Menghadapi Persoalan Hidup
Menghadapi Persoalan Hidup
Dunia dan seisinya diciptakan sebagai karunia bagi seluruh makhluk, khususnya manusia. Untuk itulah kemudian manusia berperan sebagai khalifah atau pengelola.
Namun, rupanya banyak sekali manusia yang menjadi tersiksa oleh dunia. Seolah-olah kehidupan dunia ini menjadi beban berat yang tiada hentinya. Seolah-olah segala yang terjadi adalah permasalahan yang tiada ujungnya.
Kehidupan dunia memang siklus atau perputaran masalah. Ada manu sia yang piawai menghadapi masalah sehingga mereka bisa melewatinya dengan baik bahkan menikmatinya.
Namun, ada juga manusia yang tidak pandai menghadapi permasalahan dunia sehingga mereka pun frustasi dan tersiksa. Maka, yang jadi persoalan itu bukanlah masalahnya, akan tetapi sikap manusia dalam menghadapi masalah itu.
Ada sebuah cerita ringan yang menggambarkan tentang bagaimana manusia menghadapi permasalahan hidup.
Cerita tentang kakak-beradik penjual tape. Suatu ketika sehabis shalat Subuh, mereka berdua berangkat untuk berjualan tape. Ketika melintasi pematang sawang, sang kakak terpeleset dan terjatuh. Kayu pikulan keranjang tapenya patah sehingga tape yang akan dijualnya itu tumpah berserakan di atas sawah yang basah.
Sang kakak menggerutu atas peristiwa tersebut karena belum sempat berjualan, tape yang diharapkan bisa mendatangkan keuntungan itu sudah berhamburan tak karuan. Ia pun memutuskan untuk kembali pulang.
Sedangkan sang adik melanjutkan perjalanannya. Tak lama kemudian, sang kakak memperoleh kabar bahwasanya kendaraan satu-satunya yang biasa dipaka untuk moda transportasi para penjual tape dari kampung tersebut ke pasar, mengalami kecelakaan. Seluruh penumpangnya mengalami cedera.
Mendengar kabar itu, betapa terkejutnya sang kakak. Ia merasa begitu beruntung tidak turut serta di dalam kendaraan tersebut karena batal berangkat gara-gara ia terjatuh dan patah kayu pikulannya di sawah tadi.
Demikianlah, beberapa saat sebelum nya, ia menganggap bahwa terjatuhnya ia dan patahnya pikulan itu sebagai kesialan. Namun, beberapa saat kemudian, ia menganggap kejadian tersebut sebagai keberuntungan.
Cerita di atas menunjukkan bahwa yang jadi masalah itu bukanlah kejadian ia terjatuh dan patahnya kayu pikulan. Akan tetapi yang jadi masalah adalah cara atau sikapnya ketika menghadapi kejadian tersebut.
Lantas, bagaimanakah supaya kita bisa menjadi insan yang terampil dan pandai menghadapi berbagai permasalahan kehidupan dunia. Sehingga dari setiap permasalahan hidup ini, kita justru bisa belajar dan menjadi manusia yang lebih tangguh lagi.
Berikut ini lima kiat menghadapi persoalan hidup.
1. Siap Pada Berbagai Kemungkinan
Kiat pertama adalah kesiapan diri dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi, yaitu terhadap kejadian yang sesuai dengan keinginan kita dan terhadap kejadian yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Mengapa kita harus siap?
Karena, yang terjadi di dalam hidup ini tidak akan selalu sesuai dengan keinginan kita. Bahkan, kita harus akui bahwa jauh lebih banyak yang terjadi tanpa kita duga daripada yang kita duga.
Maka, alangkah menderitanya diri kita apabila kita hanya memper siapkan diri untuk menghadapi kejadian yang sesuai dengan keinginan diri kita. Karena yang banyak terjadi adalah yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Selain itu, yang penting kita yakini adalah bahwa sesungguhnya yang kita sangka baik untuk diri kita itu belum tentu baik menurut Allah Subhanahu wata'ala, Dzat Yang Maha Tahu.
Adalah suatu kesombongan terselubung jika kita merasa bahwa perhitungan kita adalah yang terbaik. Padahal wawasan kita dan ilmu kita tidaklah seberapa. Sedia payung sebelum hujan, itu mengakibatkan apabila hujan maupun tidak hujan bisa disikapi dengan sikap terbaik. Beda dengan orang yang tidak mempersiapkan payung, maka ketika hujan turun, ia harus menanggung resiko yang cukup besar yaitu dirinya basah kuyup, barang bawaannya pun ikut basah.
Oleh karena itu, mental kita di dalam mengarungi hidup ini harus senantiasa siap dalam menghadapi berbagai kemungkinan, yaitu kemungkinan yang terjadi sesuai dengan keinginan kita, atau tidak sesuai dengan keinginan kita.
Allah Swt berfirman, “..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah Maha Mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui”(QS. Al Baqarah [2]:216).
Maka, tugas kita hanyalah dua, meluruskan niat dan menyempurnakan ikhtiar. Selebihnya, biarlah Allah Subhanahu wata'ala yang menentukan apa yang terbaik untuk kita. Barangkali kita berupaya sekuat tenaga agar bisa diterima sebagai pegawai negeri, akan tetapi yang terjadi tidak sesuai harapan. Sungguh, Allah Subhanahu wata'ala yang Maha Tahu apa yang terbaik untuk kita.
Bukankah banyak sekali orang yang bisa meraih kesuksesan tanpa menjadi pegawai negeri, bahkan mereka jauh lebih sukses ketimbang mereka yang menjadi pegawai negeri. Boleh jadi inilah yang Allah Subhanahu wata'ala rencanakan.
Apalagi, tidak jaminan juga bahwa menjadi pegawai negeri itu adalah jalan menggapai kesuksesan masa depan. Bukankah banyak pegawai negeri yang harus “pensiun” lebih cepat karena tidak amanah pada tugas yang diembankan kepadanya.
Contoh lain misalnya seorang wanita yang dilamar atau dikhitbah oleh seorang pemuda. Meski sudah dilakukan khitbah, kedua calon pengantin ini sudah seharusnya memiliki kesiapan.
Siap apa? Siap jika pernikahan yang mereka dambakan itu benar-benar terjadi, juga siap seandainya pernikahan yang mereka impi-impikan itu tidak terjadi. Karena sesungguhnya yang melamar itu belum tentu jodohnya.
Walaupun segala janji, sumpah, berbagai kata-kata manis sudah diikrarkan, pernikahan tidak akan terjadi jika Allah Subhanahu wata'ala tidak menghendakinya.
Salah satu cara yang mujarab agar kita senantiasa siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi adalah dengan berprasangka baik kepada Allah Subhanahu wata'ala Jika tidak terbiasa, berprasangka baik kepada Allah Subhanahu wata'ala itu akan sulit. Namun, tidak jika kita membiasakan diri dengan cara melatih diri.
Mengapa berprasangka baik kepada Allah Subhanahu wata'ala itu sangat penting? Sebuah hadits qudsi berbunyi, “Sesungguhnya Allah berfirman, “Aku sebagaimana prasangka hambaku kepada-Ku. Aku bersamanya jika ia berdoa kepada-Ku.” (HR. Turmudzi)
Di dalam hadits yang lain Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Allah Subhanahu wata'ala berfirman, “Aku sesuai prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku akan bersamanya selama ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam dirinya maka Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam sekumpulan orang maka Aku akan mengingatnya dalam sekumpulan yang lebih baik dan lebih bagus darinya. Jika ia mendekat kepada-Ku satu jengkal maka Aku akan mendekat kepada-Nya satu hasta, jika ia mendekat kepada-Ku satu hasta maka Aku akan mendekat kepadanya satu depa, dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan maka Aku akan mendatanginya dengan berlari.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berprasangka baik terhadap Allah Subhanahu wata'ala akan membuat kita senantiasa siap menerima ketetapan Allah Subhanahu wata'ala yang akan terjadi kepada kita. Baik itu kenyataan yang sesuai dengan keinginan kita, maupun kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Baik itu kenyataan yang berupa keberuntungan, maupun kenyataan yang berupa musibah.
Prasangka baik terhadap Allah Subhanahu wata'ala akan membuat kita senantiasa yakin bahwasanya setiap ketetapan Allah Subhanahu wata'ala terhadap diri kita itu pada hakikatnya adalah kebaikan. Meskipun, kenyataan yang terjadi itu adalah berupa musibah atau ketidakberuntungan, tetaplah itu suatu kebaikan dari-Nya. Karena, selalu ada makna, pelajaran atau hikmah di balik suatu kejadian. Allah Subhanahu wata'ala tidak menjadikan suatu peristiwa di dunia ini dengan sia-sia atau tanpa maksud dan tujuan.
Oleh karenanya, prasangka baik kepada Allah Swt kemudian akan membuat kita senantiasa siap menghadapi kenyataan yang akan terjadi terhadap diri kita. Karena, prasangka baik terhadap Allah Swt akan membuat mental kita lebih kuat sebelum segala sesuatunya terjadi.
Hasan Al Bashri pernah mengungkapkan, “Sesungguhnya seorang mukmin selalu berhusnudzan kepada Tuhannya lalu ia memperbagus amalnya.
Dan, sesungguhnya seorang pendosa berprasangka buruk kepada Tuhannya sehingga ia berbuat yang buruk.” (Diriwayatkan Imam Ahmad dalam Al Zuhd, hal. 402).
Demikianlah pentingnya berprasangka baik terhadap Allah Swt Karena, berprasangka baik terhadap-Nya akan berkonsekuensi logis terhadap kecenderungan kita untuk berteguh hati kepada-Nya dan untuk beramal shaleh. Sedangkan prasangka buruk terhadap Allah Swt akan melahirkan kerusakan hati, amal, bahkan membelokkan akidah. Sehingga wajar jika dalam keterangan di atas, Hasan Al Bashri menyatakan bahwa prasangka terhadap Allah Subhanahu wata'ala akan membedakan antara orang yang beriman dengan orang pelaku dosa dan kemaksiatan.
Oleh karena itulah mengapa pada beberapa hari sebelum wafat, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam sempat mewasiatkan, “Janganlah salah seorang di antara kalian meninggal kecuali dalam keadaan berhusnuzan kepada Allah.” (HR. Muslim).
Seseorang yang senantiasa membiasakan diri berprasangka baik terhadap Allah Subhanahu wata'ala, akan melalui hari-harinya dengan mantap dan penuh optimisme. Semangat akan senantiasa hadir di dalam setiap derap langkah dan pekerjaan yang dilakukan. Karena, ia selalu di dalam keadaan siap pada apapun yang akan Allah Swt berikan kepadanya.
Pernah mendengar teori tukang parkir? Ini adalah gambaran sederhana bagaimana seseorang yang memiliki kesiapan diri dalam menghadapi kenyataan yang akan terjadi.
Seorang tukang parkir senantiasa siap dengan datangnya kendaraan yang akan parkir di tempatnya. Demikian juga apabila para pemilik kendaraan itu mengambil kendaraannya kembali dan pergi, ia senantiasa siap. Mengapa demikian? Karena sejak semula ia sudah memiliki pandangan bahwa semua kendaraan itu hanyalah titipan. Bisa datang dan pergi kapan saja sesuai dengan kehendak para pemiliknya. Tidak akan ada rasa berat hati di dalam dirinya. Karena ia hanya bertugas menjaganya selama kendaraan-kendaraan itu dititipkan kepada dirinya.
Demikianlah juga kita di dalam kehidupan ini. Ketika kita sudah memiliki kesiapan terhadap apapun yang akan terjadi, kita akan ringan menghadapi segala yang terjadi. Bahkan kenyataan seberat dan sepahit apapun. Hadirkan Allah Subhanahu wata'ala di dalam hati kita sebagai satu-satunya tempat kita berpegang dan bersandar. Dia-lah Dzat Yang Maha Memiliki atas segala hal yang terjadi di dunia ini.
Maka dari itu, selalu persiapkanlah diri kita untuk menghadapi berbagai kemungkinan. Apa yang baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah Subhanahu wata'ala Demikian juga apa yang buruk menurut kita, belum tentu buruk menurut Allah Subhanahu wata'ala Hadapi hidup ini dengan terus-menerus meminimalkan perasaan kecewa, karena kekecewaan tidak akan mengubah apapun. Hadapi pula hidup ini dengan meminimalkan keluh kesah, karena siapa tahu yang kita keluhkan itu adalah rezeki dari Allah Subhanahu wata'ala.
Banyak sekali peristiwa di sekitar kita yang awalnya membuat kita kesal dan dongkol, namun kemudian membuat kita bersujud syukur.
2. Ridha Pada Apa yang Terjadi
Pada penjelasan kiat pertama kita sudah membahas bahwasanya kesiapan diri itu sangatlah penting dalam rangka menghadapi segala kemungkinan yang bisa terjadi di dalam kehidupan ini. Kemungkinan-kemungkinan ini adalah hal yang belum terjadi. Adapun jika hal tersebut telah terjadi, maka sikap yang harus kita miliki adalah ridha. Ridha terhadap apa yang akhirnya terjadi atau ridha pada hasil yang akhirnya kita terima setelah usaha yang kita lakukan
Mengapa kita harus ridha? Karena jika kita tidak ridha pun, kejadian atau hasil itu tetap terjadi. Contoh sederhananya adalah apabila kita sedang berjalan di tengah lapangan golf, kemudian ada satu bola golf yang terlempar dan mengenai jempol kaki kita.
Jika peristiwa ini terjadi pada diri kita, maka bersikaplah ridha. Karena tak ada untungnya juga bersikap tidak ridha, toh bola itu telah mengenai jempol kaki kita. Biarlah rasa sakit sejenak.
Janganlah rasa sakit itu membuat kita bersikap menggerutu, mengutuk atau sikap apapun yang tidak baik.
Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb-nya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya.” (HR. Muslim)
Sebagaimana isi hadits di atas, bersikap ridha itu akan memberikan nuansa tersendiri di dalam batin kita. Karena sebenarnya penderitaan kita saat kita menggerutu dan mengutuk itu bukan karena peristiwa jatuhnya bola pada jempol kaki kita. Melainkan karena kita tidak mau menerima kenyataan yang terjadi pada diri kita. Sehingga akhirnya kita pun merasakan penderitaan.
Contoh lainnya yang jamak terjadi di tengah-tengah kita adalah sikap mengejek atau mencibir keadaan diri sendiri. Ada orang yang mencibir fisiknya sendiri hanya karena hidungnya yang pesek, atau kulitnya yang hitam, atau posturnya yang pendek.
Atau ada juga orang yang mencibir dirinya sendiri hanya karena terlahir dari keluarga yang tidak kaya raya.
Orang-orang seperti di atas akhirnya merasakan penderitaan. Penderitaan mereka bukan disebabkan oleh kenyataan yang terjadi, akan tetapi karena ketidaktrampilan mentalnya dalam menerima kenyataan.
Maka, tidak heran apabila kita banyak menyaksikan orang-orang yang mengalami stress. Mereka stress karena tidak terampil untuk menerima kenyataan yang terjadi pada diri mereka, baik itu berkenaan dengan masalah penampilan, keuangan, karir, dan lain sebagainya.
Seorang wanita yang sudah melewati umur 30 tahun, pontang-panting menata penampilan diri demi menghindari keriput di wajahnya. Berbagai cara ia lakukan, meski harus mengeluarkan biaya jutaan rupiah bahkan lebih. Namun, keriput tetap saja muncul. Ia pun stress.
Sikap di atas adalah salah satu sikap tidak ridha menghadapi kenyataan.
Wanita ini bersikap berlebih-lebihan karena tidak ridha menerima kenyataan bahwasanya setiap manusia itu seiring bertambahnya usia akan mengalami penuaan, baik cepat ataupun lambat.
Sebanyak apapun kosmetik digunakan, sebesar apapun biaya perawatan yang dikeluarkan, tua itu adalah keniscayaan.
Apakah sikap ridha itu adalah sikap pasrah? Jelas bukan. Ridha itu adalah keterampilan mental kita untuk realistis menerima kenyataan. Hati menerima kenyataan, adapun otak dan anggota tubuh berikhtiar terus untuk memperbaiki kenyataan, hingga mencapai keadaan yang lebih baik lagi.
Saat sakit gigi terasa misalnya, bersikap ridhalah. Karena tidak ridha pun tetap sakit gigi. Bersikap ridha, akan tetapi tidak berdiam diri, melainkan berikhtiar memperbaiki kenyataan dengan cara pergi berobat ke dokter gigi.
Saat pergi ke klinik dokter gigi dan menemukan kenyataan bahwa kliniknya sedang tutup, maka bersikaplah ridha kembali. Jangan lantas menggerutu, karena sikap demikian hanya akan sia-sia belaka, bahkan berpotensi menjerumuskan diri ke dalam dosa tanpa terasa.
Oleh karena itu, apapun kenyataan yang kita hadapi, terimalah dan jangan berkeluh kesah. Bersikaplah ridha dan bukan mengutuk atau menggerutu.
Sikap ridha akan menghindarkan kita dari rasa menderita. Kenyataan yang berbeda dengan harapan akan jadi terasa ringan dan kita pun akan lebih bisa mengkondisikan diri untuk berbahagia.
Apalagi, sebagaimana kita yakini bahwa tidak ada satu kejadianpun yang tidak memiliki maksud dan tujuan. Termasuk jika kejadian itu adalah sebuah musibah atau ujian. Sungguh suatu kerugian besar apabila musibah yang datang disikapi dengan sikap negatif, tidak menerima, menggerutu, atau sikap sejenisnya. Karena, musibah adalah ujian yang justru akan semakin memperkokoh kekuatan diri seseorang.
Bahkan, musibah apabila dihadapi dengan sikap ridha, akan menjadi jalan menuju surga. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata'ala, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) sebagaimana halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa oleh malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya, “Bilakah datangnya nashrullah (pertolongan Allah).” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat.” (QS. Al-Baqarah: 214).
Bersikap ridha itu seperti apabila kita menanak nasi ternyata tanpa disadari air yang kita tuangkan terlalu banyak sehingga beras yang kita rencanakan menjadi nasi malah menjadi bubur.
Dalam keadaan seperti ini, sikap yang kita lakukan bukanlah menggerutu dan menyalahkan diri apalagi memarahi orang lain. Akan tetapi bersikaplah ridha, sembari mencari daun seledri, kacang kedelai dan suwiran daging ayam. Ditambahi kecap dan krupuk. Maka, bubur itu menjadi bubur ayam dengan rasa yang spesial.
Bersikaplah ridha menghadapi kenyataan. Hidup akan terasa ringan dan bahagia. Bukankah kita ingin sekali memperoleh keridhaan dari Allah Subhanahu wata'ala..
Kunci untuk mendapatkannya adalah bersikap ridha terhadap apapun keputusan-Nya. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam ber-sabda, “Barangsiapa yang ridha (kepada ketentuan Allah) maka Allah akan ridha kepadanya..” (HR. Tirmidzi).
3. Jangan Mempersulit Diri
Dalam dua kiat sebelumnya sudah kita bahas bahwasanya hendaklah kita senantiasa mengkondisikan untuk senantiasa siap menghadapi berbagai macam kemungkinan yang terjadi.
Baik itu yang sesuai dengan keinginan atau harapan kita, maupun yang tidak. Kemudian, apabila kenyataan sudah terjadi terhadap diri kita, maka hendaklah kita ridha menerimanya sembari terus-menerus memperbaiki pencapaian-pencapaian yang sudah kita peroleh.
Kiat berikutnya yang perlu kita lakukan dalam menyikapi kenyataan hidup adalah tidak mendramatisir kenyataan yang terjadi. Karena, jika mau jujur, permasalahan yang terjadi di dalam hidup kita adalah hasil dari dramatisasi yang dilakukan oleh diri kira sendiri.
Kita lebih banyak merasakan penderitaan atas kenyataan yang terjadi, sebagai akibat dari karangan kita sendiri, kekhawatiran kita sendiri, kepanikan kita sendiri. Ternyata kesemua itulah yang membuat kita menjadi merasa tertekan dan terbebani.
Padahal, segala kenyataan yang terjadi itu, jika kita sikapi dengan kepala dingin, pikiran jernih dan hati yang lapang, kita tidak akan merasa kerepotan menghadapi segala kenyataan yang terjadi pada hidup kita.
Sebagai contoh misalnya, seseorang yang merasakan sakit pada pinggangnya. Kemudian, dia memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Sebelum jadi berangkat, ia berbincang dengan rekannya dan menceritakan apa yang sedang dirasakannya itu.
Ia sampaikan segala kekhawatiran atas sakit pinggangnya tersebut.
Ia ceritakan tentang kekhawatiran jika seandainya yang ia derita adalah penyakit ginjal, maka ia akan menghadapi resiko pengobatan dan perawatan yang tidak sederhana dan mahal. Bahkan, ia pun menceritakan kegelisahannya seandainya ternyata ia harus mengalami gagal ginjal dan menjalani cuci darah, dan seterusnya, dan sebagainya.
Semakin orang ini menceritakan ketakutan dan kekhawatirannya, maka semakin terbebanilah ia, semakin stresslah ia. Beban yang datang disebabkan ketakutan-ketakutan yang ia hadirkan sendiri dari perkiraan atau dugaannya sendiri.
Padahal ia sama sekali belum menjalani pemeriksaan kesehatan oleh dokter. Hal seperti inilah yang banyak terjadi pada diri manusia, yang kemudian menimbulkan penderitaan jiwa didalam diri mereka sendiri.
Maka, kendalikanlah diri sebisa mungkin agar terhindar dari sikap mendramatisir masalah yang sedang terjadi.
Janganlah larut di dalam jebakan-jebakan sikap yang mempersulit diri sendiri.
Karena sikap-sikap seperti itulah yang akan semakin memperbesar kesulitan dan penderitaan di dalam diri.
Hadapilah setiap kenyataan hidup, baik yang menyenangkan ataupun tidak, dengan sikap tenang, pikiran yang jernih, dan hati yang lapang. Karena pada hakikatnya, setiap persoalan yang menimpa diri manusia itu sudah terukur oleh Allah Swt, sesuai dengan kadar kemampuan manusia tersebut untuk menghadapinya. Hal ini sesuai dengan janji Allah Swt di dalam Al Quran, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya..” (QS. Al Baqarah [2]:286).
Dalil tersebut di atas bisa dikenakan dalam urusan ibadah maupun kehidupan keseharian. Bahwasanya Allah Subhanahu wata'ala tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali dengan beban yang sesuai dengan kadar kemampuannya untuk memikul atau menghadapi beban tersebut.
Allah Subhanahu wata'ala Maha Tahu siapa dan bagaimana diri kita. Allah Subhanahu wata'ala pula Yang Maha Tahu kekuatan, kelemahan, ilmu dan batas kemampuan kita. Maha Suci Allah Subhanahu wata'ala dari perbuatan dzalim terhadap hamba-hamba-Nya. Tidak ada ketetapan-Nya yang di luar batas kesanggupan hamba-hamba-Nya.
Kesemuanya sudah terukur. Tidak ada yang berat dan tidak ada yang tidak bisa dihadapi. Adapun yang berat adalah karena kita kurang ilmu dan kurang iman dalam menghadapi kenyataan yang terjadi pada diri kita, sehingga kita keliru dalam menyikapi apa yang Allah Subhanahu wata'ala tetapkan kepada diri kita.
Sebenarnya, tidak ada yang aneh di dalam kehidupan ini. Polanya masih sama, begitu-begitu saja. Seperti pergantian siang dan malam, terus-menerus seperti itu. Ada senang dan tidak senang, gembira dan kesedihan. Ada gelap dan terang, murung dan riang.
Susah dan mudah, marah dan ramah. Kadang dipuji, kadang dicaci. Sesekali disukai, sesekali dibenci. Punya dan tidak punya, sehat dan sakit, lapang dan sempit. Begitulah seterusnya. Tidak ada yang aneh, kecuali yang aneh itu adalah apabila kita tidak semakin mengerti tentang kehidupan ini.
Semestinya, apapun yang terjadi pada diri kita menjadi pelajaran berharga untuk kita. Hendaknya, setiap yang terjadi menimpa kita, itu menjadi ilmu tentang kehidupan, sehingga kita semakin tangguh dan siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Persis seperti ketika kita menghadapi siang dan malam.
Kita siap menghadapi siang, kita pun siap menyongsong malam.Jadi saudaraku, bahwa hidup ini bagaikan siang dan malam. Kita siap menghadapi siang karena kita tahu persis apa yang akan kita lakukan pada siang hari.
Kita pun tidak panik saat malam akan menjelang karena kita tahu apa yang akan kita lakukan di waktu malam. Bahkan, tidak jarang kita sangat mendambakan malam segera datang karena kita tahu akan ada manfaat yang akan kita peroleh di waktu malam. Demikian juga, tidak jarang kita menanti-nanti datangnya waktu siang karena tahu bahwa ada hal menyenangkan yang akan didapat di waktu siang.
Begitulah apabila kita siap menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di dalam kehidupan ini dan mengetahui ilmu cara menghadapinya. Ketika kita dilimpahi kekayaan materi yang berlebih, maka kita manfaatkan kesempatan tersebut untuk berderma, membantu sesama dan membelanjakannya di jalan Allah Subhanahu wata'ala.
Kita manfaatkan juga kesempatan tersebut untuk meraup lebih banyak ilmu, memperluas wawasan, memperlebar dan memperkuat persaudaraan, serta manfaat lainnya.
Akan tetapi ketika kekayaan materiil itu tidak ada di tangan kita, kita pun sudah mengetahui ilmunya. Yaitu, dengan bersabar, berprasangka baik terhadap
Allah Subhanahu wata'ala, gigih menjaga kehormatan diri dengan tidak meminta-minta kepada orang lain, bahkan justru meningkatkan kreatifitas untuk berusaha mendapatkan penghasilan secara baik dan halal. Dengan begitu, ketiadaan materiil itu tidak menjadi bencana baginya, melainkan jadi kesempatan emas untuk mendidik diri menjadi pribadi yang matang dan tangguh dalam mengarungi kehidupan dunia ini.
Memang benar, tidak jarang babak kehidupan yang menimpa kita terasa berat dan getir. Tapi itu sama sekali bukan alasan bagi kita untuk mendramatisir keadaan kemudian merasa beralasan untuk tenggelam dalam kesedihan, seolah kemalangan adalah nasibnya.
Ketika ada yang memuji kita, kita harus mawas diri bahwasanya pujian tersebut tidaklah cocok untuk kita. Kita dipuji sebenarnya bukan karena kelebihan kita, akan tetapi karena orang yang memuji itu tidak mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya. Ia tidak mengetahui kejelekan-kejelekan kita yang tersembunyi.
Sehingga apabila kita ketahui ilmunya, ketika kita mendapatkan pujian, maka kita tidak akan terjebak untuk mendramatisir diri, membohongi diri karena pujian tersebut dengan bentuk sikap membangga-banggakan diri karena pujian tersebut.
Jika kita mengetahui ilmunya, ketika ada yang memuji diri kita, maka kita tidak akan terjebak untuk mem-bohongi diri, menipu diri dengan si-
kap sombong dan tinggi hati. Jika kita mengetahui ilmunya, maka sikap yang akan kita lakukan adalah mengembalikan pujian tersebut kepada Sang Pemilik pujian sejati yaitu Allah Subhanahu wata'ala, Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji. Pujian memang bisa memotivasi
kita untuk meraih pencapaian baru atau prestasi yang lebih tinggi lagi. Tapi pada kenyataannya, pujian justru lebih sering membuat kita lupa diri. Semakin sering dipuji oleh orang lain, maka semakin besar kemungkinan kita untuk terlena dan menjadi tinggi hati.
Rasulullah Saw memberikan trik yang sangat baik untuk diteladani supaya kita tidak terjerat dengan jebakan pujian manusia. Pertama, selalu mawas diri agar tidak terbuai oleh pujian orang lain. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam menanggapinya dengan doa, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Bukhari).
Kedua, menyadari sepenuh hati bahwa hakikat pujian adalah topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Ketika ada yang memuji kita, itu lebih karena ketidaktahuannya tentang sisi kejelekan kita. Oleh sebab itu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam dalam menanggapi pujian, beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku).” (HR Bukhari).
Ketiga, kalaupun pujian yang dilontarkan orang lain terhadap diri kita memang benar ada di dalam diri kita, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Subhanahu wata'ala untuk dijadikan pribadi yang lebih baik lagi. Apabila mendengar pujian, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam kemudian berdoa, “Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.” (HR Bukhari).
Sedangkan ketika kita memperolah cacian dan makian dari orang lain, kita pun tidak akan panik apabila kita mengetahui ilmunya. Karena ketika itu terjadi pada diri kita, kita menyadari bahwa demikianlah kehidupan, adakalanya dipuji dan adakalanya dicaci.
Jika kita mengetahui ilmunya, ketika kita mendapatkan cacian dari orang lain, kita tidak akan merasa risau dan panik, karena kita menyadari bahwa cacian tersebut masihlah lebih sederhana dibandingkan kejelekan diri kita yang sebenarnya.
Ketika kita mendapatkan cacian, jika kita mengetahui ilmunya, kita tidak akan panik. Kita justru akan bersikap tenang dan mendengarkan cacian tersebut, karena bisa jadi cacian itu adalah informasi untuk kita tentang diri kita supaya kita mau mengevaluasi dan memperbaiki diri. Kita seringkali merasa terhina oleh ucapan orang lain tentang diri kita, padahal apa yang diucapkannya itu adalah sesuatu hal yang memang ada di dalam diri kita.
Cacian atau hinaan adalah episode bagaimana Allah Subhanahu wata'ala menguji kearifan diri kita. Bahkan sangat mungkin, hinaan yang datang dari orang lain kepada kita itu adalah sarana dari Allah Subhanahu wata'ala supaya kita bisa memperbaiki kualitas diri kita. Bahkan tidak jarang, hinaan itulah yang justru memperkokoh dan memperjelas kemuliaan seseorang yang dihina itu.
Karena, banyak ke-jadian, apabila sikap orang yang dihina itu tetap tenang dan mantap, orang-orang akan jadi bisa melihat dengan jelas siapakah dan bagaimanakah sebenarnya orang yang dihina dan orang yang menghina.
Hinaan itu tidak akan melekat pada diri orang yang dihina apabila dia bersikap arif dan bijaksana dalam menyikapi hinaan tersebut. Hinaan itu justru akan berbalik dan melekat kepada diri orang yang melontarkan hinaan itu.
Jika kita mengetahui ilmunya, maka kita akan bersikap tenang dan arif ketika diri kita dihina. Karena, kita menyadari bahwa orang paling mulia saja yaitu Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, mendapat hinaan dan cacian, apalagi kita yang kemuliaannya sangat jauh berada di bawah beliau. Jika kita benar menyikapi hinaan orang lain terhadap kita, maka hinaan itu justru akan mempertinggi derajat kita.
Jika kita mengetahui ilmunya, sehat dan sakit akan sama-sama menjadi kebaikan bagi diri kita. Ketika sehat, maka kita akan menyadari bahwa itu adalah kesempatan berharga untuk kita bekerja, beramal saleh, membantu sesama, mengelola lingkungan dan lain sebagainya yang memberikan kemanfaatan dan nilai tambah. Kesehatan kita menjadi sangat produktif dalam kebaikan.
Demikian juga ketika kita sakit, jika kita mengetahui ilmunya maka kita akan selalu siap menghadapi keadaan ini. Ketika sakit menimpa kita, maka kita akan menyadari bahwa orang yang sakit adalah ladang rezeki bagi para dokter dan perawat. Kita juga akan menyadari bahwa sakit adalah satu episode di dalam hidup kita yang juga harus kita nikmati.
Bukankah Rasulullah Shallallahu A'laihi Wa Sallam sendiri yang menjanjikan bahwa kita akan digugurkan dosa ketika kita sakit, bagaikan daun-daun kering yang berguguran. Sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam, “Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanaan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari).
Sakit adalah sarana kita untuk bertafakur, memohon ampun dan semakin mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata'ala Bukankah kita ingin sekali dihapus kan dosa-dosa kita yang sudah terlalu banyak ini?! Sakit semestinya menjadi kesempatan emas kita untuk semakin memperbanyak syukur.
Karena dengan sakit, Allah Subhanahu wata'ala sedang mengingatkan kita sekaligus memberikan kesempatan yang terbuka lebar untuk penghapusan dosa-dosa kita. Seperti disebutkan di dalam hadits di atas, bahkan rasa sakit yang diakibatkan tertusuk duri sekalipun, itu adalah peluang emas dihapuskannya dosa-dosa kita.
Hal itu terjadi jika kita menyikapi sakit kita dengan sikap bertafakur dan bersyukur. Bukan dengan tenggelam di dalam keluh kesah atau menggerutui keadaan.
Mungkin ada yang bertanya misalnya, bagaimana dengan biaya yang harus dikeluarkan ketika masa penyembuhan atau perawatan selama sakit?
Tidak perlu risau, karena bukankan rezeki itu Allah Subhanahu wata'ala yang mengatur?! Allah Subhanahu wata'ala tidak akan membebani hamba-Nya dengan beban yang tidak akan sanggup untuk dipikulnya. Allah Subhanahu wata'ala yang akan mengatur semua, dengan cara-Nya.
Ada juga orang yang gelisah ketika sakit karena takut mati. Jangankan yang sedang sakit, bahkan yang sehat saja bisa mati kapan saja dan di mana saja jika memang sudah waktunya.
Jikapun memang sakit tersebut mengantarkan kepada kematian, apabila sakit itu dilalui dengan sikap sabar dan tawakal kepada-Nya, maka kita akan meraih husnul khatimah. Jadi, sikapilah sakit dengan prasangka baik terhadap-Nya dan sikap optimis.
Benar, sakit itu ada juga yang berlangsung lama dan menyakitkan. Tapi, tetaplah yakin bahwa sesungguhnya semua sudah terukur oleh Allah Subhanahu wata'ala
Sesungguhnya Allah Subhanahu wata'ala tidak akan berbuat dzalim terhadap hamba-hamba-Nya. Dia-lah Yang Maha Tahu tentang kekuatan, kelemahan dan batas kemampuan kita.
Saudaraku, ada sebuah penggambaran antara orang yang sedang berada di perahu di permukaan laut dengan orang yang sedang menyelam di dalam laut. Orang yang berada di permukaan laut akan terombang-ambing oleh gelombang dan juga terancam dengan topan badai. Berbeda dengan orang yang sedang menyelam di dalam laut, ia tengah menikmati alam dalam laut yang tenang nan indah.
Demikianlah gambaran tentang perbedaan orang yang baru hanya mengetahui kehidupan ini dipermukaannya saja dengan orang yang sudah mengetahui rahasia kehidupan ini secara mendalam. Orang yang masih berkutat pada permukaan kehidupan dunia ini, ia akan dengan mudah terombang-ambing. Sedangkan orang yang sudah berkutat di dalam makna kehidupan dunia ini yang sebenarnya, ia akan hidup dengan tenang dan kokoh karena telah mengerti apa maksud dan tujuan kehidupan ini.
Oleh karena itu, jangan mempersulit diri, tidak perlu mendramatisir kenyataan yang terjadi. Hadapi saja, jalani saja hidup ini. Tidak perlu panik saat melihat kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan. Juga tidak perlu berbangga diri bisa melihat kenyataan yang sesuai dengan harapan.
Serahkan setiap yang terjadi kepada Allah Subhanahu wata'ala.. Setiap kenikmatan yang terjadi di dunia ini hanyalah sedikit dan semu belaka. Ada kenikmatan yang jauh lebih besar, tiada berbatas, dan sejati di akhirat kelak.
Sahabat, tidak ada kesengsaraan yang kekal di dunia ini. Malah, kesesengsaraan itu sendiri adalah hasil rekaan atau akibat dari sikap kita sendiri yang keliru menyikapi kehidupan dunia ini. Jika manusia menemukan suatu ujian di dalam hidupnya, maka sesungguhnya ujian tersebut datang sudah satu paket dengan kemudahan atau
jalan keluarnya. Allah Subhanahu wata'ala berfirman,
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah [94]:5 - 6).
4. Evaluasi Diri
Kita harus memiliki kemampuan untuk mengevaluasi diri, karena kehidupan dunia ini seperti suara yang menggaung di pegunungan. Bila kita berteriak di pegunungan, maka suara kita akan bergaung dan kembali kepada kita. Demikianlah kehidupan dunia ini.
Apa yang kita lakukan akan kembali kepada diri kita. Apa yang kita perbuat, akan mendatangkan akibat kepada diri kita sendiri. Sekecil apapun perbuatan kita, akan menimbulkan akibat, baik itu berupa akibat kebaikan maupun keburukan.
Di dalam Al Quran Allah Subhanahu wata'ala berfirman, “Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah (biji atom), niscaya dia akan menerima (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah (biji atom) pun, niscaya dia akan menerima (balasan) nya.” (QS. Al Zalzalah [99]:7-8).
Langkah terbaik yang harus kita lakukan setelah sesuatu kejadian menimpa diri kita, adalah ridha yang disusul dengan tafakur atas apa yang telah menimpa kita itu. Langkah terbaik selanjutnya yang mesti kita tempuh adalah mengevaluasi diri kita.
Sebagai contoh, kita lihat kembali cerita tentang kita dengan bola golf di pembahasan sebelumnya. Ketika kita berada di tengah-tengah lapangan golf yang luas, kemudian sebuah bola tiba-tiba jatuh di atas jempol kaki kita.
Biasanya, yang akan dilakukan seseorang bila mengalami peristiwa ini adalah marah dan menyalahkan orang yang telah memukul bola tersebut. Padahal sebenarnya kita bisa melakukan hal lain yang jauh lebih efektif daripada marah-marah dan menyalahkan si pemukul bola.
Sikap tersebut adalah misalnya dengan berdiam diri sejenak dan mengucapkan, “Innalillahi wa inna ilaihi raajiun. Ya Allah, bukankah lapangan ini sangat luas, sementara jempol kaki ini sangat kecil, mengapa dipilih jempol saya ini yang tertimpa bola, ya Allah..
Bukankah di sebelah kiri dan kanan saya lapangan masih sangat luas, atau mengapa tidak menimpa batu saja.. Mengapa engkau pilih jempol kaki hamba, ya Allah..” Lalu, renungkanlah hikmah di balik peristiwa tersebut. Evaluasilah diri kita.
Boleh jadi itu adalah teguran dari Allah Subhanahu wata'ala karena kaki kita lebih banyak berjalan mencari dunia daripada dilangkahkan menuju masjid untuk shalat berjamaah. Atau, bila memang kita banyak melangkahkan kaki kita ke masjid, boleh jadi hati kita tidak. Sehingga Allah Subhanahu wata'ala mengingatkan kita sebagai salah satu bentuk kasih sayang dan perhatian-Nya kepada kita.
Karena sesungguhnya, tidak ada suatu ciptaan dan kejadian di dunia ini yang diciptakan secara sia-sia tanpa memiliki maksud dan makna. Allah Subhanahu wata'ala berfirman, “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau..” (QS. Ali ‘Imran [3]:191).
Latihlah dan biasakanlah diri kita untuk bisa secara spontan menyikapi peristiwa yang tidak kita inginkan dengan sikap bertafakur. Bukan dengan menggerutu apalagi hingga marah-marah dan mencaci-maki.
Contoh lain, apabila kita kehilangan dompet karena kecopetan atau jatuh di jalan. Segeralah bertafakur, mengapa dari sekian banyak orang yang memiliki dompet, harus kita yang kehilangan. Bertafakurlah, merenunglah, karena pasti ada maksud dari peristiwa tersebut. Barangkali itu cara Allah Subhanahu wata'ala mengingatkan kita supaya kita lebih bisa mengendalikan diri dalam membelanjakan harta kita.
Evaluasilah diri kita, barangkali kita masih lebih banyak memubazirkan uang kita daripada menggunakannya untuk hal-hal yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat kita.
Sahabatku, sungguh kita tidak akan pernah rugi sedikitpun apabila kita membiasakan diri untuk melakukan evaluasi terhadap diri sendiri dengan cara yang positif. Ketika kita ingat pada kekurangan dan kesalahan diri, janganlah lantas hal itu membuat diri kita menjadi putus asa dan merasa bahwa diri sudah tanggung bergelimang dosa.
Karena sebenarnya ketika kita bisa bersikap jujur melihat diri kita sendiri dengan segala kekurangan dan kelebihannya, maka itu adalah karunia yang besar dari Allah Subhanahu wata'ala terhadap diri kita.
Karena tidak banyak orang yang dikaruniai kemampuan melakukan hal itu. Kejujuran melihat diri sendiri adalah pintu gerbang menuju perbaikan diri menjadi pribadi yang tangguh dan berkualitas.
Peristiwa yang menimpa diri kita itu persis manfaat cermin. Hanya saja, jika cermin adalah untuk bercermin ‘topeng’ yang kita kenakan, sedangkan peristiwa adalah untuk bercermin diri.
Akan tetapi, peristiwa-peristiwa semacam ini apabila menimpa terhadap orang lain jangan sampai membuat kita dengan mudah begitu saja menuduh bahwa orang yang mengalami peristiwa tersebut telah banyak melakukan kemaksiatan atau kesalahan. Kita tidak berhak memberikan penilaian terhadap orang lain. Kita hanya berhak menilai diri sendiri. Bahkan untuk menilai diri sendiri saja kita masih kesulitan, apalagi menilai orang lain.
Ketika anak-anak kita nakal, evaluasilah diri kita selaku orang tua. Siapa tahu ternyata kita kurang sungguh-sungguh dalam mendidik dan mendoakan mereka disebabkan kita lebih disibukkan dengan pekerjaan keduniawian kita. Ketika anak nakal, itu adalah kesempatan emas kita untuk mengevaluasi diri kita sendiri. Siapa tahu ternyata kita pun belum sungguh-sungguh menjaga kualitas kebaikan diri kita sendiri sehingga kejelekan kita ditiru oleh anak-anak kita.
Evaluasilah diri kita sendiri saat kita didzalimi oleh orang lain. Jangan-jangan kita pun banyak melakukan kedzaliman kepada orang lain, dan seterusnya dan sebagainya. Tidak ada bentuk kedzaliman yang kita lakukan kepada orang lain kemudian kita tidak meminta maaf dan tidak memohon ampun kepada Allah Swt, melainkan kedzaliman itu akan berbalik kepada diri kita sendiri.
Pentingnya mengevaluasi diri telah ditegaskan oleh Allah Subhanahu wata'ala di dalam Al Quran, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik.” (QS. Al Hasyr [59]:18–19).
Di dalam ayat di atas, Allah Subhanah wata'ala menyeru kepada hamba-hamba-Nya yang beriman untuk senantiasa mengevaluasi diri. Karena, dengan mengevaluasi atau menilai diri sendirilah kita akan mengetahui sudah seperti apa pencapaian kita. Khususnya pencapaian-pencapaian hal yang berkaitan dengan urusan akhirat kita. Jika dalam urusan dunia saja kita seringkali melakukan evaluasi, seperti evaluasi keuangan di dalam perusahaan misalnya, maka evaluasi dalam urusan akhirat kita jauh lebih penting lagi.
Evaluasi diri hendaknya kita lakukan dalam setiap hal yang kita lakukan, sekecil apapun. Sehingga apapun yang kita lakukan akan bernilai ibadah dan kita terhindar dari perbuatan yang sia-sia. Juga agar kita terhindar dari perbuatan yang malah mengakibatkan dosa.
Bukankah kita diciptakan oleh Allah Subhanahu wata'ala dengan tujuan untuk beribadah kepada-Nya. Di dalam Al Quran, Allah Subhanahu wata'ala berfirman, “Dan, Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (beribadah).” (QS. Adz Dzaariyaat [51]:56).
Senantiasa evaluasilah, nilailah diri kita. Sudahkah kita menjadikan setiap apa yang kita lakukan di dalam keseharian kita sebagai bentuk ketaatan dan peribadatan kepada Allah Subhanahu wata'ala ? Karena sesungguhnya tidak ada perbuatan sekecil apapun yang luput dari pengetahuan-Nya. Apalagi, bukankah setiap perbuatan kita akan ada ganjarannya.
Dalam ayat-Nya yang lain, Allah Subhanahu wata'ala berfirman, “Katakanlah sesungguhnya sholatku, sembelihanku (ibadah kurban di saat ibadah haji dan umrah), dan hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al An’aam [6]:162).
Saudaraku, jadikan setiap peristiwa yang menimpa diri kita sebagai kesempatan untuk mengevaluasi diri, sehingga kita bisa berubah menjadi insan yang semakin baik dari hari ke hari.
Daripada kita sibuk menilai orang lain, lebih baik kita sibuk menilai dan mengevaluasi diri kita sendiri. Suatu rezeki yang besar dari Allah Subhanahu wata'ala ketika kita diberikan kesempatan oleh-Nya untuk mengetahui kekurangan diri, dan diberikan kesempatan untuk memperbaikinya. Kita tidak bisa mengubah orang lain, sebelum kita bisa mengubah diri sendiri. Bagaimana kita bisa mengubah orang lain dan mengubah lingkungan yang lebih besar lagi, jika kita tidak bisa jujur dan memperbaiki diri sendiri.
5. Jadikan Allah Saja Sebagai Penolong
Allah Subhanahu wata'ala berfirman, “..Hasbunallah wani’mal wakil (Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandar).” (QS.Ali `Imran [3]:173).
Kalimat di atas adalah ucapan doa nabi Ibrahim Alaihis Sallam kepada Allah Subhanahu wata'ala manakala beliau berhadapan dengan penguasa Babilonia yaitu raja Namrud. Kita tentu tahu betul bagaimana kisah beliau ketika itu. Nabi Ibrahim Alaihis Sallam menghancurkan seluruh berhala yang disembah rakyat dan penguasa babilonia, dan menyisakan satu yang paling besar. Hal itu beliau lakukan karena beliau yakin bahwa yang mereka lakukan adalah perbuatan yang salah kaprah dan sesat menyesatkan.
Nabi Ibrahim Alaihis Sallam bermaksud untuk mengajak mereka berpikir, menggunakan akalnya, bahwa sesungguhnya yang mereka lakukan adalah kesesatan. Beliau bermaksud mengajak mereka untuk menyembah Allah Subhanahu wata'ala Dzat yang telah menciptakan mereka.
Beliau berpikir, bagaimana mungkin mereka menyembah benda-benda mati yang mereka buat sendiri.
Bagaimana mungkin mereka menyembah benda-benda yang bahkan tidak bisa berbuat apa-apa sama sekali. Namun, perbuatan beliau itu rupanya tercium oleh para penguasa Babilonia.
Sehingga beliau pun dijatuhi hukuman dengan dilemparkan ke dalambapi yang berkobar panas dan besar.
