Kewajiban Tobat dan Keutamaannya

Kewajiban Tobat dan Keutamaannya

Urgensi Tobat

Tobat dari dosa yang dilakukan oleh seseorang merupakan kewajiban agama yang harus dikerjakan. Hal ini diperintahkan oleh al-Qur'an dan dianjurkan oleh Sunnah Nabi. 

Di samping itu, seluruh ulama pun menyatakan kewajiban tobat, baik ulama zhahir, bathin, fiqih, dan tasawuf. Bahkan, Sahl ibn Abdullah berkata, 

“Siapa yang berpendapat bahwa tobat tidak wajib, maka ia adalah kafir. Dan siapa yang ridha dengan pendapatnya bahwa tobat itu tidak wajib maka ia adalah kafir. Tidak ada sesuatu pun yang lebih wajib bagi seorang manusia daripada tobat. Tidak ada siksaan yang lebih keras daripada kehilangan pengetahuan tentang tobat. Sungguh, manusia benar-benar tidak tahu tentang tobat.”

Tobat dalam Al-Ouran

Dalam beberapa ayatnya, Al-Quran menaruh perhatian yang sangat besar mengenai persoalan tobat, baik dalam surah yang diturunkan di Makkah maupun di Madinah. 

Bertobatlah kepada Allah dengan Tobat Nashuha

Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan taubatan nashuha (tobat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabb-mu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak mengecewakan Nabi dan orang-orang Mukmin yang bersamanya: sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka berkata, “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS Al-Tahrim (66): 8)

Ayat itu merupakan panggilan terakhir Tuhan kepada orang-orang Mukmin dalam Al-Quran. Allah Subhanahu wata'ala memerintahkan mereka untuk bertobat kepada Allah dengan tobat yang sebenar-benarnya (nashuha): tobat yang ikhlas dan jujur. 

Perintah Allah dalam Al-Quran bersifat wajib, selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum wajib tersebut. Hal itu dimaksudkan agar mereka bisa berharap mendapatkan dua balasan utama, yang senantiasa diusahakan oleh setiap Mukmin, yaitu penghapusan dosa dan masuk ke dalam surga.

Setiap Mukmin sangat butuh pada dua hal: Pertama, yaitu agar kesalahan mereka dihapuskan dan dosa mereka diampuni. Memang, tidak ada seorang pun di dunia ini yang kosong dari kesalahan dan dosa. 

Dalam diri manusia, terdapat dua unsur yang berbeda, yaitu unsur air mani yang bersifat ardhi (bumi), dan unsur ruhi (spiritual) yang bersifat samawi (langit).

Yang pertama dapat menyeretnya pada tingkatan paling rendah, sedangkan yang kedua dapat mencabutnya untuk naik ke tingkatan paling tinggi. Yang pertama bisa mengubah manusia menjadi binatang atau lebih sesat daripadanya, sedangkan yang kedua dapat menaikkannya pada derajat malaikat atau lebih mulia daripada itu.

Oleh karenanya, setiap manusia pasti bisa berbuat kesalahan dan melakukan dosa. Ia benar-benar perlu melakukan tobat nashuha, untuk menghapuskan dosa yang telah diperbuatnya.

Kedua, masuk ke dalam surga. Lalu, siapa orang yang tidak ingin masuk ke dalam surga? Sungguh, sesuatu yang paling membuat manusia menjadi sibuk adalah tempat kembalinya yang abadi. Ini merupakan pertanyaan pertama yang sering muncul dalam benak manusia, apakah dirinya akan selamat atau binasa di Hari Kiamat? Apakah ia akan beruntung dan gembira atau justru sengsara dan celaka?

Kemenangan, kegembiraan, dan kebahagiaan hanya akan didapatkan di surga, sedangkan kebinasaan, kerugian, dan kesengsaraan hanya akan dirasakan di neraka. Allah Swt. berfirman, Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung (QS Al-Imran (3): 185).

Bertobat kepada Allah

Di antara ayat Al-Quran yang berbicara tentang tobat adalah firman Allah Subhanahu wata'ala, Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung (QS An-Nur (24): 31).

Dalam ayat itu, Allah Subhanahu wata'ala. memerintahkan orang-orang Mukmin agar bertobat kepada-Nya. Dia tidak mengecualikan seorang pun dari perintah tersebut. Bagaimanapun tingginya tingkat keistiqamahan dan ketakwaan orang tersebut, ia tetap harus bertobat kepada Allah. 

Di antara mereka ada yang bertobat dari dosa besar, karena mereka bukanlah orang-orang yang ma'sham (terjaga dari dosa). Ada juga yang bertobat dari dosa kecil, tetapi hanya sedikit orang yang mau mengakui perbuatan dosa tersebut.

Selain itu, ada juga orang yang tobat dari perkara-perkara syubhat. Barang siapa menjaga diri dari perkara syubhat, ia telah menjaga kehormatan dan agamanya. Begitu juga ada orang yang bertobat dari perbuatan-perbuatan yang makruh. Ada juga yang bertobat dari hal-hal yang melalaikan hatinya.

Bahkan, ada orang yang bertobat hanya karena ia selalu berada dalam kondisi yang rendah, tidak pernah naik ke derajat yang lebih tinggi.

Jadi, tobatnya orang-orang awwam (biasa) berbeda dari tobatnya orang-orang khawish (khusus) dan khawash al-khawash (luar biasa). 

Karenanya, ada pendapat yang mengatakan bahwa kebaikan yang dilakukan oleh al-abrar merupakan kejelekan al-muqarrabin. 

Akan tetapi, berdasarkan ayat tadi, setiap Mukmin dituntut untuk selalu bertobat kepada Allah agar mereka mendapatkan kebahagiaan.

Pengarang Al-Bashdir membatasi ayat tersebut dengan mengatakan,

“Ayat ini terdapat dalam surah Madaniyyah (surah yang diturunkan di Madinah). Dengan ayat itu, Allah ingin menyerukan kepada orang-orang beriman dan makhluk pilihan-Nya, agar mereka bertobat kepada-Nya, setelah mereka memiliki keimanan, kesabaran, melakukan hijrah, dan berjihad. Lalu Allah mengaitkan antara kebahagiaan tobat (la'allakum tuflihan) sebagai hubungan sebab-akibat. Ungkapan itu dinyatakan dengan kalimat la'alla, yang mengisyaratkan permohonan harapan (tarajji). Maksudnya, jika kalian bertobat sambil mengharapkan kebahagiaan, tidak ada orang bahagia yang berharap kecuali hanya orang-orang yang bertobat.”

Sebagian ulama tasawuf berpendapat bahwa tobat itu wajib bagi setiap orang, bahkan para nabi dan wali sekalipun. Jadi, jangan pernah Anda menyangka bahwa tobat itu hanya dikhususkan untuk Adam A'laihi Sallam, ketika

Allah Subhanahu wata'ala berfirman, Dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah dia. Kemudian Tuhannya memilihnya, maka Dia menerima tobatnya dan memberinya petunjuk (QS Tha' Ha (20): 121-122).

Bahkan, kewajiban untuk bertobat merupakan hukum azali yang telah dituliskan untuk manusia. Tidak mungkin ada jalan untuk menyalahinya, selama sunnatullah itu tidak dapat tergantikan. 

Dengan demikian, kembali (al-ruju') yaitu tobat kepada Allah merupakan hak setiap manusia yang bersifat dharuri (primer), baik dirinya itu nabi ataupun orang biasa, wali atau-pun orang yang membangkang.

Rasulullah Shalallahu A'laihi Wa Sallam juga bersabda, “Setiap dari kalian itu bersalah. Dan sebaik-baiknya orang yang bersalah itu adalah orang yang bertobat” (HR Ahmad dari Anas Radhiyallahu Anhu).

Sebagaimana tobat itu wajib bagi setiap Mukmin, ia juga wajib dilakukan dalam setiap keadaan. Maksudnya adalah bersifat terus-menerus. Hal ini berdasarkan keumuman yang terdapat dalam dalil-dalilnya. Misalnya, firman Allah Subhanahu wata'ala, Bertobatlah kalian kepada Allah.

Oleh karena manusia itu tidak pernah luput dari perbuatan maksiat, maka hatinya tidak akan lepas dari kesedihan untuk memikirkan perbuatan dosa. Jika hatinya itu kosong dari kesedihan, ia tidak akan luput dari bisikan setan yang melalaikan dari zikir kepada Allah. 

Apabila ternyata kosong dari bisikan setan, ia tidak akan lepas dari kelengahan dan kekurangan pengetahuan mengenai Allah, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya. Semua hal itu merupakan kekurangan yang memiliki penyebabnya.

Sikap meninggalkan penyebabnya dengan cara menyibukkan diri dengan hal-hal yang sebaliknya, merupakan sikap kembali ke jalan Allah.

Sesungguhnya manusia itu hanya berbeda dari segi tingkat kekurangannya, bukan dalam asalnya.

Orang yang Tidak Tobat Adalah Zalim

Allah Subhanahu wata'ala berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka yang diperolok-olokkan itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula sekumpulan perempuan mengolok-olok perempuan lainnya, (karena) boleh jadi perempuan yang diperolok-olokkan itu lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). 

Dan janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan jangan saling memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barang siapa tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim (QS Al-Hujurat (49): 11).

Setelah Allah Subhanahu wata'ala melarang orang-orang Mukmin dari perbuatan saling merendahkan baik laki-laki maupun perempuan dan dari sikap saling memanggil dengan celaan dan ejekan. Allah melarang mereka dari memanggil dengan gelar yang mengandung ejekan. 

Sebab al-Qur'an menyatakan bahwa orang yang mengejek saudaranya itu hakikatnya adalah mengejek dirinya sendiri. Umat Islam merupakan satu-kesatuan yang tak terpisahkan.

Seluruh perbuatan tersebut dapat mengubah derajat manusia dari keimanan menjadi kefasikan. Setelah dirinya menjadi seorang Mukmin, maka ia berubah menjadi seorang yang fasik. Padahal fasik setelah iman merupakan panggilan yang paling buruk.

Lalu Allah berfirman, Dan barang siapa tidak bertobat, mereka adalah orang-orang yang zalim. Ayat ini merupakan dalil atas wajibnya tobat. Jika seseorang itu tidak bertobat, ia termasuk orang-orang yang zalim. Orang yang zalim itu tidak akan mendapatkan kebahagiaan. 

Allah Subhanahu wata'ala berfirman, Sesungguhnya tidak akan beruntung orang-orang yang zalim (QS Yusuf (12): 23).

Allah Subhanahu wata'ala juga tidak pernah menyukai orang-orang yang berbuat zalim, Dan Allah tidak menyukai orang-orang yang zalim (QS Al-Imran (3): 57). 

Di samping itu, mereka tidak akan mendapatkan hidayah (petunjuk) dari Allah, Sesungguhnya Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS Al-Ma'idah (5): 51). 

Mereka adalah orang-orang yang tidak akan selamat dari siksa api neraka, Dan tidak ada seorang pun di antara kamu yang tidak mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Tuhanmu adalah suatu ketentuan yang sudah ditetapkan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut (QS Maryam (19): 71-72).

Ayat lain yang menyinggung persoalan tobat, menganjurkannya, serta menjelaskan keutamaan dan pengaruh dari tobat adalah firman Allah Subhanahu wata'ala, Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri (OS Al-Baqarah (2): 222).

Ajakan kepada Kaum Musyrik dan Kafir untuk Bertobat

Al-Quran juga menyerukan kepada orang-orang musyrik untuk melakukan tobat, membukakan pintu bagi mereka untuk bergabung dengan masyarakat Muslim, dan menjadikan mereka sebagai saudara. 

Dalam Surah Al-Taubah, setelah Allah Subhanahu wata'ala memerintahkan untuk memerangi orang-orang musyrik yang memutuskan perjanjian dengan-Nya, Dia berfirman, Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS At-Taubah (9): 5).

Jika mereka bertobat, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. (QS At-Taubah (9):11)

Al-Quran juga menyerukan kepada orang-orang Nasrani untuk melakukan tobat, karena dosa yang mereka perbuat dengan menganggap Isa sebagai tuhan, atau menganggap sebagai trinitas yang membentuk satu tuhan.

Padahal, sesungguhnya Isa merupakan hamba Allah. Kedudukannya sama dengan manusia lainnya. Dia juga berdakwah untuk beribadah kepada Allah Yang Maha Esa.

Allah Subhanahu wata'ala berfirman, Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata, “Sesungguhnya Allah ialah Al-Masih putra Maryam, padahal Al-Masih (sendiri) berkata, “Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhanmu.

Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan, “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga,” padahal tidak ada tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. 

Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertobat kepada Allah dan memohon ampunan kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (OS Al-Ma'idah (5): 72-74).

Bahkan, Allah Subhanahu wata'ala membuka pintu tobat bagi orang-orang kafir dan pembangkang yang telah menyiksa orang-orang Mukmin. Firman Allah Subhanahu wata'ala, Yang berapi (yang mempunyai) kayu bakar. Ketika mereka duduk di sekitarnya. Sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang yang beriman (QS Al-Buruj (85): 5-7).

Selanjutnya, setelah menceritakan kisah orang-orang Mukmin ini, yang tidak disiksa kecuali hanya karena keimanan mereka kepada Allah, Dia berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang mendatangkan cobaan kepada orang-orang yang Mukmin laki-laki dan perempuan kemudian mereka tidak bertobat, maka bagi mereka azab Jahannam dan bagi mereka azab (neraka) yang membakar (QS Al-Buruj (85): 10).

Mengomentari ayat tersebut, Hasan Al-Bashri berkata, “Renungkan-lah sifat Allah Yang Maha mulia dan Maha Pemurah ini: orang-orang kafir membunuh wali-wali-Nya, tetapi Dia justru mengajak mereka untuk bertobat dan beristighfar."

Selain itu, orang murtad sekalipun yaitu menjadi kafir setelah iman masih dapat diterima tobatnya. 

Allah Subhanahu wata'ala berfirman, Bagaimana Allah akan menunjuki suatu kaum yang kafir sesudah mereka beriman, serta mereka telah mengakui bahwa Rasul itu (Muhammad) benar-benar rasul, dan bukti-bukti yang jelas pun telah datang kepada mereka? Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. 

Balasan bagi mereka itu, ialah laknat Allah ditimpakan kepada mereka, (demikian pula) laknat para malaikat dan manusia seluruhnya. Mereka kekal di dalamnya, tidak akan diringankan siksanya, dan tidak (pula) mereka diberi penangguhan. Kecuali orang-orang yang tobat, sesudah (kafir) itu dan melakukan perbaikan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al-Imran (3): 86-89).

Bertobat dari Kemunafikan

Di samping menyerukan untuk bertobat dari bentuk kekafiran zhdhir (nyata) yang dilaknati, Al-Qur'an juga mengajak untuk bertobat dari bentuk kekafiran yang bathin (tersembunyi), terbungkus dengan iman lisan. Perbuatan semacam ini dikenal dengan istilah nifaq, sedangkan pelakunya disebut munafik.

Mereka selalu berkata, Di antara manusia ada yang mengatakan, “Kami beriman kepada Allah dan Hari Akhir, padahal mereka itu sesungguhnya bukan orang-orang yang beriman. Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, tetapi mereka tidak sadar. Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah oleh Allah penyakitnya: dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (QS Al-Baqarah (2): 8-10).

Bertobat dari kemunafikan tidak cukup dengan sekadar memproklamasikan keislaman. Sesungguhnya orang munafik itu sejak awal telah menyatakan keislamannya, dan bahkan dengan empat perkara yang disebutkan dalam Surah An-Nisa' 

Dalam surah tersebut, setelah menyifati mereka dengan sifat yang sebenarnya, membuka tirai di balik sikap mereka, yaitu senantiasa menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka, yang diharapkan dapat memberikan kemuliaan untuk diri mereka. 

Allah Subhanahu wata'ala berfirman, Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih. (Yaitu) orang-orang yang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Sesungguhnya semua kekuatan itu kepunyaan Allah (QS An-Nisa' (4): 138-139).

Orang-orang munafik adalah mereka yang selalu menunggu sesuatu terjadi pada diri kaum Mukmin. Firman Allah Subhanahu wata'ala, (Yaitu) orang-orang yang menunggu-nunggu (peristiwa) yang akan terjadi pada dirimu (hai orang-orang Mukmin). Maka jika terjadi bagimu kemenangan dari Allah, mereka berkata,

“Bukankah kami (turut berperang) beserta kamu?” Dan jika orang-orang kafir mendapat keberuntungan (kemenangan), mereka berkata, “Bukankah kami turut memenangkanmu, dan membela kamu dari orang-orang Mukmin?” (QS An-Nisa' (4): 141).

Mereka adalah orang-orang yang selalu ragu dan menipu terhadap Allah dan Rasul-Nya. Mereka juga sering malas untuk mengerjakan kewajiban-Nya dan lalai dari zikir kepada-Nya, Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya' (dengan shalat) di hadapan manusia. 

Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman atau kafir): tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir), maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya (QS An-Nisa'(4): 142-143).

Setelah menjelaskan sifat orang-orang munafik, Allah Swt. tidak langsung menutup pintu ampunan untuk mereka. Bahkan, Dia senantiasa membukakan pintu tobat dengan syarat-syaratnya. Allah Subhanahu wata'ala berfirman,

Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolong pun bagi mereka. Kecuali orang-orang yang bertobat dan melakukan perbaikan serta berpegang teguh pada (agama) Allah dan bersikap tulus dalam (mengerjakan) agama mereka karena Allah. Maka mereka itu adalah bersama-sama orang yang beriman (QS An-Nisa' (4): 145-146).

Di antara syarat kesempurnaan tobat orang-orang munafik adalah mereka harus memperbaiki kesalahan mereka dalam berbuat kemunafikan. Mereka harus berpegang teguh kepada Allah sebagai ganti dari ketergantungan mereka kepada manusia. Mereka juga harus senantiasa ikhlas dalam menjalankan agama karena Allah, sehingga Allah pun akhirnya mengikhlaskan agama-Nya untuk mereka. Dengan inilah, mereka akan menjadi bagian dari orang-orang Mukmin yang jujur dan setia.

Allah Subhanahu wata'ala berfirman, Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakiti Muhammad). Sesungguhnya mereka telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam serta menginginkan apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Jika mereka bertobat, itu adalah lebih baik bagi mereka. Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat (OS At-Taubah (9): 74).

Bertobat dari Dosa-Dosa Besar (Al-Kabiir) Selain menyebutkan tentang tobat dari perbuatan syirik dan munafik, Al-Quran juga menerangkan tentang tobat dari dosa-dosa besar. 

Misalnya, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan cara yang hak, atau berbuat zina yang dikategorikan Allah sebagai perbuatan keji. Al-Quran menyebut kedua perbuatan ini sebagai perbuatan dosa yang paling besar, yaitu syirik. 

Allah Subhanahu berfirman,Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain selain Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa melakukan perbuatan demikian, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa-(nya). (Yaitu) akan dilipatgandakan azab untuknya pada Hari Kiamat dan dia akan kekal menerima azab itu, dalam keadaan terhina. Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh: maka kejahatan mereka itu diganti Allah dengan kebajikan. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS Al-furqan (25): 68-70)

Dalam Al-Quran, kita pun sering menemukan beberapa ayat yang berbicara tentang keimanan setelah tobat. Al-Quran selalu menyandingkan keimanan dengan tobat. Allah Subhanahu wata'ala berfirman, 

Adapun orang yang bertobat dan beriman, serta mengerjakan amal yang saleh, semoga dia termasuk orang-orang yang beruntung (QS Al-Oashash (28): 67).

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan. Kecuali orang yang bertobat, beriman, dan beramal saleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak dianiaya (dirugikan) sedikit pun.(QS Maryam (19): 59-60)

Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar (QS Tha' Ha' (20):82).

Lalu, apa rahasia di balik penyandingan keimanan dengan tobat? 

Menurut saya, keimanan itu akan ternodai dengan perbuatan dosa besar. Bahkan, dalam beberapa hadis, keimanan tidak pernah ada ketika seseorang melakukan dosa besar. 

Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah berzina seseorang dalam keadaan beriman. Tidak pula meminum khamr dalam keadaan beriman. Dan tidaklah dia mencuri dalam keadaan beriman."

Oleh karena itu, tobat merupakan titik balik bagi keimanan tersebut.

Bertobat dari Sikap Menyembunyikan Kebenaran

Di antara dosa besar yang disinggung oleh al-Qur'an agar dilakukan pertobatan darinya adalah dosa karena menyembunyikan kebenaran dan tidak menjelaskannya kepada orang lain. 

Perbuatan ini merupakan dosa orang-orang berilmu yang seharusnya menyampaikan risalah Allah, menjelaskan hukum Allah kepada orang lain, mengatakan ucapan yang benar, dan tidak menyembunyikannya dari orang lain, sebagaimana dilakukan oleh Ahli Kitab.

Allah Subhanahu wata'ala telah mencela mereka dengan firman-Nya, Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), “Hendaklah kamu benar-benar menerangkan isi Kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya, lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menjualnya dengan harga yang sedikit (murah). Sungguh amat buruk jual beli yang mereka lakukan (QS Al-Imran (3): 187).

Orang-orang Ahli Kitab tidak mau mengakui kabar gembira tentang Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam yang diterangkan dalam kitab mereka. Bahkan, mereka mengubahnya dan mengotak-atiknya sesuai dengan keinginan mereka, demi untuk mendapatkan kesenangan dunia. 

Allah Subhanahu wata'ala berfirman, Katakanlah, “Kesenangan di dunia inihanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-orang yang bertakwa" (QS An-Nisa' (4): 77).

Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan Allah, yaitu Kitab dan menjualnya dengan harga yang sedikit (murah), mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada Hari Kiamat dan tidak menyucikan mereka. Bagi mereka siksa yang amat pedih.Mereka itulah orang-orang yang membeli kesesatan dengan petunjuk dan siksa dengan ampunan. Maka alangkah beraninya mereka menentang api neraka.(QS Al-Baqarah (2): 174-175)

Renungkanlah ayat ini yang menjelaskan ancaman yang amat keras bagi orang-orang yang menyembunyikan kebenaran. 

Mereka benar-benar dijamin dengan siksa yang nyata, mereka itu sebenarnya tidak memakan (tidak menelan) ke dalam perutnya melainkan api, dan siksa maknawi, dan Allah tidak akan berbicara kepada mereka pada Hari Kiamat dan tidak menyucikan mereka.

Sungguh, orang-orang ini hanya akan mendapatkan kerugian, karena mereka telah menyesatkan hamba-hamba Allah dengan cara menyembunyikan kebenaran dari mereka. 

Allah Subhanahu wata'ala berfirman, Dan siapakah yang lebih zalim daripada orang yang menyembunyikan kesaksian dari Allah yang ada padanya? (QS Al-Baqarah (2): 140).

Dengan demikian, tobat benar-benar dituntut dari orang-orang seperti ini, agar mereka selamat dari siksaan yang diancamkan oleh Allah, dari laknat-Nya, dan dari laknat manusia lainnya. 

Allah Subhanahu wata'ala berfirman, Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkan-nya kepada manusia dalam Kitab (Al-Qur'an), mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati. Kecuali mereka yang telah bertobat, mengadakan perbaikan, dan menerangkan (kebenaran), maka terhadap mereka itulah Aku menerima tobatnya dan Akulah Yang Maha Menerima tobat lagi Maha Penyayang (QS Al-Baqarah (2): 159-160).

Adapun syarat agar tobat mereka diterima adalah dengan memperbaiki perbuatan jelek yang telah mereka lakukan, dan menjelaskan kebenaran yang telah mereka sembunyikan.

Jika hal ini merupakan ganjaran bagi orang yang menyembunyikan kebenaran, lalu apa pendapat kalian tentang orang yang mempermainkan kebenaran dan memutar-balikkannya menjadi suatu bentuk kebatilan, agar ia dapat menghalangi manusia untuk melakukan jalan kebenaran tersebut serta membual dengan ucapan dan tulisannya?

Tentu, perbuatan itu merupakan kejahatan yang sangat kejam, dan dosanya juga amat besar. Inilah yang sering kita temui di kalangan para penulis, wartawan, seniman, penceramah, dan orang-orang semacam mereka yang dapat mengarahkan pola pikir manusia, kecenderungannya, dan paradigmanya.

Tobatnya orang-orang seperti ini tidak cukup dengan perasaan menyesal dan tekad untuk tidak melakukan perbuatan serupa. Selain itu, mereka pun harus bisa melakukan perbaikan dan menjelaskan kebenaran yang telah mereka sembunyikan. Mereka itu benar-benar telah menyesatkan banyak orang. 

Karenanya, mereka harus bisa menghilangkan segala faktor yang dapat menyebabkan ketersesatan ini, baik melalui media cetak maupun elektronik, dengan kemampuan yang mereka miliki.

Apabila mereka tidak dapat melakukannya, mereka harus mengklarifikasi perbuatannya secara terbuka di berbagai surat kabar atau media informasi lainnya. Mereka harus bisa menjelaskan dengan sejelas-jelasnya tentang sikap barunya dan pertobatan yang telah mereka lakukan, dengan secara berani dan meyakinkan.

0 Response to "Kewajiban Tobat dan Keutamaannya"

Posting Komentar

Silahkan Berkomentar Dengan Bijak