Musik dalam Sejarah Peradaban Islam
Musik dalam Sejarah Peradaban Islam
Di masa awal sejarah Islam, masyarakat sepertinya belum mengenal teori-teori musik dan nyanyian seperti yang kita kenal sekarang.
Akan tetapi, seni musik dan nyanyian itu sendiri sebetulnya sudah ada, meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana.
Apalagi orang-orang Arab pada saat itu dikenal suka melantunkan syair-syair yang indah. Azan yang dikumandangkan oleh Bilal bin Rabah terkenal sangat indah dan enak didengar.
Bilal memang ditunjuk sebagai muazin oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam, karena kualitas dan keindahan suaranya.
Selain itu, di dalam sejarah tercatat bahwa nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam ketika sampai di kota Yatsrib (sekarang disebut Kota Madinah) setelah berhijrah dari kota Makkah, juga disambut oleh kaum muslimin Anshar dengan nyanyian “Thala’al Badru….”
Teori dan praktik musik dan nyanyian di dalam sejarah Islam selanjutnya mengalami dinamika dan perkembangan yang luar biasa, terutama pada masa Dinasti Abbasiyah.
Meskipun tercatat banyak khalifah yang berkuasa, masa kejayaan Dinasti Abbasiyah seringkali diasosiasikan dengan Harun al-Rasyid, seorang khalifah yang dikenal arif dan bijak.
Konon dia selalu didampingi oleh penasihatnya, Abu Nawas, yang merupakan seorang penyair yang kocak akan tetapi sesungguhnya dia adalah seorang ahli hikmah atau filsuf. Zaman keemasan ini selalu digambarkannya sebagai negeri 1001 malam yang sangat indah dan penuh keajaiban.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni begitu menonjol di zaman ini, bahkan mengalahkan peradaban lain di dunia pada zamannya.
Salah satu ciri khas dari Dinasti Abbasiyah adalah selalu menghargai sesuatu yang bersifat subjektif, partikular dan mempunyai rasa lembut, suatu sikap yang dapat memberi ruang bagi kreativitas dalam seni, ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di zaman keemasan ini, begitu banyak buku karya sastra yang berasal dari Yunani dan India diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab, sehingga umat Islam begitu akrab dengan seni dan kesusasteraan.
Buku “Hikayat Kalilah dan Dimnah” yang sangat populer telah berhasil diterjemahkan oleh Ibn Muqaffa ke dalam Bahasa Arab dan digandrungi oleh masyarakat pada masa itu.
Salah seorang musisi paling terkenal di masa Daulah Bani Abasiyah adalah Ibrahim al-Maushili (742– 804 M). Ibrahim menjadi orang pertama yang memperkenalkan cara mengatur ritme dan tempo dalam suatu alunan musik dengan menggunakan sebuah tongkat kecil.
Bahkan, ia sanggup membetulkan satu di antara tiga puluh pemain flute yang melakukan kesalahan sepele, seperti terdapat senar kedua yang terdengar fals dalam sebuah instrumen.
Saking mengagumi Ibrahim, konon Khalifah Harun al-Rasyid memberikan hadiah 150.000 Dirham kepadanya. Jika Dirham-nya adalah mata uang Dirham Uni Emirat Arab, dan sekarang dikonversi ke mata uang Rupiah di bulan November 2018, maka jumlahnya hampir setara dengan Rp. 593.833.915,-; bayaran yang cukup fantastis bukan?
Tidak cukup hanya itu, Khalifah bahkan menjadikan Ibrahim sebagai kerabat dekat, dan memberinya tunjangan sebesar 10.000 Dirham (sekitar 39,5 juta rupiah) setiap bulan.
Bukan kali ini saja Khalifah berbaik hati terhadap musisi. Beberapa penyanyi lain juga pernah menerima upah 100.000 Dirham untuk satu kali nyanyian. Salah satunya adalah Ibn Jami’ yang ternyata menjadi rival Ibrahim. Jika Ibrahim pandai memainkan alat musik, maka Ibn Jami’ adalah musisi yang masyhur dan piawai mengolah nada.
Selain Ibrahim dan Ibnu Jami’, ahli musik yang menjadi kesayangan Khalifah al-Rasyid adalah Mukhariq (wafat tahun 845 M).
Konon di masa mudanya, Mukhariq dibeli oleh seorang penyanyi perempuan yang mendengarnya menangis dengan suara yang kuat dan bagus di sebuah toko daging milik ayahnya. Kemudian Khalifah Harun al-Rasyid membebaskannya dengan hadiah sebesar 100.000 Dinar dan memberikan satu tempat terhormat di sebelah Khalifah.
Di suatu malam ia pernah keluar rumah sambil menyusuri Sungai Tigris dan bernyanyi dengan iringan obor yang menyala yang dibawa oleh para penggemarnya di sepanjang jalanan Baghdad.
Dinasti Abbasiyah, tampaknya, telah berhasil melahirkan banyak penyanyi, pemain musik dan pencipta lagu yang terkenal. Di zaman ini, pihak istana tidak terlalu terpengaruh oleh kontroversi fikih tentang hukum musik dan nyanyian.
Tidak heran jika seni musik (dan tentunya ilmu pengetahuan dan teknologi) mengalami perkembangan yang dahsyat di zaman keemasan ini. Peradaban Islam pada masa itu telah memberikan kontribusi bagi perkembangan musik di dunia.
Beberapa instrumen musik telah ditemukan dan disumbangkan oleh para musisi Islam yang selanjutnya dikembangkan oleh para musisi Barat pasca renaissance. Alboque atau Alboka, berasal dari Bahasa Arab al-Buq, merupakan alat musik tiup yang terbuat dari kayu. Ia merupakan cikal bakal klarinet dan terompet modern.
Sejak tahun 711 M, para musisi Muslim sudah memainkan alat musik petik yang memakai 4 buah senar terbentang di dalam kayu yang memiliki lobang suara.
Mereka menyebut alat musik ini dengan sebutan Ud. Konon, alat musik mirip kecapi ini dikembangkan menjadi guitar modern.
Alat musik lain yang merupakan warisan peradaban Islam bernama Hurdy Gurdy yang boleh dibilang sebagai nenek moyang alat musik piano. Instrumen yang mirip dengan hurdy gurdy pertama kali disebut dalam risalah musik Arab yang ditulis oleh al-Zirikli pada abad ke-10 M, dan dikenal sebagai alat musik organ jarak jauh. Alat musik organ hidrolik ini, digerakkan dengan menggunakan tenaga air, disebut di dalam manuskrip risalah Arab sebagai Sirr al-Asrar. Konon, alat musik ini dapat didengar hingga jarak 60 mil.
Penemuan penting lainnya yang tidak boleh terlewat di sini adalah solmisasi “do re mi fa so la si do.” Adalah Ishaq al-Maushili yang telah berjasa memperkenalkan solmisasi dalam bukunya Book of Notes and Rhythms dan Great Book of Songs yang begitu populer di Barat. Musisi Muslim lainnya yang juga memperkenalkan solmisasi adalah Ibn al-Farabi (872 – 950 M) dalam Kitab al-Musiqa al-Kabir.
Ziryab (789 – 857 M), seorang ahli musik dan ahli botani dari Baghdad juga turut mengembangkan penggunaan solmisasi di Spanyol jauh sebelum Guiddo Arezzo muncul dengan notasi Guido’s Hand-nya.
Konon Guido Arezzo mengetahui solmisasi tersebut dengan mempelajari Catalogna, sebuah buku teori musik berbahasa Latin yang berisi kumpulan penemuan ilmuwan Muslim di bidang musik.
Solmisasi ini ditulis dalam Catalogna yang diterbitkan pada abad ke-11 di Monte Cassino, satu daerah di Italia yang pernah dihuni masyarakat Muslim.
Faktor lain yang mendukung pengembangan musik pada saat itu adalah karena musik dianggap sebagai cabang dari ilmu filsafat dan matematika.
Teori musik pada saat itu dikembangkan secara jenius oleh Al-Kindi (800-877), seorang ilmuwan Muslim terkenal di zaman Abbasiyah. Dia mengembangkan alat musik ‘Ud secara lebih detil dan mengkaji tentang aspek konotasi kosmologi musik, sehingga dia juga dikenal sebagai ilmuwan pertama yang menggunakan musik sebagai alat terapi pengobatan. Dia juga menggunakan istilah musik “musiqi” di dalam bukunya.
Ilmuwan Muslim lainnya yang juga berjasa di dalam pengembangan musik adalah Al-Farabi (870-950). Sama dengan al-Kindi, Al-Farabi juga menganggap musik sebagai cabang dari disiplin matematika dan filsafat.
Dia telah menulis 5 buah buku hebat tentang musik yang salah satunya berjudul Kitab al-Musiqa al-Kabir “The Great Book of Music” yang membedah teori musik di dalam Islam.
Tapi al-Farabi bukan sekadar ahli teori
musik. Dia juga sangat piawai memainkan
‘Ud, sehingga konon dia bisa membuat
para audiens tertawa, menangis ataupun
tertidur, tergantung kepada lantunan irama
musik yang dimainkannya.
0 Response to "Musik dalam Sejarah Peradaban Islam"
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar Dengan Bijak