Sesaat sebelum dihempaskan kedalam api itu, nabi Ibrahim Alaihis Sallam. berdoa kepada Allah Subhanahu wata'ala dengan kalimat,
“..Hasbunallah wani’mal wakil (Cukuplah Allah sebagai penolong kami, dan Allah adalah sebaik-baik tempat bersandar)”, sebagaimana tercantum di dalam ayat tersebut di atas. Seketika itu pula, atas kehendak Allah Subhanahu wata'ala, kobaran api itu menjadi dingin bagi nabi Ibrahim Alaihis Sallam. Allah Subhanahu wata'ala berfirman, “Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim” (QS. Al Anbiyaa [21]:69).
Kisah nabi Ibrahim Alaihis Sallam di atas memberikan pelajaran kepada kita untuk senantiasa meyakini sepenuh hati bahwasanya hanya Allah Subhanahu wata'ala tempat kita berlindung dan memohon pertolongan. Kisah ini juga mengajarkan bahwa hendaklah kita berpegang teguh hanya kepada-Nya secara total.
Kita berbuat sesuatu dengan niat yang lurus dalam rangka ibadah kepada-Nya. Kita pun meyakini bahwasanya hanya kepada Allah Swt kita memasrahkan hasil dari segala ikhtiar yang kita lakukan.
Nabi Ibrahim Alaihis Sallam telah dengan sedaya upaya memberikan pencerahan kepada kaumnya kala itu. Beliau telah berikhtiar supaya kaumnya mau menggunakan akal pikiran agar berhenti berbuat kemusyrikan untuk kemudian berpindah kepada keimanan kepada Allah Subhanahu wata'ala Setelah semua beliau lakukan, beliau pasrahkan hasilnya kepada Allah Subhanahu wata'ala dan beliau memohon perlindungan hanya kepada-Nya dari apapun perbuatan yang akan dilakukan kaumnya terhadap beliau.
Sahabatku, setelah kita mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi, bersikap ridha pada apa yang terjadi, tidak mempersulit diri, dan mengevaluasi diri atas setiap peristiwa yang kita alami, maka sikap selanjutnya adalah kita kuatkan keyakinan bahwasanya hanya Allah Swt penolong kita.
Seberat apapun peristiwa yang menimpa kita, jika kita meyakini dengan sepenuh hati bahwasanya Allah Subhanahu wata'ala Dzat Yang Maha Memiliki dan Dia-lah Yang Maha Menghendaki, niscaya kita akan bisa menghadapinya dengan baik.
Seandainya seluruh jin dan manusia bersekutu untuk mencelakai kita, jika Allah Subhanahu wata'ala tidak menghendakinya, maka tidak akan terjadi apa-apa terhadap diri kita.
Kesengsaraan kita adalah apabila kita terlalu banyak berharap kepada makhluk dan terlalu banyak takut terhadap makhluk. Karena bila harapan kita kepada makhluk terlalu besar dan tidak banyak yang bisa terpenuhi, akibatnya kita akan menjadi manusia yang mengemis dan menjilat demi terpenuhinya keinginan kita.
Tidak jarang kita temui orang yang telah melakukan usaha sedemikian rupa, namun sayangnya ia justru malah masih percaya kepada jimat atau mantra yang diberikan ‘orang pintar’ kepadanya.
Padahal ia telah menyatakan keimanannya kepada Allah Subhanahu wata'ala Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata'ala, “Dan sebagian besar dari mereka itu beriman pada Allah, hanya saja merekapun berbuat syirik kepada-Nya “.(QS. Yusuf [12]:106).
Jika demikian yang terjadi, maka sungguh sia-sialah segala apa yang telah diupayakannya. Sia-sialah pula keimanan yang telah dinyatakannya karena ia terjerumus pada kemusyrikan.
Demikian juga apabila kita terlalu besar rasa takut terhadap makhluk, maka kita akan menyembah-nyembah dan tunduk kepadanya. Padahal, hanya Allah Subhanahu wata'ala. Dzat Yang Maha Agung dan pantas untuk ditakuti. Allah Swt yang Maha Menguasai segalanya.
Sepelik apapun masalah yang kita hadapi, pasti Allah Subhanahu wata'ala sudah Maha Tahu akan masalah kita sekaligus jalan keluarnya. Oleh karena itu, janji Allah Subhanahu wata'ala yang harus menjadi pegangan kita. Allah Subhanahu wata'ala berfirman, “..Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan, memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan, barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS.At Thalaq [65]:2-3).
Maka, janganlah ada rasa pesimis saat kita ditimpa suatu peristiwa yang tidak kita kehendaki atau yang menyulitkan kita. Karena sesungguhnya rasa bingung, takut, menderita, itu adalah karena ketidaktahuan kita tentang cara Allah Subhanahu wata'ala memberikan jalan keluar bagi kita. Ketika kita ditimpa suatu kepelikan masalah keuangan, sesungguhnya Allah Subhanahu wata'ala akan mendatangkan rezeki-Nya kepada kita dari jalan dan cara yang tidak kita sangka sebelumnya.
Hal ini akan terjadi apabila kita menjadi hamba yang bertakwa kepada-Nya, bersungguh-sungguh dalam berusaha dan memasrahkan hasil segala usaha kita hanya kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wata'ala, “..Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya..” (QS. Ath Thalaq [65]:3).
Oleh karenanya, dalam urusan ekonomi misalnya, tidak perlulah kita meminta untuk dijadikan manusia yang kaya raya. Mintalah kepada Allah Subhanahu wata'ala agar rezeki kita dicukupkan.
Berkecukupan itu lebih bermakna dari sekedar kaya raya. Karena kaya raya belum tentu berkecukupan. Betapa banyak manusia yang bergelimang harta kekayaan akan tetapi fustasi karena masih saja kekayaannya itu tidak mencukupi segala keinginannya. Semoga Allah Subhanahu wata'ala mencukupkan rezeki kita sesuai dengan apa yang kita butuhkan.
Saudaraku, kehidupan ini memang selalu ada suka dan duka, sedih dan gembira. Begitu seterusnya silih berganti. Apa yang menjadi masalah bukanlah pergantian siklus tersebut, melainkan cara kita menghadapi atau menyikapi siklus itu.
Jika kita bisa menyikapinya dengan baik, maka kehidupan yang sedang kita jalani ini akan menjadi kesempatan yang selalu terbuka untuk kita terus-menerus memperbaiki diri, menambah wawasan, menambah ilmu, menguatkan keimanan, dan menyongsong kehidupan abadi di akhirat yang dipenuhi kebahagiaan.
Jadi, segala persoalan hidup yang kita temui di dunia merupakan kesempatan emas yang diberikan Allah Subhanahu wata'ala kepada kita untuk mengangkat kemuliaan kita, meninggikan derajat kita dan membahagiakan kita. Cukuplah Allah Subhanahu wata'ala sebagai penolong dan pelindung kita.
Wallahu a’lam bishawab.
0 Response to "Menghadapi Persoalan Hidup"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak