di sisi Allah (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam at-Ta'liqat 'ala ath-Thahawiyah, hlm. 23)
Karena pentingnya aqidah tauhid inilah Allah utus para rasul untuk menyeru manusia agar beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.
Setiap rasul berkata (yang artinya), “Wahai kaumku, sembahlah Allah saja. Tidak ada bagi kalian sesembahan selain-Nya.” (al-A'raaf : 59).
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam selama 10 tahun di Mekah pun mengokohkan tauhid, mendakwahkannya, memerangi syirik dan memperingatkan umat darinya.
Setelah itu sepanjang hayatnya beliau berusaha meneguhkan dan mengokohkan aqidah tauhid dan menerangkan hukum-hukum syari'at.
Ini menunjukkan pentingnya memperhatikan dan memprioritaskan perkara aqidah dalam belajar, mengajar, beramal, dan berdakwah (lihat Ushul ad-Da'wah as-Salafiyah, hlm. 42)
0 Response to "Mungkin Kita Belum Mengenal Tauhid"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak